Home / Romansa / Daster Buat Istriku / Bab 4. Saat Aku di Penjara Anakku Jadi Babu

Share

Bab 4. Saat Aku di Penjara Anakku Jadi Babu

last update Last Updated: 2023-03-28 09:26:33

*****

“Stop, di sini, Bang!” ucapku menghentikan abang ojek yang kutumpangi di depan sebuah rumah. Rumah Bang Galih, abang sulungku.  Terpaksa rumah itu yang kutuju setelah bebas dari penjara, bukan rumah ibu. Ibu sudah meningggal lima tahun yang lalu, dua tahun setelah aku menjalani hukuman di dalam penjara.

Sejak kematian Ibu, Bima terpaksa ikut dengan Bang Galih. Itu sebab aku datang  ke sini.  Anakku adalah tujuan utamaku. Entah bagaimana rupa dan perwakannya sekarang. Dulu, Ibu sering membawanya saat menjengukku di dalam penjara. Namun, sejak ibu tiada aku tak pernah dijenguk oleh siapapun lagi. Bang Galih mungkin sangat sibuk. Sedang kedua kakak perempuanku, sepertinya malu punya adik seorang narapidan*. Suami mereka yang melarang. Begitu yang pernah kudengar. Tak apa, aku tidak sakit hati. Mereka harus lebih mengutamakan keutuhan rumah tangganya daripada memikirkan aku, adik bungsu yang tak berguna.

“Yang bersih ngepelnya! Liat, nih! Lantainya masih kotor! Pakai matamu! Punya mata enggak!”

Aku tersentak. Suara omelan itu lebih mirip bentakan. Segera kubayar ongkos ojekku. Selembar uang lima puluh ribu pemberian sipir penjara yang tadi melepasku.  Buru-buru sang supir ojek memberi kembalian padaku. Setelah kuucap terima kasih, diapun berlalu.

“Ulangi ngepelnya! Setelah itu sapu halaman! Awas, ya, kalau masih tidak bersih! Enggak dapat jatah makan siang, kamu!”

Kembali terdengar bentakan dari teras rumah. Sontak kutoleh ke sana. Kusipitkan kedua kelopak mata untuk memastikan siapa mereka. Seorang  wanita dewasa dan seorang anak kecil laki-laki. 

Halaman rumah yang luas membuat jarak dari depan pagar  tempatku berdiri saat ini agak jauh  ke posisi mereka. Itu membuatku kesulitan mengenali keduanya. Kalau tidak salah si perempuan itu adalah Kak Rosa, istri Bang Galih. Lalu, siapa anak kecil itu?

“Yang bersih! Ngerti bahasa Indonesia enggak, sih! Liat itu! Itu apa, ha, itu apa! Dasar anak si*l! Bikin susah orang aja! Ngepel aja enggak becus, kau mau makan gratis aja di sini, iya? Udah bapakmu bikin malu keluarga! Ibumu tukang selingkuh! Lah, kau! Kau  jadi sampah! Sampah di rumahku, tau! Susul bapakmu ke penjara, sana! Biar bisa makan tidur gratis!” maki  Kak Rosa menoyor kepala sang bocah. Hampir saja anak kecil itu terjerembab jatuh kalau tidak segera berpegangan pada dinding.

Jantungku seketika bagai lompat dari posisinya. Darah serasa berhenti mengalir, aku membeku. Tuhan, apa yang aku saksikan ini? Pemandangan apa ini? Siapa anak kecil itu? Bimaku kah? Astaga! Kenapa Kak Rosa memperlakukannya sekejam itu? Bukankah usianya sekarang sudah tujuh tahun, seharusnya dia di  sekolah. Lalu kenapa  dia ada di rumah?

Mengepel?

Bocah usia tujuh tahun dipaksa mengepel? Sedangkan untuk menggerakkan tangkai pengepel itu saja dia belum sanggup, konon lagi mengepel hingga bersih seperti yang dia perintah.

Kupindai dengan seksama bocah dekil di teras itu. Seperti itukah rupa anakku? Begitu kurus, Tuhan? Hanya kulit pembalut tulang?

“Awas kalau enggak bersih! Bikin tensiku naik aja! Heh!” Perempuan itu  mendorong kasar bahu sang bocah, lalu masuk ke dalam rumah. 

