Hari Minggu terasa lambat berlalu bagi Abigail. Ia merasa bosan hanya berdiam di rumah tanpa kawan. Sejak dulu ia memang menghindari pertemanan dengan siapa pun. Ia tak ingin citra yang telah ia bentuk sejak awal akaan sirna, karena ada orang terdekat yang mengenali dirinya yang sesungguhnya.
Itulah sebabnya Abigail lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah atau kampus. hanya sendiri dan tenggelam dalam bacaan di hadapannya. Dan itulah yang dikenal orang darinya, seorang kutu buku yang dingin dan tertutup.
Namun, di usianya yang sudah menginjak kepala tiga, ia mulai merasa hidupnya membosankan. Ia teringat masa kecilnya, memiliki seorang teman pria, satu-satunya yang dapat ia percaya. Sayang, pertemanan mereka hanya sebentar karena berikutnya yang ia tahu, pria itu sudah tidak lagi berada di Estern Shore, kota asal mereka.
Ia lalu kembali teringat pada Zachary, juga rencana makan malam yang terpaksa dibatalkan karena kedatangan kekasihnya. Sangat disayangkan, seharusnya sore ini mereka sudah berbincang tentang apa pun, atau bahkan lebih dari itu.
Namun, semua berantakan karena kedatangan gadis itu.
Abigail mengambil ponsel kemudian menekan beberapa nomor yang ia hafalkan luar kepala. Suara wanita di seberang, terdengar ceria menjawab panggilannya.
"Halo, sayang ... tumben sekali kau menelepon bibimu ini di hari minggu. Apakah kau sedang kesepian?" tanya Alona. Abigail terkekeh mendengar celoteh bibinya.
"Apa Bibi sedang bercanda? Aku selalu menghubungi kalian setiap hari libur, bukan? Hanya saja, memang hari ini aku melakukannya terlalu sore, ada hal penting yang harus kulakukan. Aku sangat merindukan kalian. Di mana Paman Alex?"
"Seperti biasa, ia mencari kesibukan agar tidak terlalu merindukan anak angkatnya ini. Apakah kau tidak berkencan? Pergilah berkencan agar kau lebih cepat menikah. Ingat berapa usiamu sekarang," goda Alona yang membuat Abigail mencebik.
"Bibi mulai lagi. Aku sudah mengatakan pada kalian kalau aku belum menemukan pria yang tepat. Mengapa kalian tidak menjodohkanku saja jika memang ingin aku segera menikah?" jawab Abigail memberengut. Alona justru tertawa.
"Tidak, sayang ... kami ingin kau menikah dengan pria mana pun atas dasar cinta," ucap Alona lirih, tetapi masih bisa didengar oleh Abigail. "Apa pun dan siapa pun yang bisa membuatmu bahagia, kami akan mendukungnya."
Abigail tersenyum penuh rasa haru. Sejak dulu Alona dan Alex memang selalu mendukung apa pun yang menjadi pilihannya. Ia ingin membahagiakan kedua orang tua angkatnya itu, tetapi masih banyak hal yang harus ia lakukan sebelum memikirkan tentang pernikahan.
Balas dendam. Memang, itulah yang menjadi fokus utamanya saat ini. Mangsa sudah dapat dikenali, ia pun telah mempersiapkan perangkap, tinggal menunggu saat yang tepat untuk memasangnya lalu memastikan mangsa masuk di dalamnya.
Bicara tentang mangsa, apa yang sedang dilakukan mangsanya saat ini? Ia merasa tak rela Zachary terlalu lama menghabiskan waktu dengan kekasihnya. Ia harus membuat pria itu memaksa Sidney untuk kembali ke mana pun tempaat asal gadis itu, ia tak perduli.
Ia tak ingin ada seorang pun yang mengacaukan rencananya. Terlebih Sidney sepertinya gadis yang dominan dan terlalu berkuasa atas diri Zachary. Itu terdengar tidak bagus untuk rencana Abigail.
Setelah mengakhiri panggilan dengan Alona, Abigail kembali melakukan panggilan. Kali ini ia nekat menghubungi Zachary. Persetan dengan siapa dan sedang apa ia sekarang, bila perlu Abigail akan mendatangi apartemen pria itu untuk mengacaukan ia dan kekasihnya.
"Halo," sapa seseorang di seberang. Bukan Zachary, melainkan suara perempuan.
"Halo, apakah aku bisa bicara dengan Zac?" tanya Abigail, sengaja memanggil Zachary dengan nama panggilaannya agar sang kekasih merasa cemburu.
