“Rossa itu teman kuliahku. Dia membuka semacam biro jodoh dengan klien orang-orang terkenal. Nah, sudah dua tahun ini dia ditunjuk untuk menangani acara Dating with Celebrity. Pernah dengar?”
Maxim menggeleng dengan cepat. “Apa memang orang-orang terkenal merasa perlu bantuan seseorang untuk mencari jodoh?” tanyanya tak percaya. “Koreksi aku kalau salah. Seingatku, kita masih punya satu saudara laki-laki yang kebetulan juga aktor terkenal. Darien Tito Arsjad lebih tepat untuk dicarikan jodoh. Dan Mbak tahu sendiri kalau dia sudah bertahun-tahun tidak pernah mengenalkan kekasihnya pada kita. Apa tidak cemas?”
Maureen tidak mempedulikan komentar adiknya. “Intinya, acara itu mempertemukan orang-orang terkenal dengan teman kencan yang sudah diseleksi ketat. Pokoknya, keinginan si selebriti, akan penuhi. Maksudku, yang berkaitan dengan kriteria pasangan kencan yang diidamkan. Setiap minggu, satu episode ditayangkan. Tidak sedikit yang kemudian berlanjut hingga menjalani hubungan serius, lho!”
Maxim mulai bahwa kalau kakaknya melebih-lebihkan. Itu adalah tipikal si sulung klan Arsjad. Mungkin karena tahu Maxim tidak percaya, Maureen pun menyebut nama seorang bintang sinetron yang namanya asing di telinga Maxim. Dan meski sang adik sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ketertarikan, Maureen tidak putus asa.
“Tadi siang Rossa menghubungiku. Dia baru tahu kalau Maxim Fordel Arsjad yang menjadi salah satu Bujangan Paling Diidamkan versi majalah The Bachelor, adalah adikku.”
Maxim menggeram pelan. “Julukan konyol itu kudapatkan gara-gara Mbak.”
Maureen mengibaskan tangan di depan wajahnya, meminta agar Maxim tidak bicara dulu. “Aku belum selesai, Max! Sabarlah dulu.” Maureen menatap adiknya. “Jadi, Rossa ingin memintamu bergabung dalam salah satu episode Dating with Celebrity. Acara ini sedang populer, lho! Ratingnya cukup tinggi untuk ukuran sebuah reality show. Aku....”
“Aku sudah tahu apa yang mau Mbak sampaikan! Tidak setiap saat ada makcomblang terkenal yang memintaku bergabung di acaranya. Ini juga menjadi semacam promosi gratis untuk Buana Bayi. Bayangkan bagaimana ibu-ibu muda di luar sana akan berlomba-lomba mengoleksi sepatu prewalker Buana Bayi karena terpesona dengan salah satu desainernya,” Maxim menirukan gaya Maureen dengan total.
Tawa sang kakak pecah di udara. Maxim terpaksa menunggu hingga kakaknya bisa bicara lagi dengan suara normal. Wajahnya cemberut, menunjukkan ketidaksukaan yang transparan. Kadang dia berpikir, bagaimana bisa dia begitu berbeda sifat dibanding ketiga saudaranya? Yang lain adalah orang-orang santai yang tak gampang terintimidasi. Maxim adalah pengecualian.
“Aku tidak membutuhkan makcomblang untuk mencarikanku pasangan, Mbak!” cetus Maxim. “Aku masih sanggup mendapatkan kekasih tanpa bantuan siapa pun.”
Maureen mengabaikan kata-kata adiknya. “Oh ya, aku mau mengoreksi komentarmu soal Darien tadi. Seingatku, kamu bahkan sudah lebih lama sendirian dibandingkan dia. Anggap saja ini aktivitas selingan di antara kesibukanmu.”
“Aku kan tidak harus membawa gadis yang kukencani ke depan kalian,” bantah Maxim.
