*****
“Stop, di sini, Bang!” ucapku menghentikan abang ojek yang kutumpangi di depan sebuah rumah. Rumah Bang Galih, abang sulungku. Terpaksa rumah itu yang kutuju setelah bebas dari penjara, bukan rumah ibu. Ibu sudah meningggal lima tahun yang lalu, dua tahun setelah aku menjalani hukuman di dalam penjara.
Sejak kematian Ibu, Bima terpaksa ikut dengan Bang Galih. Itu sebab aku datang ke sini. Anakku adalah tujuan utamaku. Entah bagaimana rupa dan perwakannya sekarang. Dulu, Ibu sering membawanya saat menjengukku di dalam penjara. Namun, sejak ibu tiada aku tak pernah dijenguk oleh siapapun lagi. Bang Galih mungkin sangat sibuk. Sedang kedua kakak perempuanku, sepertinya malu punya adik seorang narapidan*. Suami mereka yang melarang. Begitu yang pernah kudengar. Tak apa, aku tidak sakit hati. Mereka harus lebih mengutamakan keutuhan rumah tangganya daripada memikirkan aku, adik bungsu yang tak berguna.
“Yang bersih ngepelnya! Liat, nih! Lantainya masih kotor! Pakai matamu! Punya mata enggak!”
Aku tersentak. Suara omelan itu lebih mirip bentakan. Segera kubayar ongkos ojekku. Selembar uang lima puluh ribu pemberian sipir penjara yang tadi melepasku. Buru-buru sang supir ojek memberi kembalian padaku. Setelah kuucap terima kasih, diapun berlalu.
“Ulangi ngepelnya! Setelah itu sapu halaman! Awas, ya, kalau masih tidak bersih! Enggak dapat jatah makan siang, kamu!”
Kembali terdengar bentakan dari teras rumah. Sontak kutoleh ke sana. Kusipitkan kedua kelopak mata untuk memastikan siapa mereka. Seorang wanita dewasa dan seorang anak kecil laki-laki.
Halaman rumah yang luas membuat jarak dari depan pagar tempatku berdiri saat ini agak jauh ke posisi mereka. Itu membuatku kesulitan mengenali keduanya. Kalau tidak salah si perempuan itu adalah Kak Rosa, istri Bang Galih. Lalu, siapa anak kecil itu?
“Yang bersih! Ngerti bahasa Indonesia enggak, sih! Liat itu! Itu apa, ha, itu apa! Dasar anak si*l! Bikin susah orang aja! Ngepel aja enggak becus, kau mau makan gratis aja di sini, iya? Udah bapakmu bikin malu keluarga! Ibumu tukang selingkuh! Lah, kau! Kau jadi sampah! Sampah di rumahku, tau! Susul bapakmu ke penjara, sana! Biar bisa makan tidur gratis!” maki Kak Rosa menoyor kepala sang bocah. Hampir saja anak kecil itu terjerembab jatuh kalau tidak segera berpegangan pada dinding.
Jantungku seketika bagai lompat dari posisinya. Darah serasa berhenti mengalir, aku membeku. Tuhan, apa yang aku saksikan ini? Pemandangan apa ini? Siapa anak kecil itu? Bimaku kah? Astaga! Kenapa Kak Rosa memperlakukannya sekejam itu? Bukankah usianya sekarang sudah tujuh tahun, seharusnya dia di sekolah. Lalu kenapa dia ada di rumah?
Mengepel?
Bocah usia tujuh tahun dipaksa mengepel? Sedangkan untuk menggerakkan tangkai pengepel itu saja dia belum sanggup, konon lagi mengepel hingga bersih seperti yang dia perintah.
Kupindai dengan seksama bocah dekil di teras itu. Seperti itukah rupa anakku? Begitu kurus, Tuhan? Hanya kulit pembalut tulang?
“Awas kalau enggak bersih! Bikin tensiku naik aja! Heh!” Perempuan itu mendorong kasar bahu sang bocah, lalu masuk ke dalam rumah.
Lututku lemas, aku terduduk di trotoar jalan. Pandangan masih lurus ke arah teras rumah yang lumayan besar di depan sana. Air mata meleleh tanpa dapat kubendung.
Hatiku kian sesak saat menyaksikan bocah itu kemudian berjuang di sana. Menggosok-gosokkan kain pel di lantai teras. Aku yakin tubuh kecil kurus itu telah basah oleh peluh dan keringat. Belum lagi didera ketakutan karena ancaman tak akan diberi makan. Bimaku kah itu? Begitu tragis nasipmu, Nak?
