Share

Bujangan Paling Diidamkan [3]

“Rossa itu teman kuliahku. Dia membuka semacam biro jodoh dengan klien orang-orang terkenal. Nah, sudah dua tahun ini dia ditunjuk untuk menangani acara Dating with Celebrity. Pernah dengar?”

Maxim menggeleng dengan cepat. “Apa memang orang-orang terkenal merasa perlu bantuan seseorang untuk mencari jodoh?” tanyanya tak percaya. “Koreksi aku kalau salah. Seingatku, kita masih punya satu saudara laki-laki yang kebetulan juga aktor terkenal. Darien Tito Arsjad lebih tepat untuk dicarikan jodoh. Dan Mbak tahu sendiri kalau dia sudah bertahun-tahun tidak pernah mengenalkan kekasihnya pada kita. Apa tidak cemas?”

Maureen tidak mempedulikan komentar adiknya. “Intinya, acara itu mempertemukan orang-orang terkenal dengan teman kencan yang sudah diseleksi ketat. Pokoknya, keinginan si selebriti, akan penuhi. Maksudku, yang berkaitan dengan kriteria pasangan kencan yang diidamkan. Setiap minggu, satu episode ditayangkan. Tidak sedikit yang kemudian berlanjut hingga menjalani hubungan serius, lho!”

Maxim mulai bahwa kalau kakaknya melebih-lebihkan. Itu adalah tipikal si sulung klan Arsjad. Mungkin karena tahu Maxim tidak percaya, Maureen pun menyebut nama seorang bintang sinetron yang namanya asing di telinga Maxim. Dan meski sang adik sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ketertarikan, Maureen tidak putus asa.

“Tadi siang Rossa menghubungiku. Dia baru tahu kalau Maxim Fordel Arsjad yang menjadi salah satu Bujangan Paling Diidamkan versi majalah The Bachelor, adalah adikku.”

Maxim menggeram pelan. “Julukan konyol itu kudapatkan gara-gara Mbak.”

Maureen mengibaskan tangan di depan wajahnya, meminta agar Maxim tidak bicara dulu. “Aku belum selesai, Max! Sabarlah dulu.” Maureen menatap adiknya. “Jadi, Rossa ingin memintamu bergabung dalam salah satu episode Dating with Celebrity. Acara ini sedang populer, lho! Ratingnya cukup tinggi untuk ukuran sebuah reality show. Aku....”

“Aku sudah tahu apa yang mau Mbak sampaikan! Tidak setiap saat ada makcomblang terkenal yang memintaku bergabung di acaranya. Ini juga menjadi semacam promosi gratis untuk Buana Bayi. Bayangkan bagaimana ibu-ibu muda di luar sana akan berlomba-lomba mengoleksi sepatu prewalker Buana Bayi karena terpesona dengan salah satu desainernya,” Maxim menirukan gaya Maureen dengan total.

Tawa sang kakak pecah di udara. Maxim terpaksa menunggu hingga kakaknya bisa bicara lagi dengan suara normal. Wajahnya cemberut, menunjukkan ketidaksukaan yang transparan. Kadang dia berpikir, bagaimana bisa dia begitu berbeda sifat dibanding ketiga saudaranya? Yang lain adalah orang-orang santai yang tak gampang terintimidasi. Maxim adalah pengecualian.

“Aku tidak membutuhkan makcomblang untuk mencarikanku pasangan, Mbak!” cetus Maxim. “Aku masih sanggup mendapatkan kekasih tanpa bantuan siapa pun.”

Maureen mengabaikan kata-kata adiknya. “Oh ya, aku mau mengoreksi komentarmu soal Darien tadi. Seingatku, kamu bahkan sudah lebih lama sendirian dibandingkan dia. Anggap saja ini aktivitas selingan di antara kesibukanmu.”

“Aku kan tidak harus membawa gadis yang kukencani ke depan kalian,” bantah Maxim.

“Ah, kenapa sih kamu selalu salah paham? Declan jauh lebih pengertian dibanding kamu. Dia pasti mau mengikuti acara semacam ini. Anggap saja sebagai salah satu usaha untuk mencari pengalaman baru. Tapi buat kamu, segalanya bisa disalahartikan,” keluh Maureen.

Maxim meringis. “Tentu saja playboy aktif seperti Declan tidak akan melewatkan kesempatan seperti ini. Tapi aku bukan si bungsu yang tahunya cuma bersenang-senang dan menghabiskan waktu dengan menyelamatkan dunia,” bantahnya.

Kini, Maureen menatap Maxim dengan serius. “Ini cuma acara reality show, Max! Demi Tuhan! Kamu hanya perlu memilih satu orang teman kencan di antara beberapa pilihan. Selanjutnya, bersenang-senanglah! Kalaupun setelah kencan pertama tidak ada yang menarik, kamu bebas untuk mengakhiri, kok! Seperti yang kubilang tadi, anggap saja sebagai semacam refreshing. Atau mencari teman, barangkali.”

Maxim sudah siap dengan bantahannya. “Kalau begitu cara refreshing atau mencari teman, kurasa hidup ini sudah berubah begitu rumit. Aku tidak mau, Mbak!”

