Kerajaan Axton, 1349.
Kerajaan Axton tengah di rundung duka yang mendalam. Kepergian Ratu Elena membuat Raja Theodor dan seluruh rakyatnya merasa kehilangan sosok Ratu yang mengayomi dan selalu berbaur dengan rakyat biasa.
Kremasi dilakukan dengan cara membakar jasad sang Ratu di atas tumpukan kayu. Selama proses pemakaman, Zein yang masih berumur sehari terus menangis tak ada hentinya. Bayi malang itu seakan tak rela jika ibunya pergi.
"Ayah ...." Seorang gadis kecil menghampiri Raja Theodor. "Kenapa aku harus kehilangan ibu?"
Raja Theodor memeluk sayang anak sulungnya yang masih berumur 5 tahun itu.
"Tidak apa-apa. Ibu memberimu adik yang lucu sebagai gantinya," kata Raja Theodor.
Emilia, putri raja yang berperawakan elegan itu berlari meninggalkan ayahnya menuju adik laki-lakinya yang tengah berada dalam gendongan pengasuh. Dia menatap tajam Zein. Tatapan ketidaksukaan terlihat jelas di wajah mungil tu.
"Aku tidak menginginkanmu. Aku ingin ibu. Pergilah kau dan kembalikan ibuku! Aku membencimu!"
Semua orang terkejut saat kata-kata itu keluar dari mulut Emilia. Putri kerajaan Axton itu kemudian berlari ke dalam istana.
Proses kremasi telah selesai. Kini raja Theodor sendiri menatap abu dari istrinya. Matanya menunjukkan kemarahan, kesedihan, dan kerinduan. Hidung dan matanya memerah, efek menangis. Dia menyentuh abu istrinya dan kembali menangis lagi.
Hunak si nenek bungkuk menghampiri Raja Theodor. "Jangan bersedih terlalu lama rajaku. Istrimu akan kembali menemui mu."
Theodor menghapus sedikit jejak air matanya. Terkejut dengan apa yang Hunak katakan. "Maksudmu?"
"Seorang manusia murni akan melahirkan istrimu."
Washington....
Konser berlangsung selama dua jam. Dimulai dari jam 7 malam dan selesai pada pukul 9 malam. Kawasan studio sudah sepenuhnya sepi karena konser yang sudah berakhir setengah jam yang lalu.
Zenia bersama manajernya yang bernama Yoshi memasuki mobil. Mereka akan pulang untuk beristirahat.
"Malam ini sangat menyenangkan dan juga melelahkan," kata Zenia lalu meminum sebotol air putih.
Laki-laki bersurai coklat yang sedang mengemudi itu mengangguk. "Aku akan mengatur kembali jadwalmu. Kau bisa istirahat lebih lama setelah ini," kata Yoshi.
Angin malam menyembur ketika Zenia menurunkan kaca mobil. Rambut hitamnya melambai menyambut angin malam di kota Washington yang tak pernah tidur itu. Mata bulatnya menyusuri setiap jalan yang ia lewati. Sesekali ia juga tersenyum kepada penggemar yang ditemuinya di sepanjang perjalanan.
"Aku ingin segera sampai di rumah," gumam Zenia.
"Tutup jendelanya, kau bisa masuk angin," kata Yoshi, tapi Zenia tak menghiraukan perkataannya. Gadis itu tetap menikmati udara malam yang menenangkan.
Yoshi menginjak rem ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Para pejalan kaki memenuhi zebra cross untuk menyebrang jalan, termasuk seorang pria yang terbalut jaket berbahan levis dengan warna biru tua.
Di tengah keramaian pejalan kaki, pria itu berhenti. Berdiri tepat di depan mobil yang ditumpangi Zenia dan Yoshi tanpa disadari.
100 detik telah berlalu dan giliran lampu hijau yang menyala. Semua orang menjalankan kembali mesin kendaraan mereka. Namun, masalah terjadi ketika Yoshi yang akan menjalankan mobil terpaksa tertunda karena seseorang yang berdiri menghalangi jalan mereka.
Yoshi menekan klakson berkali-kali untuk mengusir pria yang dianggapnya sudah gila itu, tapi sia-sia saja. Yoshi semakin kesal tatkala mobil-mobil yang berada di belakangnya memulai protes mereka.
"Apa yang terjadi?" tanya Zenia penasaran.
"Ada laki-laki aneh di depan mobil kita. Dia tidak juga pergi meski sudah ku klakson berkali-kali." Yoshi dengan kesalnya kembali membunyikan klakson.
