Abigail dan pria berkumis tebal dengan jas kulit berwarna coklat membungkus tubuhnya, kini tengah duduk di tempat yang sama seperti beberapa waktu sebelumnya. Mereka memutuskan untuk bertemu setiap dua minggu sekali untuk menyetorkan informasi yang ia dapatkan kepada Abigail.
Terlebih setelah kekalahan Abigail dalam perang bisnis beberapa waktu lalu, Mr. Thompson kebetulan mengikuti juga perkembangan berita tersebut, membuatnya tak sabar untuk menyampaikan hasil investigasinya. Senyum terulas di sisi wajah Abigail. Lipstik merah menyala yang terpoles di bibirnya menambah kesan dominan dan mungkin antagonis bagi sebagian besar orang yang tidak mengetahui latar belakang gadis itu. Informasi yang ia dapat dari Mr. Thompson cukup sebagai penunjuk arah baginya. Hanya tinggal menyusun rencana untuk langkah selanjutnya. Sepeninggal Mr. Thompson, Abigail mengambil ponsel, kemudian menekan nomor pria itu dan menunggu jawaban dari seberang. Ia membenarkan duduk, melipat kaki dengan anggun. Segala gerak-geriknya menarik perhatian beberapa pasang mata yang berada di ruangan itu. Memandangnya tak berkedip. “Hai, Zac, aku hanya ingin mengabarkan kalau aku menerima undanganmu ....” “Hmm ... tunggu, kau memanggilku apa tadi? Kurasa aku menyukainya,” kelakar Zachary. “Ayolah ... jangan menggodaku,” ucap Abigail, tersipu. Kali ini ia benar-benar tersipu. Namun, dengan cepat ia tepis perasaan yang sesaat muncul mengganggu fokusnya. “Maaf, maaf, aku hanya senang melihat wajahmu yang memerah. Baiklah, aku akan merapikan rumahku agar tidak memalukan saat kedatangan tamu istimewa.” Abigail menutup pembicaraan dengan tawa singkat, kemudian beranjak dari tempatnya untuk bersiap memenuhi undangan Zachary. *** Zachary membuka pintu saat terdengar suara bel pintu dan menemukan Abigail berdiri dengan cocktail dress dan sebotol sampanye di tangannya. Senyum terulas di wajah Zachary ketika matanya bertemu manik mata biru milik gadis di hadapannya. Ia mengecup pipi Abigail kemudian mempersilahkannya masuk. Membiarkan gadis itu memindai seisi ruangan dan berkeliling sementara dirinya menyulut lilin yang tertata di meja makan. Perlahan Abigail melangkah mendekat pada Zachary yang sedang sibuk mempersiapkan segalanya. “Hmm ... kau menyiapkan semua ini sendiri?” tanya Abigail, yang dibalas tawa pria pemilik lesung pipi yang berdiri di sampingnya. “Apa kau yakin aku pria yang biasa menyiapkan segalanya sendiri, Abby? Tentu tidak. Pelayan yang melakukan semua ini.” Abigail menatap pria itu dengan sebelah alis terangkat. “Kenapa wajahmu seperti itu? Maaf jika tidak bisa mengesankanmu di makan malam pertama kita,” kelakarnya, disambut tawa renyah Abigail. “Kau benar, ketampananmu mendadak turun satu tingkat, Zac, sungguh.” Abigail menutup mulut dengan tangannya, berusaha menyembunyikan gigi putihnya saat tertawa. “Ouch!” ucap Zachary, sembari memegang dadanya, kemudian ikut tertawa. Ia menarik kursi, mempersilahkan Abigail untuk duduk. Mereka menikmati makan malam diisi beberapa obrolan ringan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Zachary bahkan selalu membawa obrolan kembali ringan setiap kali tak sengaja Abigail membahas tentang bisnis dan perusahaan. Undangan makan malam diakhiri dengan bersantai di balkon apartemen Zachary. Kembali mengobrol sembari memandang gemintang di langit malam itu. “Aku tidak percaya gadis secantik kau tidak memiliki kekasih. Kau pasti sudah jadi idola sejak kecil,” ujar Zachary sembari menyesap sampanye di tangannya. Matanya tak lepas memandang sosok cantik di hadapannya. Meski berusaha untuk tetap mengingat kekasihnya, tetap saja pesona Abigail saat ini sulit untuk ditolak. Hanya memandang saja sepertinya tak ada salahnya. “Aku serius, Zac. Tak ada pria mana pun yang pernah menjadi kekasihku. Aku