Share

Bab 3. Vale Ardan

Author: Casanova
last update Last Updated: 2025-07-21 16:37:33

Setelah melewati perjalanan darat dan laut yang panjang selama tiga hari. Penuh hinaan dan penderitaan, Harvey, ibu dan adik perempuanya sampai di pelabuhan dalam keadaan mengenaskan. Sebagai pria satu-satunya, dia tak dapat lagi memikirkan keadaan ayahnya yang dihukum di tempat terpisah. Perpisahaan pertama kali dalam keadaan sehina itu, membuat batin ibunya terpukul. Maka, Harvey lah yang harus melindungi dua wanita tersayangnya itu dari lemparan batu atau tendangan orang lain. Tubuh mereka penuh luka dan kotoran yang menempel hingga kering di pakaian tahanan yang telah dipakai sejak keluar dari Kementrian Kehakiman.

“Maju! Kalian harus diperiksa lebih dulu!”

Seorang petugas yang terlihat berpakaian resmi, berteriak dan menunjuk pada meja yang terletak di dekat pintu gerbang bangunan yang diyakini Harvey sebagai bagunan milik pemerintah daerah Vale Ardan.

Dia membantu ibunya yang hampir pingsan, untuk berjalan ke meja. Makin cepat pemeriksaan selesai, makin kecil kemungkinan mereka mendapat pukulan. Ketiganya menerima pandangan sinis penuh ejekan dan penghinaan dari petugas kelas rendah di meja itu. Pria itu bahkan meludah ke tanah saat mereka mendekat.

“Cuih! Bau sekali! Bawa mereka mandi setelah ini. Atau tak ada tempat yang mau mempekerjakan!” teriaknya memberi perintah.

“Baik! Akan kusiapkan!” sahut petugas lain dari belakang bangunan.

Setelah membubuhkan cap tapak tangan yang besar di dokumen tahanan, mereka digiring ke bagian belakang bangunan. Di sana sudah tersedia beberapa ember air yang tak bisa disebut bersih.

“Berjejer di sini!” panggil satu petugas yang berdiri dekat ember-ember itu.

Meski tak mengerti, Harvey tetap membimbing ibunya ke sana. Berpikir bahwa mereka mungkin akan diminta membawa ember-ember berisi air itu ke kamar mandi. Tak dinyana, begitu mereka berdiri menghadap pria itu, air sudah disiramkan dari belakang ke tubuh ketiganya sekaligus.

Harvey terkejut. Begitu pula ibu dan adik perempuannya. Pakaian kotor itu melekat membentuk siluet tubuh dua wanita itu. Membuat pandangan para penjaga tak mau beralih.

“Apa yang kalian lihat!” bentak Harvey murka. Belum pernah dia melihat ibu dan adiknya dijadikan objek pandangan mesum pria lain. Baginya itu lebih hina dari caci maki.

Para penjaga kini menaruh perhatian pada pria muda pemberontak yang berani bersuara keras di tempat kekuasaan mereka.

Sebuah pukulan melayang ke punggung Harvey yang sibuk memeluk adik dan ibunya untuk melindungi mereka dari pandangan para penjaga. Dia tetap bertahan, hingga pukulan ketiga mengenai kepalanya. Membuatnya merasa pusing, ditambah kelelahan dan kelaparan. Harvey jatuh di dekat kaki Willow ---adiknya--- yang menangis histeris dan ikut jongkok untuk membantunya bangun.

Tubuh Harvey yang tak berdaya ditarik paksa, dipisahkan dari ibu dan adiknya. Diseret ke sebuah tiang, lalu diikat erat. Dia kembali dipukuli di depan dua wanita yang sudah kehilangan suara setelah menjerit pilu melihat pria itu disiksa hingga pingsan.

Hujan deras mengguyur Vale Ardan petang itu. Angin kencang bertiup, membuat udara terasa sedingin musim gugur. Tapi sekarang masih musim semi. Perlahan kepala Harvey bergerak disertai rintihan halus.

“Ibu … Willow!” panggilnya dengan suara samar dan tak jelas.

Kemudian kesadarannya kembali sepenuhnya. Barulah dia menyadari bahwa tubuhnya terikat di tiang kayu di bawah guyuran hujan. Dengan rakus dia meminum air hujan bercampur kotoran yang menetes dari rambutnya sendiri.

Saat dahaganya tuntas, barulah dia teringat pada ibu dan adiknya lagi. “Ibu!” panggilnya sambil mencari dalam cahaya remang pelita kecil yang digantung di beberapa tempat berjauhan. “Willow!

