Share

Kesan Pertama yang Tak Menggoda [1]

Kendra Elanith memaksakan diri membuka mata. Tangannya merayap di dinding, bergerak ke luar dari kamar dan menuju kamar mandi. Gadis itu berdoa semoga rasa kantuk yang menggelayuti kelopak matanya segera menjauh dengan siraman air dingin. Kendra baru pulang menjelang tengah malam. Dan pagi ini harus tiba di kantor tepat waktu kalau tidak ingin mendapat teguran.

Beberapa bulan lagi, usia Kendra akan mencapai angka dua puluh lima tahun. Gadis itu memiliki rambut bergelombang melewati bahu, hidung sedang, mata agak sipit dengan ujung-ujung terluar agak mencuat ke atas, bibir bawah agak tebal, serta kulit kecokelatan. Tinggi badan Kendra  adalah seratus enam puluh tiga sentimeter.

“Ya Tuhan, tolong berikan aku tenaga ekstra agar bisa mengusir rasa kantuk yang luar biasa ini,” doa Kendra dalam hati.

Kendra bekerja di sebuah biro jodoh eksklusif bernama Tha Matchmaker sejak setahun terakhir. Pendirinya adalah Rossa Mohini, memanfaatkan lingkup pergaulan kelas atas yang dikenalnya sejak kecil.

Berdasarkan sejarah awalnya yang harus dihafal oleh semua pegawai The Matchmaker, Rossa hanya melayani permintaan dari orang-orang berduit yang menjadi teman-teman atau kenalannya. Hingga perlahan nama The Matchmaker pun menjadi kian populer. Sampai akhirnya sebuah stasiun televisi swasta meminta perempuan itu menangani acara kencan berjudul Dating with Celebrity.

Sesuai judulnya, salah satu peserta adalah orang yang dianggap pesohor dan sudah dipilih dengan saksama. Selanjutnya, Rossa dan timnya bertugas menyeleksi para pelamar yang biasanya cukup membludak, berdasarkan ciri fisik dan latar belakang yang diinginkan sang selebriti. Hingga tersisa sepuluh orang kandidat saja.

Kesepuluh peserta ini yang mendapat hak istimewa untuk bertemu dengan si pesohor. The Matchmaker akan mengurus semacam acara perkenalan yang bersifat santai. Puncaknya, akan dipilih satu orang peserta yang akan diajak kencan. Kelanjutan dari kencan itu tidak lagi menjadi urusan Rossa atau biro jodohnya.

Air dingin ternyata cukup mujarab melumatkan sisa kantuk yang menempel. Kini, mata Kendra terbuka lebih lebar. Kondisi yang cukup manusiawi untuk seseorang yang harus segera berangkat bekerja dalam waktu kurang dari setengah jam lagi. Diam-diam Kendra bertekad untuk lebih serius mencari pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmunya. Dan yang sudah pasti membuatnya bekerja dengan jam yang normal.

“Terima kasih, Tuhan. Mataku akhirnya benar-benar terbuka,” gumam Kendra sambil mengeringkan tubuh dengan handuk. Setelah itu, dia bergegas meninggalkan kamar mandi.

Kendra menjadi salah satu karyawan yang menangani bagian perekrutan, khusus menangani pelamar berjenis kelamin perempuan. Sejak menamatkan kuliahnya setahun silam, Kendra bergabung dengan The Matchmaker. Awalnya, dia hanya membantu salah satu teman kuliahnya, Neala yang sudah lebih dulu bekerja di sana. Sekaligus mencari peluang bagi pekerjaan lain yang sesuai dengan ilmu akuntansi yang dipelajarinya.

“The Matchmaker ini bisa jadi batu loncatan yang cukup menjanjikan lho, Ken,” kata Neala. “Sebelum mendapat pekerjaan idaman, tak ada salahnya bergabung di sini. Ketimbang menganggur. Siapa tahu di perjalanan nanti kita malah berkenalan dengan orang-orang penting yang bisa membantu menemukan job yang tepat. Atau malah mendapat tawaran pekerjaan lain yang lebih menggiurkan.”

Ketika mendapat tawaran untuk bergabung di The Matchmaker, Kendra cukup antusias. Neala benar. Akan tetapi, jauh di dalam benaknya, Kendra tahu bahwa pekerjaan itu hanya bersifat sementara. Namun sayangnya, satu bulan berlalu menjadi dua bulan. Hingga kini sudah mencapai satu tahun dan Kendra masih bertahan di The Matchmaker.