“Ah, kenapa sih kamu selalu salah paham? Declan jauh lebih pengertian dibanding kamu. Dia pasti mau mengikuti acara semacam ini. Anggap saja sebagai salah satu usaha untuk mencari pengalaman baru. Tapi buat kamu, segalanya bisa disalahartikan,” keluh Maureen.
Maxim meringis. “Tentu saja playboy aktif seperti Declan tidak akan melewatkan kesempatan seperti ini. Tapi aku bukan si bungsu yang tahunya cuma bersenang-senang dan menghabiskan waktu dengan menyelamatkan dunia,” bantahnya.
Kini, Maureen menatap Maxim dengan serius. “Ini cuma acara reality show, Max! Demi Tuhan! Kamu hanya perlu memilih satu orang teman kencan di antara beberapa pilihan. Selanjutnya, bersenang-senanglah! Kalaupun setelah kencan pertama tidak ada yang menarik, kamu bebas untuk mengakhiri, kok! Seperti yang kubilang tadi, anggap saja sebagai semacam refreshing. Atau mencari teman, barangkali.”
Maxim sudah siap dengan bantahannya. “Kalau begitu cara refreshing atau mencari teman, kurasa hidup ini sudah berubah begitu rumit. Aku tidak mau, Mbak!”
Meski berusaha menolak mati-matian Maxim melupakan satu hal. Kemampuan membujuk Maureen yang luar biasa. Hingga kurang dari dua puluh lima menit kemudian, pria itu cuma bisa mengangguk tidak berdaya.
“Oke, aku akan menerima telepon Rossa. Tapi kalau setelahnya hidupku malah mengalami kekacauan, aku akan membuat Mbak menderita seumur hidup. Penderitaan pun harus dibagi, tidak boleh ditanggung sendiri,” ancam Maxim dengan suara tak berdaya.
“Setuju,” balas Maureen seraya buru-buru meninggalkan ruang kerja sang adik. Mungkin takut jika Maxim akan berubah pikiran dan kembali menolak ajakan Rossa. Begitu pintu ditutup, Maxim menarik dasinya dengan gerakan kasar. Alhasil, kulit lehernya malah terasa pedih. Kepalanya pun kian berdenyut.
Maxim menyumpah-nyumpah dalam hati. Hari ini sepertinya menjadi hari yang sangat menyiksa baginya. Lelaki itu berusaha mengais memori, mengingat mimpi apa yang menghias tidurnya tadi malam. Dia cemas, apakah sudah ada pertanda akan situasi buruk yang harus dihadapinya hari ini? Namun sepertinya tidak ada. Semuanya terasa normal dan baik-baik saja tadi pagi. Sayang, begitu melihat sampul majalah The Bachelor di atas mejanya, semua memburuk untuk Maxim.
Tidak sampai seperempat jam setelah Maureen meninggalkan ruangannya, Maxim menerima telepon dari Rossa. Barusan dia menyempatkan diri mencari informasi tentang perempuan itu di internet. Dan data yang didapatnya membuat Maxim tercengang. Rossa yang konon makcomblang terkenal itu ternyata belum menikah! Padahal perempuan itu sudah nyaris berumur tiga puluh lima tahun.
Namun Maxim menyimpan fakta itu dalam benaknya. Dia bersyukur karena mampu menahan diri agar tidak menghina orang yang ingin mencarikannya jodoh itu dengan status kelajangan Rossa. Hanya saja Maxim merasakan ironi yang menggelikan. Seseorang ingin mencarikanmu jodoh, sementara dia sendiri belum memiliki pasangan. Wah!
“Maxim, saya Rossa, teman Maureen. Tadi Maureen sudah menjelaskan secara singkat tentang acara Dating with Celebrity, kan? Saya akan menemui kamu untuk menjelaskan lebih detail soal acara ini. Saat ini, saya hanya ingin memastikan kalau kamu sudah setuju untuk terlibat,” ucap Rossa tanpa bertele-tele.