Ninda! Ini semua karena kau! Kau yang jal*ng, tapi anakku yang jadi korban! Baik, aku sudah pulang! Bimaku tak akan terlantar. Kau bukan sampah, Nak! Akan kujadikan kau permata, yang bersinar terang sehingga tak ada lagi yang akan merendahkanmu.
Tanganku mengepal erat. Dengan sigap aku bangkit. Menguatkan lutut yang sempat lemas, aku melangkah masuk ke halaman rumah. Akan kujemput anakku sekarang.
“Bima …!” panggilku setelah kami tak lagi berjarak.
Bocah dekil itu menoleh. Matanya menyipit, memindai penampilanku dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu bermuara di wajahku. Tatapan kami beradu, lama. Entah kenapa aku melihat sorot kebencian di sorot mata sayunya. Pelan kuletkkan tas kain yang tadi kutenteng. Lalu berjongkok di depannya. Kini, tinggi tubuh kami sudah sejajar.
“Kamu Bima, kan, Nak?” tanyaku menyentuh pundaknya. Ingin kupeluk dia, namun ragu karena tatapan sinisnya.
Mata bocah itu mengikuti arah tanganku di pundaknya, lalu menepis dengan pelan. Tanpa berucap sepatah kata, dia melanjutkan aktivitasnya. Hatiku bagai tertusuk. Dia mengabaikanku.
“Bima?” lirihku kembali menyebut namanya.
Tak ada sahutan. Sebuah mobil memasuki halaman. Sekilas bocah itu menoleh, cepat-cepat dia menyudahi aktivitasnya, lalu membawa alat pel ke dalam rumah. Sepertinya dia ketakutan kalau sampai ketahuan oleh orang yang baru datang itu. Aku terpana. Kenapa?
“Eh, Bara! Kau sudah bebas?”
Seorang pria langsung menyapa, begitu pintu mobil itu terbuka. Bang Galih turun lalu berjalan menghampiriku.
“Bang,” sahutku lemas. Pikiran berkecamuk. Bayangan saat Bima panik begitu melihat mobil Bang Galih pulang mengusik benakku.
“Kenapa tidak masuk? Naik apa ke sinii? Maaf, ya, aku ada urusan tadi, makanya enggak sempat jemput kau ke lapas. Ayo masuk!” cecar Bang Galih memeluk pundakku.
Dengan langkah lesu, aku mengikutinya. Pria itu lalu berteriak memanggil istrinya.
“Eh, kau udah bebas? Baguslah! Sehat kau, kan? Si Bima kurang sehat tadi pagi, makanya tidak sekolah dia. Bimaaaa, sini!” tanya Kak Rosa basa basi, lalu berteriak memanggil anakku.
Bima kurang sehat? Itu sebab dia tidak sekolah hari ini. Tetapi kenapa malah dia paksa bekerja keras mengepel lantai dan menyapu halaman tadi? Bahkan dimaki dan dicaci.
“Ini Bima? Kau pasti sudah lupa wajahnya, kan?” sindir Kak Rosa saat Bima datang. “Udah besar dia. Kami tak pernah lalai memberi dia makan, tuh, lihat! Badannya memang kurus, itu bukan karena kurang makan, tapi karena dia memang malas makan. Bandelnya minta ampun! Sukanya cuma minum es dan makanan dingin. Dia suka mencuri makanan di dalam kulkas. Nah, itu akibatnya, tadi pagi katanya badannya meriang. Tapi sekarang udah sembuh, kok, sudah kakak beri obat.” Bibir tipis Kak Rosa terus mengoceh.
Bima hanya menunduk. Tak sekalipun dia menatapku.
“Bima, sekarang Bapakmu sudah pulang. Dia akan tinggal di sini. Bibik akan berusaha lebih menghemat uang belanja, biar cukup buat makan kita semua. Bibik lanjut dulu masaknya,” sindir Kak Rosa lalu kembali ke dapur.
“Tidak usah repot, Kak! saya ke sini hanya untuk menjemput Bima,” sergahku menghentikannya.
“Apa?” Perempuan itu terbelalak.