“Kakak … kami di sini!”

Suara lesu yang sangat dikenalnya, membuat Harvey menoleh ke samping kiri . Dia tak menemukan Willow, tapi bisa melihat jeruji penjara di bagian belakang. 

“Apa kalian di dalam sana?” tanyanya ingin kepastian.

“Ya. Ibu bersamaku,” sahut Willow.

“Bertahanlah …!” Entah pada siapa Harvey melontarkan kata itu. Kemungkinan untuk dirinya sendiri yang terasa begitu lemah.

“Kakak, jangan melawan lagi,” pinta Willow saat melihat Harvey terus bergerak di tiang. “Jika bersikap baik, Kakak mungkin akan diijinkan beristirahat di sini.”

Harvey diam tak menjawab. Tapi gerakannya terhenti. “Apa kalian diberi makan?” tanyanya masih dengan rasa khawatir yang tinggi.

“Sekeping roti dan semangkuk air!” sahut Willow menenangkan kakaknya.

Harvey mengangguk. Bahkan meski dia harus berada di tengah hujan hingga pagi, asalkan adik dan ibunya mendapat makan dan tempat yang hangat, itu sudah cukup baginya. Ditengadahnya wajah untuk menampung air hujan sebagai pengisi perutnya yang kosong sejak dia dan ayahnya ditangkap.

Entah sudah berapa jam berlalu.

Mata pria muda itu terbuka kala mendengar teriakan tak jauh dari tempatnya berdiri. Langit sudah berhenti menumpahkan airnya. Udara yang makin dingin, menggigilkan tubuhnya yang tak pernah terekspose udara terbuka selama itu.

“Hei! Apa kerja kalian! Pindahkan dia, atau dia mati sebelum menjalani hukuman!”

Dua penjaga lari di tanah becek dan menyeret tubuh Harvey yang lemah dalam demam menggigil. Kemudian tubuh itu dilemparkan ke hadapan ibu dan adiknya yang dengan segera membagi selimut jerami mereka untuk menghangatkan tubuhnya.

***

Ketika matahari mulai naik, beberapa orang berpakaian mahal datang ke penjara dan melihat para tahanan. Kemudian mereka pergi diiringi seorang penjaga. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Harvey bisa melihat pria berpakaian hijau memberi seikat uang, lalu menerima beberapa dokumen. Tak lama dua tahanan di sel sebelah dibawa keluar dan mengikuti pria itu.

“Mereka memperjualbelikan tahanan negara?” pikir Harvey keheranan. Dia tak pernah tahu praktek ini saat di ibukota.

Kemudian pria lain berpakaian merah mencolok, membayar dengan beberapa ikat uang sebelum menerima beberapa dokumen. Penjaga mendatangi sel keluarga Harvey dan berseru kasar.

“Keluar! Kalian sudah memiliki Tuan yang bersedia menampung!”

“Apa maksudnya kami memiliki Tuan?” tanya Harvey yang kini sudah berdiri di depan ibu dan adiknya untuk melindungi mereka. Dia tahu betul bahwa praktek ini tidak dapat dibenarkan secara hukum.

Pria berpakaian mewah merah mencolok itu datang dengan kesal ke sel. “Kenapa membawa budak saja lama sekali!” hardiknya kasar.

“Siapa yang Anda maksud sebagai budak?” Mata Harvey menatap pria itu tajam. Dia sungguh tak dapat menerima sebutan itu. Raja hanya mencopot gelar bangsawannya. Artinya dia dan keluarga hanya rakyat biasa, tapi jelas bukan budak.

“Siapa lagi? Apa kau kira aku budak di sini?!” Pria berpakaian merah itu mendelik dengan ekspresi sinis.

“Kau kira, masih seorang bangsawan setelah Raja mencopot gelarmu?” Pria itu meludah diiringi tawa para penjaga.

“Jika hanya dicopot gelar, seseorang akan jadi rakyat biasa. Tapi, jika ditambah hukuman ke Vale Ardan, artinya kalian dijadikan budak di sini!” Seorang penjaga menjelaskan setelah tawanya berhenti.

“Kalian beruntung Tuan Morvane berbaik hati menampung untuk bekerja di kediamannya. Jika tidak, maka kalian akan berakhir jadi pekerja di tambang seperti dua tahanan tadi!” Penjaga yang tadi menerima uang dan menyerahkan dokumen tahanan, ikut bersuara.

