Share

Past That Never Pass It By

Mr. Thompson menyodorkan sebuah kartu nama pada Abigail. Dengan cepat gadis itu meraihnya dari meja dan membaca barisan huruf yang tertulis di sana. Alice Denver, merupakan detektif yang direkomendasikan oleh Mr. Thompson untuk menyelidiki dan mencari keberadaan adik Abigail.

Beberapa saat Abigail terdiam, menimbang-nimbang keputusan darinya apakah akan menyewa Alice atau tetap menyerahkan semua pada Mr. Thompson. Sejauh ini ia tidak mengalami masalah dengan pria itu. Namun, justru pria itu sendiri yang menyarankan untuk memakai jasa lain agar kasus tidak tercampur.

Terlebih, Abigail masih mampu membayar bahkan ratusan detektif sekali pun. Ia hanya mempertimbangkan, dengan adanya pihak lain yang ia gerakkan, itu berarti latar belakang keluarganya akan diketahui lebih banyak orang. Dan ia tak ingin itu terjadi.

“Ia sangat kompeten dan bisa dipercaya, jika itu yang menjadi pertimbanganmu, Nona Genovhia.” Mr. Thompson berusaha meyakinkan Abigail untuk segera membuat keputusan.

Gadis itu terdiam sejenak. Tak ada salahnya jika ia memperkerjakan orang lain agar masalah ini dapat lebih cepat terselesaikan. Terlebih, ini mengenai nyawa adiknya, ia harus segera menemukannya.

“Baiklah. Minta detektif Denver untuk datang ke kantorku dan membicarakan semua di sana. Terima kasih banyak atas bantuanmu Mr. Thompson, aku berharap kau masih setuju untuk kurepotkan lagi,” ujar Abigail, menyerahkan amplop coklat berisi selembar cek.

“Aku masih di sini, Nona Genovhia. Tugas darimu masih belum tuntas. Kau bisa meminta apa pun. Jika kau membutuhkan sesuatu, kau tahu di mana bisa menemukanku. Aku permisi.”

Pria berjas coklat itu kemudian meninggalkan Abigail di restaurant. Gadis itu masih tepekur menatap berkas dari Mr. Thompson serta kartu nama Alice Denver di sampingnya. Ia menghela nafas berat, berharap Alice Denver bisa menemukan jejak keberadaan adik kandungnya.

***

Seorang gadis dengan penampilan layaknya berandal berdiri di seberang meja, dengan balutan jaket biker hitam serta potongan rambut panjang dengan potongan side-shave. Benar-benar lebih mirip seorang bandar narkotik dibanding Detektif. Ia tak kunjung merebahkan bokongnya meski Abigail telah mempersilahkannya.

“Tenang saja, Nona Denver, aku tidak memasang paku di kursi itu. Duduklah,” ucap Abigail, membolak-balik berkas di tangannya. Gadis itu akhirnya maju perlahan dan duduk dengan perasaan ragu.

Abigail mengangkat wajah, menelisik gadis di depannya. Bagus juga apa yang dikenakan gadis itu. Abigail tak perlu bersusah payah memintanya untuk memanipulasi penampilan, meski bisa saja apa yang tampak di hadapannya kini adalah penampilan asli gadis itu.

“Sudah berapa lama kau bekerja di bidang ini?” tanya Abigail, memulai pembicaraan. Ia bukan bermaksud mewawancarai gadis itu, hanya ingin memastikan bahwa data tentang dirinya berada di tangan yang benar.

Gadis itu melepaskan kacamata hitamnya, menyelipkan di saku jaket kulitnya.

“Hmm ... kurang lebih sepuluh tahun. Kau tidak perlu mencemaskan data-data yang akan kau berikan, Nona Genovhia. Aku pastikan semua aman,” ujarnya, tenang.

