Hingga sore Maxim menyibukkan diri dengan setumpuk pekerjaan. Mengabaikan rasa tidak nyaman yang merabung dan membuatnya ingin sekali menyematkan topeng di wajah, supaya tidak dikenali karyawan lain. Semakin dipikir, tampil di sampul The Bachelor malah terasa kian memalukan. Sama sekali bukan komplimen baginya.
Pria berusia dua puluh sembilan tahun itu memimpin departemen penjualan. Maxim adalah lelaki jangkung dengan tinggi seratus delapan puluh satu sentimeter. Berkulit putih, rambut legam nan lebat, hidung bangir, serta mata bundar dengan pupil cokelat. Lelaki itu memiliki bibir yang bentuknya menjiplak busur panah, wajah agak tirus, serta alis tebal.
Maxim memiliki kemampuan merancang sepatu yang cukup jempolan. Dia menjadi bawahan langsung kakak sulungnya, yang menjabat sebagai direktur pemasaran. Hampir setahun lalu desain pertama yang dibuat Maxim dilempar ke pasaran. Seperti yang sudah diduga banyak pihak, hasil karyanya langsung mendapat perhatian dan menjadi produk terlaris Buana Bayi dalam waktu singkat.
“Terima kasih, Max! Berkat rancanganmu, Buana Bayi kini cukup diperhitungkan,” puji Maureen kala itu, pada salah satu rapat bulanan dengan tim desain dan penjualan.
“Bukan karena aku saja, Mbak. Tapi ini berkat kerja sama tim,” balas Maxim, agak jengah. Dia tak suka jika Maureen memberikan komplimen di depan umum. “Yang pasti, kerja keras kita akhirnya terbayar.”
Semuanya berawal dari ketidaksengajaan. Maxim bahkan tidak pernah tahu kalau dia memiliki kemampuan merancang sepatu yang cukup bagus. Buana Bayi sedang dikejar tenggat waktu untuk peluncuran produk baru. Sementara tim desain tidak juga berhasil menciptakan rancangan yang bagus dan dianggap potensial. Beberapa konsep yang diajukan selalu ditolak, terutama oleh Maureen yang memang nyaris memegang kendali penuh dalam hal rancangan sepatu yang disetujui untuk diproduksi..
Hingga kemudian Maxim yang merasa gemas mulai mencorat-coret di kertas dan dilihat kakaknya. Alhasil, rancangan itu yang dibawa Maureen ke hadapan suaminya yang sekaligus menjadi direktur Buana Bayi, Billy Ong. Dan hanya beberapa jam kemudian Maxim mendapat kepastian bahwa desainnya yang akan dipakai.
Itu adalah keputusan yang sangat mengejutkan pria itu. Dia merasa desain itu hanya sebuah kebetulan. Hingga kemudian Maureen memaksa Maxim membuat beberapa desain baru dan malah mendapat komplimen. Kadang, ada pikiran aneh yang menyelinap di benak Maxim. Apakah jauh di bawah kegelapan sana, dia memiliki alter ego? Pemikiran itu pernah terlontar saat berkumpul dengan keluarganya dan Maxim pun sontak ditertawakan ketiga saudaranya.
“Alter ego apa? Kalau iya, maka si perancang sepatu itu akan bersikap manis dan murah senyum. Tidak seperti dirimu yang biasa. Ahli cemberut dan bicara dengan sarkasme tingkat tinggi,” respons Declan, adik bungsunya.
“Jadi, kamu cuma punya kemampuan yang selama ini tidak benar-benar disadari,” dukung Darien, abangnya. “Lupakan ide alter ego itu, Max. Itu pemikiran paling bodoh yang pernah kudengar.”
Maxim melirik jam. Ketika akhirnya punya waktu luang untuk menegakkan punggung dan sedikit bersantai, gelap sudah hampir jatuh di Jakarta. Maxim berdiri dan menghampiri jendela kaca, memindai pemandangan sore kotanya yang padat. Kantornya berada di lantai dua puluh satu sebuah gedung perkantoran di kawasan Jakarta Pusat.
Rapat demi rapat menguras tenaga Maxim seharian ini. Belum lagi desain baru yang harus segera dirampungkannya. Sebenarnya, pekerjaannya di departemen penjualan ini sudah cukup menyita waktu. Akan tetapi, Maxim tidak bisa menghalau kesenangan saat mengonsep sepatu untuk para bayi di luar sana. Padahal pendidikannya tidak berhubungan sama sekali dengan desain-mendesain.
Dia adalah lulusan fakultas hukum. Jurusan yang diambilnya demi menggenapi janji pada almarhum ayahnya. Meski seumur hidup dia tidak tertarik untuk mengaplikasikan ilmunya. Itulah sebabnya dia memilih bergabung di Buana Bayi ketimbang bekerja di kantor pengacara mana pun, setelah meraih gelar sarjana.
