Share

Rival

Abigail masih duduk menghadap layar laptop, mengawasi pergerakan indeks saham untuk beberapa anak perusahaannya. Ia berharap kali ini akan kembali memenangkan beberapa perusahaan incarannya. Ia ingin menanamkan aset di perusahaan pertambangan. Prospek yang cukup bagus dan potensial.

Sesekali ia menghubungi Tamara, sekretarisnya untuk melakukan pemeriksaan secara manual dengan menghubungi perusahaan miliknya. Beberapa hari ini akan menjadi hari paling menegangkan baginya dan juga seluruh karyawan perusahaannya.

Tak lama ponselnya berdering. Nama Alona tertera di sana. Panggilan rutin yang selalu dilakukan bibinya terlebih setiap kali perusahaan mereka ikut dalam trading besar seperti saat ini.

“Halo, Bi,” sapa Abigail, tanpa mengalihkan mata elangnya dari layar.

“Kau jangan hanya duduk di depan layar, jangan lupakan perutmu. Bibi tidak mau sampai asam lambungmu kambuh lagi. Siapa nanti yang akan mengurus jika kau sakit?”

“Iya, Bi ... aku tahu. Kami sedang bersaing ketat dan aku tidak bisa meninggalkannya sedetik pun jika tak ingin saham incaranku dimenangkan perusahaan lain.”

“Paman juga sedang berjaga di sini, tenang saja.” Kali ini sepertinya telepon sudah berpindah ke tangan pamannya. Memberi dukungan pada keponakan sekaligus anak angkatnya.

“Aku tidak akan biarkan saham itu jatuh ke tangan Zacamers. Paman, kau harus memberi dukungan penuh padaku, awasi dan remote semua dari tempatmu, oke?!”

Mendengar nama Zacamers, bulu kuduk Alex meremang. Kilas balik peristiwa belasan tahun lalu seolah kembali satu per satu. Inilah hal yang ia takutkan, jika nanti Abigail harus menghadapi musuh ayahnya.

Meski begitu, mau tak mau ia pasti akan tetap menghadapi gerombolan kelas berat seperti keluarga Emerson. Alex tahu benar apa hubungan Emerson dengan semua ini, ia hanya tak ingin mengatakan apa pun pada Abigail.

Gadis itu sudah terlihat lebih tenang dan matang, sehingga sepertinya sudah lupa akan perkataannya ketika remaja dulu. Dan Alex yakin Abby tak akan melakukan rencana untuk balas dendam.

“Zacamers? Oh, perusahaan multinasional itu?” tanya Alex, berpura memastikan. Abigail terdengar menyerukan kekesalannya di seberang sana.

“Ayolah, Paman, jangan overrated. Perusahaan kita juga multinasional, singa di antara para singa saham. Kita selalu memenangkan tender bahkan dengan nilai triliunan. Tuan muda Emerson ini, hanya anak ingusan yang baru membasahi kaki di bidang ini. Ia tak mungkin menang.”

Alex hanya tertawa mendengar seruan bangga dari keponakannya. Ia merasa bahagia Abigail kini hanya terfokus pada kemajuan perusahaan dan dirinya. Bukan lagi pada dendam kesumatnya.

“Paman sangat bahagia kau sudah mulai terbiasa dengan perusahaan dan segala sesuatunya. Kau pasti akan menjadi pengusaha wanita yang sukses, Abby.” Alex mengulas senyum haru di seberang sana.

Matanya mulai berkaca, tetapi ditepisnya perasaan itu. Ia tak ingin merusak semangat Abigail.

Ia tak ingin Abigail merasa bahwa dirinya sedang bersedih. Abigail sudah bisa berdiri di kakinya sendiri, dan itu yang membuat Alex haru.

“Jangan katakan Paman menangis. Tidak, Paman ... aku baik-baik saja di sini. Paman dan Bibi juga harus baik-baik saja dan bahagia. Aku mencintai kalian.”

