Share

Bab 5 Aku Di Sini

3 bulan kemudian.

"Zenia, masuklah. Kenapa kau di luar? Dokter sudah menunggu."

Zenia menepis kasar tangan Yoshi. "Tidak! Aku berubah pikiran. Aku mau pergi!"

"Ini akan membuat hidupmu kembali normal. Kau relakan itu demi karirmu. Semua akan baik-baik saja, Zenia."

"Kau salah. Setelah menggugurkan anak ini aku akan lebih menderita. Aku akan hidup sebagai pembunuh nyawa yang tidak berdosa!"

Zenia meninggalkan Yoshi yang tampak syok. Dia tidak peduli dengan karirnya. Dalam hati Zenia mengutuk dirinya karena sebelumnya mau saja dibawa Yoshi ke rumah sakit untuk menggugurkan janinnya.

Tiga bulan lalu adalah awal dari kehancuran hidupnya. Entah bagaimana dan siapa yang memberitahu media tentang kehamilannya. Semuanya menjadi berantakan saat itu. 

Perut Zenia kian membesar. Usia kehamilannya sudah memasuki tujuh bulan. Seiring dengan itu namanya semakin hangat diperbincangkan di berbagai stasiun televisi maupun media sosial. Malu, marah, dan takut, semuanya menjadi satu. Dia tidak pernah terlihat di dunia nyata ataupun dunia maya lagi.

Zenia melajukan mobilnya di jalan raya Washington. Dia akan kembali mengurung dirinya di apartemen yang baru saja dia beli sebulan lalu. Wanita hamil ini harus meninggalkan rumah yang selama ini dia tinggali karena paksaan orang tua.

Zenia bahkan masih dapat merasakan tamparan yang dilayangkan ayahnya ketika mengetahui kehamilannya. 

•••

Zenia memarkirkan mobilnya di bagasi bawah tanah apartemen. Kemudian dia menaiki lift yang langsung membawanya ke lantai paling atas, yaitu lantai 11. Zenia sengaja memilih tempat ini karena jauh dari perkotaan ... dan yang terpenting orang-orang tidak akan mengenali dirinya, sebab rata-rata penghuni apartemen ini adalah lansia.

Satu yang membuat Zenia penasaran.

Sekeranjang buah lengkap dengan vitamin dan obat-obatan selalu bertengger di depan pintunya setiap pagi. Siapa yang mengirim? Zenia tidak tahu. Meskipun begitu, dia tetap menerimanya dengan senang hati.

Zenia merebahkan tubuhnya di atas sofa panjang yang langsung menghadap jendela. Dari sini, dia dapat melihat langsung pemandangan pantai.

 Dia meraih ponselnya di saku celana. Meskipun sedikit sulit tapi dia berhasil mengambilnya. Maklum, perutnya yang kian membesar membuat gerakannya terbatas.

Hal pertama yang dilihat pada layar ponselnya adalah jam yang sudah menunjukkan pukul 13:09. Ibu jarinya kemudian menekan aplikasi instag*am.  Sudah hampir dua bulan lebih dia tidak membuka aplikasi itu. Alasannya? Terlalu takut.

Rentetan-rentetan pesan membanjiri ponselnya.

"Aku tidak akan membaca semua itu." 

Ada banyak artikel-artikel tentang dirinya yang bertebaran. Hampir semua membahas tentang kehamilannya. Zenia muak. Dengan marah ia menghapus aplikasi I*******m lalu membuang ponselnya ke lantai.

"Aku hampir depresi," lirihnya.

Zenia kemudian menangis tanpa suara.

Setelah merasa baikan, Zenia beranjak ke kamar mandi. Membasuh wajahnya yang sembab dengan air dingin lalu pergi ke kamarnya.

Di kamarnya, dia membuka bajunya. Menatap setengah tubuhnya yang telanjang di depan cermin.

"Siapa ayahmu, hm?" Zenia bahkan sudah berbicara pada janin di dalam perutnya. "bagaimana bisa ayahmu meniduriku? Aku harap kau tidak sekeji ayahmu dan juga tidak sebodoh ibumu nanti." 

Zenia menghela nafas sebelum kembali berbicara. "Semua orang meninggalkan aku. Tapi aku baik-baik saja karena kau masih bersamaku. Maafkan aku karena sudah hampir membunuhmu."

Sementara itu ....

Kerajaan Axton 1255.

Di kamar Raja Theodor.

Zein masih setia menemani ayahnya yang terbaring di atas kasur besar. Dia tidak tahu kapan ayahnya dapat kembali seperti dulu, sehat dan perkasa. Zein terlalu bosan kepada tabib yang selalu bilang kalau ayahnya akan segera sembuh, tapi buktinya, sudah tiga tahun ayahnya masih terbaring lemah. 

"Bagaimana keadaan ayah?" Emilia memasuki kamar Raja Theodor.

"Kepedulianmu tidak berguna. Pergi saja kau dari sini. Jangan pernah menanyakan keadaan ayah hanya untuk terlihat baik di depan semua orang." Dengan cepat Zein menarik tangan kurus Emilia dan membawanya keluar.

"Jangan masuk menemui ayah tanpa seizinku lagi. Aku tidak akan membiarkanmu," kata Zein dingin.

"Seluruh sudut kerajaan ini adalah milikku, aku berhak masuk diruangan manapun." 

Emilia mendorong bahu Zein.

Zein mencengkram kuat pergelangan tangan Emilia yang hendak meraih gagang pintu yang panjang. Emilia berteriak ketika adiknya itu menghempaskan tangannya begitu keras.

"Kau belum!" teriak Zein keras.