sangat pemilih.” Abigail kembali menyesap minumannya. Zachary masih tak mampu mengalihkan pandangannya dari Abigail. Hingga akhirnya manik mata gadis itu membalas tatapannya. Abigail dapat memperkirakan ke mana arah pembicaraan mereka, sekaligus apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, ia sengaja tidak menghindari kejadian yang akan terjadi beberapa detik dari sekarang, karena itulah tujuannya memenuhi undangan Zachary. Dan benar saja .... Pria itu perlahan mendekatkan wajah kemudian dengan lembut menyentuhkan bibirnya pada bibir ranum Abigail. Ini bukan ciuman pertama, tetapi sesaat cukup mengejutkan baginya karena sekian lama tak pernh lagi mengalaminya. Dan apa yang dihadiahkan Zachary, membuatnya terbuai. Sementara Zachary yang sesungguhnya telah memiliki kekasih, tak dapat menahan ketertarikannya pada Abigail dan beberapa menit membiarkan dirinya terbuai oleh pesona dan momen yang terjadi antara mereka. Zachary bukanlah tipe pria yang suka berganti kekasih. Hubungannya dan Sidney sudah berlangsung sejak mereka berada di bangku kuliah. Namun, berada di dekat Abigail membuatnya melupakan Sidney sesaat. Ciuman antara Zachary dan Abigail menjadi semakin intens dan dalam. Zachary yang memang tak ingin menolak momen itu, membiarkan dirinya terjebak dalam romansa saat ini, sementara Abigail mulai menyadari apa yang mereka lakukan sudah kelewat batas. Terlalu cepat bagi Zachary mendapat banyak hal darinya. Tidak semudah itu, tidak sekarang. Perlahan Abigail mendorong tubuh Zachary menjauh darinya. Melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Uhm, m-maafkan aku, kurasa aku harus pulang. Ini sudah terlalu larut.” Zachary tersenyum tipis. “Satu hal lagi yang mulai kutahu tentangmu, kau adalah Cinderela yang terdampar di zaman modern,” kelakarnya, membuat Abigail mau tak mau ikut tertawa. “Kau boleh menganggap seperti itu. Namun, satu hal, ayahku sangat galak. Ia akan mengurungku di kamar jika tahu aku pulang larut.” “Benarkah? Luar biasa ....” Zachary membulatkan mata, yang sontak membuat Abigail tergelak. “Aku bercanda, Zac. Baiklah, aku harus pergi. Terima kasih atas makan malamnya.” Zachary mengantar gadis itu keluar menuju ke lift. “Terima kasih atas waktumu.” Sekali lagi Zachary mengecup bibir Abigail, kemudian mengusap ujung bibir gadis itu dengan ibu jarinya. Abigail menyunggingkan senyum, kemudian berlalu dan menghilang di balik pintu lift yang menutup. *** Abigail membuka amplop coklat di tangannya. Membaca kembali deretan nama yang tertulis dalam daftar di tangannya. Nama Garry Emerson adalah salah satu yang menjadi musuh bebuyutan ayahnya. Ia mulai berusaha kembali ke masa itu untuk mengingat seperti apa penampakan pria yang datang bersama wanita delapan belas tahun lalu. Wajahnya berbeda dengan Garry Emerson yang tampil di atas panggung. Lalu siapa pria yang menghajar ayahnya hingga mengalami kelumpuhan? Apa hubungannya dengan Garry dan apakah ia juga terdaftar sebagai musuh ayahnya? Sayangnya, nama Zachary Emerson tak ada dalam daftar. Tentu saja. Saat itu mungkin Zachary masih berusia sama sepertinya dan tidak mengetahui kejahatan apa yang diperbuat ayah dan ibunya. Dan bagaimana reaksinya andai ia mengetahui bahwa orang tuanya adalah seorang penjahat yang telah menghancurkan kehidupan anak lain yang seusia degannya? Apakah pria itu akan tetap memuja dan membanggakan sosok ayahnya? Ataukah akan berpikiran sama seperti Abigail, bahwa Garry tak lebih dari iblis berwujud manusia yang tega merebut sesuatu dengan cara kotor. Abigail membuka brankasnya, mengambil pena dan kertas yang sudah tergambar sebuah bagan. Beberapa nama tertulis di sana. Ia menggores tinta dan menuliskan nama Zachary Emerson. Kemudian membubuhkan angka satu lalu memasukkan berkas itu kembali ke dalam