Lututku lemas, aku terduduk di trotoar jalan. Pandangan masih lurus ke arah teras rumah yang lumayan besar di depan sana.  Air mata meleleh tanpa dapat kubendung.

Hatiku kian sesak saat menyaksikan bocah itu kemudian berjuang di sana. Menggosok-gosokkan kain pel di lantai teras. Aku yakin tubuh kecil  kurus itu telah basah oleh peluh dan keringat. Belum lagi didera ketakutan karena ancaman tak akan diberi makan.  Bimaku kah itu? Begitu tragis nasipmu, Nak?

Ninda! Ini semua karena kau! Kau yang jal*ng, tapi anakku yang jadi korban!  Baik, aku sudah pulang! Bimaku tak akan terlantar. Kau bukan sampah, Nak! Akan kujadikan kau permata, yang bersinar terang sehingga tak  ada lagi yang akan merendahkanmu.

Tanganku mengepal erat.  Dengan sigap  aku  bangkit. Menguatkan lutut yang sempat lemas, aku melangkah masuk ke halaman rumah. Akan kujemput anakku sekarang.

“Bima …!” panggilku setelah kami tak lagi berjarak.

Bocah dekil itu menoleh. Matanya menyipit, memindai penampilanku dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu bermuara di wajahku. Tatapan kami beradu, lama. Entah  kenapa aku melihat sorot kebencian di sorot mata sayunya. Pelan kuletkkan tas kain yang tadi kutenteng. Lalu berjongkok di depannya. Kini, tinggi tubuh kami sudah sejajar.

“Kamu Bima, kan, Nak?” tanyaku menyentuh pundaknya. Ingin kupeluk dia, namun ragu  karena tatapan sinisnya.

Mata bocah itu mengikuti arah tanganku di pundaknya, lalu menepis dengan pelan. Tanpa berucap sepatah kata, dia melanjutkan aktivitasnya. Hatiku bagai tertusuk. Dia mengabaikanku.

“Bima?” lirihku kembali menyebut namanya.

Tak ada sahutan. Sebuah mobil memasuki halaman. Sekilas bocah itu menoleh, cepat-cepat dia menyudahi aktivitasnya, lalu membawa alat pel ke dalam rumah. Sepertinya dia ketakutan kalau sampai ketahuan oleh orang yang baru datang itu. Aku terpana. Kenapa?

“Eh, Bara! Kau sudah bebas?”

Seorang pria langsung menyapa, begitu pintu mobil itu terbuka. Bang Galih turun lalu berjalan menghampiriku.

“Bang,” sahutku lemas. Pikiran berkecamuk. Bayangan saat Bima panik begitu melihat mobil Bang Galih pulang mengusik benakku.

“Kenapa tidak masuk? Naik apa ke sinii? Maaf, ya, aku ada urusan tadi, makanya enggak sempat jemput kau ke lapas. Ayo masuk!”  cecar  Bang Galih memeluk pundakku.

Dengan langkah lesu, aku mengikutinya. Pria itu lalu berteriak memanggil istrinya.

“Eh, kau  udah bebas? Baguslah! Sehat kau, kan? Si Bima kurang sehat tadi pagi, makanya tidak sekolah dia. Bimaaaa, sini!” tanya Kak Rosa basa basi, lalu berteriak memanggil anakku.

Bima kurang sehat? Itu sebab dia tidak sekolah hari ini. Tetapi kenapa malah dia paksa bekerja keras mengepel lantai dan menyapu halaman tadi? Bahkan dimaki dan dicaci.

“Ini Bima? Kau pasti sudah lupa wajahnya, kan?” sindir Kak Rosa saat Bima datang. “Udah besar dia. Kami tak pernah lalai memberi dia makan, tuh, lihat! Badannya memang kurus, itu bukan karena kurang makan, tapi karena dia memang malas makan. Bandelnya minta ampun!  Sukanya cuma minum es dan makanan dingin. Dia  suka mencuri makanan di dalam kulkas. Nah, itu akibatnya, tadi pagi katanya badannya meriang. Tapi sekarang udah sembuh, kok, sudah kakak beri obat.” Bibir tipis Kak Rosa terus mengoceh.

Bima hanya menunduk. Tak sekalipun dia menatapku.