Maxim bertahan dari godaan hebat untuk membanting teleponnya. Belum apa-apa dia sudah merasa bahwa Rossa ini perempuan yang tangguh dan ... agak menyebalkan. Tidak jauh berbeda dengan Maureen.
Rossa jelas tahu bagaimana caranya memegang kendali dan tidak memberikan kesempatan pada lawan bicaranya untuk membantah. Pilihan sapaannya pun menarik. Tidak menyebut Maxim dengan “Anda”, meski ini pertama kalinya mereka berbicara. Namun malah memilih “kamu”. Tanpa dikehendaki, membuat Maxim berpikir kalau perempuan itu mengira sedang berbicara dengan bawahannya.
“Iya, saya sudah setuju,” balas Maxim dengan suara datar. Pria itu menyugar rambutnya yang tadinya rapi. Tindakan itu membuat rambut ikalnya agak berantakan. Kebiasaan buruk yang sulit untuk dihindari saat dia sedang merasa gemas atau kesal akan sesuatu.
“Baiklah kalau begitu. Sebentar!”
Jeda lebih dari lima detik. Maxim mendengar seseorang bicara di seberang, juga suara seperti kertas yang dibolak-balik.
“Saya akan menemuimu secepatnya untuk membicarakan soal ini. Sekaligus menyerahkan kontrak yang harus kamu tanda tangani. Besok sepertinya waktu yang tepat. Saya ... eh ... sebentar! Besok saya ada pekerjaan penting. Bagaimana kalau lusa saja?”
Maxim menarik napas. Perempuan bernama Rossa itu bahkan tidak bertanya apakah dia punya waktu atau tidak.
“Baiklah. Lusa lebih baik. Makan siang?” balas Maxim tanpa buang waktu.
“Ya, makan siang,” Rossa setuju.
“Di mana?”
“Apa di sana ada restoran enak?”
“Di gedung perkantoran ini? Ada banyak,” sahut Maxim.
“Baiklah kalau begitu. Saya akan datang ke sana sekitar pukul dua belas. Terima kasih Maxim,” tandas Rossa sebelum telepon diputus.
Maxim menatap telepon di tangannya dengan hampa sebelum meletakkan benda itu di tempat yang seharusnya. Instingnya mengatakan bahwa dia akan menghadapi masalah besar karena membuat persetujuan itu.
Bersepakat dengan Rossa sepertinya tidak jauh berbeda dengan membuat konsensus dengan setan. Astaga! Mengapa dia bodoh sekali dan mau saja menuruti Maureen sekali lagi?
Kendra Elanith memaksakan diri membuka mata. Tangannya merayap di dinding, bergerak ke luar dari kamar dan menuju kamar mandi. Gadis itu berdoa semoga rasa kantuk yang menggelayuti kelopak matanya segera menjauh dengan siraman air dingin. Kendra baru pulang menjelang tengah malam. Dan pagi ini harus tiba di kantor tepat waktu kalau tidak ingin mendapat teguran.Beberapa bulan lagi, usia Kendra akan mencapai angka dua puluh lima tahun. Gadis itu memiliki rambut bergelombang melewati bahu, hidung sedang, mata agak sipit dengan ujung-ujung terluar agak mencuat ke atas, bibir bawah agak tebal, serta kulit kecokelatan. Tinggi badan Kendra adalah seratus enam puluh tiga sentimeter.“Ya Tuhan, tolong berikan aku tenaga ekstra agar bisa mengusir rasa kantuk yang luar biasa ini,” doa Kendra dalam hati.Kendra bekerja di sebuah biro jodoh eksklusif bernama Tha Matchmaker sejak setahun terakhir. Pendirinya adalah Rossa Mohini, memanfaatkan lingkup pergaul
“Selamat pagi, Ken. Apa kamu sudah sarapan? Mukamu pucat dan lingkaran hitam di bawah matamu itu cukup mencolok,” komentar Neala begitu melihatnya. Gadis itu mendekat ke arah Kendra sebelum kembali bicara dengan suara rendah. “Aku yakin, kamu pasti cuma tidur beberapa jam dan nyaris bangun kesiangan.”Kendra mengangguk. “Kamu sih enak. Kemarin pulang tepat waktu. Sementara aku, baru tengah malam sampai di rumah. Dan ya, aku memang belum sempat sarapan. Aku bahkan lupa kalau manusia normal harus mengisi perutnya pagi-pagi sebelum berangkat ke kantor,” canda Kendra.Neala buru-buru mendorong punggung gadis itu ke arah mejanya. “Kalau begitu, biar kuambilkan sarapan. Kamu duduk dulu dan menarik napas dengan santai. Jangan mirip ibu-ibu beranak tujuh yang tergopoh-gopo menyelesaikan semua pekerjaannya.”“Terima kasih, La,” gumam Kendra tulus. Gadis itu menuruti saran Neala untuk segera duduk di kursinya.
