Share

Bujangan Paling Diidamkan [1]

Maxim Fordel Arsjad mengernyit saat melihat sampul majalah gaya hidup beroplah tinggi yang masih bisa mempertahankan eksistensinya, The Bachelor. Wajahnya terpampang di sana, bersama dua orang pria lainnya. Ada judul mencolok yang juga tertera, setidaknya menurut opini Maxim. Bujangan Paling Diidamkan. Bah!

“Kenapa aku sama sekali tidak tahu kalau wawancara kemarin untuk gelar aneh ini?” komentar Maxim pada diri sendiri. Kepalanya mendadak pusing. Dia sama sekali tak membutuhkan pengakuan semacam ini. Apa hebatnya menjadi Bujangan Paling Diidamkan? Lagi pula, apa kaitannya dengan pekerjaan lelaki itu? Namun, dia tahu, marah pun percuma. Toh, semua sudah telanjur.

Dua pria yang wajahnya juga terpajang di The Bachelor adalah Malcolm Manoppo dan Jimmy Prasad. Tidak ada satu pun yang dikenal Maxim secara pribadi. Malcolm seorang atlet basket yang konon mendapat tawaran menggiurkan dari sebuah klub dan siap memecahkan rekor bursa transfer lokal. Sementara Jimmy adalah model top yang cukup sering diundang show ke luar negeri. Mereka bertiga menjalani sesi wawancara dalam waktu yang berbeda.

Maxim bukannya tidak tahu mengapa dia mendapat kehormatan diwawancarai majalah itu. Saat ini, dirinya dianggap sebagai pengusaha muda yang turut berperan besar membawa sepatu prewalker bermerek Buana Bayi mendapat perhatian publik. Buana Bayi baru diproduksi kurang dari tiga tahun tapi sudah hampir merajai angka penjualan di tanah air. Maxim sempat enggan menjalani wawancara. Karena merasa ini adalah kesuksesan kolektif. Ada tim tangguh yang berjuang untuk kesuksesan Buana Bayi, bukan cuma dirinya.

“Kalau saja aku tahu wawancara kemarin malah berujung dengan penobatan aneh semacam ini, harusnya kutolak sejak awal,” imbuhnya lagi. Sesaat kemudian Maxim merasa dirinya sudah mirip orang gila karena mengomel sendiri di ruang kerjanya.

Ponselnya berbunyi, dan Maxim mengerang dengan mencolok saat melihat nama yang tertera di layar. Sean Gumarang. Maxim terdorong untuk mengabaikan telepon itu. Namun  dia tahu bahwa Sean tidak akan puas sampai bisa mengolok-oloknya setengah mati. Jadi, tidak mengangkat telepon Sean cuma menjadi semacam penundaan saja. Maxim curiga, lelaki itu malah akan muncul di kantor Buana Bayi untuk mengejeknya secara langsung.

“Halo,” Maxim tak punya pilihan selain menerima panggilan telepon itu. “Kalau kamu menelepon cuma untuk meledekku, terima kasih. Aku memang bodoh. Puas sekarang?” tanyanya, defensif.

Suara Sean yang santai sudah pasti memang dimaksudkan untuk menipu sekaligus membuat kesal sepupunya. Maxim tahu pasti itu. Dia mendengar lelaki itu berujar, “Wah, pagi-pagi sudah marah. Aku sarankan, cek tekanan darahmu ke dokter, Max! Jangan sampai kena stroke karena terlalu banyak mengikuti emosi.”

Maxim tidak terbujuk untuk meladeni Sean. “Aku banyak pekerjaan, Sean! Tidak sempat untuk bercanda,” balas Maxim ketus.

“Hei, ada tidak yang bilang kalau sekarang kamu itu makin menyebalkan?” tanya Sean ringan. “Aku tidak berniat mengganggu pekerjaanmu yang berjibun itu, kok. Aku cuma mau tahu, seperti apa rasanya jadi Bujangan Paling Diidamkan?” Tawa Sean meledak kemudian.

“Aku sudah tahu, pasti itu tujuanmu,” Maxim cemberut. “Itu julukan yang sangat memalukan. The Bachelor bilang mereka akan menerbitkan edisi khusus. Kukira cuma berisi artikel sejumlah pria lintas profesi yang dianggap sedang sukses. Astaga, ternyata....” Maxim enggan meneruskan kalimatnya. “Jadi, apa kamu sudah cukup mendengar keluhanku pagi ini?”

