FAZER LOGINPemuda di depan gadis yang lebih tua mulai melepas ikat pinggangnya, gerakannya lambat dan disengaja. Tali itu terlepas perlahan, sebuah suara kecil yang memecah keheningan, dan jubah gadis itu makin terbuka.
Buah dada gadis itu tampak sedikit menyembul, menimbulkan hawa nafsu si pemuda.
"Sebentar lagi kita mulai," ucapnya sambil menjilat bibirnya, tatapan matanya penuh birahi yang menjijikkan.
Gadis itu menutup mata rapat, menolak melihat kekejian yang akan terjadi. Ia tidak mau melihat, tidak mau merasakan, dan dalam hatinya ia hanya bisa berdoa memohon keajaiban.
Sepuluh pemuda itu tertawa puas, suara tawa mereka memecah kesunyian hutan yang mencekam. Mereka sudah siap memulai ritual keji mereka, tak ada keraguan.
Tapi saat itu, di tengah kegelapan hutan, sebuah suara tenang dan tak terduga terdengar dari balik pepohonan.
"Ngomong-ngomong, kalian sedang apa anak muda?"
Suara itu tidak keras, tidak pula berteriak, namun terdengar jelas memecah tawa mesum mereka yang baru saja menggema.
Sepuluh pemuda itu seketika berhenti, tawa mereka terhenti di tenggorokan. Mereka menoleh serentak ke arah sumber suara, mata mereka mencari-cari.
Seorang pemuda berjalan tenang keluar dari balik pohon magnolia, siluetnya muncul dari bayangan. Rambut hitam panjang terurai bebas, membingkai wajah tampan dengan garis tegas dan mata hitam tajam yang penuh misteri.
Jubah putih polosnya sedikit kotor tanah, pakaiannya sederhana, hampir seperti pakaian orang mati yang baru keluar dari makam, namun memancarkan yang aura tak biasa.
Pemuda itu berdiri beberapa meter dari mereka, mengamati pemandangan di depannya dengan tatapan datar yang sulit diartikan. Dua gadis berlutut tak berdaya dengan baju robek dan wajah basah air mata, dikelilingi sepuluh pemuda dengan senyum mesum yang mengerikan.
Matanya turun, berhenti pada simbol kelelawar merah darah yang terbordir di jubah para pemuda itu, sebuah tanda pengenal.
"Sekte Bayangan Yin," ucapnya pelan.
Ada sesuatu yang aneh dalam nada suaranya, sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Bukan amarah yang membara, bukan pula rasa jijik yang kentara, melainkan kekecewaan mendalam yang tersirat.
Salah satu pemuda berdiri tegak, memancarkan aura angkuh. Ia menatap pemuda berjubah putih itu dari atas ke bawah, menilai dengan tatapan meremehkan.
"Siapa kau? Mengapa memanggil kami anak muda, sementara kamu sendiri seorang anak muda?" tanyanya dengan nada meremehkan, penuh ejekan.
Pemuda berjubah putih itu tidak langsung menjawab, membiarkan keheningan sesaat. Ia menatap dua gadis itu sebentar, dan gadis yang lebih tua membuka matanya, menemukan harapan tipis di sana.
Lalu pemuda itu menatap kembali sepuluh orang di hadapannya.
"Sekte Bayangan Yin," ucapnya dengan nada tenang namun ada tekanan halus di dalamnya, "dulu adalah sekte iblis yang punya kehormatan. Meski jalan mereka gelap dan kejam, ada batasan yang tidak boleh dilanggar oleh anggotanya."
Ia diam sebentar, lalu melanjutkan dengan nada lebih dingin.
"Memaksa gadis tidak berdosa dan lemah adalah salah satu batasan suci itu yang kini kalian langgar."
Salah satu pemuda tertawa, sebuah tawa yang mengejek.
"Dulu?" Ia menyeringai. "Kau bicara tentang masa lalu? Tahu apa kamu?" cemooh pemuda itu.
