Share

Bab 4. Saat Aku di Penjara Anakku Jadi Babu

*****

“Stop, di sini, Bang!” ucapku menghentikan abang ojek yang kutumpangi di depan sebuah rumah. Rumah Bang Galih, abang sulungku.  Terpaksa rumah itu yang kutuju setelah bebas dari penjara, bukan rumah ibu. Ibu sudah meningggal lima tahun yang lalu, dua tahun setelah aku menjalani hukuman di dalam penjara.

Sejak kematian Ibu, Bima terpaksa ikut dengan Bang Galih. Itu sebab aku datang  ke sini.  Anakku adalah tujuan utamaku. Entah bagaimana rupa dan perwakannya sekarang. Dulu, Ibu sering membawanya saat menjengukku di dalam penjara. Namun, sejak ibu tiada aku tak pernah dijenguk oleh siapapun lagi. Bang Galih mungkin sangat sibuk. Sedang kedua kakak perempuanku, sepertinya malu punya adik seorang narapidan*. Suami mereka yang melarang. Begitu yang pernah kudengar. Tak apa, aku tidak sakit hati. Mereka harus lebih mengutamakan keutuhan rumah tangganya daripada memikirkan aku, adik bungsu yang tak berguna.

“Yang bersih ngepelnya! Liat, nih! Lantainya masih kotor! Pakai matamu! Punya mata enggak!”

Aku tersentak. Suara omelan itu lebih mirip bentakan. Segera kubayar ongkos ojekku. Selembar uang lima puluh ribu pemberian sipir penjara yang tadi melepasku.  Buru-buru sang supir ojek memberi kembalian padaku. Setelah kuucap terima kasih, diapun berlalu.

“Ulangi ngepelnya! Setelah itu sapu halaman! Awas, ya, kalau masih tidak bersih! Enggak dapat jatah makan siang, kamu!”

Kembali terdengar bentakan dari teras rumah. Sontak kutoleh ke sana. Kusipitkan kedua kelopak mata untuk memastikan siapa mereka. Seorang  wanita dewasa dan seorang anak kecil laki-laki. 

Halaman rumah yang luas membuat jarak dari depan pagar  tempatku berdiri saat ini agak jauh  ke posisi mereka. Itu membuatku kesulitan mengenali keduanya. Kalau tidak salah si perempuan itu adalah Kak Rosa, istri Bang Galih. Lalu, siapa anak kecil itu?

“Yang bersih! Ngerti bahasa Indonesia enggak, sih! Liat itu! Itu apa, ha, itu apa! Dasar anak si*l! Bikin susah orang aja! Ngepel aja enggak becus, kau mau makan gratis aja di sini, iya? Udah bapakmu bikin malu keluarga! Ibumu tukang selingkuh! Lah, kau! Kau  jadi sampah! Sampah di rumahku, tau! Susul bapakmu ke penjara, sana! Biar bisa makan tidur gratis!” maki  Kak Rosa menoyor kepala sang bocah. Hampir saja anak kecil itu terjerembab jatuh kalau tidak segera berpegangan pada dinding.

Jantungku seketika bagai lompat dari posisinya. Darah serasa berhenti mengalir, aku membeku. Tuhan, apa yang aku saksikan ini? Pemandangan apa ini? Siapa anak kecil itu? Bimaku kah? Astaga! Kenapa Kak Rosa memperlakukannya sekejam itu? Bukankah usianya sekarang sudah tujuh tahun, seharusnya dia di  sekolah. Lalu kenapa  dia ada di rumah?

Mengepel?

Bocah usia tujuh tahun dipaksa mengepel? Sedangkan untuk menggerakkan tangkai pengepel itu saja dia belum sanggup, konon lagi mengepel hingga bersih seperti yang dia perintah.

Kupindai dengan seksama bocah dekil di teras itu. Seperti itukah rupa anakku? Begitu kurus, Tuhan? Hanya kulit pembalut tulang?

“Awas kalau enggak bersih! Bikin tensiku naik aja! Heh!” Perempuan itu  mendorong kasar bahu sang bocah, lalu masuk ke dalam rumah. 

Lututku lemas, aku terduduk di trotoar jalan. Pandangan masih lurus ke arah teras rumah yang lumayan besar di depan sana.  Air mata meleleh tanpa dapat kubendung.

