Kendra yang malang itu pun mengerjap. “Tapi....”
Maxim menggeleng tanpa ragu. “Dua hari yang lalu, kakak saya memang berhasil membujuk sehingga saya bersedia mengikuti acara ini. Setelahnya, saya bicara dengan Rossa di telepon. Bosmu itu sudah memastikan kalau hari ini kami akan bertemu untuk membahas soal itu sekaligus makan siang. Tapi apa yang terjadi kemudian?” tanya Maxim dengan gaya dramatis. “Kita sama-sama tahu, kan?”
Kendra tidak terlihat benar-benar terintimidasi. Setidaknya, gadis itu masih mampu memberi balasan. “Saya tadi sudah menjelaskan situasinya. Di kantor...”
“Itu bukan alasan!” suara Maxim agak meninggi. “Saya adalah orang yang sangat menghargai janji dan waktu. Tapi sepertinya Rossa tidak melakukan hal yang sama. Dia seenaknya memundurkan janji hanya beberapa menit sebelum pukul dua belas siang. Selain itu, dia malah mengutus orang lain. Nah, kalau dia saja tidak menganggap pertemuan ini penting, untuk apa saya melakukan yang sebaliknya?”
Kendra terdiam. Maxim bisa melihat wajah gadis itu memucat.
“Maxim,” panggilnya dengan suara pelan. “Saya rasa Mbak Rossa sama sekali tidak punya niat untuk menganggap sepele pertemuan ini. Masalahnya adalah....”
Maxim menyambar cepat, “Masalahnya adalah, Rossa merasa di dunia ini hanya urusannya yang paling penting. Apa kamu tahu kalau dia bahkan tidak bertanya apakah saya keberatan dengan pertemuan yang diundur? Rossa mungkin lupa, bukan dia sendiri yang punya banyak pekerjaan. Saya pun sama.”
“Saya betul-betul minta maaf,” kata Kendra dengan nada memohon yang terdengar tulus. Kendra jelas-jelas tidak tahu lagi harus berbicara apa. Gadis itu membenahi letak kacamatanya yang menurut Maxim seharusnya tidak perlu. Pria itu tersenyum tipis akhirnya.
“Jadi, lebih baik kamu kembali ke kantormu dan habiskan waktu dengan lebih produktif. Saya tidak akan berubah pikiran. Ketertarikan saya pada acara perjodohan konyol ini, kalaupun memang pernah ada, sudah benar-benar lenyap setelah dia tak memegang janji. Sampaikan kepada Rossa, saya sama sekali tidak berniat ikut serta di acaranya. Silakan cari orang lain saja.” Maxim berdiri. Kendra mengikuti apa yang dilakukan lelaki itu.
“Hati-hati di jalan. Terima kasih sudah jauh-jauh datang ke sini. Selamat siang, Kendra.” Maxim mengangguk. “Oh ya, satu lagi. Ini sekadar saran. Lain kali, jangan berkaca di depan kaca jendela mobil siapa pun. Jangan sampai kejadian seperti tadi terulang lagi. Karena itu agak memalukan.”
Maxim meninggalkan Kendra tanpa menoleh lagi. Setelah membayar tagihan, pria itu segera meninggalkan restoran. Meski merasa tidak tega karena menjadikan Kendra sebagai sasaran kekesalannya, tapi Maxim cukup lega. Sejak tadi dia sudah menahan geram karena sikap Rossa yang dianggapnya sama sekali tidak menghargai calon kliennya. Jika seperti itu cara Rossa memperlakukan orang yang akan terlibat dalam acaranya, wajar jika perempuan itu mendapat sedikit pelajaran, kan?
Tempat pertama yang dituju Maxim saat tiba di kantor Buana Bayi adalah ruang kerja sang kakak. Setelah ketukannya mendapat respons, lelaki itu masuk dengan langkah tegap. Begitu melihat hanya ada Maureen di ruangannya, Maxim pun buka suara tanpa basa-basi.
“Aku sudah membatalkan keikutsertaan di acara Dating with Celebrity. Teman Mbak yang bernama Rossa itu seenaknya saja bersikap. Dia sama sekali tidak menghargai janji yang sudah dibuat. Tolong jangan membujukku supaya mengikuti acara sejenis karena aku pasti akan menolak mati-matian.”
Maureen yang sedang berkutat dengan laptopnya, mengangkat wajah dengan ekspresi kaget. “Membatalkan? Kamu jangan bercanda, Max!”