Harvey tak berkutik mendengar penjelasan itu. Sangat jelas, kalau ibu dan adik perempuannya tak mungkin bekerja di tambang. Maka mereka hanya mengikuti dengan pasrah. Berharap, kerja di kediaman bangsawan kecil ini, bisa membuat hidup mereka sedikit lebih baik.

Sepanjang perjalanan ke kediaman Tuan Morvane, Harvey tak dapat menepis rasa muak melihat mata seorang Tuan Muda yang menunggu di depan gerbang kantor pemerintah itu, melihat Willow dengan cara menjijikkan. Secara refleks, dia selalu berdiri antara Willow dan pria itu untuk melindungi adiknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Wei Yun
Yang Kuat ya Kaka.. adik dan Ibumu, memerlukan mu!
goodnovel comment avatar
KiraYume
Berjuanglah harvey...aku mendukungmu...
goodnovel comment avatar
Seruling Emas
Kakak yang bertanggung jawab
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dari Pecundang Jadi Pahlawan   Bab 16. Berguru

    “Kalau kau sibuk mikirin sakit, kau tak lihat seranganku berikutnya.”Tongkat Farel Moric melesat ke arah kepala.Refleks, Harvey menunduk. Tongkatnya sendiri terangkat. Bukan karena terlatih, tapi murni insting bertahan. Kayu bertemu kayu, terdengar bunyi keras.Farel Moric mengangkat alis. “Lumayan.”Harvey mengatur napas. “Kalau aku jatuh, aku mati, kan?”“Kurang lebih.” Farel Moric kembali menekan, serangannya deras, terukur. Ia tidak memberi Harvey ruang untuk berpikir panjang.Namun di tengah kepanikan, Harvey mulai melihat pola. Setiap kali Farel Moric menyerang dari kanan, ada jeda sepersekian detik sebelum serangan berikutnya. Setiap kali menyapu rendah, bahunya sedikit terbuka.Itu celahnya.Saat serangan Farel Moric berikutnya menghantam ke samping, Harvey sengaja mundur satu langkah, membiarkan pukulan nyaris mengenai dirinya. Lalu menusuk lurus ke arah perut lawannya.Farel Moric berhenti, tongkatnya hanya beberapa sentimeter dari wajah Harvey. Serangan Harvey pun berhent

  • Dari Pecundang Jadi Pahlawan   Bab 15. Farel Moric

    Harvey mendengus pendek. “Kalau cuma mau ngoceh, simpan buat dirimu sendiri.”“Bocah keras kepala,” gumam pria itu. “Padahal kau butuh sekutu di tempat macam ini.”Harvey berbalik menghadapnya, tatapannya dingin. “Sekutu? Aku sudah cukup dikhianati sahabatku sendiri. Aku nggak butuh siapa-siapa.”Pria itu tersenyum samar, seolah sudah menduga jawaban itu. “Pengkhianatan memang dendam yang sangat dalam. Tapi ada hal yang lebih parah …,”Pria itu sengaja menjeda kalimatnya, menunggu reaksi Harvey. Tapi, karena pria muda yang diajaknya bicaara tak menunjukkan reaksi sama sekali, akhirnya dia melanjutkan juga kata-katanya dengan penekanan yang dalam.“Yang paling menyakitkan adalah … dikhianati oleh kerajaan yang kau bela mati-matian!”Kening Harvey berkerut. Ia nyaris tak tertarik, tapi nada suara pria itu terlalu yakin. “Siapa kau sebenarnya?”“Aku pernah jadi kepala strategi perang Jenderal Ravian,” jawabnya pelan. “Nama Jenderal Ravian pasti pernah kau dengar, kan?”Mata Harvey membel

  • Dari Pecundang Jadi Pahlawan   Bab 14. Pendukung Jenderal Ravian

    Harvey diseret melewati koridor panjang tambang yang beraroma segala macam. Saat ia masuk ke dalam area kerja, puluhan budak lain menoleh ke arahnya. Itu pemandangan yang mengejutkan: puluhan pria dengan rantai di kaki mereka, tubuh penuh luka, wajah pucat dengan ekspresi datar dan lelah. Harvey melihat mereka seperti robot yang bergerak berdasarkan perintah.“Kerja! Atau kelaparan!” teriak seorang pengawas, kasar. Peringatan itu ampuh membuat semua orang kembali menggenggam alat untuk mengikis dinding gunung.Harvey tahu, ia baru saja dilempar ke neraka yang sesungguhnya. Sebuah pukulan di punggung, membuatnya terhuyung ke depan. Sebuah alat penggali dihentakkan ke dadanya. Sedikit sakit, tapi teriakan pengawas bermata tajam itu, memaksanya melupakan rasa sakit dan perih di sekujur tubuhnya.“Kerja!”Pria itu menunjukkan satu area tersendiri untuk dikerjakan Harvey. Jauh dari yang lain. Kejadian sebelumnya jadi pelajaran berharga untuk tidak tidak membiarkan Harvey dekat dengan peker