brankas. “Zachary Emerson ... permainan dimulai dari kau, sayang ....”Setelah pertemuannya dengan Zachary beberapa kali, Abigail mulai menemukan ritme dan siasat untuk menaklukkan pria itu. Terakhir kali mereka bertemu, Abigail sudah bisa melihat ada ketertarikan di mata pria itu. Kali ini saatnya ia membalas kebaikan Zachary. Ia berencana mengundang pria itu untuk makan malam, ia yang akan menjamu sendiri tamu istimewanya, bahkan mempersiapkan segala bahan yang dibutuhkan. Untuk mendapatkan ikan paus, ia harus menyiapkan jala yang besar. Bahkan bila perlu, ia akan menggunakan peledak untuk menghancurkannya mangsanya. Apa pun akan ia lakukan demi lancarnya misi balas dendam ini. Abigail berjalan santai mendorong keranjang belanjaan dan memilih bahan yang ia butuhkan. Hingga tak sengaja ia berpapasan dengan seseorang. Seolah takdir memiliki kehendak yang sama, Zachary kini berdiri di hadapan Abigail nyaris tertabrak kereta belanja milik gadis itu. “Whoa ... lihat jalan–“ Zachary membulatkan mata saat melihat siapa yang berada di depannya sekaran
Mr. Thompson menyodorkan sebuah kartu nama pada Abigail. Dengan cepat gadis itu meraihnya dari meja dan membaca barisan huruf yang tertulis di sana. Alice Denver, merupakan detektif yang direkomendasikan oleh Mr. Thompson untuk menyelidiki dan mencari keberadaan adik Abigail. Beberapa saat Abigail terdiam, menimbang-nimbang keputusan darinya apakah akan menyewa Alice atau tetap menyerahkan semua pada Mr. Thompson. Sejauh ini ia tidak mengalami masalah dengan pria itu. Namun, justru pria itu sendiri yang menyarankan untuk memakai jasa lain agar kasus tidak tercampur. Terlebih, Abigail masih mampu membayar bahkan ratusan detektif sekali pun. Ia hanya mempertimbangkan, dengan adanya pihak lain yang ia gerakkan, itu berarti latar belakang keluarganya akan diketahui lebih banyak orang. Dan ia tak ingin itu terjadi. “Ia sangat kompeten dan bisa dipercaya, jika itu yang menjadi pertimbanganmu, Nona Genovhia.” Mr. Thompson berusaha meyakinkan Abigail untuk segera membuat keputusan. Gad
Hari Minggu terasa lambat berlalu bagi Abigail. Ia merasa bosan hanya berdiam di rumah tanpa kawan. Sejak dulu ia memang menghindari pertemanan dengan siapa pun. Ia tak ingin citra yang telah ia bentuk sejak awal akaan sirna, karena ada orang terdekat yang mengenali dirinya yang sesungguhnya. Itulah sebabnya Abigail lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah atau kampus. hanya sendiri dan tenggelam dalam bacaan di hadapannya. Dan itulah yang dikenal orang darinya, seorang kutu buku yang dingin dan tertutup. Namun, di usianya yang sudah menginjak kepala tiga, ia mulai merasa hidupnya membosankan. Ia teringat masa kecilnya, memiliki seorang teman pria, satu-satunya yang dapat ia percaya. Sayang, pertemanan mereka hanya sebentar karena berikutnya yang ia tahu, pria itu sudah tidak lagi berada di Estern Shore, kota asal mereka. Ia lalu
Sidney dan Zachary berada dalam mobil setelah acara makan malam mereka. Suasana yang semula mesra dan hangat, berubah seketika tatkala Zachary mendadak terlihat sedang termenung. Matanya menatap lurus ke jalan beraspal di hadapannya, tetapi beberapa kali ia nyaris menyerempat kendaraan lain, bahkan sampai hampir bertabrakan. Sidney sangat mengenal pria itu, ia tak akan hilang fokus seperti sekarang jika tak ada masalah yang mengganggu pikirannya. "Ada apa denganmu, sayang? Sejak tadi kau seperti tidak benar-benar berkonsentrasi pada jalanan di hadapanmu." Sidney membuka obrolan, karena mengerti Zachary tak akan memulai jika ia tidak mengawali. Pria itu pada mulanya menolak unuk menjawab. Ia bergeming, tak mengucap sepatah kata pun. Berpura fokus pada jalanan padat di hadapannya, padahal sesungguhnya pikirannya sudah tak berada di tempat seharusnya.