Maxim mengabaikan suara telepon yang berbunyi di mejanya. Hanya ada dua orang yang sangat mungkin mengontaknya lewat telepon itu. Maureen atau Padma, asisten Maxim. Saat ini, lelaki itu tak berminat bicara dengan salah satunya. Namun setelah deringan keempat, Maxim terpaksa mengalah dan menghampiri meja.
“Halo,” sapanya kaku. Dia mendengar suara seseorang membalas sapaannya. “Ada apa, Padma?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Ada telepon dari Rossa Mohini, Pak,” balas Padma dengan suara jelas.
Maxim sangat benci dipanggil “Pak”, tapi dia tidak berniat untuk mengoreksi. Dia juga membenci suara Padma yang terdengar yakin bahwa Maxim akan segera mengenali nama yang baru disebut perempuan itu.
“Siapa itu Rossa?” tanya Maxim karena Padma tidak memberi informasi tambahan. “Ada keperluan apa dengan saya?”
“Bapak tidak tahu? Oh, maaf. Rossa itu seorang makcomblang selebriti. Dia....”
Maxim meradang. “Dia ... apa? Makcomblang? Kenapa dia menghubungi saya? Bilang saja saya tidak bisa menerima teleponnya.” Lalu, Maxim mengakhiri perbincangan tanpa memberi kesempatan pada Padma untuk memberi penjelasan lebih lanjut.
Andai saja dia tidak ingat bahwa telepon di mejanya itu tidak memiliki dosa, sudah pasti Maxim akan membantingnya hingga hancur. Lelaki itu mulai memaki-maki dengan gemas. Apa yang terjadi padanya sehingga seorang makcomblang selebriti tertarik menghubunginya. Maxim berani mempertaruhkan tabungannya kalau ini semua ada hubungannya dengan cover majalah The Bachelor itu.
Beberapa menit kemudian, Maxim mendengar ketukan halus di pintu. Setelahnya, Padma masuk ke dalam ruangan, diikuti kakak Maxim yang suka ikut campur. Lelaki itu sudah bisa menebak apa tujuan keduanya datang bersama-sama.
“Jangan bilang kalian berdua datang ke sini untuk membujukku supaya menerima telepon apa pun yang berasal dari makcomblang gila,” tuduhnya terang-terangan. “Padma, saya akan memindahkanmu ke bagian lain kalau selalu membuat laporan kepada Mbak Maureen!”
Wajah Padma memucat. Perempuan itu menghentikan langkah dengan canggung. Namun Maureen tidak menunjukkan bahwa dia merasa terintimidasi oleh ancaman adiknya.
“Jangan asal main tuduh sembarangan, Max! Padma datang ke sini karena mau mengambil berkas yang kubutuhkan. Mana analisa pasar yang kamu kerjakan?” Maureen mencari-cari di antara tumpukan dokumen yang memenuhi meja Maxim. Begitu menemukan apa yang dicari, dia menyerahkannya kepada Padma disertai sederet instruksi.
Maxim sering memperhatikan betapa dominannya Maureen. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya memiliki pasangan seperti kakaknya. Maureen tidak cuma cerdas, tapi juga memiliki komitmen luar biasa untuk urusan pekerjaan dan karier.
Maxim kadang merasa iba melihat saudara iparnya, Billy. Pria itu harus menebalkan kesabaran jika ingin terus bersama Maureen. Meski Billy yang menjadi direktur di perusahaan itu, sudah bukan rahasia umum bahwa keputusan-keputusan penting justru dibuat oleh sang istri. Billy bahkan tak setiap hari datang ke Buana Bayi karena mengurusi bisnis lain yang dikelolanya bersama beberapa koleganya.
“Duduklah, aku mau bicara padamu. Sebentar saja.” Maureen merekahkan senyum manis. Maxim mulai curiga. Kakaknya tidak dengan mudah mengumbar senyum jika tak ada yang diinginkannya.
“Mbak mau apa? Siapa sih si Rossa ini? Dan kenapa dia bisa menghubungiku? Pasti ini ada hubungannya dengan Mbak, kan?” tuduh Maxim lagi. Dia tak suka menyimpan opininya, meski karena itu Maxim sering dituduh tidak bisa berempati atau semacamnya.
Maureen tidak membantah. Perempuan itu memilih duduk di sofa yang disiapkan untuk tamu yang datang ke ruangan Maxim. Sementara sang adik memilih tetap duduk di ujung meja kerjanya. Tatapan tajam Maxim terarah pada kakaknya yang jelas-jelas tak peduli dengan ketidaksukaan yang ditunjukkan lelaki itu.
