Share

Daster Buat Istriku
Daster Buat Istriku
Author: Helminawati Pandia

Bab 1. Daster Kreditan Buat Istriku

*****

“Hallo!” sapaku begitu panggilan telepon tersambung.

“Bentar, ih, suamiku nelpon, nih!”

Deg!

Ninda bicara dengan siapa?  Kenapa nadanya seperti menahan geli seperti itu. Siapa yang ada di rumah sekarang. Bukankah dia cuma berdua bayi kami? Masa dia berbicara seperti itu kepada anak umur empat bulan.

“Halo, Bang! Ada apa?”

Suara lembut dan manjanya  berubah ketus. Hatiku tidak sakit mendengarnya. Sudah biasa. Dia tak pernah lembut kalau berbicara padaku. Aku sangat maklum, sadar kalau aku bukan suami yang bisa membuat dia bahagia. Itu sebab aku ingin melakukan sesuatu hari ini. Semoga dia suka.

“Sayang, ukuran baju kamu apa, L, M, XL, atau dabel L?” tanyaku tetap lembut, seperti biasa.

“Ha, buat apa? Mau beliin aku baju? Mau nge-prank? Enggak lucu! Aku tahu, Abang enggak akan sanggup beliin aku baju! Udah, ah, ganggu aja, aku sibuk, nih! Anakmu rewel, udah, ya!”

Telpon langsung ditutup. Wajar, Ninda pasti tak percaya aku menanyakan ukuran bajunya. Dia pasti merasa terganggu karena pertayaanku yang dia anggap konyol. Apalagi sedang sibuk mengurus bayi kami yang katanya semakin rewel saja akhir-akhir ini.

Sikapnya padaku semakin berubah. Tak ada lagi kehangatan seperti awal pernikahan. Hampir setiap hari dia mengeluh karena dia tak bahagia. Sebagai seorang buruh bangunan, gajiku hanya pas-pas an untuk makan saja, begitu katanya. Padahal dia sangat ingin membeli baju, skin care, dan sesekali beli tas dan sepatu keluaran terbaru. Tapi, hingga tiga tahun pernikahan kami, baru sekali aku bisa wujudkan keinginannya itu. Saat aku mendapat THR dari bos kerjaku lebaran tahun lalu.

“Gimana, Bara, jadi enggak kamu ngambil dasternya?” Wak Leha, tukang kredit keliling itu  membuyarkan lamunanku.

“Ambil satu, sayang istri, Mas Bara!” Mbak Suri, pemilik warung kopi langganan kami  menimpali.

“Iya, jangan ragu! Kan, bayarnya seminggu sekali, pas gajihan, itupun dicicil sepuluh ribu. Nah, sepuluh kali bayar, lunas! Jangan banyak mikir! Ini warna kuning terang, pasti istrimu tambah muda kalau pakai ini!” Wak Leha tak henti merayuku.

“Tapi aku enggak tahu ukuran badan istriku,” sahutku ragu.

“Istrimu seperti siapa badannya, aku, atau si  Suri ini?” Wak Leha berputar di depanku. Mbak Suri melakukan hal yang sama.

Ingin kubilang kalau perawakan  istriku sangat berbeda dengan mereka berdua. Ninda sangat sempurna. Wajah cantik, body seksi, langsing, tak ada timbunan lemak di perut seperti kedua wanita di depanku ini.

“Mbak Suri ukuran apa?” tanyaku setelah mendapat ide.

“Aku XL, badan istri Mas Bara apa seperti aku?” jawab Mbak Suri menerka.

Tanpa menjawab, kupilihkan sebuah daster berwarna hijau ukuran M. Bayanganku, Ninda pasti sangat senang menerima pemberian pertama dariku ini. Wajah cantik dan kulit putihnya pasti akan terlihat makin terang dengan warna ini.

“Bungkus yang ini, Wak!” tunjukku seraya mengeluarkan uang sepuluh ribu, satu satunya lembaran yang tersisa di dompetku. Uang untuk jaga-jaga.  “Ini depenya,” kataku mengulurkan lembaran itu. Agak berat, karena aku tak akan punya uang pegangan lagi satu rupiahpun setelah kuserahkan uang ini.

Tak apa, demi bisa membahagiakan istri apapun akan kulakukan. Dua hari lagi kami gajian. Lima ratus ribu gajiku seminggu sebagai buruh bangunan. Aku akan serahkan utuh kepada Ninda, dan dia akan memberiku tiga puluh ribu sebagai peganganku seminggu ke depan. Begitu biasanya.

