"Apa? Hari ini? Kenapa dadakan sekali, Al?" protes Riani.Seminggu setelah pertengkaran Aldino dan Kiria, pemuda itu tiba-tiba datang dengan membawa empat tiket pesawat. Dia memberitahukan tentang acara perjamuan Keluarga Mahendra untuk menyambut calon menantu baru. Aldino baru memberitahukan mereka harus berangkat hari ini karena acaranya akan diadakan di Bali besok pagi."Bukan dadakan, Bu. Aku sudah memberitahu, Nia," kilah Aldino.Dia mengirimkan sinyal permintaan tolong pada Kanania dengan kerlingan mata. Kanania tiba-tiba teringat besok bertetapatan dengan momen penting yang biasa dirayakan keluarganya. Dia pun dengan cepat memahami rencana licik Aldino."Iya, waktu itu Ibu terlihat sibuk. Jadi, aku kasih tahu nenek." Kanania cepat memeluk manja lengan Mira. "Nenek ingat, 'kan? Lima hari yang lalu, pas Nenek lagi ngeteh di halaman belakang," rengeknya.Mira cepat beradaptasi dengan drama cucu kesayangan langsung menepuk kening. "Ah, aku lupa! Kau tahulah, Riani. Orang tua sepert
Kiria bergidik. Entah kenapa semakin hari, Aldino semakin menjijikkan. Kiria benar-benar menyesal pernah menjalin hubungan dengannya meskipun karena keterpaksaan. Dulu, Aldino mengejarnya seperti anak itik, mengekor ke mana saja, sangat mengganggu pekerjaan lapangan Kiria. Oleh karena itulah, Kiria menerima pernyataan cintanya dengan syarat tidak lagi menganggu pekerjaan. Setelah mendapatkan Kiria, Aldino justru tidak terlalu antusias lagi, malah sibuk berselingkuh. "Kiria, kamu benar-benar berubah sejak putus denganku. Apa kamu begitu menyesal? Atau mencoba membuatku cemburu?" Kiria tak menghiraukan Aldino. Dia berjalan santai ke arah teras. Aldino semakin meradang. Bukannya segera pulang, pemuda itu mengejar langkah Kiria. "Kiria!" bentaknya seraya menarik tangan Kiria. "Lepaskan! Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa! Apa pun yang kulakukan tidak ada urusannnya denganmu!" "Jangan bohong! Kamu terus bertingkah untuk membuatku cemburu!" "Pikiranmu membuatku mual!!"
Lima puluh enam tahun lalu, kediaman utama Keluarga Wijaya.Baskoro baru pulang dari luar kota, memasuki rumah dengan langkah-langkah lebar. Senyuman tak lepas dari bibirnya. Dia menenteng banyak kantong belanja berisi oleh-oleh."Papa pulang! Kakak, Papa sudah pulang!" seru Abimana riang.Baskoro terkekeh, langsung menggendong putranya yang baru berusia 6 tahun itu. Abimana meronta minta diturunkan. Namun, Baskoro malah duduk di kursi ruang tamu dan memangkunya. Asryana langsung tertawa melihatnya."Abi kayak bayi, masih dipangku Papa," ledeknya."Papa, aku sudah besar! Aku tidak mau dipangku!" rengek Abimana kesal.Baskoro terkekeh. Akhirnya, dia menurunkan Abimana, lalu membongkar oleh-oleh. Boneka beruang lucu dan dua helai gaun cantik berpindah ke tangan Arsyana. Sementara, Abimana melompat senang dengan helikopter remot terbaru."Di mana mama kalian?" celetuk Baskoro."Mama tidur di kamar, Pa," sahut Arsyana sambil memeluk erat boneka beruangnya.Baskoro mengusap kepala anak-an
Kiria mengusap wajah. Ayah dan ibu Arya memang menyukainya. Abimana yang sejak dulu menganak-emaskan Kiria wajar saja langsung merestui. Begitu pula, Rose yang mudah tersentuh seketika ingin memindahkan Kiria ke rumahnya setelah mendegar cerita Arya tentang ketidakadilan dan pengkhianatan yang dialami Kiria. Namun, kakek Arya beda lagi ceritanya. Baskoro Sugandi Wijaya adalah sosok yang sangat mementingkan status sosial. Begitulah yang ditangkap Kiria dari bisik-bisik para tamu di pesta teh Lisa tempo hari. Katanya, Arya sampai dicambuk dengan ikat pinggang karena menolak putri Keluarga Respati. Baskoro juga diam-diam menyingkirkan wanita dengan status sosial rendah yang mencoba mendekati Arya. "Huh? Apa yang harus kulakukan? Bagaimana kalau diam-diam dibunuh oleh Pak Baskoro atau dikirim ke daerah entah berantah." Kiria bergidik. Jika diberikan pilihan, dia tentu memilih nundur teratur. Namun, kemarahan Arya juga tak mudah dihadapi. "Minum dulu, Ketua." Suara Amira membuyarka