“Bima, sekarang Bapakmu sudah pulang. Dia akan tinggal di sini.  Bibik  akan berusaha lebih menghemat uang belanja, biar cukup buat makan kita semua. Bibik lanjut dulu masaknya,” sindir Kak Rosa lalu kembali ke dapur.

“Tidak usah repot, Kak! saya ke sini hanya untuk  menjemput Bima,” sergahku menghentikannya.

“Apa?” Perempuan itu terbelalak.

****

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Daster Buat Istriku   Bab 95. Kukirim Video Mesum Itu ke nomor Kekasih Viona

    *****[Kenapa belum datang, Pak Bara? Cepat, saya butuh Bapak sekarang?]Pesan dan Mbak Viona masuk lagi. Ini tak bisa dibiarkan. Kuscroll daftar nomor di kontakku. Kutekan nomor Bang Karmin.“Hallo, Pak Bara, selamat malam! Ada apa malam-malam begini nelpon saya? Ada masalah kah?” Terdengar nada panik dari suaranya. Bang Karmin langsung mengangkat telponku.“Abang segera datang, cepat! Mbak Viona sedang kumat! Jangan pakai lama! Sepuluh menit, lekas!” perintahku.“Viona kumat? Astaga! Bukankah penyakitnya sudah lama sekali tidak kumat? Gimana kumatnya, Pak? Apakah dia menjerit-jerit, pingsan, atau gimana?”“Tak bisa kujelaskan, pokoknya Abang cepat datang kalau tak mau kehilangan dia, cepat!”“Ok, baik! Sepuluh menit aku sudah sampai di situ!”“Hem. Tapi Abang jangan bilang kalau aku yang nelpon Abang! Mbak Viona katanya tak mau diganggu oleh siapapun. Dari tadi dia teriak-teriak enggak jelas. Dia mengunci diri di dalam kamar. Kami takut dia kenapa napa di dalam kamarnya. Sepert

  • Daster Buat Istriku   Bab 94.  Adik Iparku Gilai Suami Orang

    ****[Kutunggu di kamarku malam ini, atau videonya kukirim ke nomor Kak Asya!]Kubaca sekali lagi pesan yang dikirim Mbak Viona lewat aplikasi WA. Perempuan ini benar-benar sudah tidak waras. Dia berusaha agar akupun bertindak tidak waras seperti dia. Tidak, Viona! Kau tak bisa mengancam aku!“Bima, udah makannya? Kalau udah, yuk, belajar sebentar, lalu bobok!” kataku tak menghiraukan pesan perempuan itu.“Udah, Pa! Eeem, Bima mau belajar sama Mama, ya? Bobok juga sama Mama,” ujarnya memohon. Sontak aku dan Asya saling tatap.“Enggak bisa, dong! Bima, kan udah disediakan kamar sendiri!” Mbak Viona yang langsung menjawab. “Mama Asya sama Papa, masih pengantin baru, mereka enggak boleh diganggu. Bima boboknya sendiri aja, ya!” imbuhnya lagi. Bima terdiam dengan wajah murung. Sepertinya dia kecewa dengan jawaban Mbak Viona.“Enggak apa-apa, kok, Bima bobok bareng Mama aja! Yuk, sekarang ita belajar dulu!” kata Asya membuat Bimaku langsung semringah. “Hore … terima kasih, Ma! Bima

  • Daster Buat Istriku   Bab 93. Rencanaku Melawan Viona

    *****“Hallo … halllo Mbak Viona … Hallo …!” Tak sadar aku berteriak di ponselku.Perempuan sakit itu sudah memutusnya. Rasanya tak percaya dengan apa yang aku dengar. Bagaiamna bisa aku tidur dengan Viona tadi pagi. Astaga! Ini kiamat! Bagaimana ini? Bagaimana kalau sampai Asya tahu hal ini. Gawat gawat! Kok bisa sih, aku meniduri perempuan itu?Tapi tidak mungkin. Tidak mungkin itu terjadi. Sama sekali aku tak pernah tertarik pada gadis itu selama ini. Dekat saja dengannya aku ogah. Apalagi kalau sampai menidurinya. Dia pasti ngarang! Perempuan itu sakit jiwa. Apapun bisa saja dia bilang, padahal hanya khayalan gilanya.Kebingunganku belum lagi hilang ketika sebuah notif pesan masuk terdengar di gawaiku. Cepat-cepat kuusap layar. Sebuah kiriman video. Dari perempuan sinting itu lagi. Tak selera aku melihat video kirimannya. Tetapi sontak aku tersadar, bukankah barusan dia bilang akan mengirim ke nomorku video rekaman kami tadi pagi? Astaga! Kalau videonya ada, berarti kej