****
Bersambung
*****“Apa, kamu ke sini cuma untuk menjemput Bima?” Bang Galih dan istrinya serempak berseru.Aku mengangguk. “Terima kasih sudah merawat Bima selama ini. Aku tak akan melupakan budi dan jasa kalian,” ucapku menatap Bima. Bocah tujuh tahun itu tetap menunduk.“Kau mau tinggal di mana? Kau mau memberi makan apa? Sudahlah! Tinggal di sini saja dulu!” Bang Galih meragukan keputusanku.“Biar sajalah, Bang! Bara itu laki-laki. Masih muda lagi. Dia pasti bisa cari kerja.” Kak Rosa menyela.“Iya, tapi dia baru saja bebas. Biarlah tinggal di sini dulu beberapa hari sampai dia kembali bisa beradaptasi dengan masyarakat. Menenangkan pikiran dulu, kalau sudah ada kerjaan yang tetap, baru cari kontrakan.” Bang Galih berkeras.Kulihat wajah Kak Rosa berubah masam. Bibir tipisnya bergerak-gerak, mungkin ingin membantah ucapan suaminya tapi takut terjadi perdebatan. Jelas sekali, dia tak senang bila aku tinggal menumpang di sini.“Jangan kuatir, Bang. Kebetulan aku sudah punya kerjaan, kok. Ada
***** “Rosa, tutup mulutmu!” Bang Galih spontan mencengkram dan menghentak lengan istrinya. “Kenapa, Bang! Bara harus tahu hal yang sebenarnya! Jangan nanti dia pikir masih ada bagiannya!” Kak Rosa berkeras. “Tapi bukan sekarang saat yang tepat untuk memberitahu dia! Dia baru saja keluar dari penjara! Kau memang perempuan bermulut le –“ “Sudah, Bang! Cukup!” sergahku menghentikan pertengkaran mereka. “Bara, tolong jangan salah paham! Bisa abang jelaskan, jadi begini ….” “Tak ada yang perlu dijelaskan. Aku sudah sangat paham. Di saat aku terpuruk, kalian malah mengambil kesempatan. Tapi, sudahlah. Aku ihklas kalian menjual tanah warisan itu meski tanpa sepengetahuanku! Aku juga ihklas Abang mengambil bagianku. Setidaknya aku tak merasa berhutang budi lagi pada kalian karena telah merawat anakku selama lima tahun ini. Terima kasih, permisi!” Kuayunkan kaki dengan langkah panjang. Bima sudah menunggu di teras. “Bara … Bara, tunggu! Abang akan mengantar kalian pakai mobil Abang
**** “Bima, kau bisa bicara?” sergahku dengan suara bergetar. Dia menyipitkan kelopak mata, bingung dengan pertanyaanku. “Maaf, kau diam saja sejak bertemu papa, papa kira kau b*su, Nak,” lanjutku mengusap kepalanya. “Aku benci sama Papa. Kenapa lama sekali datangnya? Lukaku udah kering. Papa enggak enggak datang datang juga, kan?” cecarnya langsung menepis tanganku. “Luka?” tanyaku dengan dahi mengernyit. “Hem. Aku mau ngadu sama Papa. Waktu itu perutku berdarah. Kulitnya terkelupas. Sampai lukanya kering, Papa gak pulang-pulang!” “Perut kamu luka karena apa?” Bima terdiam, hanya pandangannya yang menerawang. “Boleh papa lihat, Sayang?” tanyaku mencoba meraih tubuh kurusnya tepat di bagian perut. “Jangan! Udah sembuh!” Lagi-lagi dengan gerkan cepat Bima menepis tanganku. “Aku benci sama Papa! Papa gak ada saat aku butuh Papa. Tapi, aku harus ikut Papa sekarang. Mak Tua bilang, jika Papa pulang, aku tak boleh lagi membuat dia susah. Aku harus pergi bersama Papa. Seben
“Masuk!” perempuan berbaju seronok itu melebarkan pintu. Tanpa menunggu kami masuk dia langsung menuju salah satu bilik. Sebuah ruangan yang sengaja disekat dengan karton bekas kardus.Kuedarkan pandangan ke dalam rumah. Rumah? Apakah pantas ini disebut rumah? Gubuk, itu lebih tepatnya. Bangunan berukuran kira-kira lima kali sepuluh meter itu berdinding papan yang sudah keropos, berlantai tanah, dan beratap seng yang sudah lapuk. Bahkan bias cahaya bintang mampu menerobos ke dalam rumah, pertanda atap itu sudah bocor di mana mana.Di dalam sana ada tiga bilik yang semuanya hanya berdinding karton bekas kardus. Tak tega rasanya menempatkan Bima tinggal di tempat sekumuh ini. Tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Daripada terlunta-lunta di jalanan, berlindung di gubuk ini masih jauh lebih baik.Begini rasanya menjadi orang yang terbuang. Seperti gelandangan yang tak punya sanak keluarga. Percuma punya sanak saudara. Mereka mlu punya saudara seperti aku yang mantan narapidana. Arrrrgh