Kiria seketika meninju tembok. Retakan kecil tercipta di dinding yang malang. Yanto melonjak kaget dan hampir memeluk Amira. Namun, gadis pujaan hatinya itu menghindar. Tak ayal, Yanto kehilangan keseimbangan dan menubruk seseorang."Aduh, keras banget ih! Apa sih ini?" gerutu Yanto.Dia mendongak sambil terus mengomel. Namun, mulutnya seketika terkunci saat melihat sosok berwajah dingin itu. Yanto tak menyangka ternyata menyeruduk perut Arya."Pa-pa-pak Arya ... saya minta maaf, Pak.""Ya."Arya menatap Kiria. Tangannya terkepal kuat. Belum sempat mengatakan apa pun, Sekretarus Lusi menghampiri dan memaksanya ikut dengan alasan rapat akan segera dimulai.Kiria menatap punggung Arya yang semakin menjauh dengan sorot mata kecewa. Dia yakin Arya juga tahu Sekretaris Lusi dalang dari kejadian malam itu dan pelaku penyebaran rumor bruuknya di grup karyawan. Kiria tak mengerti kenapa Arya masih membiarkan si ular betina berkeliaran bebas tanpa sanksi."Apakah kamu punya perasaan spesial un
Kiria menggigit bibir saat gadis cantik itu berdiri di belakang kursinya. Lisa mengepalkan tangan dengan perasaan was-was. Sebenarnya, dia sendiri yang mengaku-ngaku sebagai calon mertua. Keluarga Mahendra baru mengajukan rencana perjodohan. Namun, Keluarga Rahardja belum memberikan keputusan. Lisa hanya berspekulasi sendiri karena Tiara bersedia datang ke pestanya."Aduh, kenapa Tiara malah mendekati si item? Apa rumor Tiara juga menyukai Arya benar? Bagaimana kalau dia berkelahi dengan Kiria di sini? Malulah aku sudah mengaku jadi calon mertuanya," keluh Lisa dalam hati.Namun, hal yang terjadi selanjutnya jauh lebih menyakitkan daripada prasangka Lisa. Dia sudah merancang rencana mempermalukan Rose dengan memamerkan calon menantu yang lebih baik. Sayangnya, justru Tiara langsung yang melempar kotoran ke wajahnya."Ya ampun, Kakak! Kenapa Kakak ada di sini?" seru Tiara riang.Dia memeluk Kiria erat. Para tamu kehilangan kata-kata. Mereka yang tadinya sibuk memuji kecantikan Tiara ki
"Lho, Nyonya Wijaya, siapa yang kamu bawa ini, pelayan baru?" sindir Lisa yang mulai melancarkan amunisi. Rose terkekeh, lalu membalas, "Ya ampun, Nyonya Mahendra. Sepertinya, Nyonya harus segera memeriksakan kesehatan mata, takutnya ada penyakit berat. Gadis secantik dan seanggun calon menantuku kok bisa dikira pelayan." Lisa mengepalkan tangan kuat, tetapi tetap menyunggingkan senyuman. Dia dan Rose saling pandang dengan tatapan tajam. Kiria merasa dirinya akan meleleh jika terus berada di tempat itu. Rose memang sudah menceritakan bagaiaman Lisa yang dulu suka dengan ayah Arya terus saja iri dan selalu menganggu hidupnya. Namun, Kiria tetap saja merasa tertekan. "Kukira, Nyonya Wijaya yang perlu periksa mata. Jika dibandingkan dengan Nona Keluarga Respati, aduh." Lisa menutup mulut. Dia menggeleng. "Padahal, dulu Nona Respati begitu mengagumi putramu, tapi ternyata seleranya agak lain." Kiria juga pernah mendengar rumor yang menghebohkan itu. Atasya Meliana Respati adala
Arya dan Kiria saling melirik. Mereka bersiap dengan segala konsekuensi. Terlebih, wajah Rose terlihat gusar."Kiria, kenapa kamu masih memanggilku Bu Rose? Kamu harus memanggilku mama," protes Rose.Arya dan Kiria diam-diam menghela napas lega. Dari sikapnya, Rose memang baru datang dan tidak sempat mendengar obrolan mereka. Namun, kedatangan Rose yang tiba-tiba juga terasa janggal. Arya merasakan firasat buruk saat ibunya mendadak mengandeng lengan Kiria."Kiria, kamu mau temani Mama hari ini, 'kan?""Ke mana, Bu eh Ma?""Ke pesta teh teman Mama."Arya langsung memberi isyarat agar Kiria menolak. Namun, kode yang diberikannya malah terlihat oleh sang ibu lebih dulu. Rose menatap putranya galak."Arya kamu kembali bekerja saja sana. Tidak perlu mengantar kami, sudah ada pak sopir.""Tapi, Ma, Kiria juga masih harus bekerja," sergah Arya."Kan, Kiria bisa cuti. Pokoknya, Kiria ikut ke perkumpulan teman Mama!""Ma, perkumpulan teman Mama itu, kan, sama saja dengan sarang ular.""Kamu m
"Saya meminta Anda untuk menikah dengan saya. Ibu saya bisa mengamuk kalo kita tidak benar-benar menikah," tutur Arya. "Apa Bapak ingin menawarkan pernikahan kontrak seperti di film-film itu? Nanti, setelah cinta sejati Bapak datang kembali dari luar negeri, saya harus mundur?" tanya Kiria. Arya seketika tersedak. Kiria dengan polosnya menyodorkan minuman. Arya menatap dengan sorot mata putus asa, membuat Kiria kebingungan. "Apa tingkah laku saya selama ini masih belum jelas?" Kiria menggaruk kepala yang tidak gatal. "Tingkah laku bagaimana, ya, maksud Pak Arya?" Arya menghela napas. Dia menyeruput kopi beberapa teguk. Kiria masih menunggu jawaban dengan tatapan polos. "Sudahlah, kalau Bu Kiria memang tidak peka. Tapi, soal tawaran saya tadi bukan pernikahan kontrak. Saya ingin menikah dengan serius." "Eh? Tapi, bagaimana dengan cinta pertama Bapak?" Arya mendelik. Kiria menyengir lebar. Dia minum kopinya sampai habis sembari menyeka keringat yang meluncur di dahi. "