Kendra Elanith memaksakan diri membuka mata. Tangannya merayap di dinding, bergerak ke luar dari kamar dan menuju kamar mandi. Gadis itu berdoa semoga rasa kantuk yang menggelayuti kelopak matanya segera menjauh dengan siraman air dingin. Kendra baru pulang menjelang tengah malam. Dan pagi ini harus tiba di kantor tepat waktu kalau tidak ingin mendapat teguran.
Beberapa bulan lagi, usia Kendra akan mencapai angka dua puluh lima tahun. Gadis itu memiliki rambut bergelombang melewati bahu, hidung sedang, mata agak sipit dengan ujung-ujung terluar agak mencuat ke atas, bibir bawah agak tebal, serta kulit kecokelatan. Tinggi badan Kendra adalah seratus enam puluh tiga sentimeter.
“Ya Tuhan, tolong berikan aku tenaga ekstra agar bisa mengusir rasa kantuk yang luar biasa ini,” doa Kendra dalam hati.
Kendra bekerja di sebuah biro jodoh eksklusif bernama Tha Matchmaker sejak setahun terakhir. Pendirinya adalah Rossa Mohini, memanfaatkan lingkup pergaulan kelas atas yang dikenalnya sejak kecil.
Berdasarkan sejarah awalnya yang harus dihafal oleh semua pegawai The Matchmaker, Rossa hanya melayani permintaan dari orang-orang berduit yang menjadi teman-teman atau kenalannya. Hingga perlahan nama The Matchmaker pun menjadi kian populer. Sampai akhirnya sebuah stasiun televisi swasta meminta perempuan itu menangani acara kencan berjudul Dating with Celebrity.
Sesuai judulnya, salah satu peserta adalah orang yang dianggap pesohor dan sudah dipilih dengan saksama. Selanjutnya, Rossa dan timnya bertugas menyeleksi para pelamar yang biasanya cukup membludak, berdasarkan ciri fisik dan latar belakang yang diinginkan sang selebriti. Hingga tersisa sepuluh orang kandidat saja.
Kesepuluh peserta ini yang mendapat hak istimewa untuk bertemu dengan si pesohor. The Matchmaker akan mengurus semacam acara perkenalan yang bersifat santai. Puncaknya, akan dipilih satu orang peserta yang akan diajak kencan. Kelanjutan dari kencan itu tidak lagi menjadi urusan Rossa atau biro jodohnya.
Air dingin ternyata cukup mujarab melumatkan sisa kantuk yang menempel. Kini, mata Kendra terbuka lebih lebar. Kondisi yang cukup manusiawi untuk seseorang yang harus segera berangkat bekerja dalam waktu kurang dari setengah jam lagi. Diam-diam Kendra bertekad untuk lebih serius mencari pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmunya. Dan yang sudah pasti membuatnya bekerja dengan jam yang normal.
“Terima kasih, Tuhan. Mataku akhirnya benar-benar terbuka,” gumam Kendra sambil mengeringkan tubuh dengan handuk. Setelah itu, dia bergegas meninggalkan kamar mandi.
Kendra menjadi salah satu karyawan yang menangani bagian perekrutan, khusus menangani pelamar berjenis kelamin perempuan. Sejak menamatkan kuliahnya setahun silam, Kendra bergabung dengan The Matchmaker. Awalnya, dia hanya membantu salah satu teman kuliahnya, Neala yang sudah lebih dulu bekerja di sana. Sekaligus mencari peluang bagi pekerjaan lain yang sesuai dengan ilmu akuntansi yang dipelajarinya.
“The Matchmaker ini bisa jadi batu loncatan yang cukup menjanjikan lho, Ken,” kata Neala. “Sebelum mendapat pekerjaan idaman, tak ada salahnya bergabung di sini. Ketimbang menganggur. Siapa tahu di perjalanan nanti kita malah berkenalan dengan orang-orang penting yang bisa membantu menemukan job yang tepat. Atau malah mendapat tawaran pekerjaan lain yang lebih menggiurkan.”
Ketika mendapat tawaran untuk bergabung di The Matchmaker, Kendra cukup antusias. Neala benar. Akan tetapi, jauh di dalam benaknya, Kendra tahu bahwa pekerjaan itu hanya bersifat sementara. Namun sayangnya, satu bulan berlalu menjadi dua bulan. Hingga kini sudah mencapai satu tahun dan Kendra masih bertahan di The Matchmaker.