Alice bersandar dan melipat kakinya, ia tidak merasa terintimidasi sama sekali oleh karakter Abigail, berbeda dengan Mr. Thompson yang sesekali berubah gugup di hadapan Abigail.

Abigail mengangguk paham dan percaya pada apa yang disampaikan dan dijanjikan oleh gadis itu. Ia kemudian menyerahkan sebuah map pada Alice. Gadis itu membuka lembar demi lembar sembari menganalisa perlahan apa saja yang tertulis di sana.

“Tunggu, Nyonya Anderson sudah dirawat di sana sejak putrinya berusia dua belas tahun, bukan? Apakah mungkin bayi itu tumbuh bersamanya di rumah sakit jiwa?” tanya Alice, mengerutkan kening.

“Aku pun mempertanyakan hal yang sama. Hanya saja, ketika terakhir kali mengunjunginya, aku tidak menemukan anak itu. Ia mungkin sekarang berusia delapan belas tahun atau lebih muda, entahlah.”

Alice mengangguk-angguk, kembali fokus pada identitas tertulis yang diberikan Abigail padanya. Data yang ada di sana sangat lengkap dan detail, ia yakin akan bisa menemukan keberadaan adik Abigail. Namun, butuh waktu jika pihak rumah sakit jiwa tidak berkenan untuk memberi informasi.

“Uhm, Nona Denver—”

“Panggil Alice saja. Aku tidak suka terlalu formal,” jawab Alice, masih memaku fokusnya pada lembaran di hadapannya.

“Baik, Alice ... aku mohon jangan ada seorang pun yang mengetahui tentang informasi ini. Karena ini sangat penting.”

“Kalau boleh tahu ... apa hubunganmu dengan keluarga Anderson?” tanya Alice, penasaran. Baru kali ini ia bertemu seorang yang begitu peduli terhadap orang lain. Ataukah memang Abigail memiliki niat tersembunyi seperti yang ia pikiran?

“Mereka ... dulu banyak berjasa pada ayahku. Kami ingin berterima kasih, tetapi tidak berhasil menemukan jejak mereka. Bahkan, anak perempuan mereka pun tak bisa ditemukan.”

Abigail berusaha menekan emosinya agar terlihat tenang menceritakan tujuannya pada Alice. Kecurigaan Alice perlahan sirna.

“Jika kau mau, aku bisa sekalian melacak keberadaan Abby Anderson. By the way, nama putri James Anderson mirip denganmu. Sesaat aku sempat mencurigaimu sebagai Abby, tetapi ciri fisikmu sangat jauh dari Abby.” Gadis itu terlihat menelisik bahkan hingga ke manik mata Abigail. Memastikan Abigail memang sosok lain, bukan orang yang baru saja ia bicarakan.

Abigail mendengkus dengan senyum terulas di wajahnya, “Tak mungkin aku seperti gadis itu, Alice. Dia gadis yang baik, sementara aku ....” Abigail menggeleng. Ia berusaha menyembunyikan perubahan air mukanya.

Ia kini berhadapan dengan seorang detektif, bisa saja mimik muka sesamar apa pun terbaca oleh Alice.

“Ya, tentu saja kalian berbeda. Baiklah ... aku akan mengabarimu jika menemukan sesuatu. Dan ... kau bisa percaya padaku, semua akan aman.”

“Terima kasih, Alice, kau boleh pergi.”

Gadis itu mengangguk kemudian bangkit dan angkat kaki dari ruangan Abigail.

***

Alice berjalan mantap di sepanjang lorong pusat rehabilitasi kejiwaan Mount Avery, suara ketukan hak sepatunya beradu dengan keramik putih, menimbulkan irama yang teratur. Matanya mengedar ke kanan dan kiri, terdapat taman rumput yang hijau, terlihat olehnya beberapa pasien berada di sana.

Kondisi mereka terlihat baik dan stabil, tidak seperti orang dengan gangguan jiwa. Mereka tampak sangat normal. Kecuali seorang wanita yang tampak terdiam menatap kosong rerumputan yang terbentang di hadapannya.

