*****
“Ebbba ba ba babaaa …. Eeeebababa ba ba ba ….”
Samar kudengar suara celoteh bayi di antara tawa cekikikan manja istriku. Hatiku yang sempat panas, berangsur dingin. Lega luar biasa. Pikiran buruk dan curiga yang tadi melintas segera sirna. Bayangan Ninda tengah bergelut dengan pria lain, lenyap bagai disapu angin. Hati sejuk seketika. Ternyata istriku tengah bercanda dengan bayi kami.
Eh, tapi tunggu! Motor di teras itu, punya siapa? Apakah punya tetangga? Tak mungkin tetangga menaruh motornya di teras rumahku. Lalu, siapa?
“Udah, dong, ih, bayiku ngeliatin, tuh, malu, tau?”
Deg!
Darahku kembali berdesir. Suara manja disertai cekikian Ninda kembali terdengar.
“Sekali lagi, Sayang. Mumpung suami kamu masih kerja! Boleh, ya! Masih kangen, nih!” Suara seorang pria menyahutinya.
Kurasakan bumi kupijak seolah ambruk, langit-langit rumah jatuh menghantam tubuhku. Aku lemas kehilangan tenaga, tungkai kaki tak mampu menahan bobot tubuh. Pandanganku berkunang-kunang, lalu gelap. Daster dalam kresek terjatuh dari tangan tanpa kusadar.
“Ya, udah, tapi agak cepat temponya, biar cepat tuntas. Bayiku mau nen*n itu!” Suara perempuan mur*han itu kembali terdengar. Mengiris habis serpihan hatiku.
“Iya, aku juga masih haus, Sayang! Janji, deh, enggak akan aku hisap habis! Aku sisain kok, buat bayi kamu. Enggak apa-apa berbagi sama bayi kamu, aku ihklas. Tapi kalau berbagi dengan suami kamu, kok, aku enggak ihklas, ya, hehehe ….”
Kedua tanganku mengepal. Kuedarkan pandangan ke sekitar. Tak ada benda apapun yang bisa kujadikan senjat* sekarang. Kurogoh bilik tas kerja usangku. Sebuah benda dingin bergagang tergenggam kini di tanganku.
“Sayang …, cepat, lebih cepat! Iya, begitu!” Suara menjijikkan Ninda terdengar seperti sengatan listrik ribuan volt di gendang telinga.
Baik, sekarang saatnya. Tak ada lagi yang perlu kutunggu. Tak ada apapun yang perlu kupikirkan. Darahku sudah menggelegak, serasa naik hingga ke ubun-ubun.
Aku merasa seperti ditelanjangi, lalu dicelupkan ke dalam kubangan lumpur panas. Gelegak panas itu melahap habis tubuhku. Sakit … sakit hatiku saat mendengar desah nikmat istriku. Perempuan yang telah kuhalalkan tiga tahun lalu. Mend*s*h sebegitu li*rnya di kamarku. Bersama seorang pria yang telah menginjak-injak harga diriku.
Gemetar aku berusaha bangkit, lalu dengan masih sempoyongan aku berjalan perlahan menuju kamar. Kamar yang telah disulap istriku menjadi peraduan maksiat.
Kukumpulkan segenap kekuatan. Agar tak pingsan saat menyaksikan tubuh perempuan jal*ng itu sedang dinikmati oleh pasangan durjan*nya. Aku kuat, aku kuat, sekali lagi aku menghipnotis diriku, aku kuat.
Dengan langkah tegap, kini aku telah berdiri di depan pintu kamar. Pintu yng terbuat dari triplek sederhana itu kutatap dengan kalap. Hitungan detik, daun pintu kuterjang dengan sekuat tenaga.
Nanar tatapan kuedarkan. Pemandangan di dalam sana teramat menjijikkan. Ranjang suci kami telah berubah menjadi kubangan dosa maksiat. Ini terlalu menyakitkan. Gelap, tiba-tiba pandanganku gelap. Dan semua terjadi di luar kendaliku.
*
“Ambulan! cepat telepon ambulan!”
“Kelamaan! Larikan saja dengan motor, cepat!”
“Mobil! Larikan dengan mobil siapa pun, boleh, cepat!”