Maxim yakin, di mana pun Sean berada saat ini, pasti dadanya sedang dipenuhi rasa puas. Begitulah mereka berdua selama bertahun-tahun. Saling menggoda dan mengolok-olok yang lain. Meski menurut Sean belakangan ini Maxim sudah tidak sesantai dulu dan lebih banyak cemberut.

“Aku harus menyusulmu, Max! Tahun depan, aku ingin wajah dan namaku yang terpampang di sampul depan The Bachelor. Gila kalau aku nggak bisa menyaingimu. Betul-betul turun derajat,” komentar Sean lagi, diimbuhi tawa gelinya.

“Kalau kamu memang berminat, aku rela mundur dari sampul The Bachelor sekarang juga. Lebih bagus memang kamu yang menggantikanku, manusia narsis yang selalu ingin dipuja-puji,” kecam Maxim. “Kututup teleponnya, Sean. Aku sedang tak berselera mengobrol dengan siapa pun.”

Sebelum sepupunya menjawab, Maxim benar-benar mengakhiri perbincangan mereka. Dia tak peduli walau sudah pasti Sean mengomel atau mengutukinya. Maxim sedang tak memiliki energi untuk melakukan hal lain kecuali menyesali keputusannya saat bersedia diwawancarai majalah itu. Sudah pasti ini pengalaman pertama dan terakhir Maxim yang berkaitan dengan media. Lain kali, dia akan meminta pihak humas saja yang mewakilinya.

Sejak tiba di kantor pagi tadi, Maxim sudah merasa orang-orang yang ditemuinya memandang lelaki itu dengan tatapan aneh. Entah memang seperti itu atau cuma perasaannya saja. Maxim tidak pernah menyukai perhatian. Menjauh dari fokus orang-orang di sekitarnya membuat lelaki itu merasa aman. Dia setuju diwawancarai The Bachelor pun atas bujukan –tepatnya paksaan- kakak perempuannya, Maureen.

“Ayolah Max, ini cuma wawancara biasa. Anggap saja semacam promosi gratis buat Buana Bayi. Tidak semua orang mendapat kesempatan untuk tampil di majalah top, lho!” bujuk Maureen untuk kesekian kalinya.

“Tapi, bukan aku yang bertanggung jawab atas kesuksesan Buana Bayi. Masih ada banyak orang yang sudah bekerja keras sampai kita ada di posisi ini,” tolak Maxim.

“Tapi cuma kamu yang tampangnya enak dilihat. Yang lain sudah terlalu uzur,” Maureen tersenyum lebar. “Orang ingin tahu, siapa yang berada di balik Buana Bayi. Ketika tahu kalau salah satu perancang sepatu prewalker ini adalah kamu, ibu-ibu muda pasti berebut ingin membeli koleksi kita.”

Maxim sama sekali tak terkesan dengan pujian kakaknya. Dia sangat mengenal semua saudaranya, terutama Maureen yang tak sungkan untuk memanipulasi Maxim demi memuluskan cita-citanya. “Itu sama sekali tidak ada hubungannya, Mbak! Menurutku, itu alasan yang sangat mengada-ada,” bantah Maxim. “Lagi pula, kalau kamu sudah memuji-muji seperti ini, cuma membuatku makin curiga saja.”

“Tentu saja ada hubungannya! Kamu sih tidak pernah tahu bagaimana otak kaum perempuan itu bekerja. Rumit, tahu! Kami berbeda dengan kalian. Ayolah Max, jangan egois. Ini peluang bagus yang belum tentu akan kamu dapatkan lagi di masa depan. Apalagi kalau usiamu sudah bertambah tua dan pesonamu memudar. Atau setelah Declan bergabung di sini. Kamu kalah bersaing, aku jamin itu!” cerocos Maureen lagi, tak menyerah.

Ada sederet kalimat bujukan lain yang dilontarkan Maureen kepada Maxim. Saat ini Maxim baru menyadari, semua rayuan kakaknya itu cuma menyusahkannya saja. Lihat yang terjadi sekarang! Entah berapa kali Maxim memergoki kelompok-kelompok kecil karyawati berbisik-bisik saat dia berada di sekitar mereka.

Tidak cuma di kantornya saja. Melainkan juga di lantai lain gedung perkantoran yang sama dengan Buana Bayi. Sejak pagi dia mulai merasakan adanya keanehan saat menyeberangi lobi dan memasuki lift.  Hal itu membuat telinga Maxim terasa gatal dan dorongan untuk memberi teguran dirasanya cukup besar. Akan tetapi, Maxim bertahan agar tidak mempermalukan diri sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status