Share

Bujangan Paling Diidamkan [2]

Hingga sore Maxim menyibukkan diri dengan setumpuk pekerjaan. Mengabaikan rasa tidak nyaman yang merabung dan membuatnya ingin sekali menyematkan topeng di wajah, supaya tidak dikenali karyawan lain. Semakin dipikir, tampil di sampul The Bachelor malah terasa kian memalukan. Sama sekali bukan komplimen baginya.

Pria berusia dua puluh sembilan tahun itu memimpin departemen penjualan. Maxim adalah lelaki jangkung dengan tinggi seratus delapan puluh satu sentimeter. Berkulit putih, rambut legam nan lebat, hidung bangir, serta mata bundar dengan pupil cokelat. Lelaki itu memiliki bibir yang bentuknya menjiplak busur panah, wajah agak tirus, serta alis tebal.

Maxim memiliki kemampuan merancang sepatu yang cukup jempolan. Dia menjadi bawahan langsung kakak sulungnya, yang menjabat sebagai direktur pemasaran. Hampir setahun lalu desain pertama yang dibuat Maxim dilempar ke pasaran. Seperti yang sudah diduga banyak pihak, hasil karyanya langsung mendapat perhatian dan menjadi produk terlaris Buana Bayi dalam waktu singkat.

“Terima kasih, Max! Berkat rancanganmu, Buana Bayi kini cukup diperhitungkan,” puji Maureen kala itu, pada salah satu rapat bulanan dengan tim desain dan penjualan.

“Bukan karena aku saja, Mbak. Tapi ini berkat kerja sama tim,” balas Maxim, agak jengah. Dia tak suka jika Maureen memberikan komplimen di depan umum. “Yang pasti, kerja keras kita akhirnya terbayar.”

Semuanya berawal dari ketidaksengajaan. Maxim bahkan tidak pernah tahu kalau dia memiliki kemampuan merancang sepatu yang cukup bagus. Buana Bayi sedang dikejar tenggat waktu untuk peluncuran produk baru. Sementara tim desain tidak juga berhasil menciptakan rancangan yang bagus dan dianggap potensial. Beberapa konsep yang diajukan selalu ditolak, terutama oleh Maureen yang memang nyaris memegang kendali penuh dalam hal rancangan sepatu yang disetujui untuk diproduksi..

Hingga kemudian Maxim yang merasa gemas mulai mencorat-coret di kertas dan dilihat kakaknya. Alhasil, rancangan itu yang dibawa Maureen ke hadapan suaminya yang sekaligus menjadi direktur Buana Bayi, Billy Ong. Dan hanya beberapa jam kemudian Maxim mendapat kepastian bahwa desainnya yang akan dipakai.

Itu adalah keputusan yang sangat mengejutkan pria itu. Dia merasa desain itu hanya sebuah kebetulan. Hingga kemudian Maureen memaksa Maxim membuat beberapa desain baru dan malah mendapat komplimen. Kadang, ada pikiran aneh yang menyelinap di benak Maxim. Apakah jauh di bawah kegelapan sana, dia memiliki alter ego? Pemikiran itu pernah terlontar saat berkumpul dengan keluarganya dan Maxim pun sontak ditertawakan ketiga saudaranya.

“Alter ego apa? Kalau iya, maka si perancang sepatu itu akan bersikap manis dan murah senyum. Tidak seperti dirimu yang biasa. Ahli cemberut dan bicara dengan sarkasme tingkat tinggi,” respons Declan, adik bungsunya.

“Jadi, kamu cuma punya kemampuan yang selama ini tidak benar-benar disadari,” dukung Darien, abangnya. “Lupakan ide alter ego itu, Max. Itu pemikiran paling bodoh yang pernah kudengar.”

Maxim melirik jam. Ketika akhirnya punya waktu luang untuk menegakkan punggung dan sedikit bersantai, gelap sudah hampir jatuh di Jakarta. Maxim berdiri dan menghampiri jendela kaca, memindai pemandangan sore kotanya yang padat. Kantornya berada di lantai dua puluh satu sebuah gedung perkantoran di kawasan Jakarta Pusat.

Rapat demi rapat menguras tenaga Maxim seharian ini. Belum lagi desain baru yang harus segera dirampungkannya. Sebenarnya, pekerjaannya di departemen penjualan ini sudah cukup menyita waktu. Akan tetapi, Maxim tidak bisa menghalau kesenangan saat mengonsep sepatu untuk para bayi di luar sana. Padahal pendidikannya tidak berhubungan sama sekali dengan desain-mendesain.

Dia adalah lulusan fakultas hukum. Jurusan yang diambilnya demi menggenapi janji pada almarhum ayahnya. Meski seumur hidup dia tidak tertarik untuk mengaplikasikan ilmunya. Itulah sebabnya dia memilih bergabung di Buana Bayi ketimbang bekerja di kantor pengacara mana pun, setelah meraih gelar sarjana.