"Hei, kau! Pria aneh! Kau sudah gila, ya?" teriak salah satu pengendara. Pria berumur itu sama kesalnya dengan Yoshi.
Zenia segera melapis gaun konsernya dengan hoodie biru. Dia juga memakai topi dan kacamata. "Akan ku urus," ucapnya sebelum keluar menghampiri pria misterius yang penyebab kemacetan malam ini.
"Siapa namamu?" tanya Zenia ketika ia sudah berada tepat di depan pria itu.
Pria yang memakai jaket levis itu menatap Zenia lalu berkata, "Zein."
Zenia menghela nafasnya pelan. "Bisakah kau minggir ke tepi jalan? Lihat," Zenia menunjuk kepada orang-orang yang tampak kesal. "kemacetan dan kemarahan itu karena ulahmu. Ambil ini."
Zenia kembali ke dalam mobil setelah sukses membuat pria itu pergi. Keadaan lalu lintas kembali normal.
Yoshi mengacungkan jempol. "Kau hebat!" Zenia tersenyum.
"Tapi ... apa yang kau berikan kepada pria gila itu?" tanya Yoshi.
"Nomorku," Jawaban Zenia yang enteng membuat Yoshi membulatka matanya terkejut
"Kau sudah gila, ya?"
"Itu bukan nomor pribadiku. Itu hanyalah sebuah nomor dimana aku menggunakannya untuk berinteraksi dengan penggemar."
Zenia lalu melepaskan topi dan kacamatanya.
•••
Zein menemui Naomi di hutan kecil belakang kampus.
"Apa kau tahu berapa waktuku yang terbuang karena menunggumu?" omel Naomi.
"Aku tidak menyuruhmu untuk hal tidak berguna seperti yang baru saja kau lakukan," cetus Zein. Laki-laki itu merogoh saku celananya dan mengambil sebuah kertas.
"Apa itu?" tanya Naomi penasaran.
"Kertas."
Naomi memutar bola matanya. Zein memang selalu bisa membuatnya kesal.
"Maksudku adalah apa yang yang tertulis di kertas itu?"
Tanpa menjawab, Zein berbalik meninggalkan Naomi lagi. Namun, sebelum itu teriakan gadis berwajah jutek itu membuat langkahnya terhenti.
"Sialan! Kembali kau!" teriak Naomi. Kesalnya dia kepada Zein saat ini. Apakah Zein tahu betapa letihnya menunggu selama 3 jam?
"Berisik," desis Zein ketika berbalik.
"Mau kemana kau?" tanya Naomi.
Zein mengeluarkan smirknya lalu berkata dalam hati, "Aku akan mulai malam ini."
"Usianya baru delapan belas tahun ... kau ingin membunuhnya?"
Zein mengerjapkan kedua matanya. Ah, dia lupa kalau gadis berwajah mungil ini mampu mendengar suara hati siapa pun dan di mana pun. "Aku tidak peduli dengan nyawanya. Kita semua hanya membutuhkan seorang anak." Zein kemudian beranjak pergi setelah mengatakan itu.
Naomi terdiam. Benar, seluruh kerajaan Axton hanya menginginkan seorang anak yang lahir dari rahim seorang manusia murni. Naomi kemudian berjalan menuju portal berwarna hijau sebagai penghubung antara kerajaan Axton yang kuno dengan Washington yang moderen
Pakaian moderen yang Naomi kenakan berubah menjadi pakaian kerajaan ketika memasuki kawasan kerjaan Axton di tahun 1349. Gaun panjang hijau dengan hiasan bunga-bunga putih berukuran kecil, serta mahkota dengan warna senada yang bertengger di atas kepalanya.
Sementara itu, Zenia telah memasuki kawasan rumahnya. Bangunan dengan gaya klasik berlantai dua itu ia tinggali bersama orang tuanya dan beberapa pelayan. Namun, saat ini orang tuanya berada di luar negeri.
"Sampai jumpa," Zenia melambai kepada Yoshi
"Sampai jumpa," balas Yoshi. Pria itu kemudian berlalu dari kawasan rumah elit Zenia.
Setelah kepergian sang manajer, Zenia memasuki rumahnya yang indah, tapi juga hampa. Menyapa beberapa pelayan lalu memasuki kamarnya.
Sementara di luar, Zein tengah berdiri di halaman rumah Zenia. Apa yang dilakukan pria ini? Tentu saja memata-matai calon ibu dari anaknya.