Abigail menghentikan mobil saat melihat siapa yang duduk di pinggir jalan bersama seorang gadis. Tak salah lagi, itu adalah Zachary dan gadis yang tampak tak asing. Mungkin itu gadis yang bernama Sidney, kekasih Zachary. Ia bergegas keluar dari mobil dan menghampiri keduanya. "Zac? Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Abigail, dan ia tak perlu mengulangi pertanyaan ketika matanya tertuju pada kemerahan yang ada di kening Zachary. Sidney bangkit kemudian mendekat pada Abigail. Keduanya tampak bagaikan sepasang musuh yang hendak menghancurkan satu sama lain. Tatapan tak suka terlihat dari sorot mata Sidney, sementara Abigail yang berdiri di depannya terlihat tenang. "Hai, aku Abigail, rival sekaligus calon rekan bisnis Zachary. Kau pasti ...." Abigaail mengulurkan tangan hendak
Tamara masuk ke ruangan Abigail, saat atasannya itu terlihat sedang merenung. Tamara yang telah bekerja pada Abigail sejak awal sangat memahami bagaimana perangai dan karakter bos-nya. Terlebih jika wajahnya muram seperti hari ini. "Apakah ada yang mengganggu pikiran anda, Nona Genovhia?" tanya gadis yang berusia lebih muda empat tahun darinya. Gadis itu bergeming, menanti jawaban Abigail. Ia tak akan beranjak sebelum memastikan bahwa atasannya baik-baik saja. Abigail menggeleng. "Tamara, katakan padaku, apakah aku terlihat tua?" tanya Abigail, polos. Tamara berusaha untuk tidak tersenyum apalagi tertawa, meski ekspresi wajah polos Abigail membuatnya ingin melakukan itu. Namun, ia tahu bahwa ini bukan perkara main-main. Ini adalah masalah yang cukup serius. Tamara menghormati Abigail. Meski gadis itu seringkali memint
Abigail dan Zachary telah selesai menikmati sajian makan malam mereka. Meski Abigail tidak bisa memahami pertemanan seperti apa yang diharapkan oleh Zachary, tetapi ia yang memanb tidak serius dengan apa yang dilakukan dan dikatakannya pada pria itu, tak ingin ambil pusing. Toh hubungan yang ia bangun dari awal dengan pria itu hanya demi kepentingan bakas dendamnya. Tak ada perasaan apa pun dalam hati Abigail gerhadap pria itu. Sama sekali. Kini mereka telah duduk bersantai menonton tayangan televisi, seperti layaknya sahabat. Tertawa saat melihat adegan yang mengocok perut, beradu argumen saat pemain favorit mereka ternyata merupakan musuh bebuyutan. Bahkan mereka bercanda tanpa batas, kini hampir terlihat seperti sepasang kekasih. "Kau akui saja kalau akhirnya aku yang jadi pemenang, Abby. Kau kalah." Zachary mengamb
"Di sini kau rupanya," ucap Alex, lega melihat Abigail hanya duduk di pesisir pantai sembari memainkan kakinya di pasir. "Memangnya ke mana lagi? Aku tidak punya tempat untuk berlari, bahkan tak memiliki siapa pun yang memahami," jawab Abigail, pahit. Alex menghela nafas mendengar perkataan keponakannya. Ia mengambil tempat di samping Abigail, menghadap pada gadis yang melempar pandangan jauh ke depan, sembari memainkan jemarinya. Alex memahami karakter gadis itu, ia akan memainkan jari jemarinya jika sedang gelisah. "Paman tahu, kau kesal pada kami, tapi cobalah mengerti mengapa kami melakukan itu." Abigail mengambil segenggam pasir, meremasnya hingga habis dari tangannya. Pasir itu sama seperti dirinya, semakin erat digenggam, justru akan semakin habis berserakan keluar dari genggaman. Dulu Alex dan Alona selalu