“Iya, dar*hnya terlalu banyak keluar! Jangan sampai nyawa mereka tak terselamatkan.”
“Amankan si Bara! Apapun yang terjadi kita harus membela dia! Dia hanya mempertahankan harga dirinya!”
“Iya, kita semua sebagai saksi, kalau Bara tak bersalah!”
Semua teriakan-teriakan itu terdengar samar di telingaku. Entah di mana aku ini, apa yang terjadi, kenapa ribut sekali? Ada apa ini?
“Oooowa … ooowaaaaa … oooowaaaaa …!”
Tangis bayi itu sontak mengembalikan kesadaranku.
“Bima!” panggilku spontan sambil membuka kedua mata.
“Dia baik-baik saja! Kamu jangan khawatir!” Seorang wanita menggedong anakku. Istri Pak RT. Sebuah dot berisi susu formula dia berikan ke mulut Bima. Bayi malang itu menghentikan tangisnya.
“Kau baik-baik saja?” Seorang pria yang selalu peduli sudah berjongok di sebelahku. Bang Ramli, mandor di tempat kerjaku. Keenam teman-teman sesama kuli bangunan pun sudah menglilingiku. Tatapan iba mereka kutangkap dengan jelas.
“Kau nekat, kenapa kau puk*li kepala mereka dengan martil itu?” Bang Ramli berbisik di dekat telingaku.
Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba terdengar suara sirene. Semua warga saling bertatapan.
“Siapa yang lapor polisi?” teriak Bang Ramli emosi. Suara kasak kusuk ramai terdengar.
Enam anggota berseragam masuk. Memintaku berdiri dan mengikuti mereka masuk ke dalam mobil jemputan. Seketika terdengar suara riuh warga. Mereka menolak polisi membawaku. Berbagai pembelaan mereka lontarkan. Namun, usaha mereka sia-sia. Aku tetap dibawa.
“Titip anakku, sampai keluargaku datang,” pintaku kepada Bu RT.
“Jangan khawatir, kami akan menjaga dan merawatnya.” Bu RT meyakinkanku.
“Pastikan yang mengambilnya nanti adalah keluargaku, bukan keluarga istri terkut*k itu!” imbuhku. Hatiku sedikit lega. Semoga Bima baik-baik saja. “Anakku, papa pergi dulu,” bisikku seraya mengecup keningnya.
**
“Laki-laki yang kau aniya itu masih sekarat. Tapi jangan khawatir, istrimu sudah selamat! Luka memar di kepalanya tidak terlalu parah. Kabarnya dia sudah boleh meninggalkan rumah sakit tadi pagi. ” Bang Ramli datang menjengukku siang ini.
Aku tersenyum dingin.
“Harusnya aku menggunakan senj*t* taj*m! Sayang sekali aku tak menemukannya saat kejadian itu. Terlalu lama kurakasan untuk mencari benda itu di dapur. Sekarang, perempuan sund*l itu malah makin senang hidupnya. Dia pasti merasa begitu puas melihatku di penjara,” ucapku menahan geram dan kecewa.
“Tentu saja!” Seseorang menyahut dari arah kanan.
Sontak aku dan Bang Ramli menoleh ke sana. “Ninda?” gumam kami hampir bersamaan.
Perempuan itu melenggang, berjalan kian dekat ke arah kami. Seorang pria berpakaian rapi mengiring di belakangnya.
“Halo, Bang Bara! Kamu sehat? Bagaimana rasanya tidur di lantai hanya beralaskan selembar tikar tipis, ha? Dingin?” Ninda mengejekku. Tak hanya bibirnya, bahkan matanya, hidungnya, dagunya, semuanya ikut menertawakanku.
“Puih!” semburan ludahku tepat mengani wajahnya.
Perempuan itu tersenyum sinis. Meraih tisyu dari dalam tas sandangnya, lalu menyeka kering semburan ludahku di wajahnya. Perempuan yang dulu sangat cantik itu, kini tampak seperti penampakan nenek sihir di mataku.
“Ini pengacaraku, sekaligus pengacara Mas Reno.” Bibir perempuan itu menyebut nama kekasihnya. Kini aku tahu, nama laki-laki itu adalah Reno. Seorang pria asing yang belum kutahu asal usulnya. Bagaimana bisa tiba-tiba dia ada di hati istriku? Kenapa aku kecolongan?