Kendra masih berambisi untuk menemukan pekerjaan yang lebih disukainya. Karena melihat sekelompok kaum hawa bersaing untuk mendapat satu kursi istimewa di depan seorang selebriti adalah hal yang meremas hatinya. Seakan perempuan harus berusaha luar biasa keras untuk meraih perhatian seseorang. Bahkan harus bersaing terang-terangan.

Kendra memiliki pendapat berbeda jika yang mengajukan lamaran kencan adalah seorang lelaki. Baginya, begitulah seharusnya kaum adam. Berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan orang yang menarik perhatiannya. Berusaha dengan sungguh-sungguh.

“Kamu itu tidak objektif, Ken,” protes Neala di masa lalu. “Kenapa hanya laki-laki saja yang boleh bersaing demi mendapatkan perempuan idaman? Kenapa perempuan kehilangan haknya?”

“Bukan kehilangan haknya, La. Tapi, laki-laki itu memang nalurinya kan berburu, bukan diburu. Jadi, lebih pas seperti itu,” argumen Kendra. “Tidak masalah kalau banyak perempuan yang tak keberatan untuk berburu. Tapi, aku pribadi, tidak sreg dengan hal itu.”

“Mau laki-laki atau perempuan, sama saja, Ken. Semua orang punya hak untuk mengejar yang diinginkannya,” ucap Neala.

Sampai detik ini pun mereka tak juga bisa menyatukan dua opini yang berbeda itu. Namun tampaknya tak ada yang keberatan sama sekali. Justru dengan begitu, Kendra dan Neala bisa saling melengkapi.

Satu hal yang sangat disukai Kendra karena bekerja di The Matchmaker adalah ketidakharusan untuk memakai seragam. Kendra bebas mengenakan pakaian apa pun. Selain itu, gajinya juga memuaskan. Bahkan dia masih mendapat “bonus” dengan melihat dari dekat orang-orang ternama.

Awalnya Kendra mengira para pesohor di acara Dating with Celebrity adalah orang-orang yang berprofesi sebagai model, penyanyi, atau bintang sinetron. Ternyata dia salah. Rossa juga mengundang pengusaha atau atlet. Intinya, orang yang namanya sedang sering didengungkan di Indonesia. Kemarin Kendra melihat nama seorang atlet bulutangkis yang siap menjalani syuting untuk dua minggu lagi. Dan seorang pemilik restoran yang khusus menyajikan menu Prancis.

Ketika melihat jam dinding di kamarnya, Kendra memaki dirinya yang bisa bangun sesiang ini. Perempuan itu berpakaian dengan terburu-buru, menarik sebuah celana jeans longgar dan blus berkerah kemeja dengan ritsleting pendek di bagian depan.

“Mulai besok aku mungkin membutuhkan sepuluh jam beker tambahan supaya bisa bangun lebih pagi,” katanya pada diri sendiri.

Kendra menyisir rambut sepunggungnya dengan cepat, hingga sempat mengaduh saat sisirnya tersangkut di bagian yang kusut. Air matanya nyaris merebak sebagai efeknya. Kendra menjepit rambut asal-asalan dan menyambar kacamatanya sebelum meninggalkan kamar. Gadis itu berlari menuju dapur, meski dia hampir yakin tidak ada kompor yang menyala di sana. Namun selama bertahun-tahun ini, dia tidak mampu meninggalkan rumah tanpa memeriksa kompor terlebih dahulu.

Kendra berdoa dengan sungguh-sungguh sebelum menstarter mobil sedan bututnya, semoga tidak membuat ulah. Hal itu sudah menjadi semacam ritual yang tidak bisa dilupakan gadis itu tiap kali mulai duduk di depan setir. Napas leganya diembuskan begitu mendapati mesin bisa menyala dengan sempurna.

“Terima kasih Tuhan, karena sudah menyelamatkan pagiku sehingga tak terlalu buruk.”

Kendra sudah bisa menyetir saat umurnya baru menginjak angka dua belas tahun dan kakinya belum leluasa menginjak pedal gas. Diam-diam gadis itu belajar menyetir pada tetangganya, Boris. Sebenarnya, Boris tidak tepat jika disebut sebagai temannya. Boris seusia kakak sulungnya, Arthur. Namun Boris tidak keberatan mengajari Kendra belajar menyetir.

Jalanan Jakarta dipenuhi kendaraan, itu sudah bukan hal yang istimewa. Namun Kendra bersyukur karena letak kantornya cukup dekat dari rumah. Boleh dibilang, dia tidak pernah benar-benar bermasalah dengan jalanan yang macet. Beban seisi dunia yang seakan menggelayuti bahu Kendra pun mendebu begitu dia tiba di kantor.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status