Share

Berantem dan Bualan Kosong

Mentari duduk bersandar di kepala ranjang. Kakinya ia tekuk dan ia peluk. Ketukan di pintu kamarnya membuat Mentari menenggelamkan kepala di antara lututnya. Dia tidak ingin bertemu dengan Bian untuk saat ini. Lagipula, kenapa Bian ada di sini? Senja bilang pria itu masih ada pekerjaan di Malaysia dan akan kembali Minggu depan.

"Apa aku pergi sekarang aja?" Mentari menggumam pelan.

Rencananya memang akan tetap tinggal di sini selama Bian belum kembali. Lalu nanti, Mentari akan mencari rumah untuknya sendiri, atau kembali pada kedua orangtua angkatnya. Tapi kenapa semua jadi kacau begini?

"Mentari!" Seruan di depan pintu kamarnya membuat Mentari memejamkan mata semakin erat.

Di luar kamar, Bian menatap nanar pintu kamar tersebut. Kenapa Mentari tidak memberinya waktu untuk sekadar menyapa atau bahkan memeluk wanita itu? Apakah Mentari tidak merindukannya setelah sekian lama pergi dan tidak ada kabar?

"Bian, udah. Biarkan Mentari sendiri dulu. Kamu balik ke belakang," Genta yang baru saja keluar dari kamar bersama Senja menegur sang adik.

"Mas, aku butuh bicara sama Mentari. Dan, aku harus menjelaskan sesuatu yang sejak dulu belum sempat aku jelaskan."

Senja menoleh pada suaminya dan menilai ekspresi Genta. Apa ada yang mereka sembunyikan? Senja jelas sedikit bingung. Dan, kenapa Mentari juga menghindari Bian? Yang Senja tahu, cinta Mentari memang bertepuk sebelah tangan untuk adik Genta itu. Tapi, bukankah menghindar terlalu berlebihan?

"Mas Bian mau jelasin apa? Aku ketinggalan sesuatu?" tanya Senja.

Genta menghela napas dan menoleh pada sang istri. "Nanti Mas jelasin, sekarang kita ke belakang aja, ya, Mentari biar tenang dulu," ujar Genta lembut.

"Dan, Mas Bian juga balik tiba-tiba. Padahal pas Nisa telpon katanya gak bisa mau diusahakan kayak mana pun. Tetap baliknya Minggu depan. Sekarang malah udah di sini," ujar Senja pada Genta yang berjalan di sebelahnya menuju halaman belakang. Sementara Bian masih berdiri di depan pintu kamar Mentari.

"Iya. Tadi Bian nelpon Mas. Dia nanya, apa benar Mentari ada di rumah? Mas jawab iya, dan Bian gak bicara apa-apa lagi," balas Genta.

"Dia tahu dari mana Mentari di sini?"

Genta mengedikkan bahu tanda tidak tahu. Mereka bergabung bersama Hasna dan juga seorang wanita yang keduanya tahu sebagai sekretaris Bian di perusahaan.

"Udah lama, ya?" tanya Senja sambil duduk dibantu oleh Genta.

"Belum, Mbak," jawab wanita 25 tahun itu.

"Adek anteng, ya, duduk di atas Tante cantik," goda Senja.

Yessi hanya menyengir lebar. Sedangkan Hasna dan sekretaris Bian tertawa. "Aku baru tahu kalau Mbak Senja punya kembaran," ujar wanita tersebut.

"Loh? Udah ketemu, ya?" Kaget Senja.

"Sebentar, sih. Terus pergi lagi, dan Pak Bian ikutan pergi."

Senja semakin bingung. Kenapa Bian keras sekali ingin bicara dengan Mentari?

"Mirip, Mbak, sama-sama cantik," puji wanita bernama Daisy tersebut.

Senja tersenyum. "Bedanya di badan aja, ya, kan? Aku segede ini, Mentari selangsing itu," keluh Senja.

Genta dibuat geleng-geleng kepala mendengarnya.

"Bisa kok nanti habis lahiran bagus lagi badannya," sahut Hasna.

Senja menatap sebal suaminya yang kini mengelus perut buncitnya. "Gimana mau bagus lagi, Bu, aku mau diet malah dibikin hamil sama anak Ibu ini," kesal Senja.

Genta langsung terkekeh. Sedangkan Hasna dan Daisy tertawa geli. "Banyak anak banyak rejeki, Sayang," balas Genta.