Kendra masih berambisi untuk menemukan pekerjaan yang lebih disukainya. Karena melihat sekelompok kaum hawa bersaing untuk mendapat satu kursi istimewa di depan seorang selebriti adalah hal yang meremas hatinya. Seakan perempuan harus berusaha luar biasa keras untuk meraih perhatian seseorang. Bahkan harus bersaing terang-terangan.
Kendra memiliki pendapat berbeda jika yang mengajukan lamaran kencan adalah seorang lelaki. Baginya, begitulah seharusnya kaum adam. Berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan orang yang menarik perhatiannya. Berusaha dengan sungguh-sungguh.
“Kamu itu tidak objektif, Ken,” protes Neala di masa lalu. “Kenapa hanya laki-laki saja yang boleh bersaing demi mendapatkan perempuan idaman? Kenapa perempuan kehilangan haknya?”
“Bukan kehilangan haknya, La. Tapi, laki-laki itu memang nalurinya kan berburu, bukan diburu. Jadi, lebih pas seperti itu,” argumen Kendra. “Tidak masalah kalau banyak perempuan yang tak keberatan untuk berburu. Tapi, aku pribadi, tidak sreg dengan hal itu.”
“Mau laki-laki atau perempuan, sama saja, Ken. Semua orang punya hak untuk mengejar yang diinginkannya,” ucap Neala.
Sampai detik ini pun mereka tak juga bisa menyatukan dua opini yang berbeda itu. Namun tampaknya tak ada yang keberatan sama sekali. Justru dengan begitu, Kendra dan Neala bisa saling melengkapi.
Satu hal yang sangat disukai Kendra karena bekerja di The Matchmaker adalah ketidakharusan untuk memakai seragam. Kendra bebas mengenakan pakaian apa pun. Selain itu, gajinya juga memuaskan. Bahkan dia masih mendapat “bonus” dengan melihat dari dekat orang-orang ternama.
Awalnya Kendra mengira para pesohor di acara Dating with Celebrity adalah orang-orang yang berprofesi sebagai model, penyanyi, atau bintang sinetron. Ternyata dia salah. Rossa juga mengundang pengusaha atau atlet. Intinya, orang yang namanya sedang sering didengungkan di Indonesia. Kemarin Kendra melihat nama seorang atlet bulutangkis yang siap menjalani syuting untuk dua minggu lagi. Dan seorang pemilik restoran yang khusus menyajikan menu Prancis.
Ketika melihat jam dinding di kamarnya, Kendra memaki dirinya yang bisa bangun sesiang ini. Perempuan itu berpakaian dengan terburu-buru, menarik sebuah celana jeans longgar dan blus berkerah kemeja dengan ritsleting pendek di bagian depan.
“Mulai besok aku mungkin membutuhkan sepuluh jam beker tambahan supaya bisa bangun lebih pagi,” katanya pada diri sendiri.
Kendra menyisir rambut sepunggungnya dengan cepat, hingga sempat mengaduh saat sisirnya tersangkut di bagian yang kusut. Air matanya nyaris merebak sebagai efeknya. Kendra menjepit rambut asal-asalan dan menyambar kacamatanya sebelum meninggalkan kamar. Gadis itu berlari menuju dapur, meski dia hampir yakin tidak ada kompor yang menyala di sana. Namun selama bertahun-tahun ini, dia tidak mampu meninggalkan rumah tanpa memeriksa kompor terlebih dahulu.
Kendra berdoa dengan sungguh-sungguh sebelum menstarter mobil sedan bututnya, semoga tidak membuat ulah. Hal itu sudah menjadi semacam ritual yang tidak bisa dilupakan gadis itu tiap kali mulai duduk di depan setir. Napas leganya diembuskan begitu mendapati mesin bisa menyala dengan sempurna.
“Terima kasih Tuhan, karena sudah menyelamatkan pagiku sehingga tak terlalu buruk.”
Kendra sudah bisa menyetir saat umurnya baru menginjak angka dua belas tahun dan kakinya belum leluasa menginjak pedal gas. Diam-diam gadis itu belajar menyetir pada tetangganya, Boris. Sebenarnya, Boris tidak tepat jika disebut sebagai temannya. Boris seusia kakak sulungnya, Arthur. Namun Boris tidak keberatan mengajari Kendra belajar menyetir.
Jalanan Jakarta dipenuhi kendaraan, itu sudah bukan hal yang istimewa. Namun Kendra bersyukur karena letak kantornya cukup dekat dari rumah. Boleh dibilang, dia tidak pernah benar-benar bermasalah dengan jalanan yang macet. Beban seisi dunia yang seakan menggelayuti bahu Kendra pun mendebu begitu dia tiba di kantor.