Peringatan Naomi tadi membuatnya sedikit berfikir. Ada benarnya juga. Untuk mendapatkan seorang anak, dia tidak mungkin mengorbankan satu nyawa, dia tidak sekeji itu.
Universitas Academy Of Music"Hai, Zenia."Gadis berhoodie ungu itu berbalik. "Hai!""Kau baru ke kampus lagi setelah satu Minggu, Zenia," ucap satu di antara 3 gadis berpakaian minim.Zenia tersenyum. "Ya ... aku cukup lelah, jadi aku memutuskan untuk istirahat sejenak," ujarnya."Kegiatan apa yang kau isi selama istirahat?" tanya Cherly, si gadis dengan lipstik merah merona."Membaca beberapa buku di perpustakaan rumahku," kata Zenia."Itu saja?" Dylan menyinis, si gadis paling cantik di antara Cherly dan Vina. Itu menurut Zenia."Juga beberapa novel ... memangnya kenapa?""Wah ... kau sempurna, tapi seleramu sangat jelek," desis Vina, si gadis dengan belahan dada yang terbuka"Haha ... yah, itu memang jelek, seperti wajah kalian," ketus Zenia. Tidak peduli bagaimana raut kesal ketiga gadis itu, dia berlalu begitu saja. Terkadang, orang-orang seperti mereka harus dibalas. Zenia tidak meny
"Zenia Mecca!""Zenia Mecca!""Zenia! Kami mencintaimu!"Sorak-sorakan para Zeirs, sebutan untuk penggemar Zenia, memenuhi seluruh studio ketika pembawa acara mengungumkan jika gadis cantik itu mendapat penghargaan Billboard Chart.Malam ini adalah momen membanggakan yang tidak akan pernah hengkang dari ingatannya. Begitu banyak kesulitan dilewati gadis berusia 18 tahun itu. Wajah cantik bak dewi merupakan salah satu alasan dirinya banyak mendapat kebencian. Mereka berpendapat kalau Zenia hanya mengandalkan parasnya, perihal bakat, dia tidak punya sama sekali.'Paras Menutupi Segalanya'Itulah judul artikel mengenai Zenia ketika awal-awal debut. Stress? Sudah pasti, tapi dia berhasil bertahan dan terus berjalan."Selamat, ya. Aku juga adalah penggemarmu," kata salah satu pembawa acara.Zenia tersenyum. Dia kembali mengenang masa-masa sulitnya. Jika sekarang penggemarnya hampir ada diseluruh dunia, maka dulu berbeda. Dahulu, pen
3 bulan kemudian."Zenia, masuklah. Kenapa kau di luar? Dokter sudah menunggu."Zenia menepis kasar tangan Yoshi. "Tidak! Aku berubah pikiran. Aku mau pergi!""Ini akan membuat hidupmu kembali normal. Kau relakan itu demi karirmu. Semua akan baik-baik saja, Zenia.""Kau salah. Setelah menggugurkan anak ini aku akan lebih menderita. Aku akan hidup sebagai pembunuh nyawa yang tidak berdosa!"Zenia meninggalkan Yoshi yang tampak syok. Dia tidak peduli dengan karirnya. Dalam hati Zenia mengutuk dirinya karena sebelumnya mau saja dibawa Yoshi ke rumah sakit untuk menggugurkan janinnya.Tiga bulan lalu adalah awal dari kehancuran hidupnya. Entah bagaimana dan siapa yang memberitahu media tentang kehamilannya. Semuanya menjadi berantakan saat itu.Perut Zenia kian membesar. Usia kehamilannya sudah memasuki tujuh bulan. Seiring dengan itu namanya semakin hangat diperbincangkan di berbagai stasiun televisi maupun medi
"Perayaan esok sore?" tanya Zenia. Dia dan nenek Shim berjalan menuju apartemen. Mereka baru saja berkeliling pantai."Bergabunglah bersama kami besok. Aku hampir tidak pernah melihat seorang pun datang mengunjungimu. Jadi aku berfikir kau mungkin kesepian."Zenia miris. Memang benar bahwa dia tidak pernah kedatangan seseorang. Orang tua maupun teman-temanya tidak pernah sekalipun menanyakan kabarnya. Itu membuat hatinya sakit, tapi juga bersyukur."Kehamilanmu sudah memasuki sembilan bulan, bukan?"Zeni mengangguk."Datanglah besok dan bergabunglah bersama kami para lansia. Aku jamin kau akan banyak tertawa." Nenek Shim tertawa kecil."Tertawa bisa membuat perasaanmu bagus dan itu sangat baik untuk anakmu." kata nenek Shim lagi.Zenia menyutujui ajakan nenek Shim. Dia mengelus perutnya yang tertutupi jaket tebal berbulu. Udara sore ini sangat dingin.•••Matahari mulai terbenam dan bulan dengan pelan menu