Bila perlu, Abigail akan membuat gadis itu mengakhiri hubungan hari ini juga. Namun sayang, gadis itu menjawab dengan suara yang terdengar sangat tenang.
"Oh, tunggu sebentar. Zac, sayang ... ada temanmu menghubungi ...!" teriaknya, seolah Zachary berada jauh darinya.
Tak berapa lama, suara Zachary yang terdengar di seberang, menyapa Abigail dengan suara bariton yang menggetarkan hatti setiap ia mendengarnya. Andai ia tidak ingat tujuannya mendekati Zachary, ia mungkin akan dengan mudah jatuh pada pria itu.
"Hai, Abigail ... ada apa?"
Abigail? Oh, ia memanggil gadis itu dengan nama begitu saja, tidak memanggilnya 'Abby' seperti biasa.
"Uhm, hai ... kupikir kau sedang sibuk, apakah aku mengganggu waktumu?" tanya Abigail.
Zachary menoleh pada kekasihnya yang terlihat sedaang menggulir layar ponselnya, kemudian menjawab pertanyaan Abigail.
"Tidak, tentu saja. Apakah ada yang ingin kau bicarakan?" tanya pria itu, terdengar tak ingin berbasa-basi. Berbeda dengan Zachary beberapa hari sebelumnya, hangat dan sangat brsahabat.
Abigail mulai sadar ada yang tidak beres. Entah karena keberadaan kekasih pria itu, ataukah memang Zachary sedang melakukan kesibukan lain dan merasa terganggu dengan panggilan darinya.
"Tidak. Aku hanya memastikan kau baik-baik saja. Tak ada kabar darimu membuatku risau, terlebih janji kita yang terpaksa kau batalkan. Kupikir bisa kita atur kembali."
"Ah, itu ... itu bisa kita bicarakan kembali lain waktu."
Dingin ... itu yang dirasakan Abigail seketika. Apakah memang pria itu memiliki kepribadian ganda, hingga sikapnya kali ini berbeda di saat bersama dirinya beberapa hari lalu? Karena memang meski terbilang jarang, setidaknya Zachary akan menelefon atau sekedar mengirimkan chat padanya sekali dalam sehari.
Hari ini, ia sama sekali tidak memberi kabar apa pun, setidaknya membahas tentang makan malam yang ia batalkan. Atau jika memang bagi Zachary dirinya benar-benar teman, bukankah seharusnya ia menceritakan bagaimana perasaannya ketika Sidney datang?
Mendengar perkataan Zachary, Abigail mengatupkan bibir, menahan keinginan untuk menumpahkan berbagai kalimat yang tak seharusnya. Tidak, ini bukan saatnya. Jika kekesalan dan perasaannya sampai ia utarakan, hancurlah rencananya.
Abigail mengembuskan nafas sangat perlahan agar tak terdengar oleh Zachary yang masih berada di seberang, Ia tak tahu apa saja yang sedang dilakukan pria itu. Lebih tepatnya tak ingin tahu. Namun, bisa dikatakan ia terkejut atas sikap Zachary yang berubah 180 derajat terhadapnya.
"Baiklah kalau begitu, setidaknya aku tahu kau masih berada di belahan bumi yang sama denganku."
Bahkan, tanpa salam penutup, Zachary mengakhiri panggilan. Membuat Abigail merasa kesal. Dadanya naik turun karena emosi yang terkumpul di sana. Tangannya mengepal erat hingga kuku-kuku yang berhias cat berwarna violet itu menancap pada telapaknya.
"Well, Zachary ... sepertinya kau memilih permainan yang salah ...," geramnya.
I menghela nafas beberapa kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Apa yang terjadi hari ini benar-benar merusak suasana hatinya. Ia harus melakukan sesuatu untuk mengembalikannya menjadi lebih baik.
Abigail bangkit dari tempatnya, kemudian mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas nakas. Ia akan berjalan-jalan sebentar, entah ke mana. Ia butuh udara segar untuk menetralkan energi ngatif yang baru saja mengotori pikirannya. Lupakan sejenak tentang Zachary, saat ini adalah waktu untuk dirinya sendri.
***
Zachary mematikan telefon, karena panggilan dari kekasihnya baginya jauh lebih penting. Sesungguhnya ia tak ingin terlalu dekat dengan siapa pun, terlebih Abigail. Gadis itu berpotensi membuat hubungannya dan Sidney menjadi berantakan.