“Selamat pagi, Ken. Apa kamu sudah sarapan? Mukamu pucat dan lingkaran hitam di bawah matamu itu cukup mencolok,” komentar Neala begitu melihatnya. Gadis itu mendekat ke arah Kendra sebelum kembali bicara dengan suara rendah. “Aku yakin, kamu pasti cuma tidur beberapa jam dan nyaris bangun kesiangan.”Kendra mengangguk. “Kamu sih enak. Kemarin pulang tepat waktu. Sementara aku, baru tengah malam sampai di rumah. Dan ya, aku memang belum sempat sarapan. Aku bahkan lupa kalau manusia normal harus mengisi perutnya pagi-pagi sebelum berangkat ke kantor,” canda Kendra.Neala buru-buru mendorong punggung gadis itu ke arah mejanya. “Kalau begitu, biar kuambilkan sarapan. Kamu duduk dulu dan menarik napas dengan santai. Jangan mirip ibu-ibu beranak tujuh yang tergopoh-gopo menyelesaikan semua pekerjaannya.”“Terima kasih, La,” gumam Kendra tulus. Gadis itu menuruti saran Neala untuk segera duduk di kursinya.
“Oke, saya berangkat sekarang, Mbak. Oh ya, saya bisa minta nomor ponsel Maxim?”Rossa mengangguk cepat sambil menuliskan sederet angka di atas secarik kertas. “Semoga makan siangnya berjalan lancar. Kemarin Maxim bilang ada restoran yang enak di sekitar kantornya. Mudah-mudahan dia tidak bohong,” cetus Rossa, setengah berkelakar.Senyum Kendra langsung lenyap begitu dia membalikkan tubuh untuk meninggalkan ruangan Rossa. Sebenarnya dia ingin sekali berteriak di depan perempuan itu agar tidak memintanya menggantikan siapa pun untuk makan siang. Apalagi dengan kondisi seperti saat ini, terlambat. Karena itu artinya, Kendra akan menghadapi kesulitan. Meski dia tak tahu seberapa besarnya.Kendra tahu bahwa Rossa sedang sibuk, tapi dia tidak bisa membayangkan ada yang melupakan janji makan siang dengan cara seperti itu. Rossa bahkan tidak menunjukkan isyarat penyesalan karena harus menunda pertemuan. Bahkan boleh dibilang jika Rossa tidak amb
Maxim bisa menangkap kekagetan di mata gadis itu. Kendra, begitu nama yang tadi didengarnya, nyaris tidak bernapas selama beberapa detik. Matanya terbelalak memandang ke arah lelaki itu. Tentu saja ucapan Maxim tadi sudah mengejutkan gadis ini.“Bapak ... yang tadi berada di dalam mobil keren itu? Eh ... maksud saya di Chevrolet Colorado?” Meski agak tersendat, gadis itu berhasil juga menuntaskan kalimatnya.Maxim mengangguk. “Ya, itu saya.” Lalu dia menambahkan, “Jangan panggil saya ‘Bapak’! Cukup nama saja.”“Baik,” kata Kendra sembari mengangguk.Lelaki itu tidak berniat menjelaskan bahwa dia baru saja hendak membuka pintu dan keluar dari kendaraannya ketika mendadak ada seorang gadis yang memilih untuk berkaca di jendela mobilnya. Maxim tadi meninggalkan Buana Bayi untuk bertemu sebentar dengan ibunya yang sedang berada di rumah sakit, tidak jauh dari kantornya. Tentunya setelah Rossa m
Kendra yang malang itu pun mengerjap. “Tapi....”Maxim menggeleng tanpa ragu. “Dua hari yang lalu, kakak saya memang berhasil membujuk sehingga saya bersedia mengikuti acara ini. Setelahnya, saya bicara dengan Rossa di telepon. Bosmu itu sudah memastikan kalau hari ini kami akan bertemu untuk membahas soal itu sekaligus makan siang. Tapi apa yang terjadi kemudian?” tanya Maxim dengan gaya dramatis. “Kita sama-sama tahu, kan?”Kendra tidak terlihat benar-benar terintimidasi. Setidaknya, gadis itu masih mampu memberi balasan. “Saya tadi sudah menjelaskan situasinya. Di kantor...”“Itu bukan alasan!” suara Maxim agak meninggi. “Saya adalah orang yang sangat menghargai janji dan waktu. Tapi sepertinya Rossa tidak melakukan hal yang sama. Dia seenaknya memundurkan janji hanya beberapa menit sebelum pukul dua belas siang. Selain itu, dia malah mengutus orang lain. Nah, kalau dia saja tidak menganggap pe