“Maaf, Bang! Sejujurnya aku kasihan padamu! Gak tega ngeliat kau mendekam di penjara seperti ini. Tapi, gimana, kau telah mencoba meleny*pkan nyawaku, bukan? Juga nyawa Mas Reno. Jadi, rasa ibaku menguap! Kami akan menuntutmu dengan hukuman semaksimal mungkin! Tapi sebelum itu, aku ke sini untuk meminta talak darimu! Tolong talak aku sekarang!”
Ninda berucap dengan begitu tenangnya.
Tuhan, kenapa perempuan ini tidak mat* saja?
*****
Bersambung
*****[Kenapa belum datang, Pak Bara? Cepat, saya butuh Bapak sekarang?]Pesan dan Mbak Viona masuk lagi. Ini tak bisa dibiarkan. Kuscroll daftar nomor di kontakku. Kutekan nomor Bang Karmin.“Hallo, Pak Bara, selamat malam! Ada apa malam-malam begini nelpon saya? Ada masalah kah?” Terdengar nada panik dari suaranya. Bang Karmin langsung mengangkat telponku.“Abang segera datang, cepat! Mbak Viona sedang kumat! Jangan pakai lama! Sepuluh menit, lekas!” perintahku.“Viona kumat? Astaga! Bukankah penyakitnya sudah lama sekali tidak kumat? Gimana kumatnya, Pak? Apakah dia menjerit-jerit, pingsan, atau gimana?”“Tak bisa kujelaskan, pokoknya Abang cepat datang kalau tak mau kehilangan dia, cepat!”“Ok, baik! Sepuluh menit aku sudah sampai di situ!”“Hem. Tapi Abang jangan bilang kalau aku yang nelpon Abang! Mbak Viona katanya tak mau diganggu oleh siapapun. Dari tadi dia teriak-teriak enggak jelas. Dia mengunci diri di dalam kamar. Kami takut dia kenapa napa di dalam kamarnya. Sepert
****[Kutunggu di kamarku malam ini, atau videonya kukirim ke nomor Kak Asya!]Kubaca sekali lagi pesan yang dikirim Mbak Viona lewat aplikasi WA. Perempuan ini benar-benar sudah tidak waras. Dia berusaha agar akupun bertindak tidak waras seperti dia. Tidak, Viona! Kau tak bisa mengancam aku!“Bima, udah makannya? Kalau udah, yuk, belajar sebentar, lalu bobok!” kataku tak menghiraukan pesan perempuan itu.“Udah, Pa! Eeem, Bima mau belajar sama Mama, ya? Bobok juga sama Mama,” ujarnya memohon. Sontak aku dan Asya saling tatap.“Enggak bisa, dong! Bima, kan udah disediakan kamar sendiri!” Mbak Viona yang langsung menjawab. “Mama Asya sama Papa, masih pengantin baru, mereka enggak boleh diganggu. Bima boboknya sendiri aja, ya!” imbuhnya lagi. Bima terdiam dengan wajah murung. Sepertinya dia kecewa dengan jawaban Mbak Viona.“Enggak apa-apa, kok, Bima bobok bareng Mama aja! Yuk, sekarang ita belajar dulu!” kata Asya membuat Bimaku langsung semringah. “Hore … terima kasih, Ma! Bima
*****“Hallo … halllo Mbak Viona … Hallo …!” Tak sadar aku berteriak di ponselku.Perempuan sakit itu sudah memutusnya. Rasanya tak percaya dengan apa yang aku dengar. Bagaiamna bisa aku tidur dengan Viona tadi pagi. Astaga! Ini kiamat! Bagaimana ini? Bagaimana kalau sampai Asya tahu hal ini. Gawat gawat! Kok bisa sih, aku meniduri perempuan itu?Tapi tidak mungkin. Tidak mungkin itu terjadi. Sama sekali aku tak pernah tertarik pada gadis itu selama ini. Dekat saja dengannya aku ogah. Apalagi kalau sampai menidurinya. Dia pasti ngarang! Perempuan itu sakit jiwa. Apapun bisa saja dia bilang, padahal hanya khayalan gilanya.Kebingunganku belum lagi hilang ketika sebuah notif pesan masuk terdengar di gawaiku. Cepat-cepat kuusap layar. Sebuah kiriman video. Dari