"Pimpinan lama kami sudah mati ratusan tahun lalu," tambah pemuda lain dengan nada mengejek. "Aturan konyol itu ikut mati bersamanya."
"Sekarang era Dewa Benua," ucap pemuda ketiga. "Kami bisa lakukan apa pun."
Pemuda berjubah putih itu menatap mereka diam, tanpa ekspresi sedikit pun di wajahnya.
Namun, ada sesuatu dalam tatapan matanya yang dingin dan tajam, membuat sepuluh pemuda itu sedikit tidak nyaman, seolah mereka sedang dihakimi. “Ratusan tahun? Apakah aku tertidur ratusan tahun lamanya?” batin si baju putih.
Sekejab berlalu …
"Lepaskan mereka," ucap pemuda itu. Suaranya masih tenang.
Keheningan sebentar.
Lalu sepuluh pemuda itu tertawa, sebuah ledakan tawa yang keras dan mengejek. Tawa itu bergema di seluruh hutan, memecah kesunyian malam.
Salah satu pemuda tertawa paling keras.
"Lepaskan mereka?" Ia menepuk tangannya pelan. "Kau dengar itu? Dia suruh kami melepaskan mainan kami!" ekspresinya terlihat merasa lucu.
"Kau pikir kau siapa?" tanya pemuda lain sambil menyeringai.
"Pahlawan sok suci?" tambah pemuda ketiga dengan nada meremehkan.
Tawa mereka makin keras, penuh remeh dan nafsu yang menjijikkan.
Pemuda berjubah putih itu tetap diam, wajahnya datar tanpa ekspresi sedikit pun. Ia hanya menatap mereka dengan tatapan dingin yang sulit dibaca, sebuah ketenangan yang mengganggu.
"Brengsek!"
Salah satu pemuda melangkah maju dengan geram, wajahnya merah padam karena amarah yang memuncak. Jari telunjuknya menunjuk agresif ke arah pemuda berjubah putih itu.
"Kau pikir kau siapa? Berani menceramahi kami?" bentaknya dengan suara keras.
Pemuda berjubah putih itu tidak menjawab, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. Ia hanya menatap sepuluh orang di hadapannya dengan tatapan datar, tanpa amarah atau kebencian di wajahnya, hanya ketenangan aneh yang membuat mereka semakin jengkel dan gelisah.
"Lihat dia," ucap pemuda lain sambil tertawa mengejek. "Tidak ada aura kultivasi dari tubuhnya. Sepertinya hanya orang biasa yang sok jadi pahlawan."
"Atau kultivator lemah yang baru Tahap Awal," tambah pemuda ketiga sambil menyeringai. "Berani lawan kami yang semua sudah Tahap Fondasi akhir?"
Pemuda berjubah putih itu diam sebentar, membiarkan ejekan mereka berlalu. Ia menatap mereka satu per satu dengan tatapan yang sulit dibaca, lalu ia berbicara dengan nada tenang.
"Aku minta kalian lepaskan dua gadis itu. Mereka tidak bersalah."
Bukan perintah. Bukan ancaman. Hanya permintaan tenang.
Tapi kata-kata itu justru membuat sepuluh pemuda itu makin marah.
Pemuda yang paling angkuh maju selangkah.
"Kau minta?" Ia menyeringai lebar. "Kau pikir dengan minta sopan, kami akan dengar?"
"Bodoh sekali," ucap pemuda bersuara rendah sambil menatap dengan tatapan dingin. "Di dunia kultivasi, permintaan sopan tidak ada artinya. Yang ada hanya kekuatan."
Dua pemuda saling pandang. Mereka tersenyum sinis.
"Aku rasa kita dapat hiburan tambahan," ucap salah satu dari mereka. "Setelah selesai dengan dua gadis ini, kita bunuh dia juga."