Ia mencintai Sidney, itu jelas, meski pesona Abigail seringkali memikat dan membuatnya lupa sesaat pada kekasihnya. Kali ini, Sidney sudah ada di depan matanya, ia tak bisa begitu saja terlihat atau membiarkan dirinya dekat dengan seseorang.
Kedekatannya dengan Abigail hanya diawali sebagai rival, kalaupun kemudian ada hubungan lain di sana, haruslah hanya sebatas teman. Teman biasa, tidak lebih.
"Sayang, apakah kau melihat pemerah bibirku?" tanya Sidney, yang kini sedang memasang anting-anting. Ia telah siap dengan balutan gaun malam yang menampakkan lekuk tubuh indahnya.
"Memangnya di mana terakhir kali kau menyimpan benda itu?"
"Entahlah ... sepertinya aku sudah meletakkan kembali di tempat ini." Kali ini ia membongkar kotak make up, mencari lipstik kesayangannya.
Zachary yang masih berbalut handuk di pinggang menghampiri Sidney, kemudian merangkul pinggulnya dan menarik gadis itu mendekat.
"Pakailah apa pun, kau akan tetap cantik," ucapnya, kemudian membelai pipi kekasihnya.
Sidney menyunggingkan senyum, tersipu, "Apakah kau tidak bosan selalu mengatakan hal yang sama setiap saat?"
Zachary menggeleng. Ia kemudian memagut bibir ranum milik gadis dalam rengkuhannya.
"Aku tidak akan pernah bosan denganmu, sampai kapan pun," jawabnya mantap, menatap ke dalam iris mata kelabu milik gadis di hadapannya.
"Baiklah, aku akan bersiap. Tak ingin membuat wanitaku yang cantik ini menunggu terlalu lama," imbuhnya, sebelum kembali mengecup bibir Sidney sejenak, kemudian beranjak dan bersiap untuk kencan mereka.
***
Belum pukul lima bahkan, tetapi Zachary sudah berada di ruangan Abigail sekarang. Duduk dengan manis memerhatikan gadis yang akan segera menjadi kekasihnya itu kini tengah bergulat dengan setumpuk berkas. Belum lagi beberapa map yang dibawa oleh Zachary sore ini.“Seriously, you gonna be killing me, Zac! Berkas ini … file bulan lalu, kan? Mengapa baru diserahkan hari ini?” tanya Abigail, sembari menatap pria di hadapannya dengan sorot tajam.“Sidney yang menyimpannya. Kupikir ia telah menyerahkan padamu. Sepertinya ia memang tak ingin jika aku bertemu denganmu, karena itu ia menyembunyikan file itu,” terang pria itu, berharap mendapat pemakluman dari gadis di hadapannya“Hmm … gadis itu cukup berbahaya, rupanya. Aku jadi takut.”Zachary bangkit dari tempatnya, menuju ke tempat di mana Abigail duduk, ia kemudian berjongkok dan meraih jemari gadis itu untuk diremasnya lembut.“Sekarang ia tak akan ada di sekeliling kita lagi, Abby. Sekarang hanya ada aku dan kau.”“Ke mana lainnya?” tan
Abigail duduk di depan meja kerjanya, menghadap pada tumpukan berkas dan laptop yang masih menyala. Kemarin ia tak langsung datang pada Zachary meski demi mengabarkan tentang berakhirnya hubungan dirinya dan Ashton. Seperti yang selalu ia katakan, ia hanya ingin melampiaskan dendnya pada keluarga Emerson, jadi apa pun yang terjadi pada Zachary, tak akan pernah penting bagi gadis itu. Satu pria yang dicintai Abigail, hanyalah Ashton. Ia tak pernah memikirkan pria lain. Meski terkadang ada desir aneh muncul di hatinya setiap memikirkan Zachary, dengan cepat ia singkirkan semua itu. Zachary hanyalah sarana. Meski mungkinnia tak bersalah, tetapi tetap saja salah ketika ia terlahir dari keluarga Emerson. Terlebih ia merupakan putra dari Garry Emerson, pria yang telah menghancurkan keluarganya juga kebahagiaannya. Pria yang telah membuat dirinya dan Gin menjadi yatim piatu, memisahkan dirinya dan Gin sekian lama. Ia tak mungkin bisa memaafkan sikap pria itu dan apa yang telah ia lakuka