Hatiku kian sesak saat menyaksikan bocah itu kemudian berjuang di sana. Menggosok-gosokkan kain pel di lantai teras. Aku yakin tubuh kecil  kurus itu telah basah oleh peluh dan keringat. Belum lagi didera ketakutan karena ancaman tak akan diberi makan.  Bimaku kah itu? Begitu tragis nasipmu, Nak?

Ninda! Ini semua karena kau! Kau yang jal*ng, tapi anakku yang jadi korban!  Baik, aku sudah pulang! Bimaku tak akan terlantar. Kau bukan sampah, Nak! Akan kujadikan kau permata, yang bersinar terang sehingga tak  ada lagi yang akan merendahkanmu.

Tanganku mengepal erat.  Dengan sigap  aku  bangkit. Menguatkan lutut yang sempat lemas, aku melangkah masuk ke halaman rumah. Akan kujemput anakku sekarang.

“Bima …!” panggilku setelah kami tak lagi berjarak.

Bocah dekil itu menoleh. Matanya menyipit, memindai penampilanku dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu bermuara di wajahku. Tatapan kami beradu, lama. Entah  kenapa aku melihat sorot kebencian di sorot mata sayunya. Pelan kuletkkan tas kain yang tadi kutenteng. Lalu berjongkok di depannya. Kini, tinggi tubuh kami sudah sejajar.

“Kamu Bima, kan, Nak?” tanyaku menyentuh pundaknya. Ingin kupeluk dia, namun ragu  karena tatapan sinisnya.

Mata bocah itu mengikuti arah tanganku di pundaknya, lalu menepis dengan pelan. Tanpa berucap sepatah kata, dia melanjutkan aktivitasnya. Hatiku bagai tertusuk. Dia mengabaikanku.

“Bima?” lirihku kembali menyebut namanya.

Tak ada sahutan. Sebuah mobil memasuki halaman. Sekilas bocah itu menoleh, cepat-cepat dia menyudahi aktivitasnya, lalu membawa alat pel ke dalam rumah. Sepertinya dia ketakutan kalau sampai ketahuan oleh orang yang baru datang itu. Aku terpana. Kenapa?

“Eh, Bara! Kau sudah bebas?”

Seorang pria langsung menyapa, begitu pintu mobil itu terbuka. Bang Galih turun lalu berjalan menghampiriku.

“Bang,” sahutku lemas. Pikiran berkecamuk. Bayangan saat Bima panik begitu melihat mobil Bang Galih pulang mengusik benakku.

“Kenapa tidak masuk? Naik apa ke sinii? Maaf, ya, aku ada urusan tadi, makanya enggak sempat jemput kau ke lapas. Ayo masuk!”  cecar  Bang Galih memeluk pundakku.

Dengan langkah lesu, aku mengikutinya. Pria itu lalu berteriak memanggil istrinya.

“Eh, kau  udah bebas? Baguslah! Sehat kau, kan? Si Bima kurang sehat tadi pagi, makanya tidak sekolah dia. Bimaaaa, sini!” tanya Kak Rosa basa basi, lalu berteriak memanggil anakku.

Bima kurang sehat? Itu sebab dia tidak sekolah hari ini. Tetapi kenapa malah dia paksa bekerja keras mengepel lantai dan menyapu halaman tadi? Bahkan dimaki dan dicaci.

“Ini Bima? Kau pasti sudah lupa wajahnya, kan?” sindir Kak Rosa saat Bima datang. “Udah besar dia. Kami tak pernah lalai memberi dia makan, tuh, lihat! Badannya memang kurus, itu bukan karena kurang makan, tapi karena dia memang malas makan. Bandelnya minta ampun!  Sukanya cuma minum es dan makanan dingin. Dia  suka mencuri makanan di dalam kulkas. Nah, itu akibatnya, tadi pagi katanya badannya meriang. Tapi sekarang udah sembuh, kok, sudah kakak beri obat.” Bibir tipis Kak Rosa terus mengoceh.

Bima hanya menunduk. Tak sekalipun dia menatapku.

“Bima, sekarang Bapakmu sudah pulang. Dia akan tinggal di sini.  Bibik  akan berusaha lebih menghemat uang belanja, biar cukup buat makan kita semua. Bibik lanjut dulu masaknya,” sindir Kak Rosa lalu kembali ke dapur.

“Tidak usah repot, Kak! saya ke sini hanya untuk  menjemput Bima,” sergahku menghentikannya.

“Apa?” Perempuan itu terbelalak.

****

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status