“Gaun pernikahannya bisa pas sekali di badanmu.”
Emily menatap sang mami yang sedang memperhatikan gaun pengantin yang kini sudah melekat di tubuhnya. Dia tidak melakukan fitting baju sama sekali karena sudah disiapkan oleh keluarga Alaric.
Hari itu pernikahannya dengan Alaric akan digelar. Emily berada di ruang ganti pengantin sudah selesai dirias.
“Mungkin karena ukuran tubuhku pasaran, coba gemukan dikit, pasti nih gaun ga muat,” celetuk Emily ngasal.
“Ish … apa-apaan. Ini tubuh udah bagus, ngapain pengen gemuk. Modelnya kekinian, cantik,” ucap sang mami sambil mengusap bagian pinggang.
Emily menghela napas kasar, sejujurnya dia pun merasa sangat gugup dengan pernikahan yang akan dijalaninya ini.
“Gugup?” tanya sang mami.
“Iya,” jawab Emily sambil menatap sang mami yang kini memandangnya.
“Tidak apa, ini wajar. Mami juga dulu gitu,” balas sang mami.
“Tapi dulu Mami sangat tenang, bahkan sangat cantik,” ujar Emily sambil menatap ke wanita yang sudah membesarkannya selama 20 tahun ini, ibu sambung yang mencintainya lebih dari apa pun.
Emily melihat sang mami tersenyum memandangnya penuh kasih sayang.
“Mami, aku minta maaf karena pernah membangkang dan tak mendengarkan ucapanmu,” ucap Emily tiba-tiba penuh penyesalan.
Emily ingin menangis, bola matanya sudah berkaca-kaca jika ingat dirinya pernah membentak sang mami hanya karena mempertahankan pria brengsek seperti Farrel.
“Lho, jangan nangis. Nanti make up-nya luntur. Sudah, mami tidak pernah menyalahkanmu, sekarang yang terpenting kamu dapat pria yang baik, mami sampai tak percaya dia seperhatian itu kepadamu. Mami pikir kalian hanya bohong,” ucap sang mami agar Emily tidak menangis.
Emily mengangguk-angguk mendengar ucapan sang mami. Dia tahu kalau sudah salah berbohong, tapi melihat sang mami yang sudah menerima Alaric membuatnya tetap menutupi kebohongan itu.
Alaric berada di ruangan yang berbeda dengan Emily. Dia pun sedang bersiap-siap untuk acara prosesi pernikahan yang seharusnya bersama Aster tapi malah beralih dengan Emily.
“Di luar banyak sekali wartawan, mereka pasti akan meminta penjelasan kenapa kamu tidak jadi menikah dengan Aster,” ucap sang mama sambil merapikan jas Alaric.
“Biar aku yang atasi, Mama jangan mencemaskan apa pun,” balas Alaric sambil menatap ibunya itu.
Alaric melihat sang mama menghela napas saat mendengar ucapannya.
“Harusnya kamu membuat konferensi pers dulu setelah memutuskan mengakhiri hubungan dengan Aster agar tak ada hal seperti ini di pesta pernikahanmu. Mama malas jika sampai ada keributan di pesta nanti,” ucap sang mama.
Alaric hanya diam mendengar ucapannya. Dia sudah meminta Nico untuk memastikan agar Aster tak membuat keributan di hari pernikahannya, jika sampai itu terjadi maka dia tak segan memberi pelajaran ke mantan tunangannya itu.
Saat sang mama sedang membantu Alaric bersiap, pintu kamar terbuka dan terlihat sepupu Alaric masuk.
Alaric langsung menatap tajam ke sepupunya yang tersenyum.
“Apa dia sudah siap?” tanya sang sepupu sambil berjalan mendekat.
Alaric menatap semakin tak senang karena tahu jika sepupunya itu hanya sekadar berbasa-basi.
Sang mama melihat Alaric tak senang, hingga kemudian berkata, “Mama keluar dulu untuk mengecek kesiapan di depan.”
Alaric menatap sang sepupu hingga sepupu yang berumur dua tahun lebih muda darinya itu menyentuh tepian jas bagian depan.
“Kamu sepertinya memang sangat terburu-buru ingin menikah. Kenapa? Takut bersaing denganku?”
Alaric tersenyum miring mendengar ucapan sepupunya itu. Apalagi sang sepupu berkata jika lebih dari dirinya.
“Untuk apa bersaing dengan anak kecil?” Alaric menanggapi ucapan sepupunya itu dengan santai.
Alaric melihat sepupunya itu menatap dirinya, bahkan ada senyum mengejek di wajahnya.
“Tidak takut bersaing, tapi kamu menikah terburu-buru. Belum lagi, apa kamu yakin bisa menang dariku? Lihat saja, bahkan aku bisa mendapatkan Aster darimu dengan mudah. Sepertinya aku bisa memuaskannya, makanya dia sangat menyukaiku,” ucap sepupu Alaric itu.
Alaric mengepalkan telapak tangan di samping tubuh, tapi meski begitu dia tetap berusaha tenang.
“Seharusnya aku berterima kasih karena kamu sudah membuka mataku hingga melihat kelakuan busuk Aster. Benar, terima kasih.”
Alaric tersenyum miring melihat ekspresi tak senang di wajah sepupunya.
“Kamu pikir hebat dan bisa melakukan semuanya tanpa hambatan?”
Alaric menatap sepupunya itu.
“Jika bukan karena Kakek, kamu juga pasti takkan menikah terburu-buru,” ucap sepupu itu lagi.
“Asal kamu tahu saja, Kakek setuju. Ingatlah, aku cucu kesayangannya,” balas Alaric santai. Dia bahkan sempat menarik tepian jas sepupunya lantas sedikit menarik dengan kencang sebagai peringatan.
“Jika kamu mau bermain dengan cara busuk, aku bisa membalasnya lebih biadap darimu!” ancam Alaric.
Alaric melepas jas sepupunya itu, lantas berniat meninggalkan ruangan itu sampai kembali mendengar ucapan sang sepupu.
“Kita lihat, sejauh mana calon istrimu sekarang mau bertahan denganmu. Bagaimana kalau dia seperti Aster?”
Alaric membalikkan badan dengan cepat, lantas melayangkan pukulan sangat keras ke pipi sepupunya itu. Dia merapikan jasnya setelah memukul, lantas meninggalkan sang sepupu yang syok karena terkena pukulan darinya.
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan