Share

Bab 3 Takdirmu

Universitas Academy Of Music

"Hai, Zenia."

Gadis berhoodie ungu itu berbalik. "Hai!" 

"Kau baru ke kampus lagi setelah satu Minggu, Zenia," ucap satu di antara 3 gadis  berpakaian minim.

Zenia tersenyum. "Ya ... aku cukup lelah, jadi aku memutuskan untuk istirahat sejenak," ujarnya.

"Kegiatan apa yang kau isi selama istirahat?" tanya Cherly, si gadis dengan lipstik merah merona.

"Membaca beberapa buku di perpustakaan rumahku," kata Zenia.

"Itu saja?" Dylan menyinis, si gadis paling cantik di antara Cherly dan Vina. Itu menurut Zenia.

"Juga beberapa novel ... memangnya kenapa?"

"Wah ... kau sempurna, tapi seleramu sangat jelek," desis Vina, si gadis dengan belahan dada yang terbuka 

"Haha ... yah, itu memang jelek, seperti wajah kalian," ketus Zenia. Tidak peduli bagaimana raut kesal ketiga gadis itu, dia berlalu begitu saja. Terkadang, orang-orang seperti mereka harus dibalas. Zenia tidak menyukai mereka, dan dia secara terang-terangan menunjukkan itu.

Kelas dengan 200 kursi dalam satu ruangan menjadi hening ketika Zenia tiba. Semua mata tertuju kepada bintang muda itu. Bukan karena takut, hanya saja mereka selalu terpesona dengan kecantikan Zenia yang seperti dewi. 

Zenia tersenyum ketika mendapati lambaian Melisa. 

"Kau mengurangi waktu istirahatmu," Melisa mengambil pulpennya yang terjatuh di bawah meja.

Zenia mengangguk samar. "Aku tidak ingin berlama-lama mengambil cuti konser. Satu minggu sudah sangat cukup bagiku."

"Eh, apa kau tahu?"

"Tidak--- aakh!"

Melisa yang kesal mencubit paha kiri Zenia yang terlapis levis putih. 

"Tidak," Melisa mengulangi ucapan Zenia dengan mencibir. Dia kembali mencubit paha kiri Zenia sehingga menghasilkan teriakan kecil.

"Tunggu sebentar." Melisa mengambil ponselnya dari dalam tas, lalu menunjukkan gambar seorang pria di unggahan I*******m.

'PANGERAN DONGENG YANG NYATA' 

"Foto ini diambil saat konsermu berlangsung. Unggahan ini sedang viral dan langsung mendapat satu juta like dalam satu jam. Tidak heran, karena pria ini seperti pangeran di negeri dongeng. Penggemar priamu tampan-tampan, ya, aku jadi ingin menikahinya." 

Alis Zenia mengerut. Dia lalu merebut ponsel merek Apple milik Melisa untuk melihat kembali wajah pria tampan itu. Di dalam foto tersebut, nampak seorang pria muda yang memakai jaket levis biru dengan topi Beanie.

Alis Zenia semakin mengerut. Rasanya dia pernah melihat perawakan seperti itu sebelumnya, tapi di mana? Entahlah, lupakan saja.

"Bagaiamana? Dia tampan, kan?" Melisa mengambil kembali ponselnya.

Zenia tak menjawab. Sebenarnya, Zenia adalah tipe orang yang senang berfikir, apalagi jika ada sesuatu yang terlupa, gadis ini akan berusaha mengingatnya kembali. 

Pintu ruangan terbuka. Muncullah seorang pria tua dengan dua buah buku serta satu spidol di tangannya. 

"Buka materi terakhir."

.

.

.

Kelas berakhir pada pukul 14:54 siang. Melisa mengajak Zenia ke mall untuk membeli sebuah kado. Pada awalnya Melisa membatalkan ajakan itu, tapi Zenia sudah terlanjur bersemangat. Melisa tidak mau mengambil resiko, mengingat temannya itu merupakan seorang publik figur, bagaimana jika pengunjung mall mengenali Zenia, aksi kejar-kejaran pasti terjadi. 

"Kau akan menjadi buronan dadakan jika penggemar sampai mengenalimu," ucap Melisa.

Zenia tidak peduli dengan kata-kata gadis bermata sipit itu. Dia tetap bersikeras untuk ikut, bahkan dia sudah menyiapkan masker, topi, dan juga kacamata. Kalau sudah begini, Melisa bisa apa?

•••

Kerjaan Axton, 1350.

Prang!

Emilia memecahkan gelas sebagai bentuk kemarahannya terhadap adiknya, Zein. Dua tahun lamanya ia menunggu seorang keturunan yang akan menjadi awal dari kekekalan seluruh penduduk Axton. Dia begitu kesal ketika mengetahui bahwa Zein sudah menemukan seorang wadah, tapi belum juga menuntaskan tugasnya. 

"Lakukanlah segera, Zein," geram Emilia, putri Raja Theodor yang anggun.

"Jangan memerintahku!"

Emilia menatap jengah adik yang sejujurnya tak ia sayangi. Keras kepala Zein merupakan salah satu alasan dalamnya kebencian itu. 

"Itu milikku, jadi semua terserah padaku." 

Emilia semakin dibalut emosi. Dia kehabisan kata menghadapai Zein yang semakin terlihat menyebalkan. Urusan berdebat, Zein ahlinya.

"Leviathan semakin dekat dengan lingkaran batu. Itu tidak akan lama sampai kerajaan ini menjadi hancur."

Zein menatap lantai keramik berwarna coklat tua di bawah kakinya. Leviathan, ya. Iblis tukang iri yang selalu menjadi masalah kerajaan-kerajaan besar, termasuk Axton. Iblis dengan rupa dewa mempunyai rasa iri hati yang kuat. Apa yang kau punya sedangkan dia tidak, siap-siap saja akan diambilnya. Itulah si iblis Leviathan.

"Tidak akan kubiarkan itu terjadi. Aku akan membunuh Leviathan tepat setelah lingkaran batu mengembalikan kekuatanku." Zein melangkah mendekati jendela. Berdiri di samping kiri Emilia dan memandang langit malam yang bisu. 

"Leviathan adalah seorang iblis, Zein. Iblis tidak bisa kau musnahkan, kecuali disegel," jelas Emilia. Dia memiliki pengalaman tersendiri bersama seorang iblis. Dahulu, ia hampir mati kehabisan tenaga ketika bertarung dengan iblis. Seratus kali dia membunuh makhluk terkutuk itu, tapi sebanyak itu juga mereka bangkit kembali.

"Itu sama saja membunuhnya ..." Zein menjeda sebentar kalimatnya. Segelas anggur tampak nikmat di atas meja sana. "Ahh ...." Keras dan pahit, tapi nikmat secara bersamaan. Zein menurunkan gelas yang sudah tidak berisi ke atas meja. 

"Aku menaruh dua puluh penjaga di dalam dan luar kamar ayah. Jangan harap kau bisa menemuinya saat aku pergi," tegas Zein sebelum meninggalkan Emilia sendiri di aula kaca kerajaan.

Emilia membuang nafasnya kasar, kesal. 

"Aku bukan musuhnya!"  

Washington, 2021.

Melisa dibalut rasa was-was semenjak menginjakkan kaki di mall yang ramai bersama Zenia. Jantungnya berdegup kencang ketika orang-orang mulai menatap mereka, terutama Zenia. Ah! Dia kesal berada dalam situasi tertekan seperti ini. Dan makin kesal lagi ketika hanya dia yang merasa seperti itu. Meskipun seluruh wajah Zenia hampir tertutup, tetap saja aura gadis itu seakan menarik semua orang untuk mendekat.

"Tolong siapkan kakimu."

Kening gadis berhoodie ungu itu mengerut. Dia menghentikan langkahnya. "Maksudmu?" Zenia tidak mengerti.

Melisa dengan kejengahannya memperhatikan setiap orang yang lalu lalang melewati mereka. Tidak sedikit yang berbisik-bisik ketika melihat mereka. Ada juga seorang pria muda yang sempat berhenti untuk memotret mereka. Hei, apa maksudnya itu?

"Kau akan di kejar ribuan penggemarmu di mall ini jika kau tidak memakai kacamata bulatmu itu, Zenia!" Melisa dengan kekesalannya.

Zenia mengangguk dengan mulut sedikit terbuka. Dia memasang kembali kacamata yang sebelumnya ia gantung di leher hoodienya. Menyengir sebelum berkata, "Ayo beli hadiah untuk adikmu," ajak Zenia antusias.

Melisa membiarkan tubuhnya ditarik dan dibawa ke salah satu toko mainan oleh Zenia. 

Zenia kebingungan ketika ditanyai mengenai mainan yang biasa disukai anak perempuan, karena jujur saja ia tidak tahu. Boneka, alat masak mainan, rumah-rumahan, platisin, dan masih banyak lagi. Benda-benda itu tidak pernah dimiliki apalagi dia mainkan. Pplpalu apa saja yang menemani masa kecil Zenia? Nada-nada rumit. Tentu saja.

"Anak perempuan biasanya menyukai warna merah muda, jadi pilih saja sesuatu yang berwarna itu," usul Zenia akhirnya.

Melisa mengangguk. Benar, kebanyakan anak perempuan memang menyukai warna merah muda, tapi tidak semua. "Tunggu sebentar, aku mau ke toilet." Zenia mengangguk, membiarkan Melisa pergi, sementara dirinya duduk di salah satu kursi yang sudah disiapkan oleh pemilik toko.

Buliran air mengucur ke lantai. Zenia melihat tangannya yang sudah basah karena minuman dinginnya yang sudah mencair. Dia mengibaskan tangannya pelan lalu meminta selembar tisu kepada salah satu karyawan. Setelah mendapat tisu, dia mengeringkan telapak dan sela-sela jarinya. Zenia memutuskan untuk menghabiskan minuman yang tidak cukup setengah gelas lagi, walaupun sudah tidak sedingin tadi.

"Eh!" Memundurkan sedikit kepalanya ketika sedotan biru itu justru mengenai maskernya. Zenia menurunkan kain hitam itu hingga ke dagu dan menyedot semua coklat dingin hingga tandas. Meremuk sebelum membuang gelas bekas itu ke tempat sampah.

"Permisi ...."

Seorang karyawan wanita menghamprinya dengan sebuah kotak biru. Entah ada apa di dalamnya.

Zenia buru-buru mengangkat kembali maskernya. Karyawan itu mungkin sudah melihat separuh wajahnya. Apa dia mengenalinya? 

"Terima kasih sudah mengunjungi toko kami." Karyawan itu tersenyum lalu membuka kotak berisi kue kering dengan toping coklat di atasnya. "Ini untuk anda semua. Apa anda menyukainya? Kalau tidak, saya akan mengambilkan rasa dan bentuk yang lebih menarik. Kami masih punya banyak. Ini adalah hadiah untuk pelanggan baru."

Zenia tersenyum di balik maskernya. Dia berterima kasih sebelum menerima sekotak kue lezat itu. 

Zenia mendelik heran. Karyawan itu masih berdiri di hadapannya seperti patung. Zenia melambaikan tangan kanannya di depan wajah wanita berseragam biru yang terus saja menatapnya tanpa berkedip. 

"Apakah anda ... Zenia Mecca?"

Kegugupan menyergap Zenia sesaat, tapi dia kembali santai. Tidak ada celah lagi untuk berbohong.

"Apakah anda benar-benar Zenia Mecca?" Astaga! Karyawan ini bertanya tapi seperti meneriaki maling. Wajahnya berbinar seakan baru saja memenangkan lotre miliaran dollar.

Zenia memundurkan langkahnya ketika para pengunjung mal mendekatinya. Zenia semakin gugup. "Bu-bukan," Zenia mengelak. Sialnya, bukan percaya, para pengunjung mal yang mengerumuninya justru berteriak heboh. Kenapa mereka seperti itu?

"Setiap hari aku mendengarkan lagu-lagu Zenia. Suaranya sudah seperti alaram hidupku. Sekarang, aku bisa mendengarnya langsung!"

"Apa maksudmu?"

"Mengertilah maksudku. Dia adalah Zenia Mecca. Penyanyi dengan suara emas itu!"

Orang-orang mulai mengerumuni Zenia, mereka menginginkan sebuah torehan tinta dari idola mereka itu. Sebenarnya, Zenia senang bertemu dengan penggemarnya, tapi bukan dengan cara seperti ini. Tidak ada manager dan juga beberapa pengawal untuk keamanannya. Orang-orang semakin banyak berdatangan hingga membuat tubuhnya seakan tenggelam. Tangannya mulai ditarik sana-sini. Oh, astaga, ini sudah gawat. Zenia seperti sebuah daging segar yang menjadi perebutan para serigala.

"Astaga, Zenia!" Melisa berlari menembus kerumunan, walaupun sedikit sulit, tapi ia memaksakan langkahnya. 

Tidak ada. Zenia tidak ada dalam kerumunan itu. Entahlah, Melisa harus merasa lega atau panik.

Orang-orang yang menyadari hilangnya Zenia pun pergi satu persatu.

"Di mana dia?" Melisa meninggalkan toko mainan dan pergi mencari keberadaan Zenia. Dia berharap temannya itu baik-baik saja.

•••

"Halo?"

"Ha-halo?" 

"Ini aku."

"Katakan namamu."

"Aku ingin menceritakan masalahku. Apa kau ingat aku sekarang?"

Zenia sedikit mengangguk. Ya, dia ingat siapa penelfon ini, tapi tidak dengan namanya. "Baiklah, tapi bisakah kau-" Zenia membungkam. Menengok sedikit dari balik pintu kamar mandi mall. Dia berdecak kesal melihat beberapa fans yang mengejarnya sedari tadi. 

Zenia berbisik, "Maaf, bisakah kau mejemputku." Sedikit tidak enak hati.

"Tunggu aku." Panggilan dimatikan.

Zenia sedikit lega. Sekarang, ia hanya bisa terdiam di kamar mandi sambil menunggu pria itu datang. 

Entah dengan cara apa pria itu menemui Zenia. Baru semenit yang lalu Zenia memberi tahu lokasinya, dan sekarang pria itu sudah ada di hadapannya. Membuat Zenia terkejut setengah mati ketika mendapati sepasang sepatu coklat berada di di balik pintu toilet.

"Kau ... yang tadi menghubungiku?"

"Aku Zein."

Zenia membalas jabatan Zein sopan dengan sedikit senyuman.

Bungkam. Paras menawan Zein seperti menghipnotis Zenia. Gadis itu belum melepaskan tangan Zein, bahkan mengedip saja tidak. Zenia tidak menyangka kalau orang ini benar-benar seperti pangeran dari sebuah kerajaan. Pasalnya, di malam pertama kali bertemu Zein, Zenia sama sekali tidak dapat melihat wajah cerah itu karena terhalang masker dan kacamata.

•••

Gerbang terbuka. Zein memasuki halaman rumah Zenia dan memarkirkan mobil sport kuningnya di sana.

Empat pelayan wanita berjejer di depan pintu menyambut mereka. Zenia tersenyum ramah, sedangkan Zein masih tetap dengan wajah dinginnya.

"Masuklah. Aku akan buatkan minuman untukmu."

"Terima kasih," kata Zein. 

Zein mendudukkan dirinya di sofa putih. Hampir tak ada warna apapun selain putih di rumah Zenia. Tidak ada foto keluarga atau apapun yang tertempel di dinding yang juga bercat putih. Dinding rumah ini begitu polos. 

Zenia tiba di ruang tamu bersama secangkir teh di tangannya. Ia mengerut heran ketika tak dijumpainya sosok Zein. Dia meletakkan gelas teh tersebut di atas meja kaca. Bertanya mengenai keberadaan Zein kepada salah satu pelayan. Ada sedikit emosi di dalam hatinya saat tahu bahwa pria yang baru saja di temuinya itu telah berani memasuki kamarnya. Sungguh lancang.

"Kita tidak seakrab itu sehingga kau bebas memasuki ruangan privasiku, Tuan," ketus Zenia. Dia menghampiri Zein yang tengah duduk di atas tempat tidurnya. 

"Keluar. Minumanmu ada di ruang tamu."

Zein menatap lekat gadis di depannya. "Aku ingin kau tahu masalahku."

"Aku akan mendengar masalahmu. Bukan di sini, tapi di ruang tamu."

"Ini privasi, jadi harus di tempat privasi juga." 

Zenia tetap pada kata-katanya. Dia pikir siapa dirinya sehingga bisa masuk seenaknya. Selain kedua orang tuanya, Zenia tak mengizinkan siapapun masuk ke dalam kamarnya, termasuk pelayan.

"Keluar." Zenia menahan emosinya.

"Baiklah. Kau duluan."

"Oke." Dengan kesal Zenia menyeret kakinya dari sana. Dia meraih kenop pintu yang dingin, menekan lalu memutarnya perlahan sehingga pintu terbuka.

Brak!

Tak!

Mata Zenia membulat. Tangan kurusnya sudah berada di atas kepalanya. Terasa perih karena cengkaraman Zein yang menyudutkannya di pintu yang sudah tertutup kembali. Beberapa senti lagi tubuh manusia berbeda kelamin itu menempel. 

"Kau-- lepaskan aku!" 

"Tidak akan." Zein dengan seringainya.

"Aaaagh!" Zenia berteriak tanda kalau ini adalah puncak kemarahannya. "Lepaskan aku! Kubilang lepaskan---" 

Zenia melipat kedua bibirnya, matanya melotot. Tak percaya pada apa yang baru saja terjadi. Pria kurang ajar itu mengecup bibirnya dengan lembut. Malu, kesal, dan entah apa saja yang Zenia rasakan saat ini. Pelan-pelan ia membuka matanya. 

"Mau tahu masalah yang bersarang dalam hidupku?" Zein dengan seringainya.

Oh, tidak. Tatapan Zein seakan menghipnotis Zenia.

"Apa?" kata Zenia pelan. Tatapan tajam serta suara tinggi sudah tak ia tunjukkan. Hanya kelembutan dan ketidakberdayaan saat ini.

"Kau, Zenia. Kau adalah masalahku." 

Setelah mengatakan itu, Zein mengangkat tubuh lemah Zenia ke atas tempat tidur. Gadis yang masih memakai hoodie tebal itu sudah tak sadarkan diri. Entah sejak kapan. 

"Maafkan aku, tapi ini memang takdirmu," kata Zein. Pria itu mengangkat tangannya ke udara. Tak lama setelah itu, seluruh pelayan dan pengawal ambruk tak sadarkan diri di atas lantai keramik yang dingin. Lampu di seluruh rumah mati. Hanya bulan yang menjadi lentera. 

Zein menatap tubuh molek Zenia. Dia seperti anjing liar yang mendapatkan daging segar malam ini, dan dia siap menyantapnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status