“Berhari-hari hilang bak ditelan kucing, habis ketemu kamu bilang mau nikah? Kamu masih mau nikah sama si brengsek Farrel itu!”
Emily menatap Claudia yang bicara dengan berapi-api, bahkan hidung sahabatnya itu kembang-kempis karena syok mendengar ucapannya.
Emily mengambil satu kentang goreng, lantas memasukkan ke mulut Claudia, membuat sahabatnya itu langsung diam karena mengunyah kentang goreng.
“Bukan sama Farrel. Dia sudah aku tenggelamkan ke segitiga bermuda. Aku dilamar presdir tampan, sangat tampan. Lebih tampan dari Farrel,” ucap Emily menjelaskan.
Emily melihat Claudia yang sedang menelan kentang, sahabatnya itu siap bicara tapi Emily dengan iseng memasukkan kentang ke mulut temannya itu lagi.
“Emi!” Claudia melotot ke Emily.
Emily tertawa sampai hampir tersedak.
“Kenapa tiba-tiba? Bukankah kamu cinta mati sama Farrel, sampai-sampai aku peringatkan ribuan kali pun kamu kekeh sama si brengsek itu,” ucap Claudia tak habis pikir.
Emily memandang Claudia, lantas membalas, “Ga tiba-tiba juga, aku sudah mempersiapkannya sekitar tiga harian sebelum mengatakan ke orang tuaku kalau mau menikah.”
“Itu namanya dadakan, Emi! Hish … gemes aku sama kamu!” Claudia meremas udara di depan wajah Emily.
Emily tertawa melihat Claudia emosi. Dia memang suka sekali menggoda sahabatnya itu.
“Ga ada cinta-cinta lagi. Menyesal aku mati-matian bela dia sampai berantem dengan Mami. Sekarang aku tinggal balas dendam, akan kuperlihatkan kepadanya karma berani menyakitiku!” Emily bicara dengan ekspresi geram sambil memukul meja.
Pengunjung kafe itu sampai menoleh ke meja Emily saat mendengar suara benturan.
“Kamu nikah sama presdir tampan hanya untuk dijadikan senjata balas dendam?” Claudia menatap curiga ke Emily.
Emily menyadari tatapan Claudia, membuatnya panik kalau ketahuan menikah karena maksud terselubung.
“Tidak juga,” elak Emily, “aku mau nikah sama dia karena dia tampan, kaya, yang jelas kantong uang jajanku aman.”
Emily melihat Claudia yang mengerutkan alis mendengar ucapannya, hingga sahabatnya itu kembali berkata, “Sejak kapan kamu matre?”
“Sejak mau nikah,” jawab Emily lantas tertawa terbahak.
“Dasar gila, sepertinya otakmu agak geser karena diselingkuhi Farrel.”
Emily melihat Claudia yang menggeleng-gelengkan kepala, lantas dia membalas, “Bukan gila karena diselingkuhi, aku gila karena mendadak dinikahi pria kaya.”
“Dih, kamu lupa kalau keluargamu itu kaya tujuh turunan, tujuh tanjakan, tujuh belokan.”
Emily melebarkan senyum mendengar ucapan Claudia, lantas memasukkan kentang ke mulut sambil memikirkan cara balas dendam ke Farrel dan Selena.
Di perusahaan Alaric. Pria itu sedang mengecek berkas yang menumpuk di meja, sang asisten pun menemaninya memilah berkas yang harus segera dikerjakan.
“Pak, Aster beberapa hari ini mencari Anda ke sini. Anda tidak berniat menjelaskan kepadanya, jangan sampai dia membuat onar.”
Alaric berhenti membaca berkas, lantas menatap Niko yang berdiri di depan mejanya.
Belum juga Alaric membalas ucapan sang asisten, tiba-tiba saja pintu ruangan itu terbuka membuat Alaric dan Niko terkejut.
“Kenapa kamu mengabaikan semua panggilanku?” Aster masuk ke ruangan itu tanpa izin karena ingin menemui Alaric.
Alaric memberi isyarat ke Niko agar keluar dari ruangan. Dia menatap asistennya itu pergi, lantas beralih menatap ke Aster.
“Aku sibuk.”
Alaric mengalihkan pandangan dari Aster ke berkas yang ada di meja.
“Katakan ini tidak benar, Al. Karyawan butik membatalkan janji fitting gaunku, mereka bilang kalau pengantinnya diganti, apa maksudnya itu?” tanya Aster.
Alaric mengangkat wajah, lantas menatap Aster yang sudah berdiri di depan meja kerjanya.
“Juga kenapa kartu kreditku semuanya terblokir?” Aster mengeluarkan semua kartu pemberian Alaric di meja.
Alaric menutup berkas dengan santai, lantas menatap Aster yang berdiri menatapnya penuh emosi.
“Kamu ingat apa yang pernah kukatakan kepadamu?”
Alaric menatap tajam bagai pedang yang menghujam dalam. Dia menatap Aster yang diam mendengar ucapannya.
“Jangan main-main denganku. Tapi apa yang kamu lakukan?”
Alaric mengambil foto-foto yang dikumpulkannya, lantas melempar di meja tepat di hadapan Aster.
“Beraninya kamu berselingkuh dengan sepupuku sendiri. Apa kalian merencanakan sesuatu untuk menyerangku?”
Alaric menatap Aster yang terlihat gelagapan dan syok melihat bukti yang dikeluarkannya.
“Ini tidak benar. Aku bisa jelaskan.” Aster berusaha membela diri.
“Wanita sepertimu, bagai anjing yang disodori daging. Siapa yang bisa memberi banyak, itu yang akan kamu datangi. Kamu pikir aku bodoh!”
Alaric menatap tajam Aster yang masih gelagapan.
“Pergilah dari hadapanku. Aku tidak akan menikahi wanita sepertimu.” Alaric mengambil cincin pertunangannya dengan Aster dari laci, lantas melempar ke Aster.
“Jual itu sebagai kompensasi. Setelah ini jangan muncul di hadapanku lagi!”
Halo teman-teman, terima kasih sudah membaca kisah Emily. Buku ini akan up 2 bab di jam 5-7 pagi, lalu 1 bab di jam 5 sore, jika ada perubahan, akan aku umumkan. terima kasih banyak, sayang kalian banyak-banyak.
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan