Zahra bergegas pergi ke ruangan Zyan begitu panggilan dari bos yang sekaligus suaminya itu diakhiri secara sepihak. Dia sampai tidak berpamitan pada Faisal yang tadi bicara dengannya agar tidak dimarahi Zyan. Gadis itu mengetuk pintu setelah tiba di depan ruangan Zyan.“Masuk,” jawab Zyan.Zahra membuka pintu lalu masuk ruangan itu. Dia langsung menuju sofa dan meletakkan makanan dan minuman yang tadi dibeli di atas meja. Dengan cekatan gadis itu membuka bungkus makanan lalu meletakkan makanannya di atas piring. Tak lupa sendok dan juga garpu.“Makanannya sudah siap. Pak Zyan mau makan di sini atau di sana?” tanya Zahra sambil menunjuk sofa dan meja kerja Zyan.“Di situ saja.” Zyan bangkit dari duduk lalu beranjak ke sofa. Sesudah pria itu duduk, Zahra meletakkan makanan dan minuman di hadapan Zyan.“Silakan, Pak,” ucap Zahra.“Terima kasih. Kamu juga makan sekalian,” sahut Zyan yang mulai mencampur makanannya.Zahra mengangguk. Dia lalu makan dengan canggung di hadapan Zyan. Baru kal
Sesudah memimpin rapat tim yang akan menangani proyek baru perusahaan, Zyan dan Zahra pergi bersama mereka untuk meninjau lokasi proyek. Zyan mengendarai sendiri mobilnya, mengikuti kendaraan tim yang mengantarnya ke sana. Dia sengaja melakukannya agar bisa langsung pulang setelah meninjau proyek.Untung saja Zahra selalu menyediakan sepatu kets di kantor selain sepatu resmi, jadi bila diajak meninjau proyek dia tidak akan kelabakan. Karena kebanyakan lokasi proyek sangat tidak bersahabat dengan sepatu berhak tinggi yang biasa gadis itu kenakan sehar-hari.Zahra menemani Zyan dan tim berkeliling. Sekali waktu dia mencatat bila ada yang penting di iPad-nya. Ketua tim menjelaskan site plan yang sudah mereka rancang dan menunjukkan letak bangunan-bangunannya.Zyan mendengarkan dengan saksama penjelasan ketua tim. Dia orang yang cukup detail, jadi kalau ada yang kurang jelas langsung ditanyakan. Selain itu juga untuk mengetes tim yang akan menangani apakah
Raut muka Zyan jadi mengeras setelah mendengar pertanyaan kekasihnya. “Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Mil. Nikmati waktumu di sana.” Tanpa menunggu tanggapan dari sang kekasih, pria itu mengakhiri panggilan tersebut. Dia lantas melepas airpods dari telinganya. Setelah itu mengembuskan napas kasar.Zahra yang ada di sebelah Zyan hanya melirik atasannya itu dan tak mengatakan apa pun. Dia masih sangat ingat perjanjian mereka untuk tidak mencampuri urusan masing-masing. Jadi lebih baik dia diam dan tak ikut campur apalagi menanggapi.Ponsel Zyan kembali berdering. Nama pemanggilnya masih tetap sama dengan sebelumnya. Namun pria itu enggan untuk menjawab, dan tetap mengabaikan sampai panggilan tersebut berhenti sendiri. Tak diduga Mila menelepon lagi. Akhirnya Zyan mengambil ponselnya dan memberikan pada Zahra.“Tolong matikan hapeku!” perintahnya.Zahra terkejut saat Zyan memberikan ponsel berlogo apel tergigit itu padanya. “Kenapa dimatikan, Pak?” tanyanya.“Kalau aku bilang
Zyan dan Zahra sontak menoleh ke arah datangnya suara. Seketika wajah pria itu berubah tidak senang kala melihat sosok yang menyapanya. Seorang pria bermata sipit mendekati mereka.“Ternyata kamu sedang bersenang-senang dengan sekretarismu karena itu tidak ikut meeting tadi siang,” lontar Aswin.Zyan mengepalkan tangannya. “Aku tadi meninjau proyek,” ucapnya.Pria bermata sipit itu tersenyum menyeringai. “Meninjau proyek lalu berlanjut ke hotel dan belanja ya,” ucapnya.“Itu bukan urusanmu, Win!” tukas Zyan dengan kedua tangan yang makin mengepal dan wajah memerah.Aswin bukannya takut melihat Zyan yang tampak emosi, dia malah tertawa. “Oke, aku tidak akan mengganggu waktu kalian. Jangan lupa kasih tahu aku kalau kamu sudah bosan dengan sekretarismu itu!” Pria bermata sipit itu mengatakan kalimat terakhir dengan suara pelan.“Jangan pernah bermimpi mendapatkan Zahra! Dia sudah jadi istriku sekarang.” Zyan harus bersikap tegas agar Aswin tidak menggoda Zahra lagi. Dia terpaksa mengakui