Tidak, aku harus mencari pekerjaan lain yang lebih terhormat. Aku memutuskan.“Ikut enggak? Kami mau berangkat ini. Kalau ikut, ayo! Kamu boleh pinjam pakaian saya. Kata Asri baju-baju kalian dicuri orang, ya?” Pria yang bernama Harjo menawarkan jasa.“Tidak dulu, Bang. Aku akan coba cari kerjaan lain dulu,” jawabku tetap sopan.“Baiklah. Semoga dapat, ya! Kami berangkat duluan.”Aku mengangguk. Segera aku bangkit menuju kamar mandi. Aku harus membersihkan diri dan terlihat rapi untuk mencari pekerjaan nanti.“Pa, Bima mau sekolah hari ini. Udah seminggu enggak diijinin sekolah oleh Mak Tua. Katanya karena Bima sakit, padahal enggak,” tutur Bima menyusulku ke kamar mandi.“Iya, nanti Papa antar ke sekolah kamu, ayo sekalian mandi!”Buru-buru kami menyiapkan diri. Beruntung tas sekolah Bima tidak ikut dilarikan pencuri tadi malam. Seragam sekolah dan buku Bima ada di dalam. Setelah pamit kepada Bu Hindun, kami langsung pergi. Asri sepertinya juga sudaah pergi, entah ke mana. Mungkin
“Kamu?” Ninda menatapku tak percaya. Kedua bola mata bagus itu membola.Cantik, perempuan ini terlihat makin cantik saja. Penampilannya bak wanita sosialita. Tak kalah dengan para istri konglomerat. Busana mewah, perhiasan mahal, parfum berkelas dan cara bicara yang arogant. Dia istriku, dulu. Sekarang sudah tak ada rasa. Yang ada hanya sakit hati yang masih meradang di dalam dada. Bukan karena masih cinta, tetapi karena pengkhianatannya membuatku terjerat di dalam penjara dan tercampak pada kehidupan yang begini sakitnya.“Abang udah keluar dari penjara?” tanyanya sambil menepis-nepis ujung gaun mewahnya bekas kutabrak tadi. Sepertinya dia begitu jijik karena sempat bersentuhan dengan pakaianku yang lusuh, kumal, dan kwalitas rendah.“Selamat ya! Em, anak Abang apa kabar? Eh, tapi ngapain Abang di sini? Ini sekolah mahal, lho. Sekolah untuk anak-anak orang terkaya dan terpandang di kota ini. Khusus untuk anak-anak kelas atas. Gak mungkin, kan, abang menyekolahkan anak abang di sini
****Aku terpana, begini wujud perempuan bersuara lembut itu rupanya. Cantik, anggun, tenang, dan begitu mempesona. Kukira selama ini, Ninda adalah perempuan paling cantik. Ternyata, Ninda justru tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan wanita ini. Dan aku telah membuatnya tersinggung.“Saya minta maaf, saya tidak tau kalau itu pemberian dari Bu Guru. Saya pikir dari orang asing. Sekali lagi, maaf!” ucapku penuh penyesalan.“Baik, Pak. Tolong simpan nomor saya, ya. Kalau ada apa-apa dengan Bima, Bapak telpon saja saya! Kalau begitu, saya duluan, ya! Bima, jangan lupa pe-er nya, ya, Sayang! Sampai jumpa besok, daaah!”Wanita itu membelai kepala Bima sekali lagi, lalu berjalan ke sebuah mobil yang terparikir tak jauh dari situ. *Pagi ini Bima bangun dengan penuh semangat. Sepertinya dia sangat menyukai sekolah barunya. Atau Bu Guru barunya, entahlah. Tak ada rasa minder terbaca di wajahnya. Aku masih meringkuk di bilik kardus yang sudah dibuatkan oleh ayah Asri untuk kamar kami
****“Jadi, Abang mau pulangin sertifikat itu?” tanya Asri menyerahkan semangkuk bubur nasi kepadaku.“Iya,” sahutku langsung menyendokkan makanan berair itu ke mulutku. Tak ada rasa, hanya segenggam beras dimasak dengan air yang banyak lalu dibubuhi sedikit garam. Lumayan, bisa untuk mengganjal perut hingga siang.“Ini bekal makan siang kamu, Bima.” Asri sudah mengisi sebuah wadah bertutup yang terbuat dari bahan plastik.“Bik, ada wadah lain, enggak?” Bima melirikku seperti menahan rasa takut. Itu karena aku melarangnya untuk protes apapun yang diberikan Asri padanya.“Kenapa dengan wadah itu?” Benar saja, plototan mataku langsung terarah padanya.“Eeem, enggak apa-apa, Pa.” Bima langsung menunduk. Sedikitpun aku tak menyangka kalau perkara wadah itu akan menjadi penyebab masalah besar di sekolahnya kemudian.*“Rajin belajar! Patuh kepada Ibu Guru!” titahku, kuusap kepala Bima sekali lagi sebelum dia masuk ke sekolahnya. “Siap, Pa!” ucapnya meletakkan tangan di pelipis, lal