Meski berusaha menolak mati-matian Maxim melupakan satu hal. Kemampuan  membujuk Maureen yang luar biasa. Hingga kurang dari dua puluh lima menit kemudian, pria itu cuma bisa mengangguk tidak berdaya.

“Oke, aku akan menerima telepon Rossa. Tapi kalau setelahnya hidupku malah mengalami kekacauan, aku akan membuat Mbak menderita seumur hidup. Penderitaan pun harus dibagi, tidak boleh ditanggung sendiri,” ancam Maxim dengan suara tak berdaya.

“Setuju,” balas Maureen seraya buru-buru meninggalkan ruang kerja sang adik. Mungkin takut jika Maxim akan berubah pikiran dan kembali menolak ajakan Rossa. Begitu pintu ditutup, Maxim menarik dasinya dengan gerakan kasar. Alhasil, kulit lehernya malah terasa pedih. Kepalanya pun kian berdenyut.

Maxim menyumpah-nyumpah dalam hati. Hari ini sepertinya menjadi hari yang sangat menyiksa baginya. Lelaki itu berusaha mengais memori, mengingat mimpi apa yang menghias tidurnya tadi malam. Dia cemas, apakah sudah ada pertanda akan situasi buruk yang harus dihadapinya hari ini? Namun sepertinya tidak ada. Semuanya terasa normal dan baik-baik saja tadi pagi. Sayang, begitu melihat sampul majalah The Bachelor di atas mejanya, semua memburuk untuk Maxim.

Tidak sampai seperempat jam setelah Maureen meninggalkan ruangannya, Maxim menerima telepon dari Rossa. Barusan dia menyempatkan diri mencari informasi tentang perempuan itu di internet. Dan data yang didapatnya membuat Maxim tercengang. Rossa yang konon makcomblang terkenal itu ternyata belum menikah! Padahal perempuan itu sudah nyaris berumur tiga puluh lima tahun.

Namun Maxim menyimpan fakta itu dalam benaknya. Dia bersyukur karena mampu menahan diri agar tidak menghina orang yang ingin mencarikannya jodoh itu dengan status kelajangan Rossa. Hanya saja Maxim merasakan ironi yang menggelikan. Seseorang ingin mencarikanmu jodoh, sementara dia sendiri belum memiliki pasangan. Wah!

“Maxim, saya Rossa, teman Maureen. Tadi Maureen sudah menjelaskan secara singkat tentang acara Dating with Celebrity, kan? Saya akan menemui kamu untuk menjelaskan lebih detail soal acara ini. Saat ini, saya hanya ingin memastikan kalau kamu sudah setuju untuk terlibat,” ucap Rossa tanpa bertele-tele.

Maxim bertahan dari godaan hebat untuk membanting teleponnya. Belum apa-apa dia sudah merasa bahwa Rossa ini perempuan yang tangguh dan ... agak menyebalkan. Tidak jauh berbeda dengan Maureen.

Rossa jelas tahu bagaimana caranya memegang kendali dan tidak memberikan kesempatan pada lawan bicaranya untuk membantah. Pilihan sapaannya pun menarik. Tidak menyebut Maxim dengan “Anda”, meski ini pertama kalinya mereka berbicara. Namun malah memilih “kamu”. Tanpa dikehendaki, membuat Maxim berpikir kalau perempuan itu mengira sedang berbicara dengan bawahannya.

“Iya, saya sudah setuju,” balas Maxim dengan suara datar. Pria itu menyugar rambutnya yang tadinya rapi. Tindakan itu membuat rambut ikalnya agak berantakan. Kebiasaan buruk yang sulit untuk dihindari saat dia sedang merasa gemas atau kesal akan sesuatu.

“Baiklah kalau begitu. Sebentar!”

Jeda lebih dari lima detik. Maxim mendengar seseorang bicara di seberang, juga suara seperti kertas yang dibolak-balik.

“Saya akan menemuimu secepatnya untuk membicarakan soal ini. Sekaligus menyerahkan kontrak yang harus kamu tanda tangani. Besok sepertinya waktu yang tepat. Saya ... eh ... sebentar! Besok saya ada pekerjaan penting. Bagaimana kalau lusa saja?”

Maxim menarik napas. Perempuan bernama Rossa itu bahkan tidak bertanya apakah dia punya waktu atau tidak.

“Baiklah. Lusa lebih baik. Makan siang?” balas Maxim tanpa buang waktu.

“Ya, makan siang,” Rossa setuju.

“Di mana?”

“Apa di sana ada restoran enak?”

“Di gedung perkantoran ini? Ada banyak,” sahut Maxim.

“Baiklah kalau begitu. Saya akan datang ke sana sekitar pukul dua belas. Terima kasih Maxim,” tandas Rossa sebelum telepon diputus.

Maxim menatap telepon di tangannya dengan hampa sebelum meletakkan benda itu di tempat yang seharusnya. Instingnya mengatakan bahwa dia akan menghadapi masalah besar karena membuat persetujuan itu.

Bersepakat dengan Rossa sepertinya tidak jauh berbeda dengan membuat konsensus dengan setan. Astaga! Mengapa dia bodoh sekali dan mau saja menuruti Maureen sekali lagi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status