  • Daster Buat Istriku   Bab 92. Kejutan Maksiat Viona

    *****“Aawww … sakit ….” Sontak kuhentikan gerakanku. Jerit kecil yang terdengar dari bibir Asya adalah keanehan paling parah yang kuarasakan. Benar, sejak awal aku merasakan ada yang berbeda dengan yang kami alkukan tadi malam.Tadi malam, semua berjalan lancar. Kami menyatu dengan begitu gampang. Tapi pagi ini, kurasakan milik Asya sangat berubah. Begitu sulit untuk kemasuki, terasa begitu sempit dan puncaknya adalah jerit kesakitannya barusan.Apa sebenarnya ini? Aku kebingungan.“Sudah, lanjutkan!” bisiknya setelah beberapa detik kami berdiam diri. Kulihat dia menggigit bibir bawahnya. Kusaksikan tangannya mencengkram akin seprei tempat tidur ini. Ini bukan sandiwara, Asyaku sepertinya benar benar kesakitan.Kenapa sakitnya sekarang? Bukankah harusnya tadi malam?“Sayang … sakit banget, ya?” tanyaku kebingungan.“Enggak, kok. Aku bisa nahan. Abang teruskan saja!” jawabnya pelan.“Tapi, kamu ….” sergahku masih belum paham.“Aku enggak apa-apa. Menurut beberapa referensi yang k

  • Daster Buat Istriku   Bab 91. Asya Meminta Duluan

    POV Bara****“Bang … Abang ….”Samar kudengar suara merdu itu memanggil namaku. Kurasakan belaian halus di lenganku. Entah aku masih berada di alam mimpi, atau alam nyata. Yang kurasakan adalah lega dan bahagia yang membuncah di dalam dada.“Bangun, dong! Udah siang banget! Sekarang udah hampir jam sepuluh, loh! Masa kita bobok gak bangun-bangun, sih?” Suara merdu itu kudengar mulai mengoceh. Kupaksa memori otakku untuk bekerja maksimal. Kucoba mengumpulkan nyawa yang belum kembali sepenuhnya. Siluet siluet kejadian kemarin melintas seketika. Saat aku mengucapkan kalimat sakral, lalu disambut dengan teriakan ‘SAH’ dari para hadirin. Menyalam para tamu undangan, lalu tadi malam ….“Sya …?” sontak kubuka kedua netra lebar-lebar. Sekarng aku sudah ingat semuanya, aku sudah menikah kemarin, aku sudah sah menjadi seorang suami lagi. Asya, gadis yang begitu kudamba telah sah menjadi milikku. Dan tadi malam ….Kami sudah melewati malam pertama yang begitu melenakan.“Iya, Abang? Kok,

  • Daster Buat Istriku   Bab 90. Kupinjam Suamimu, Kak Asya

    ****“Jangan takut, Pak Bara …,” bisikku pelan. Kurasakan hentakan nafasnya semakin tak normal. Kadang memburu kadang lemas seolah tak berdaya. Kuintenskan sentuhan jemariku di titik kelemahannya. Wajahnya kian memarah, mata sayunya mulai terpejam. Dia mulai terhanyut, dan hilang dalam gelisah yang kian menyiksa.Pak Baraku mulai dicekik hasrat, aku tau pasti bagaimana sistem kerja pil yang telah dia teguk melalui kopi susu hangat itu. Saat ini, yang dibutuhkan olehnya hanyalah pelampiasan. Sama seperti yang dialami oleh Bang Karmin dulu, saat pertama kali aku harus memaksanya melakukan itu. Jika aku tidak nekat menjeratnya dengan pil itu, tentu hingga detik ini dia tak akan pernah menyentuhku.Dan kali ini adalah giliran Pak Baraku. Pria tampan super dingin yang selalu menolakku. Pria miskin tapi begitu sombong, yang tega menyakiti hatiku lalu menikahi kakakku! Tapi, maaf, pak Bara. Aku Viona, aku tak akan pernah mau kalah. Aku punya seribu cara untuk menaklukkanmu!“Sya … As

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status