“Oke, saya berangkat sekarang, Mbak. Oh ya, saya bisa minta nomor ponsel Maxim?”Rossa mengangguk cepat sambil menuliskan sederet angka di atas secarik kertas. “Semoga makan siangnya berjalan lancar. Kemarin Maxim bilang ada restoran yang enak di sekitar kantornya. Mudah-mudahan dia tidak bohong,” cetus Rossa, setengah berkelakar.Senyum Kendra langsung lenyap begitu dia membalikkan tubuh untuk meninggalkan ruangan Rossa. Sebenarnya dia ingin sekali berteriak di depan perempuan itu agar tidak memintanya menggantikan siapa pun untuk makan siang. Apalagi dengan kondisi seperti saat ini, terlambat. Karena itu artinya, Kendra akan menghadapi kesulitan. Meski dia tak tahu seberapa besarnya.Kendra tahu bahwa Rossa sedang sibuk, tapi dia tidak bisa membayangkan ada yang melupakan janji makan siang dengan cara seperti itu. Rossa bahkan tidak menunjukkan isyarat penyesalan karena harus menunda pertemuan. Bahkan boleh dibilang jika Rossa tidak amb
Maxim bisa menangkap kekagetan di mata gadis itu. Kendra, begitu nama yang tadi didengarnya, nyaris tidak bernapas selama beberapa detik. Matanya terbelalak memandang ke arah lelaki itu. Tentu saja ucapan Maxim tadi sudah mengejutkan gadis ini.“Bapak ... yang tadi berada di dalam mobil keren itu? Eh ... maksud saya di Chevrolet Colorado?” Meski agak tersendat, gadis itu berhasil juga menuntaskan kalimatnya.Maxim mengangguk. “Ya, itu saya.” Lalu dia menambahkan, “Jangan panggil saya ‘Bapak’! Cukup nama saja.”“Baik,” kata Kendra sembari mengangguk.Lelaki itu tidak berniat menjelaskan bahwa dia baru saja hendak membuka pintu dan keluar dari kendaraannya ketika mendadak ada seorang gadis yang memilih untuk berkaca di jendela mobilnya. Maxim tadi meninggalkan Buana Bayi untuk bertemu sebentar dengan ibunya yang sedang berada di rumah sakit, tidak jauh dari kantornya. Tentunya setelah Rossa m
Kendra yang malang itu pun mengerjap. “Tapi....”Maxim menggeleng tanpa ragu. “Dua hari yang lalu, kakak saya memang berhasil membujuk sehingga saya bersedia mengikuti acara ini. Setelahnya, saya bicara dengan Rossa di telepon. Bosmu itu sudah memastikan kalau hari ini kami akan bertemu untuk membahas soal itu sekaligus makan siang. Tapi apa yang terjadi kemudian?” tanya Maxim dengan gaya dramatis. “Kita sama-sama tahu, kan?”Kendra tidak terlihat benar-benar terintimidasi. Setidaknya, gadis itu masih mampu memberi balasan. “Saya tadi sudah menjelaskan situasinya. Di kantor...”“Itu bukan alasan!” suara Maxim agak meninggi. “Saya adalah orang yang sangat menghargai janji dan waktu. Tapi sepertinya Rossa tidak melakukan hal yang sama. Dia seenaknya memundurkan janji hanya beberapa menit sebelum pukul dua belas siang. Selain itu, dia malah mengutus orang lain. Nah, kalau dia saja tidak menganggap pe