  • Dari Pecundang Jadi Pahlawan   Bab 13. Pertarungan dengan Kapten

    Sorak-sorai para pengawas dan pekerja tambang menggema gegap gempita. Kerumunan itu menciptakan lingkaran manusia yang jadi pembatas hidup, mengelilingi Harvey dan sang Kapten di tengah. Para budak diliburkan pagi itu. Kapten sangat ingin memberikan “hiburan” pada mereka.“Budak melawan Kapten?” salah seorang pengawas tertawa keras. “Ini akan jadi pertunjukan paling menggelikan!”“Kurasa itu hanya akan berakhir brutal!” Rekannya menimpali.“Mari kita taruhan,” ajak salah seorang memanaskan situasi. “Apakah dia mati, atau sekarat dihajar Kapten?”“Mati!” Seseorang menyerahkan sekeping uang pada rekannya yang membuka pertaruhan dadakan.“Sekarat!” Yang lain ikut serta.Pertaruhan makin meramaikan suasana yang tak biasa di tambang itu.Di tempatnya, Kapten mengayunkan tongkat besinya, memutarnya sekali di udara hingga terdengar suara mendesis. Senyum sinis melekat di bibirnya. “Kau benar-benar tak tahu tempatmu. Aku akan memberimu pelajaran berharga, agar kau tak lupa statusmu di sini!H

  • Dari Pecundang Jadi Pahlawan   Bab 12. Hukuman

    Pekerja yang tadi dipukuli telah mengalami banyak luka dan nyaris pingsan di sebelah pengawas yang lengannya bersimbah darah. Lalu terdengar suara dan derap langkah ramai menuju ke tempat mereka. Itu adalah para petugas dan pengawas tambang yang memeriksa apa yang terjadi di dalam.“Siapa—”Pengawas itu tak perlu bertanya lagi. Dia bisa lihat kalau Harvey yang telah melakukan tindakan seberani itu. Alat penggali itu masih digenggamnya kuat dan sorot mata penuh kebencian.“Kau sudah bosan hidup, rupanya!”Kemudian tiga pengawas menedang dan memukuli Harvey tanpa ampun. Tak ada pekerja lain yang peduli. Semua membalikkan badan dan kembali bekerja. Harvey mengingat itu dengan api amarah.***Guyuran hujan membuatnya sadar dan mencoba membuka mata. Tubuhnya menggigil keras. Tanda dia sudah lama terpapar hujan dan angin dingin. Rasa nyeri dan senut-senut di wajah, serta kesulitannya membuka mata, meyakinkannya bahwa wajahnya sudah tak berbentuk saat ini.“Kau gigih juga. Seperti kucing yan

  • Dari Pecundang Jadi Pahlawan   Bab 11. Budak Tambang

    “Bangun! Kerja!”Petugas tambang menggebrak pintu ruangan itu. Membuat semua yang sedang istirahat terbangun dengan wajah terkejut. Begitu pula Harvey. Dia memang sudah cukup istirahat. Tapi tubuhnya makin lemah, sebab tak diberi makan sejak dia tersadar kemarin. Harvey juga tak melihat orang-orang sakit lain mendapatkan makaan kemarin.“Aku lapar, bisakah--”“Kerja dulu, baru makan!”Teriakan itu disertai pemukulan kayu ke dinding batu, membuat hati yang lemah, merasa kecut dan takut.Beberapa orang yang sudah sadar dan sanggup berdiri, segera berdiri. Kemudian berjalan secara otomatis ke pintu. Patuh tanpa suara. Harvey digebah untuk bangun, meski terhuyung-huyung.“Tak ada makan siang gratis! Semua harus kerja untuk makan!”Teriakan itu kembali terdengar dari ruangan berdinding batu lainnya, saat Harvey berjalan mengikuti barisan orang-orang. Mereka digiring ke mulut gua batu yang dapat dipastikan bahwa itu adalah pintu tambang. Beberapa orang keluar dari dalam sana dengan wajah ko

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status