Abigail berlari sekuat yang ia mampu demi mengejar Ashton yang mungkin saja sudah naik ke pesawat. Ia masih berharap pria itu sedang menanti di lounge, menunggu kedatangannya setidaknya untuk sekedar ciuman selamat tinggal. Namun, ketika tiba di bandara, ia hanya mendulang kekecewaan lantaran tak menemukan Ashton di mana pun. Ia nyaris meninggalkan bandara saat kemudian peia itu berdiri tepat di hadapannya. "Abby-bear ... apa yang kau lakukan di sini?a apakah kau ingin ikut—" Abigail menggeleng cepat. "Uhm ... tidak. Ya, sebenarnya aku sangat ingin ikut bersamamu, Ash. Namun, kau tahu, kan kalau aku masih memiliki tanggung jawab atas apa yang telah kumulai?" "Kau benar." Ashton mengangguk sembari mengulas senyum pedih. Ini sungguh perpisahan terpahit yang pernah ia rasakan. Ia tak menyangka jika dirinya harus berakhir sendiri lagi, meninggalkan Abigail dengan mimpi yang tak pernah terwujud. Mimpinya untuk menikahi satu-satunya wanita yang ia cintai di dunia ini setelah ibunya. Ki
Abigail tengah menikmati sarapan bersama Gin, saat terdengar suara bel. Salah seorang asisten rumah tangga tergopoh membuka pintu dan disusul suara langkah kaki mendekat, serta kehadiran seorang pria berambut sewarna tembaga. Sorot matanya tampak cerah dan bersinar seketika tatkala menemukan gadis tercintanya yang tengah meneguk jus di tangannya. "Hey, Zac. Kemarilah, bergabung bersama kami." Abigail membuka piring di atas meja tepat di sampingnya, kemudian salah seorang pelayan menuangkan jus ke dalam gelasnya, lalu menyajikan sepiesi pancake. "Apa hang membawamu kemari sepagi ini?" tanya Abigail, setelah Zachary mulai menikmati sarapannya. "Oh, maaf ... habiskan dulu sarapanmu, kita bicara nanti." Abigail mengulas senyum, yang sesungguhnya tak ingin ia sunggingkan. Bagaimana tidak, dirinya tengah patah hati karena kepergian Ashton, dan sekarang harus beramah tamah dengan pria yang merupakan sasaran dari misinya, sungguh itu membuatnya hak bers
Ashton terenyak kala mendengar apa yang baru saja diucapkan kekasihnya. Ia beringsut bangkit dan duduk menghadap pada Abigail yang duduk bersandar pada tepian ranjang. "Kau tidak serius mengatakan itu, kan, Abby?" tanya pria itu lagi, berusaha meyakinkan diri bahwa Abigail saat ini mungkin tengah mengerjainya, seperti apa yang biasa dilakukan gadis itu. Namun, tak ada jawaban dari Abigail, ia tetap bergeming dengan ekspresi penuh kesedihan. "Maafkan aku, Ash. Aku tak ingin kita mengakhiri hubungan ini. Kau tahu, aku hanya ... maukah kau mendengarkanku dulu?" Abigail membenarkan selimut yang menutupi dadanya, kemudian meraih jemari kekasihnya, kemudian mengecupnya. "Masih ada beberapa hal yang harus kulakukan, Ash. Demi kedua orang tuaku dan adikku." Ashton mengerutkan dahinya kala mendengar perkataan Abigail. "Apa itu? Mungkin aku bisa membantumu, agar segalanya bisa lebih cepat selesai, dan kita bisa segera menikah." Gadis itu menggeleng.
Sidney membelalakkan maniknya kala mendengar kalimat yang dengan ringannya diloloskan oleh Zachary. Ia tak menyangka bahwa kisah cintanya harus berakhir begitu menyedihkan. Sbeelumnya, belum pernah ada yang mencampakkannya seperti ini. Ia termasuk wanita paling didambakan oleh beberapa pria di kampus bahkan di dunia bisnis. Mungkin. Sampai akhirnya Zachary, dan beberapa pria mengetahui kualitas Abigail yang jelas tak hanya mengandalkan kecantikan luar saja, melainkan juga kecerdasan yang berhasil membuat pria sekelas Zachary dan Ashton bisa begitu bertekuk lutut. Itu salah satunya yang membuat Sidney sangat tidak menyukai gadis itu. Ia hampir saja mengetahui banyak hal mengenai kisah hidup Abigail, jika tidak dihalangi oleh seorang pria dan wanita misterius yang ia tidak ketahui. Tepat saat dirinya datang berkunjung ke unit rehabilitasi kejiwaan di mana Selena dirawat. Salah seorang perawat bersedia memberi keterangan mengenai Abigail, tetapi seorang pria yang tidak ia kenali memin