Alice menghentikan langkah tepat di tempatnya saat ini. Memaku pandangan pada wanita yang kecantikannya seolah tak terkikis usia. Masih secantik yang ia ingat.

Seorang dokter berhenti di sampingnya, memandang ke arah yang sama dengan Alice.

“Apakah kau keluarganya?” tanya dokter tampan itu. Alice menoleh padanya, senyum tersungging di sudut bibir yang terpoles lipstick berwarna maroon.

“Tidak. Namun, aku mengenal salah seorang keluarganya. Lebih tepatnya seorang penggemar keluarga mereka. Oh, apakah aku boleh mengobrol dengannya?” tanya Alice, menunjuk ke arah Selena, wanita yang hanya diam memandang rerumputan.

“Silakan ... ia sudah berada dalam kondisi yang stabil sejak melahirkan delapan belas tahun lalu. Kau bisa menemuinya. Oh, iya ... setelah itu bisakah kau ke ruanganku?” tanya Dokter itu pada Alice. Alice mengangguk, mengiyakan.

Dokter itu hendak berbalik saat Alice kembali memanggilnya.

“Kau Dokter ....”

“Gregory. Jude Gregory.”

Alice mengangguk lagi, kemudian mereka sama-sama berbalik dan menuju ke arah berbeda.

***

Alice berjongkok di hadapan Selena yang bergeming menatap ke depan. Jemarinya memilin kain bajunya yang terlihat sedikit lusuh.

“Hai, Selena ...,” sapa Alice. Wanita itu tidak merespon.

Ia hanya berkedip sesekali, kemudian terdiam untuk sesaat seolah berusaha mengenali suara yang mengajaknya berbicara. Setelah memastikan, tak mengenali pemilik suara itu, ia kembali memilin kain bajunya.

“Kau mungkin tak mengenalku, tetapi aku sangat mengenalmu. Aku hanya ingin mengatakan, aku berjanji akan menemukan bayimu. Kau tak perlu risau. Kau harus membaik, agar kalian bisa bertemu dalam kondisi yang baik pula.” Gadis itu tersenyum dengan mata berembun.

Jemari Selena yang semula memilin perlahan, tiba-tiba mengepal. Alice menyadari perubahan yang terjadi pada wanita itu, kemudian mengangkat wajah demi melihat ekspresi wanita itu. Ada kilat kemarahan di matanya. Ia seolah tahu di mana keberadaan bayinya, tetapi tak mampu mengatakan sesuatu.

“Selena, apa kau ingin mengatakan sesuatu?” tanya Alice, memancing reaksi Selena. Wanita itu semakin terlihat emosi. Dadanya terlihat naik turun, nafasnya terdengar lebih berat dan menderu.

“Selena, apakah kau baik-baik saja?” tanya Alice, lagi.

Kali ini Selena mulai lepas kendali. Ia berteriak dan meracau mengucapkan kaimat yang tak mampu dipahami oleh Alice. Sesekali ia menggumamkan nama Abby, di waktu lain ia menggumamkan kalimat ‘suamiku seorang pembohong’. Alice merasa trenyuh melihat kondisi Selena.

Beberapa dokter dan perawat berlari menghampiri mereka, membantu menenangkan Selena yang mulai tak terkendali. Alice yang semula tenang berubah panik. Beruntung seseorang menariknya menjauh dari kumpulan tim medis yang menangani Selena.

Pria itu, Dokter Gregory, berhasil membawa Alice menjauh dari sana.

Berikutnya, Alice sudah duduk berhadapan dengan Dokter Gregory. Pria itu menatap wajah Alice, terlihat sebuah goresan di sana. Ia membuka laci di samping mejanya, mengambil selembar plester luka dan cotton bud medis. Mengobati luka bekas cakar yang terlihat cukup dalam, kemudian menutupnya dengan plester.