Aku harus hemat. Menahan diri untuk tidak merokok atau royal-royal minum dan makan di warung kopi seperti teman-temanku. Sesekali ngeteh atau ngopi, itu saja, sekedar untuk pergaulan dengan sesama pekerja bangunan. Itupun lebih sering dibayari oleh Bang Ramli, mandor tukang yang sangat baik kepada kami anak buahnya.  Aku juga bisa lebih irit ongkos, karena setiap hari nebeng motornya kalau berangkat kerja.

“Eh, ini ukuran M, gak muat sama istrimu kalau badannya mirip si Suri!” protes Wak Leha meragukan pilihanku.

“Istrinya langsing, Wak! Cantik, kalah badan anak gadis!” Bang Ramli yang sedari tadi hanya memperhatikan dari sudut warung ikut menimpali.

“Oh, pantes! Nih! Ingat, dua hari lagi gajian, langsung bayar angsuran pertama, ya!” Wak Leha menyerahkan  daster baru yang sudah dia masukkan ke dalam sebuah kresek.

“Iya,” sahutku semringah. Tak bisa kubayangkan bagaimana senangnya Ninda saat menerimanya nanti. Kusimpan kresek itu dengan hati-hati di tas kerja usangku. Lalu kuseruput kopi yang sudah hangat di gelasku. Bang Ramli yang mentraktirku kali ini. Awalnya aku menolak, tapi karena dia maksa terus, terpaksa kuterima.

Telepon Bang Ramli berdering.

“Dari Bos!” ucapnya mengusap layar. “Baik, Pak! Siap!” sahutnya setelah berbicara sesaat.

Enam pasang mata langsung tertuju padanya. Pasti Bos menyampaikan suatu perintah baru untuk kami.

“Hari ini enggak kerja, bahan materialnya sore baru masuk! Bos enggak mau menggaji kita kalau kerja tanggung! Yuk, bubar!”

“Yah, berkurang lagi gaji kita!”

Terdengar kalimat kecewa dari teman-teman. Hatiku sama kecewanya. Padahal aku sudah mengambil sebuah daster kreditan. Tentu sja setoranku kepada Ninda akan berkurang. Sekarang dikurangi pula dengan gak kerja sehari. Mati aku! Apa daster kreditan ini aku batalkan saja, ya?”

“Ayo, pulang, nunggu apa?” Bang Ramli menepuk pundakku.

“I-iya, Bang!”

Kuteguk habis isi gelasku. Wak Leha mengemasi dagangannya, lalu melangkah dengan beban agak berat di tengtengannya, menuju motor miliknya. Lalu melanjutkan dagangannya. Hilang sudah kesempatanku mengembalikan daster hijau yang kini sangat membebenani pikiranku.

“Hayo! Nunggu apa? Bagus kita pulang, ada  istri rumah! Mumpung libur, bisa habiskan waktu di kamar, iyakan?”  Seorang teman kerja menggodaku.

Kubalas dengan senyum. Gontai aku keluar dari warung kopi, lalu menghenyakkan bokong di boncengan motor Bang Ramli.  Di sepanjang jalan Bang Ramli mengajakku ngobrol. Tak lupa dia selipkan kata nasihat seperti biasanya.

“Semangat menjalani hidup ini. Kamu itu punya hidup yang sempurna. Istri yang cantik, udah dikaruniai anak  juga. Pintar-pintar menggunakan uang, mulai nabung untuk masa depan anak! Biar dia bisa sekolah, jadi sarjana.  Enggak kayak kita. Tapi, jangan pula terlalu pelit. Istri juga harus dibahagiakan. Biar dia setia dan sabar mendampingi suami. Bagus, tadi kamu belikan dia daster. Pasti dia senang.”

Seketika hatiku tenang. Bang Ramli memang selalu paham pikiranku.

“Kita udah sampai, segera kasih kejutan buat istrimu, kuatkan stamina, pasti dia akan ngajak kau main beberapa ronde sebagai ungkapan terima kasih, hehehehe ….” godanya lagi.

“Ah, Abang!” sahutku malu.

Dengan langkah lebar aku memasuki halaman kontrakan.  Sepertinya ada tamu, sebuah motor terparkir di teras.  Namun, tak terdengar suara orang berbincang. Pintu setengah terbuka, kucari mereka di ruang tamu, tak ada. Samar kudengar tawa manja istriku dari dalam kamar.

*****

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sri Hartati
duh, istri cantiknya abang. lagi ngapain di kamar ?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status