“Pak Zyan, sedang bercanda ‘kan?” Zahra memandang pria yang duduk di samping kanannya itu.Zyan mengerling sekilas pada istrinya. “Aku serius. Kenapa kamu menganggapnya bercanda?”“Bukankah pernikahan kita ini hanya pernikahan kontrak, Pak?” tukas Zahra.Pria berparas tampan itu menyengguk. “Iya. Kenapa memangnya?”“Saya rasa kita tidak perlu sampai dalam tahap saling mengerti dan memahami, Pak. Toh setelah satu tahun kita berpisah.” Zahra mengungkapkan pendapatnya.“Tetap perlu, Ra. Kontrak kita ‘kan satu tahun. Apa masuk akal selama itu kamu sampai tidak tahu apa pun soal aku? Begitu juga aku tidak tahu apa pun soal kamu? Setidaknya kita menunjukkan pada keluarga kalau hubungan kita seperti suami istri pada umumnya,” ujar Zyan.“Minimal kamu tahu apa makanan kesukaanku, aku juga tahu makanan kesukaanmu,” imbuhnya.“Kalau begitu makanan kesukaan Pak Zyan apa?” tanya Zahra. Selama jadi sekretaris pria itu, menu makanan yang diinginkan oleh Zyan selalu berbeda. Tidak hanya itu-itu saja
Zahra menelan saliva begitu mendengar tantangan dari pria yang sudah menghalalkannya itu. Apalagi tatapan Zyan sangat tajam padanya. Sangat menusuk sanubarinya. “Buk—bukti apa, Pak?” Akhirnya dia bisa bersuara meskipun dengan terbata-bata.“Bukti kalau badanku lebih bagus dari Faisal,” jawab Zyan tanpa mengalihkan pandangan dari gadis yang duduk di hadapannya itu.Gadis yang mengenakan stelan blazer itu kembali menelan ludah. Zahra bingung kenapa Zyan sampai menganggap omongannya serius dan ingin membuktikannya. Apa itu berarti dia harus melihat Zyan bertelanjang dada seperti saat pria itu selesai mandi? Apa kabar jantungnya nanti? Bisa-bisa tidak sampai setahun dia sudah mati terkena serangan jantung karena setiap hari disuguhi pemandangan tubuh atletis suaminya. Sebagai wanita normal, siapa yang tidak tertarik melihat badan pria yang terbentuk dengan indah.“Memangnya Pak Zyan mau membuktikan dengan apa?” tanyanya kemudian.“Kamu harus melihat badanku dan menyentuhnya untuk membukti
Sama seperti istrinya, Zyan pun tak kalah terkejut. Namun pria itu lekas menguasai diri.“Itu kapan-kapan Zahra belinya sama Mama atau Saffa saja. Dia sudah keburu capek tadi.” Zyan beralasan seperti itu agar tidak mendapat amukan dari mamanya. Padahal aslinya dia tidak memikirkan hal tersebut, apalagi Zahra.“Gimana sih kok belinya malah sama mama atau Saffa? Yang akan melihat Zahra memakainya ‘kan kamu. Harusnya pergi sama kamu dong. Kamu pilih yang sesuai sama seleramu.” Tanggapan Rania sungguh di luar prediksi Zahra dan Zyan.“Ya, Ma. Kapan-kapan kami pergi ke mal lagi buat beli yang mama sebutkan tadi.” Zyan bahkan enggan menyebut pakaian yang tidak layak disebut pakaian karena bahannya yang transparan dan kalau dipakai menunjukkan apa yang ada di balik kainnya. Itu sama saja tidak berpakaian ‘kan? Pria itu tidak habis pikir kenapa ada pakaian seperti itu di dunia ini?“Kok kapan-kapan sih? Kalian itu pengantin baru, harusnya lebih bersemangat mencoba hal-hal baru. Mama yakin kam
Zahra menoleh pada pria yang duduk di ujung tempat tidur yang ada sebelah kirinya. “Kalau Pak Zyan saja tidak bisa menolak, apa saya bisa, Pak?” Gadis itu juga terlihat gelisah dan juga lelah. “Apa kita akan melakukannya?” Zyan pun menoleh pada sekretarisnya itu hingga pandangan mereka bertemu. “Melakukan apa, Pak?” tanya Zahra. Zyan mengerutkan kening. “Ya, bulan madu. Memangnya mau melakukan apa lagi?” “Oh,” sahut gadis berhijab itu. “Pasti kamu memikirkan hal lain ‘kan?” Tatapan Zyan jadi memicing pada Zahra. Sekretaris Zyan itu menggeleng berulang kali. “Demi Allah saya tidak memikirkan apa pun, Pak,” akunya. Badannya terlalu lelah, hingga otaknya pun sudah tidak bisa diajak berpikir. Inginnya hanya segera mandi dan tidur. Bahkan untuk membereskan tas belanja yang berjejer di lantai kamar saja rasanya malas sekali. Pria berparas tampan itu menatap lekat wajah wanita yang sudah dihalalkannya itu. Raut kelelahan memang tampak jelas. Badannya juga terlihat lesu. Namun itu tak m