Maxim mengabaikan suara telepon yang berbunyi di mejanya. Hanya ada dua orang yang sangat mungkin mengontaknya lewat telepon itu. Maureen atau Padma, asisten Maxim. Saat ini, lelaki itu tak berminat bicara dengan salah satunya. Namun setelah deringan keempat, Maxim terpaksa mengalah dan menghampiri meja.

“Halo,” sapanya kaku. Dia mendengar suara seseorang membalas sapaannya. “Ada apa, Padma?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Ada telepon dari Rossa Mohini, Pak,” balas Padma dengan suara jelas.

Maxim sangat benci dipanggil “Pak”, tapi dia tidak berniat untuk mengoreksi. Dia juga membenci suara Padma yang terdengar yakin bahwa Maxim akan segera mengenali nama yang baru disebut perempuan itu.

“Siapa itu Rossa?” tanya Maxim karena Padma tidak memberi informasi tambahan. “Ada keperluan apa dengan saya?”

“Bapak tidak tahu? Oh, maaf. Rossa itu seorang makcomblang selebriti. Dia....”

Maxim meradang. “Dia ... apa? Makcomblang? Kenapa dia menghubungi saya? Bilang saja saya tidak bisa menerima teleponnya.” Lalu, Maxim mengakhiri perbincangan tanpa memberi kesempatan pada Padma untuk memberi penjelasan lebih lanjut.

Andai saja dia tidak ingat bahwa telepon di mejanya itu tidak memiliki dosa, sudah pasti  Maxim akan membantingnya hingga hancur. Lelaki itu mulai memaki-maki dengan gemas. Apa yang terjadi padanya sehingga seorang makcomblang selebriti tertarik menghubunginya. Maxim berani mempertaruhkan tabungannya kalau ini semua ada hubungannya dengan cover majalah The Bachelor itu.

Beberapa menit kemudian, Maxim mendengar ketukan halus di pintu. Setelahnya, Padma masuk ke dalam ruangan, diikuti kakak Maxim yang suka ikut campur. Lelaki itu sudah bisa menebak apa tujuan keduanya datang bersama-sama.

“Jangan bilang kalian berdua datang ke sini untuk membujukku supaya menerima telepon apa pun yang berasal dari makcomblang gila,” tuduhnya terang-terangan. “Padma, saya akan memindahkanmu ke bagian lain kalau selalu membuat laporan kepada Mbak Maureen!”

Wajah Padma memucat. Perempuan itu menghentikan langkah dengan canggung. Namun Maureen tidak menunjukkan bahwa dia merasa terintimidasi oleh ancaman adiknya.

“Jangan asal main tuduh sembarangan, Max! Padma datang ke sini karena mau mengambil berkas yang kubutuhkan. Mana analisa pasar yang kamu kerjakan?” Maureen mencari-cari di antara tumpukan dokumen yang memenuhi meja Maxim. Begitu menemukan apa yang dicari, dia menyerahkannya kepada Padma disertai sederet instruksi.

Maxim sering memperhatikan betapa dominannya Maureen. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya memiliki pasangan seperti kakaknya. Maureen tidak cuma cerdas, tapi juga memiliki komitmen luar biasa untuk urusan pekerjaan dan karier.

Maxim kadang merasa iba melihat saudara iparnya, Billy. Pria itu harus menebalkan kesabaran jika ingin terus bersama Maureen. Meski Billy yang menjadi direktur di perusahaan itu, sudah bukan rahasia umum bahwa keputusan-keputusan penting justru dibuat oleh sang istri. Billy bahkan tak setiap hari datang ke Buana Bayi karena mengurusi bisnis lain yang dikelolanya bersama beberapa koleganya.

“Duduklah, aku mau bicara padamu. Sebentar saja.” Maureen merekahkan senyum manis. Maxim mulai curiga. Kakaknya tidak dengan mudah mengumbar senyum jika tak ada yang diinginkannya.

“Mbak mau apa? Siapa sih si Rossa ini? Dan kenapa dia bisa menghubungiku? Pasti ini ada hubungannya dengan Mbak, kan?” tuduh Maxim lagi. Dia tak suka menyimpan opininya, meski karena itu Maxim sering dituduh tidak bisa berempati atau semacamnya.

Maureen tidak membantah. Perempuan itu memilih duduk di sofa yang disiapkan untuk tamu yang datang ke ruangan Maxim. Sementara sang adik memilih tetap duduk di ujung meja kerjanya. Tatapan tajam Maxim terarah pada kakaknya yang jelas-jelas tak peduli dengan ketidaksukaan yang ditunjukkan lelaki itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status