Seorang wanita berdress hijau ambruk di atas lantai keramik. Dia tidak lagi memiliki tenaga untuk menopang tubuh lemasnya. Berita putri tunggalnya yang mengalami kecelakaan membuatnya terkejut hingga tak bisa berkata apa-apa, selain mengeluarkan buliran bening."Frank!" teriaknya memanggil suaminya yang berada di dapur."Kenapa kau berteriak-teriak di malam hari, huh?" Frank yang dari dapur dengan membawa dua gelas kopi."Anakku ... anak kita ...." Wanita yang hampir berumur 50 tahun itu tak dapat lagi melanjutkan perkataannya. Dia menangis sesenggukan hingga membuat suaminya kebingungan."Bicaralah yang jelas, Maudi, aku tidak bisa mengerti jika kau terus menangis." Frank mendekati Maudi dan mengelus punggungnya."Aku baru saja menonton sebuah berita yang memberitakan kalau Zenia mengalami kecelakaan tadi siang." Maudi kembali menangis, tapi masih berusaha melanjutkan kalimatnya, "Zenia juga menghilang bersama ambulans yang seh
Pria tua yang merupakan seorang dokter baru saja keluar dari ruangan Zenia setelah mengatakan kalau kondisi Zenia sudah sepenuhnya pulih dan sudah dibolehkan pulang.Zenia meletakkan pakaian rumah sakitnya di atas kasur putih yang empuk. Dia akhirnya akan meninggalkan ruangan berbau obat itu setelah empat hari menjalani perawatan."Ayo, sayang." Maudi merangkul pundak Zenia."Di mana ayah?""Dia ada di kantor. Rapat mendadak membuatnya tidak bisa menjemputmu.""Benarkah?"Zenia tidak yakin apakah ayahnya benar-benar sibuk dengan rapat atau sibuk dengan selingkuhannya. Zenia menggenggam tangan ibunya lembut, menyandarkan kepalanya di pundak rapuh itu.Zenia dan Maudi memasuki sebuah mobil hitam yang sudah menunggu mereka sejak tadi bersama seorang supir. Mereka berdua duduk berdampingan di kursi belakang.Diperjalanan, Zenia tidak sengaja melihat dirinya di papan reklame gedung besar.
Sebuah langkah memasuki gedung Universitas yang terkenal di Amerika, Universitas Of Music namanya.Hoodie panjang selutut berwarna kuning, ditambah dengan sepatu kets bernilai ribuan dollar sangat pas di tubuh wanita cantik itu.Decakan-decakan kagum dari para mahasiswa mahasiswi membanjiri suasana pagi itu seakan telah melupakan skandal heboh Zenia beberapa bulan ini."Dia selalu bisa membuatku tidak bisa berkata apa-apa saat melihat wajahnya.""Cantik seperti dewi."Yah, itulah dua kekaguman di antara banyak pujian yang didengar Zenia.Awalnya perjalanan Zenia menuju ruang kelasnya baik-baik saja dengan pujian-pujian itu, tapi semuanya mulai memburuk ketika sebuah celaan terdengar, padahal tinggal beberapa langkah lagi di akan memasuki kelasnya.Dylan, Cherly, dan Vina menghampiri Zenia dengan tatapan jijik.&nb
Gesekan pedang yang saling beradu dari kakak beradik itu menerima banyak desiran kagum dari para prajurit dan beberapa pelayan yang kebetulan lewat.Teriknya matahari tak melunturkan tekad mereka yang berapi-api. Emilia, si putri mahkota yang arogan dengan lihainya mengayunkan pedang ke arah leher Zein hingga empunya sendiri tak dapat melakukan perlawanan lagi.Zein mengangkat kedua tangan polosnya ke udara, tanda menyerah."Kau selalu kalah olehku yang hanya seorang wanita? Memalukan sekali." Emilia berdecih lalu menurunkan kembali pedangnya."Aku harus kalah, bukan? Aku harus memberimu kekahalanku agar kau tidak malu di depan orang-orang kita." Zein mengambil pedangnya yang sebelumnya terjatuh di atas lapangan berpasir itu."Pembohong! Akui saja kekalahanmu. Sedari dulu kau memang selalu kalah olehku. Kau hanya bisa mengeluarkan kekuatan dari kedua tanganmu, t