“Lain kali jangan terlalu dekat dengan pasien, kau bisa membahayakan nyawamu sendiri.” Dokter Gregory memandang gadis yang masih terlihat sedikit terguncang akan kejadian yang baru saja menimpanya.

“Dia tidak berbahaya, Dok ... dia hanya ....”

Dokter Gregory mendesah, “Dia masih dalam masa Observasi, Nona ....”

“Panggil Alice saja.”

“Oke, Selena sedang dalam masa observasi, tidak ada yang bisa menjamin ia tidak bereaksi ketika ada sesuatu yang membuatnya terpancing. Terlebih, orang-orang seperti mereka sungguh sangat cerdik dan cerdas. Kita tak pernah tahu di mana mereka menyembunyikan senjata dan siap menyerang kapan pun.”

“Aku hanya ....” Alice tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia seolah bisa merasakan sebesar apa guncangan yang dahulu menyerang wanita itu hingga ia menjadi seperti sekarang.

“Dokter Gregory, ada hal lain yang ingin kutanyakan,” ucap Alice, kemudian.

Alice kali ini sudah siap untuk mengatakan tujuan kedatangannya ke rumah sakit, ia berharap mendapatkan sesuatu kali ini.

“Tanyakanlah, Alice, aku akan menjawabnya dengan kooperatif.”

“Bagus. Begini, setahuku Selena sedang mengandung saat masuk ke rumah sakit ini ... kira-kira delapan belas tahun lalu, seperti yang tadi kau katakan. Apakah kau tahu di mana bayi Selena? Apakah ia masih berada di tempat ini?” tanya Alice, tanpa ragu.

Meski terkesan gegabah, ia tak bisa menahan rasa ingin tahunya setelah mengalami hal mengejutkan beberapa menit lalu.

Dokter Gregory terlihat berusaha mengingat sesuatu.

“Sesungguhnya aku tidak bisa memberi informasi yang lengkap tentang hal itu, karena aku baru sepuluh tahun berada di sini. Namun, dari yang kutahu, jika pasien melahirkan bayi sementara mereka tidak memiliki sanak keluarga, maka kewajiban rumah sakit adalah menyerahkan bayi kepada dinas sosial.”

Alice terhenyak mendengar jawaban Gregory. Bukankah James Anderson memiliki seorang adik bernama Alex? Tentu ia mengetahui sedikit banyak tentang keluarga Anderson, siapa yang tak kenal? Salah satu keluarga miliarder yang menguasai pasar bisnis dan memiliki kekayaan tujuh turunan.

Mulai dari kakek hingga keturunannya adalah seorang pebisnis. Jika saja Abby Anderson masih ada, ia pasti sekarang sudah mengikuti jejak ayahnya.

“Mengapa mereka tidak mencoba mencari keluarga Selena atau James?” tanya Alice, mulai terdengar sentimental. “Mereka bukan keluarga sebatang kara. Dari yang kutahu, ada seorang adik James yang cukup dekat dengan mereka, dan kalau tak salah, Selena memiliki ayah dan ibu di Saint Carlo.”

“Entahlah ... andai aku ada di sini saat kejadian itu, aku akan lakukan seperti yang kau katakan. Namun, sayang, hanya itu yang kuketahui.”

Alice menghela nafas, tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain melanjutkan penyelidikan sesuai petunjuk kecil yang ia dapat. Meski harus menyisir wilayah Mount Avery hingga berhasil mendapat informasi baru, akan ia lakukan. Ia harus berhasil menemukan anak kedua James.

Alice lakukan ini bukan hanya karena perintah Abigail, melainkan juga karena mengagumi keluarga Anderson. Ia kembali mengingat kenangan masa lalu yang diceritakan orang tuanya tentang keluarga itu. Kenangan yang tak akan pernah ia lupakan, dan membuat takdir menuntunnya hingga ke hadapan Abigail.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status