Abigail mengakhiri pembicaraan dengan orang tua angkatnya. Tak hanya Alex yang sedang didera haru, Abigail pun merasakan hal yang sama. Namun, ia kini sedang mengusap air mata yang belum sempat tertumpah. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menangis. Tidak untuk saat ini.

***

Abigail melangkah tergesa. Ia bergegas menuju ke kantor saat mendapat kabar bahwa perusahaan asuhannya tak berhasil memenangkan tender bernilai milyaran itu. Baru kali ini ia kalah telak. Kalah karena salah strategi. Seharusnya ia tak memberangkatkan perusahaan yang baru dibesarkannya beberapa tahun ini.

Abigail mengepalkan tangan, sedikit kesal atas pilihannya sendiri. Terlebih ketika mengetahui siapa yang memenangkan tender tersebut. Zacamers—perusahaan yang baru saja menetas, bahkan belum seumur jagung.

Nama Zachary Emerson pada akhirnya menjadi headline di setiap majalah bisnis. Dan dirinya menempati urutan kedua. Bukan lagi dengan julukan singa betina, karena seekor buaya jantan telah mengalahkannya, dengan telak.

“Jangan mencemaskannya, Nona Genovhia. Kau hanya kalah satu kali. Berikutnya kita pasti bisa merebut posisi itu kembali,” ucap Tamara, sembari meletakkan cangkir di atas meja Abigail. Gadis itu mengangguk.

“Bukan masalah kekalahannya, Tam, melainkan siapa yang telah berhasil mengalahkanku. Bocah ingusan. Bisa kau bayangkan? Abigail Genovhia dikalahkan seorang pengusaha muda yang baru saja menetaskan anak asuhnya bla bla bla ... menyedihkan.”

Tamara tersenyum menanggapi kekesalan atasannya. Kemudian dengan hati-hati ia menyampaikan kabar yang baru saja ia terima.

“Uhm, Nona ... sebenarnya ada hal yang ingin aku sampaikan.”

“Hmm ... katakan saja.” Abigail menyeruput tehnya sembari menyimak apa yang akan disampaikan sekretarisnya.

“Tadi aku mendapat telepon dari seorang pria. Ia mengaku bernama Zachary Emerson dan memintaku untuk menyampaikan bahwa dia mengajakmu untuk makan siang bersama. Ehm ... berdua.”

Abigail tersedak mendengar nama yang baru saja disebutkan oleh Tamara. Zachary Emerson ... adalah si buaya jantan yang berhasil menekuknya pada tanding saham dan kini ia mengajak Abigail makan siang? Apa maksud dan tujuannya melakukan itu?

“Bagaimana, Nona Genovhia apakah kau setuju untuk—“

“Jika nanti ia menelepon lagi, minta untuk langsung menghubungiku,” potongnya, sebelum Tamara menyelesaikan kalimat. Dengan segera gadis itu mengangguk kemudian keluar dari ruangan Abigail meninggalkan atasannya yang mulai tenggelam dalam angannya sendiri.

***

Abigail dengan gaun merah yang melekat pas di tubuhnya dipadukan blazer hitam memperlihatkan sisi anggun namun misterius. Rambut panjangnya diikat ke atas agar terlihat rapi dan kasual tanpa meninggalkan kesan formal.

Ia melangkah yakin memasuki sebuah restaurant yang terletak di sudut 21 street, jauh dari pemukiman dan hanya toko serta bangunan-bangunan retail dan sarana hiburan yang berjajar rapi.

Seorang pria berjas hitam rapi menyambutnya dan mengarahkan ke sebuah meja di mana pria lain dengan warna rambut serupa tembaga bersetelan jas kelabu telah duduk manis menantinya.

Ia segera bangkit ketika melihat kedatangan Abigail.

“Nona Genovhia.” Pria itu mengulurkan tangan padanya, menyambut sang singa betina yang berhasil ia tundukkan dengan sekali tebas. Sebuah kiasan yang epic dalam dunia bisnis yang kini mereka geluti.

Abigail menerima ajakan Zachary adalah karena ingin mengetahui seberapa gahar kemampuan dan kecerdasan pria ini sehingga berhasil mengalahkannya.