Ibunya memang tergolong orang yang sangat menjaga kesehatan. Secara rutin, Cecil Arsjad mengunjungi dokter langganannya yang berpraktik di sebuah rumah sakit top, tidak terlalu jauh dari gedung perkantoran tempat Buana Bayi berada. Dan biasanya, Maxim berusaha menemani ibunya meski mendapat protes dari berbagai pihak. Termasuk dari Cecil sendiri. Akan tetapi, tidak ada yang mampu membuat Maxim berhenti melakukan itu.“Max, Mama bisa ke dokter sendiri. Toh ada Rita yang menemani ke mana-mana. Mending kamu fokus bekerja,” ucap Cecil berulang kali.“Tidak apa-apa, Ma. Aku tetap bisa fokus bekerja, kok! Aku kan cuma mengantar Mama ke dokter sesekali, bukan setiap hari,” Maxim beralasan. “Tolong, jangan larang aku.”Maxim memasuki ruangan yang menjadi tempatnya bekerja selama beberapa tahun terakhir ini. Dia sama sekali tidak pernah menduga jika bisa begitu menyukai pekerjaannya saat ini.Sebenarnya, keluarga besar ayahnya s
Kendra memandangi teleponnya dengan bibir terbuka. Seakan ada makhluk ajaib yang siap melompat dari dalam benda itu. Gadis itu masih sulit percaya jika teleponnya baru saja ditutup dengan tidak sopan oleh Maxim. Lagi. Apakah lelaki itu memang terbiasa mengakhiri perbincangan via telepon dengan kasar?Sepanjang ingatannya, Kendra belum pernah bersua dengan makluk angkuh seperti Maxim. Lelaki itu sepertinya cuma bisa marah dan melontarkan kata-kata yang sama sekali tak enak didengar. Bagaimana bisa ada orang segalak itu?Jika menuruti kata hati dan harga dirinya yang terluka, Kendra sangat ingin merontokkan gigi Maxim. Supaya lelaki itu tidak bisa lagi memamerkan gigi rapinya. Atau sekalian saja memotong lidahnya agar takkan mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati orang lain. Akan tetapi, risikonya terlalu besar. Kendra tak mau mempertaruhkan masa depannya karena lelaki itu. Dia tak sudi jika harus menghabiskan hidupnya yang berharga itu di dalam hotel prodeo.
“Oh ya? Kenapa?” Neala tampak lebih dari sekadar tertarik untuk membicarakan masalah itu.“Laki-laki bernama Maxim itu marah karena Mbak Rossa memundurkan janji. Apalagi karena dia baru dihubungi hanya beberapa menit sebelum jam dua belas, janji makan siang mereka berdua. Lalu, masih ditambah karena Mbak Rossa malah memintaku yang menggantikannya untuk bertemu Maxim. Alhasil, Maxim menolak untuk terlibat dalam acara Dating with Celebrity. Sementara di lain pihak, aku menjadi orang yang tersudutkan. Aku dianggap sebagai orang yang tidak bisa melakukan tugas sederhana seperti itu,” keluhnya.“Dan aku sudah bisa menebak kelanjutannya.” Neala bersimpati. “Kamu harus membujuk Maxim supaya dia berubah pikiran, kan?”Kendra mengangguk sambil kembali membaca kertas-kertas di depannya. “Aku sudah beralasan kalau pekerjaanku bertumpuk. Tapi....” gadis itu mengedikkan bahu tanpa daya. “Kamu lebih me
Minimnya waktu luang itulah yang membuat Kendra terpaksa meminta bantuan seseorang untuk membersihkan rumah dan mengurus pakaiannya. Beruntung dia mengenal banyak tetangga yang selalu siap memberi pertolongan.Kendra pun akhirnya menyerahkan salah satu kunci rumahnya kepada Suci, tetangga di sebelah rumahnya. Dia sudah mengenal Suci sejak kecil. Dan perempuan itu tidak keberatan meminjamkan pembantunya untuk memastikan rumah Kendra tetap bersih. Suci juga yang memastikan semua pakaian Kendra dicuci dan disetrika.Sebelum tidur, seperti biasa Kendra ke dapur dan memeriksa kompor. Meski dia tahu tidak akan menemukan api yang menyala di sana. Namun itu sudah menjadi kebiasaan yang melekat seperti kulit kedua. Kemungkinan besar, takkan bisa hilang.Malam itu, Kendra bermimpi dia membuat Maxim meminta maaf sambil berlutut. Saat membuka mata paginya dan teringat mimpinya, Kendra tergelak sendiri. Bahkan Tuhan pun berusaha menghiburnya dengan memberikan mimpi yang mele