“Rossa itu teman kuliahku. Dia membuka semacam biro jodoh dengan klien orang-orang terkenal. Nah, sudah dua tahun ini dia ditunjuk untuk menangani acara Dating with Celebrity. Pernah dengar?”Maxim menggeleng dengan cepat. “Apa memang orang-orang terkenal merasa perlu bantuan seseorang untuk mencari jodoh?” tanyanya tak percaya. “Koreksi aku kalau salah. Seingatku, kita masih punya satu saudara laki-laki yang kebetulan juga aktor terkenal. Darien Tito Arsjad lebih tepat untuk dicarikan jodoh. Dan Mbak tahu sendiri kalau dia sudah bertahun-tahun tidak pernah mengenalkan kekasihnya pada kita. Apa tidak cemas?”Maureen tidak mempedulikan komentar adiknya. “Intinya, acara itu mempertemukan orang-orang terkenal dengan teman kencan yang sudah diseleksi ketat. Pokoknya, keinginan si selebriti, akan penuhi. Maksudku, yang berkaitan dengan kriteria pasangan kencan yang diidamkan. Setiap minggu, satu episode ditayangkan. Tidak s
Kendra Elanith memaksakan diri membuka mata. Tangannya merayap di dinding, bergerak ke luar dari kamar dan menuju kamar mandi. Gadis itu berdoa semoga rasa kantuk yang menggelayuti kelopak matanya segera menjauh dengan siraman air dingin. Kendra baru pulang menjelang tengah malam. Dan pagi ini harus tiba di kantor tepat waktu kalau tidak ingin mendapat teguran.Beberapa bulan lagi, usia Kendra akan mencapai angka dua puluh lima tahun. Gadis itu memiliki rambut bergelombang melewati bahu, hidung sedang, mata agak sipit dengan ujung-ujung terluar agak mencuat ke atas, bibir bawah agak tebal, serta kulit kecokelatan. Tinggi badan Kendra adalah seratus enam puluh tiga sentimeter.“Ya Tuhan, tolong berikan aku tenaga ekstra agar bisa mengusir rasa kantuk yang luar biasa ini,” doa Kendra dalam hati.Kendra bekerja di sebuah biro jodoh eksklusif bernama Tha Matchmaker sejak setahun terakhir. Pendirinya adalah Rossa Mohini, memanfaatkan lingkup pergaul
“Selamat pagi, Ken. Apa kamu sudah sarapan? Mukamu pucat dan lingkaran hitam di bawah matamu itu cukup mencolok,” komentar Neala begitu melihatnya. Gadis itu mendekat ke arah Kendra sebelum kembali bicara dengan suara rendah. “Aku yakin, kamu pasti cuma tidur beberapa jam dan nyaris bangun kesiangan.”Kendra mengangguk. “Kamu sih enak. Kemarin pulang tepat waktu. Sementara aku, baru tengah malam sampai di rumah. Dan ya, aku memang belum sempat sarapan. Aku bahkan lupa kalau manusia normal harus mengisi perutnya pagi-pagi sebelum berangkat ke kantor,” canda Kendra.Neala buru-buru mendorong punggung gadis itu ke arah mejanya. “Kalau begitu, biar kuambilkan sarapan. Kamu duduk dulu dan menarik napas dengan santai. Jangan mirip ibu-ibu beranak tujuh yang tergopoh-gopo menyelesaikan semua pekerjaannya.”“Terima kasih, La,” gumam Kendra tulus. Gadis itu menuruti saran Neala untuk segera duduk di kursinya.