Tiba-tiba langkah kaki seseorang menggema di lorong besar istana hingg membuat dua insan itu terlaksana menoleh.

"Zein?" seorang gadis bergaun hijau tua muncul di tengah-tengah pertengkaran kakak beradik.

"Naomi? Kenapa kau ada di sini?"

"Kenapa? Perlukah aku meminta izinmu untuk datang ke sini?" 

"Aku memerintahkanmu untuk mengawasi Zenia, bukan? Lalu kenapa kau berada di kerajaan Axton?"

"Kau tidak memerintahku, Zein, tapi memohon padaku." Naomi membuang mukanya ketika menyadari tatapan Zein yang mulai menajam. "Hari ini adalah hari peringatan kematian adikku."

Zein mengangguk. Hari ini memang peringatan kematian Felicia, adik kandung Naomi.

Naomi pun pergi setelah Zein mengatakan kalau dia harus secepatnya kembali lagi untuk mengawasi Zenia.

"Emilia Brylee ... pergilah dari sini. Temui ayah jika dia sudah pulih, dengan begitu kau tidak bisa lagi menyakiti raja kerajaan ini."

Emilia menghela nafasnya pelan. Kesalahan pahaman ini lagi, pikirnya. "Harus bagaimana lagi aku menjelaskannya padamu kalau aku tidak ada hubungannya dengan kejadian malam itu!"

"Aku melihat semuanya. Kau seperti anjing liar malam itu."

Tangan Emilia mengepal sebagai bentuk kemarahannya. Dia berjalan mendekati Zein.

"Jangan menyimpulkan akhir sebuah cerita jika kau sendiri tidak pernah membacanya," Cecar Emilia lalu pergi.

Zein yang masih berdiri di depan pintu kamar ayahnya hanya menatap kepergian Emilia dengan penuh kegundahan. Muncullah keraguan dalam hatinya.

•••

Washington, jam 09:00 malam.

Zenia membuka pintu lemari kayunya, mengambil sebuah dompet hitam di antara sela-sela lipatan baju. 

Uangnya hanya tersisa 450 dollar ketika dia membuka dompet. Tidak apa-apa, dia masih bisa mengambil uangnya yang lain di bank.

"Haruskan aku memesan makanan dari luar?" gumam Zenia berfikir.

Selama masa kehamilan, kebiasaan Zenia benar-benar menyimpang. Dia hanya mandi sekali sehari dan tidak pernah memasak. Dia terlalu malas. Kehamilannya juga mengubah hidupnya. Pagi begitu mengantuk dan malam siap terjaga.

Ketukan pintu membuat tangan Zenia yang ingin meraih ponsel terhenti.

Zenia buru-buru membuka pintu. Senyumnya melebar ketika dilihatnya seorang nenek dengan dua mangkuk makanan serta sekantong buah.

"Nenek Shim?" Zenia mempersilahkan nenek Shim masuk ke dalam.

"Kali ini perayaan apalagi?" tanya Zenia bermaksud bercanda.

Nona Shim tertawa. Wanita tua renta itu meletakkan makanan dan sekantong buah di atas meja lalu berkata, "Tidak, tidak. Makanan ini terlalu banyak untuk seorang nenek yang hanya tinggal sendiri."

Mereka berdua berbincang sebentar mengenai kondisi Zenia. Nenek Shim juga memberi dia semangat dan berjanji akan ada di saat Zenia membutuhkannya. 

Zenia menutup pintu ketika nenek Shim sudah keluar.

Zenia langsung saja menyantap semua makanan di atas meja. Jambalaya dan fajitas  buatan nenek Shim benar-benar enak.

•••

10:00 malam. 

Setelah menghabiskan semua makanan pemberian nenek Sim, awalnya Zenia ingin menonton sebuah film di televisi, tapi belum juga menonton, sebuah berita tiba-tiba muncul. Lagi-lagi mengenai dirinya. Emosi, Zenia segera mematikan televisi dan memutuskan untuk tidur.

Di tengah malam ombak-ombak besar membasahi pasir pantai. Zenia terbangun karena perutnya yang sakit. Dia berguling-guling di atas tempat tidur. Air matanya mengalir. Dia menyentuh perutnya yang besar, berharap anaknya baik-baik saja di dalam sana.

Teriakannya yang keras membuat nenek Shim terbangun. Namun nenek tua itu kembali menjelajahi mimpinya seakan tidak mendengar apa-apa.

Badai kencang dengan hujan deras menutupi suara Zenia. Wanita hamil itu tak dapat menahan rasa sakit lagi dan akhirnya pingsan.

Di tengah situasi entah bagaimana Zein sudah berdiri di sisi kiri ranjang. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Lantas dia mendekati Zenia, membasuh keringat di kening gadis itu dengan pelan.

Zein meletakkan telapak tangan kanannya di atas permukaan perut Zenia. Laki-laki bersurai hitam itu dapat merasakan gerakan-gerakan kecil di dalam sana. Ia tersenyum.

Namun senyum itu hilang dalam sekejap. Zein mengelus perut Zenia dengan gerakan memutar. Lalu cahaya kuning muncul dengan samar. Dan dengan itu rasa sakit Zenia berangsur hilang.

"Kalian tidak akan merasakan sakit lagi karena aku sudah di sini. Aku melindungi kalian."

Perlahan Zein menaiki tempat tidur. Dia bergerak pelan agar tidak menimbulkan suara. Ditariknya selimut tebal ke tubuh Zenia. Diluar hujan deras dan cuaca semakin dingin. Dia menarik kepala Zenia dan menaruhnya di atas lengan kekarnya. Memeluk gadis itu untuk menyalurkan sedikit kehangatan di malam yang dingin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status