"Bagus," sahut yang lain. "Lama tidak bunuh orang. Tanganku sudah gatal."
Dua gadis yang masih berlutut di tanah menatap pemuda berjubah putih itu dengan tatapan campur aduk, antara harapan tipis dan ketakutan yang mendalam. Mereka tidak mau pemuda ini mati sia-sia karena mencoba menolong mereka, sebuah pengorbanan yang tak diinginkan.
Bersambung
Bing Ruoxue mendengar semua ejekan itu. Tubuhnya gemetar lebih hebat. Tapi ia tidak mundur. Ia tetap berdiri di tempatnya, menatap Elder Sekte Bayangan Yin dengan tatapan penuh ketakutan tetapi juga penuh tekad.Elder Sekte Bayangan Yin terdiam sebentar. Ia menatap gadis di hadapannya dengan tatapan dingin, lalu tersenyum. Sebuah senyum yang membuat lampion-lampion bergetar lebih hebat."Kesaksian yang menarik," ucapnya dengan suara yang terdengar lembut tetapi penuh ancaman tersembunyi. "Tapi aku tidak butuh kesaksian dari sekte kecil."Asap hitam di tangannya semakin menebal. Aura gelap itu mulai memadat, berubah menjadi cakar energi yang mengerikan. Bau besi dan darah menyebar di udara.Suhu turun semakin drastis. Suara serak seperti arwah tercekik bergema samar di sekeliling mereka.Beberapa murid di barisan belakang tidak tahan lagi. Mereka mundur dengan panik, beberapa bahkan jatuh terduduk dengan wajah pucat pasi."Itu Cakar Bayangan Kematian," bisik salah satu kultivator senio
Rong Tian masih berdiri diam. Tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya. Ia hanya menatap Elder itu dengan tatapan datar, seperti menatap sesuatu yang membosankan.Di dalam hatinya, ia bahkan sedikit merasa lucu."Elder Jiwa Muda awal," gumamnya dalam hati sambil mengamati aura yang mengepul dari tubuh pria itu. "Lima ratus tahun lalu, kultivator sekelas ini bahkan tidak layak menjadi tetua sekte kecil. Sekarang dia berani mengancamku?"Tapi ia tidak mengatakan itu dengan suara keras. Ia hanya diam, menunggu.Bing Ruoxue melihat asap hitam yang mulai menebal di sekitar Elder Sekte Bayangan Yin. Dadanya sesak. Napasnya pendek. Ia tahu apa artinya itu."Dia akan membunuh," bisiknya dengan suara gemetar. "Dia akan membunuh pemuda itu di hadapan kita semua."Xue Lingyin menarik lengan kakak perempuannya dengan panik."Kakak perempuan, kita harus pergi," pintanya dengan air mata di pipinya. "Tolong. Kita harus pergi sekarang."Tapi Bing Ruoxue tidak bergerak. Ia menatap Rong Tian yang berdi
Balai utama Desa Heishan adalah bangunan bergaya paviliun besar dengan tiang-tiang merah tua yang kokoh. Atapnya melengkung dengan sudut-sudut timur yang khas, dihiasi lampion-lampion merah yang berderet rapi.Tirai sutra putih bergetar pelan karena angin malam yang menyelinap masuk. Meja-meja kayu cendana dengan ukiran awan tersusun rapi di tengah ruangan, sementara lantai batu abu-abu yang halus memantulkan cahaya lampion yang redup.Tapi sekarang, keindahan itu tidak ada artinya.Saat Elder Sekte Bayangan Yin muncul, lampion-lampion gemetar hebat. Nyala api di dalamnya goyah seperti akan padam. Suara bisikan yang tadi mengisi ruangan lenyap seketika. Semua murid ortodoks menunduk dalam, napas mereka tertahan. Suasana berubah seperti aula pengadilan kuno yang baru melihat malaikat maut.Pria berjubah hitam itu berdiri tegap di tengah balai. Jubahnya terbuat dari kain gelap berkualitas tinggi, dihiasi bordiran kelelawar merah tua yang sulaman khas Sekte Bayangan Yin. Matanya dingin s