Gadis itu menyambut ukuran tangan Zachary. “Panggil saja Abigail, tak perlu terlalu formal, Tuan Zachary.”

“Kau pun formal, cukup Zachary saja. Atau Zac juga boleh, agar terdengar akrab.”

Abigail mengangguk, setuju dengan permintaan pria itu. Apa pun itu, asalkan ia bisa mengorek informasi penting dan ilmu dari lelaki ini yang bisa ia terapkan, ia rela.

Pada mulanya mereka membahas masalah proyek, saham dan segala yang tak jauh dari pekerjaan. Mereka bahkan berencana untuk membangun relasi antara anak perusahaan milik Abigail dan Zachary. Namun, banyak hal yang perlu mereka rencanakan, dan akan dibahas pada pertemuan selanjutnya.

Lalu berikutnya, apa yang mereka bicarakan mulai keluar dari topik bisnis. Mulai dari hobi, makanan kesukaan, bahkan tentang kekasih. Abigail sedikit membenci pembahasan itu, tetapi tak terlalu ia tunjukkan. Bagaimana pun kesan pertama sangatlah penting.

Ia tak ingin banyak yang mengetahui tentang kehidupan pribadinya. Selama ini ia berhasil hidup di balik bayangan, hanya agar rencana balas dendamnya bisa berjalan lancar meski ia belum berhasil menemukan dalang di balik semua kemalangan yang menimpa dirinya dan keluarganya.

Zachary seperti bisa membaca rasa tidak nyaman yang sengaja tak ditunjukkan Abigail padanya. Ia pada akhirnya kembali mengajak gadis itu untuk bertemu di lain kesempatan. Dengan dalih untuk membahas tentang rencana proyek mereka sekaligus mendekatkan diri pada rival bisnisnya yang potensial.

Ia ingin mempelajari kemampuan Abigail, hingga ia dijuluki singa betina. Ia tak tampak menyeramkan di mata Zachary. Justru terlihat cantik dan memesona—di luar bayangannya, bahwa Abigail adalah wanita paruh baya yang kejam dan otoriter, serta ambisius.

Zachary tak tahu, bahwa apa yang ia lihat saat ini hanyalah salah satu topeng yang digunakan Abigail. Topeng berbeda yang telah ia persiapkan untuk musuh yang berbeda.

***

Abigail duduk di atas singgasananya sembari meremas bola squishy di tangannya. Ia mengingat bagaimana pertemuannya dengan Zachary beberapa hari lalu, dan beberapa waktu sebelumnya.

Hari-hari belakangan mereka memang lebih sering bertemu sekedar makan siang atau menikmati kopi, sekaligus menjalin pertemanan. Sejenak melupakan persaingan mereka. Abigail pun, setiap bersama Zachary, sesaat bisa melupakan persaingan bisnis antara mereka.

Terlebih Zachary memang tipe pria humoris yang bisa membuatnya tertawa. Atau setidaknya pura-pura tertawa. Ia masih Abigail yang sama. Dingin, ambisius, dan hidupnya bukan untuk bermain-main. Siapa pun yang menghalangi jalannya, maka akan tercatat sebagai musuhnya. Tak terkecuali Zachary.

Namun, untuk kali ini sebentar saja, tak ada salahnya jika ia bermain bersama pemain baru.

Pria ini pun sepertinya membuka peluang yang cukup lebar baginya untuk masuk dan mengajaknya ‘bersenang-senang’. Sesekali pula ia mengizinkan pria itu untuk memilih jenis permainan yang ia suka, sebelum akhirnya Abigail-lah yang memegang kendali.

Jika itu terjadi, maka sudah saatnya Zachary bersiap dengan kekalahan.

Abigail membaca sekali lagi pesan yang tertulis di layar ponselnya. Pria itu mengajaknya bertemu, lagi. Abigail ingin melihat kali ini permainan seperti apa yang disajikan Zachary padanya, terlebih saat melihat lokasi yang menjadi tempat pertemuan mereka. Kediaman Zachary Emerson.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status