perempuan sinting itu lagi. Tak selera aku melihat video kirimannya. Tetapi sontak aku tersadar, bukankah barusan dia bilang akan mengirim ke nomorku video rekaman kami tadi pagi? Astaga! Kalau videonya ada, berarti kej
*****“Aawww … sakit ….” Sontak kuhentikan gerakanku. Jerit kecil yang terdengar dari bibir Asya adalah keanehan paling parah yang kuarasakan. Benar, sejak awal aku merasakan ada yang berbeda dengan yang kami alkukan tadi malam.Tadi malam, semua berjalan lancar. Kami menyatu dengan begitu gampang. Tapi pagi ini, kurasakan milik Asya sangat berubah. Begitu sulit untuk kemasuki, terasa begitu sempit dan puncaknya adalah jerit kesakitannya barusan.Apa sebenarnya ini? Aku kebingungan.“Sudah, lanjutkan!” bisiknya setelah beberapa detik kami berdiam diri. Kulihat dia menggigit bibir bawahnya. Kusaksikan tangannya mencengkram akin seprei tempat tidur ini. Ini bukan sandiwara, Asyaku sepertinya benar benar kesakitan.Kenapa sakitnya sekarang? Bukankah harusnya tadi malam?“Sayang … sakit banget, ya?” tanyaku kebingungan.“Enggak, kok. Aku bisa nahan. Abang teruskan saja!” jawabnya pelan.“Tapi, kamu ….” sergahku masih belum paham.“Aku enggak apa-apa. Menurut beberapa referensi yang k
POV Bara****“Bang … Abang ….”Samar kudengar suara merdu itu memanggil namaku. Kurasakan belaian halus di lenganku. Entah aku masih berada di alam mimpi, atau alam nyata. Yang kurasakan adalah lega dan bahagia yang membuncah di dalam dada.“Bangun, dong! Udah siang banget! Sekarang udah hampir jam sepuluh, loh! Masa kita bobok gak bangun-bangun, sih?” Suara merdu itu kudengar mulai mengoceh. Kupaksa memori otakku untuk bekerja maksimal. Kucoba mengumpulkan nyawa yang belum kembali sepenuhnya. Siluet siluet kejadian kemarin melintas seketika. Saat aku mengucapkan kalimat sakral, lalu disambut dengan teriakan ‘SAH’ dari para hadirin. Menyalam para tamu undangan, lalu tadi malam ….“Sya …?” sontak kubuka kedua netra lebar-lebar. Sekarng aku sudah ingat semuanya, aku sudah menikah kemarin, aku sudah sah menjadi seorang suami lagi. Asya, gadis yang begitu kudamba telah sah menjadi milikku. Dan tadi malam ….Kami sudah melewati malam pertama yang begitu melenakan.“Iya, Abang? Kok,
****“Jangan takut, Pak Bara …,” bisikku pelan. Kurasakan hentakan nafasnya semakin tak normal. Kadang memburu kadang lemas seolah tak berdaya. Kuintenskan sentuhan jemariku di titik kelemahannya. Wajahnya kian memarah, mata sayunya mulai terpejam. Dia mulai terhanyut, dan hilang dalam gelisah yang kian menyiksa.Pak Baraku mulai dicekik hasrat, aku tau pasti bagaimana sistem kerja pil yang telah dia teguk melalui kopi susu hangat itu. Saat ini, yang dibutuhkan olehnya hanyalah pelampiasan. Sama seperti yang dialami oleh Bang Karmin dulu, saat pertama kali aku harus memaksanya melakukan itu. Jika aku tidak nekat menjeratnya dengan pil itu, tentu hingga detik ini dia tak akan pernah menyentuhku.Dan kali ini adalah giliran Pak Baraku. Pria tampan super dingin yang selalu menolakku. Pria miskin tapi begitu sombong, yang tega menyakiti hatiku lalu menikahi kakakku! Tapi, maaf, pak Bara. Aku Viona, aku tak akan pernah mau kalah. Aku punya seribu cara untuk menaklukkanmu!“Sya … As