Ibunya memang tergolong orang yang sangat menjaga kesehatan. Secara rutin, Cecil Arsjad mengunjungi dokter langganannya yang berpraktik di sebuah rumah sakit top, tidak terlalu jauh dari gedung perkantoran tempat Buana Bayi berada. Dan biasanya, Maxim berusaha menemani ibunya meski mendapat protes dari berbagai pihak. Termasuk dari Cecil sendiri. Akan tetapi, tidak ada yang mampu membuat Maxim berhenti melakukan itu.“Max, Mama bisa ke dokter sendiri. Toh ada Rita yang menemani ke mana-mana. Mending kamu fokus bekerja,” ucap Cecil berulang kali.“Tidak apa-apa, Ma. Aku tetap bisa fokus bekerja, kok! Aku kan cuma mengantar Mama ke dokter sesekali, bukan setiap hari,” Maxim beralasan. “Tolong, jangan larang aku.”Maxim memasuki ruangan yang menjadi tempatnya bekerja selama beberapa tahun terakhir ini. Dia sama sekali tidak pernah menduga jika bisa begitu menyukai pekerjaannya saat ini.Sebenarnya, keluarga besar ayahnya s
Kendra memandangi teleponnya dengan bibir terbuka. Seakan ada makhluk ajaib yang siap melompat dari dalam benda itu. Gadis itu masih sulit percaya jika teleponnya baru saja ditutup dengan tidak sopan oleh Maxim. Lagi. Apakah lelaki itu memang terbiasa mengakhiri perbincangan via telepon dengan kasar?Sepanjang ingatannya, Kendra belum pernah bersua dengan makluk angkuh seperti Maxim. Lelaki itu sepertinya cuma bisa marah dan melontarkan kata-kata yang sama sekali tak enak didengar. Bagaimana bisa ada orang segalak itu?Jika menuruti kata hati dan harga dirinya yang terluka, Kendra sangat ingin merontokkan gigi Maxim. Supaya lelaki itu tidak bisa lagi memamerkan gigi rapinya. Atau sekalian saja memotong lidahnya agar takkan mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati orang lain. Akan tetapi, risikonya terlalu besar. Kendra tak mau mempertaruhkan masa depannya karena lelaki itu. Dia tak sudi jika harus menghabiskan hidupnya yang berharga itu di dalam hotel prodeo.
“Oh ya? Kenapa?” Neala tampak lebih dari sekadar tertarik untuk membicarakan masalah itu.“Laki-laki bernama Maxim itu marah karena Mbak Rossa memundurkan janji. Apalagi karena dia baru dihubungi hanya beberapa menit sebelum jam dua belas, janji makan siang mereka berdua. Lalu, masih ditambah karena Mbak Rossa malah memintaku yang menggantikannya untuk bertemu Maxim. Alhasil, Maxim menolak untuk terlibat dalam acara Dating with Celebrity. Sementara di lain pihak, aku menjadi orang yang tersudutkan. Aku dianggap sebagai orang yang tidak bisa melakukan tugas sederhana seperti itu,” keluhnya.“Dan aku sudah bisa menebak kelanjutannya.” Neala bersimpati. “Kamu harus membujuk Maxim supaya dia berubah pikiran, kan?”Kendra mengangguk sambil kembali membaca kertas-kertas di depannya. “Aku sudah beralasan kalau pekerjaanku bertumpuk. Tapi....” gadis itu mengedikkan bahu tanpa daya. “Kamu lebih me