“Oke, saya berangkat sekarang, Mbak. Oh ya, saya bisa minta nomor ponsel Maxim?”Rossa mengangguk cepat sambil menuliskan sederet angka di atas secarik kertas. “Semoga makan siangnya berjalan lancar. Kemarin Maxim bilang ada restoran yang enak di sekitar kantornya. Mudah-mudahan dia tidak bohong,” cetus Rossa, setengah berkelakar.Senyum Kendra langsung lenyap begitu dia membalikkan tubuh untuk meninggalkan ruangan Rossa. Sebenarnya dia ingin sekali berteriak di depan perempuan itu agar tidak memintanya menggantikan siapa pun untuk makan siang. Apalagi dengan kondisi seperti saat ini, terlambat. Karena itu artinya, Kendra akan menghadapi kesulitan. Meski dia tak tahu seberapa besarnya.Kendra tahu bahwa Rossa sedang sibuk, tapi dia tidak bisa membayangkan ada yang melupakan janji makan siang dengan cara seperti itu. Rossa bahkan tidak menunjukkan isyarat penyesalan karena harus menunda pertemuan. Bahkan boleh dibilang jika Rossa tidak amb
Maxim bisa menangkap kekagetan di mata gadis itu. Kendra, begitu nama yang tadi didengarnya, nyaris tidak bernapas selama beberapa detik. Matanya terbelalak memandang ke arah lelaki itu. Tentu saja ucapan Maxim tadi sudah mengejutkan gadis ini.“Bapak ... yang tadi berada di dalam mobil keren itu? Eh ... maksud saya di Chevrolet Colorado?” Meski agak tersendat, gadis itu berhasil juga menuntaskan kalimatnya.Maxim mengangguk. “Ya, itu saya.” Lalu dia menambahkan, “Jangan panggil saya ‘Bapak’! Cukup nama saja.”“Baik,” kata Kendra sembari mengangguk.Lelaki itu tidak berniat menjelaskan bahwa dia baru saja hendak membuka pintu dan keluar dari kendaraannya ketika mendadak ada seorang gadis yang memilih untuk berkaca di jendela mobilnya. Maxim tadi meninggalkan Buana Bayi untuk bertemu sebentar dengan ibunya yang sedang berada di rumah sakit, tidak jauh dari kantornya. Tentunya setelah Rossa m
Kendra yang malang itu pun mengerjap. “Tapi....”Maxim menggeleng tanpa ragu. “Dua hari yang lalu, kakak saya memang berhasil membujuk sehingga saya bersedia mengikuti acara ini. Setelahnya, saya bicara dengan Rossa di telepon. Bosmu itu sudah memastikan kalau hari ini kami akan bertemu untuk membahas soal itu sekaligus makan siang. Tapi apa yang terjadi kemudian?” tanya Maxim dengan gaya dramatis. “Kita sama-sama tahu, kan?”Kendra tidak terlihat benar-benar terintimidasi. Setidaknya, gadis itu masih mampu memberi balasan. “Saya tadi sudah menjelaskan situasinya. Di kantor...”“Itu bukan alasan!” suara Maxim agak meninggi. “Saya adalah orang yang sangat menghargai janji dan waktu. Tapi sepertinya Rossa tidak melakukan hal yang sama. Dia seenaknya memundurkan janji hanya beberapa menit sebelum pukul dua belas siang. Selain itu, dia malah mengutus orang lain. Nah, kalau dia saja tidak menganggap pe
Ibunya memang tergolong orang yang sangat menjaga kesehatan. Secara rutin, Cecil Arsjad mengunjungi dokter langganannya yang berpraktik di sebuah rumah sakit top, tidak terlalu jauh dari gedung perkantoran tempat Buana Bayi berada. Dan biasanya, Maxim berusaha menemani ibunya meski mendapat protes dari berbagai pihak. Termasuk dari Cecil sendiri. Akan tetapi, tidak ada yang mampu membuat Maxim berhenti melakukan itu.“Max, Mama bisa ke dokter sendiri. Toh ada Rita yang menemani ke mana-mana. Mending kamu fokus bekerja,” ucap Cecil berulang kali.“Tidak apa-apa, Ma. Aku tetap bisa fokus bekerja, kok! Aku kan cuma mengantar Mama ke dokter sesekali, bukan setiap hari,” Maxim beralasan. “Tolong, jangan larang aku.”Maxim memasuki ruangan yang menjadi tempatnya bekerja selama beberapa tahun terakhir ini. Dia sama sekali tidak pernah menduga jika bisa begitu menyukai pekerjaannya saat ini.Sebenarnya, keluarga besar ayahnya s
Kendra memandangi teleponnya dengan bibir terbuka. Seakan ada makhluk ajaib yang siap melompat dari dalam benda itu. Gadis itu masih sulit percaya jika teleponnya baru saja ditutup dengan tidak sopan oleh Maxim. Lagi. Apakah lelaki itu memang terbiasa mengakhiri perbincangan via telepon dengan kasar?Sepanjang ingatannya, Kendra belum pernah bersua dengan makluk angkuh seperti Maxim. Lelaki itu sepertinya cuma bisa marah dan melontarkan kata-kata yang sama sekali tak enak didengar. Bagaimana bisa ada orang segalak itu?Jika menuruti kata hati dan harga dirinya yang terluka, Kendra sangat ingin merontokkan gigi Maxim. Supaya lelaki itu tidak bisa lagi memamerkan gigi rapinya. Atau sekalian saja memotong lidahnya agar takkan mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati orang lain. Akan tetapi, risikonya terlalu besar. Kendra tak mau mempertaruhkan masa depannya karena lelaki itu. Dia tak sudi jika harus menghabiskan hidupnya yang berharga itu di dalam hotel prodeo.