"Yah, Bun, Om Bian sama Mami berantem, ya? Tadi Kakak lihat Om Bian masuk ke kamar Mami, terus Kakak dengar suara Om Bian bentak Mami," Yosi datang dengan napas terengah. Matanya juga berkaca-kaca.

***

Bian menatap dingin wanita yang masih saja diam di depannya. Walaupun perbuatannya ini terbilang kurang ajar karena masuk tanpa izin, tapi Bian tidak peduli. Dia butuh bicara dengan Mentari. Ada hal yang harus mereka luruskan.

"Setahun gak cukup?"

Mentari jelas mendengar nada bicara pria itu sangat berbeda dari setahun yang lalu. Tidak ada kehangatan di nada tersebut. Sangat asing. Dan Mentari membenci hal itu.

"Mentari, jawab aku. Kamu pergi selama itu, lalu kembali, dan sekarang malah menghindari aku? Kenapa?"

Mentari tetap diam. Bukankah diam lebih baik? Daripada memaksanya bicara dan tangisnya akan pecah. Mentari tidak mau dipandang lemah oleh pria ini.

"Mentari! Jawab aku!"

Mentari semakin mengeratkan pelukan di kedua kakinya. Suara Bian jelas sedang menahan amarah. Apalagi intonasi bicara pria itu lebih keras dan seperti membentak.

"Kamu bisu? Kamu tuli?!" Bian tidak tahan. Pria itu mendekat dan menarik lengan Mentari.

Mentari terpaksa mengangkat wajahnya membalas tatapan dingin Bian. Wajah wanita itu tidak menampilkan ekspresi apa pun selain datar menatap lawan bicaranya.

"Keluar."

Mentari menepis tangan Bian di lengannya. Wanita itu beranjak dan berlalu memasuki kamar mandi. Seketika emosi Bian naik ke ubun-ubun. Dengan kasar, pria itu meraih vas bunga di atas nakas dan membantingnya ke lantai.

Setelah satu tahun, Mentari akhirnya tahu sifat Bian yang gampang emosi dan menakutkan seperti ini. Sepertinya dia salah mencintai seorang pria.

Mentari sengaja berlama-lama di dalam kamar mandi untuk mengindari Bian. Dia berharap, saat keluar nanti, pria itu sudah pergi.

Dirasa waktunya sudah cukup lama, Mentari keluar. Tapi langkahnya berhenti seketika saat menatap Bian yang kini duduk di pinggir kasur menghadap ke arahnya. Mata pria itu tajam menatap Mentari.

"Keluar," usir Mentari dan berjalan ke arah lemari. Wanita itu mengambil koper miliknya, lalu memasukkan kembali beberapa barang yang sudah ia tata di dalam lemari.

"Sial!" Bian bangkit dan menarik lengan wanita itu. Sentakan Bian yang tiba-tiba membuat tubuh Mentari limbung dan jatuh ke atas ranjang.

Bian menindih tubuh Mentari. Napas pria itu memburu seiring dengan melembutnya tatapan matanya pada Mentari.

Mentari terdiam. Serangan mendadak membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Ada apa dengan Bian? Bukankah pria itu yang dulu menolaknya dan menjauhi dirinya hanya karena rahasia Mentari tentang perasaannya terungkap begitu saja?

"Kalau kamu pikir aku masih ada perasaan sama kamu, tenang aja, kamu gak usah takut, aku udah ninggalin perasaan sialan itu di tempat yang jauh."

Rahang Bian seketika mengeras mendengar ucapan wanita di bawahnya. "Lalu kenapa kamu menghindar?" tanya Bian dengan dingin.

Mentari tertawa. "Daripada melihat tatapan menjijikkan dari mata kamu, bukannya lebih baik aku sadar diri?"

Bian terdiam. Dia tidak tahu, sudah sejauh apa wanita itu salah paham akan dirinya.

"Benar. Seharusnya memang begitu. Aku yang bodoh, percaya sama perasaan sialan kamu itu. Padahal hanya bualan kosong!"

Hati Mentari seperti ditikam berulang kali. Apa perasaannya sebercanda itu di mata Bian? Apakah menyakitinya dengan penolakan waktu itu masih belum cukup?

"Di mana anak itu?"

Mentari diam. Ditatapnya mata tajam Bian dengan pandangan kosong. Anak? Mentari melupakan hal tersebut. Tanpa sadar, matanya berair dan menetes begitu saja.

Bian menatap semua hal tersebut. Hatinya tiba-tiba sakit. Apa...

"Aku membunuhnya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status