Balai utama Desa Heishan terasa seperti sebuah kuburan yang dingin, bukan tempat pertemuan para ahli.Udara di dalamnya berat, dipenuhi keheningan yang menyesakkan, hanya sesekali dipecahkan oleh desahan samar atau gesekan kain.Suara pertemuan yang seharusnya penuh semangat justru terdengar seperti gumaman orang-orang yang menunggu ajal, setiap kata terbebani oleh keputusasaan.Para murid dari sekte-sekte besar duduk berderet, bahu mereka melorot, mata mereka redup, dan napas mereka teratur namun berat, seakan ada beban tak terlihat yang menindih setiap jiwa.Tidak ada satu pun dari mereka yang memancarkan aura jenius yang digadang-gadang untuk memimpin masa depan.Elder Feng berdiri di depan, punggungnya sedikit membungkuk, wajahnya diukir oleh kerutan-kerutan lelah yang lebih banyak bercerita tentang kekhawatiran daripada kebijaksanaan. Ia berusaha menjaga wibawanya, tetapi suaranya terdengar rapuh, nyaris berbisik.“Kita harus segera mencari cara untuk menahan serangan berikutnya,
Rong Tian tidak menjawab, ia tidak peduli dengan bisikan-bisikan di sekitarnya. Ia hanya terus berjalan, mengamati sekitar dengan tatapan datar dan penuh analisis."Dunia ini," gumamnya pelan sambil menatap semua pemuda dan pemudi yang ramai berbicara, "benar-benar berbeda dari yang kukenal."Mereka akhirnya sampai di pojok desa, tempat yang lebih tenang. Di sana, ada tenda kecil dengan bendera putih bertuliskan "Sekte Bunga Salju".Tenda itu terlihat sederhana, jauh dari kemegahan tenda-tenda lain. Ukurannya tidak sebesar tenda-tenda sekte besar lainnya, menunjukkan status mereka."Ini tenda kami, Tuan," ucap Bing Ruoxue sambil menunjuk tenda kecil itu."Silakan beristirahat sebentar di sini, pertemuan akan dimulai sebentar lagi."Rong Tian menatap tenda itu sebentar, lalu mengangguk pelan."Terima kasih."Ia duduk di bangku kayu di luar tenda, mengamati keramaian. Bing Ruoxue dan Xue Lingyin masuk ke dalam tenda untuk merapikan pakaian mereka yang masih robek.Rong Tian menatap kera
Rong Tian langsung menyadari sesuatu yang aneh saat mengamati sekeliling. "Auranya lemah," gumamnya dalam hati sambil menatap para pemuda itu dengan tatapan tajam."Bahkan yang terkuat hanya Tahap Eliksir Emas tingkat awal. Apakah ini yang mereka sebut jenius dari sekte besar?"Ia mengamati lebih teliti setiap individu yang berlalu lalang. Sebagian besar hanya berada di Tahap Fondasi, sebuah tingkat dasar dalam kultivasi.Beberapa bahkan masih di Tahap Awal, baru menyentuh gerbang kultivasi, menunjukkan kurangnya pengalaman."Tidak masuk akal," bisiknya pelan sambil menggelengkan kepala, ketidakpercayaannya begitu nyata. "Dulu, lima ratus tahun lalu, jenius muda dari sekte ortodoks besar sudah mencapai Tahap Jiwa Muda di usia dua puluh tahun."Ia melanjutkan, "Bahkan yang biasa-biasa saja sudah Tahap Eliksir Emas tingkat menengah."Ia menatap sekitar lagi dengan tatapan tidak percaya, membandingkan masa lalu dengan masa kini. "Tapi sekarang? Tahap Eliksir Emas awal sudah dianggap jeni