Maxim memandang kakaknya dengan serius. “Siapa bilang aku bercanda? Coba saja Mbak bayangkan apa yang terjadi hari ini! Teman Mbak sendiri yang berjanji kalau pukul dua belas tadi dia akan menemuiku di sini. Tiba-tiba dia meneleponku untuk mengabari kalau dia tidak bisa menepati janji. Dan teleponnya cuma berselang beberapa menit sebelum waktu yang dijanjikannya.” Maxim mengulangi apa yang tadi diucapkannya di depan Kendra.
“Kamu serius? Itu yang terjadi?” Maureen tampak tak percaya.
“Ya ampun, untuk apa aku berbohong?” Maxim kesal karena kakaknya mengira dia hanya sedang bicara berlebihan. Atau malah bercanda?
Maureen mendongak ke arah Maxim yang berdiri menjulang di dekat mejanya. “Kamu membatalkan rencana untuk mengikuti acara Dating with Celebrity karena itu?” Perempuan itu mencari penegasan.
“Menurut Mbak, apa itu bukan hal yang tepat untuk kulakukan? Setelah seenaknya menggeser janji makan siang kami, Rossa malah mengutus salah satu karyawannya untuk menemuiku. Semua itu dilakukannya tanpa merasa bersalah. Intinya, aku melihat Rossa itu sebagai sosok yang tidak bisa menghargai orang lain. Padahal, dia itu seorang makcomblang yang sudah pasti membutuhkan klien. Dan situasi makin parah karena karyawannya itu telat hampir tujuh menit.”
Maureen tersenyum mendengar kalimat terakhir adiknya. Perempuan itu geleng-geleng kepala “Kenapa kamu tidak memaafkan tujuh menit yang berharga itu?” suaranya dicemari nada menyindir.
Maxim menggeleng tegas. “Tidak bisa seperti itu, Mbak. Tapi aku lega karena berhasil mengusir karyawannya Rossa. Oh ya, namanya Kendra.”
Maureen terbelalak, kekagetan terpentang di matanya. “Kenapa kamu mengusirnya? Dia kan tidak bersalah, Max! Karyawannya hanya mengikuti perintah bosnya. Kenapa kamu membuat keputusan gegabah?”
Untuk sesaat, Maxim merasa jengah mendengar kata-kata kakaknya. Namun itu tidak cukup memadai untuk membuatnya hingga merasa bersalah.
“Mbak seharusnya tidak perlu marah. Andai Mbak berada di posisiku, apa tetap akan diam saja dan memaklumi sikap temanmu itu? Bukan hanya karena dia sudah membatalkan janji seenaknya. Tapi aku lebih kesal setelah menyadari bahwa dia kurang menghargai orang. Aku sama sekali tidak menyukai fakta itu,” tukas Maxim.
Maureen menyandarkan tubuh di kursinya yang nyaman sambil menatap sang adik dengan saksama. “Aku tetap merasa kalau reaksimu itu berlebihan. Rossa itu orang yang memiliki segudang kesibukan.”
“Oh, dan aku tidak ya?” sindir Maxim. “Aku bahkan terpaksa tidak menemani Mama ke dokter karena menghormati janjiku. Tiba-tiba teman Mbak itu memundurkan jam makan siang begitu saja. Untungnya Mama masih menunggu dokternya saat aku mampir ke sana.”
Maureen menggeleng. “Kamu itu kadang sok tua. Memangnya mau apa kamu menemui Mama di rumah sakit? Mama sudah hidup tiga puluh tahun lebih lama darimu. Kamu kira Mama tidak bisa menghadapi dokter sendirian? Apalagi, sudah ada yang mengantar Mama, kan?” Lalu, Maureen menyebut nama salah satu asisten rumah tangga ibu mereka yang selalu mengekori ke mana pun perempuan tersayang Maxim itu pergi.
Maxim tidak merasa geli mendengar komentar kakaknya. Itu bukan kali pertama ada yang mengkritik seputar soal sikapnya yang dianggap keterlaluan terhadap ibu mereka. Terlalu melindungi, terlalu perhatian hingga ke taraf menakutkan. Akan tetapi, tentu saja laki-laki itu tidak setuju.
“Mama sudah tua, aku takut nantinya beliau malah merasa diabaikan oleh anak-anaknya. Aku tidak mau merasa menyesal,” akunya.
“Mama kita tidak seperti itu. Mama kita terlalu tangguh untuk berubah secengeng itu. Astaga, Max! Mama cuma mengontrol kesehatan, bukan dalam kondisi sakit parah,” kritik Maureen. “Kamu memang sering berlebihan kalau terkait dengan Mama.”
Maxim tidak menyetujui kalimat kakaknya dan itu ditunjukkannya dengan jelas. Lelaki itu meninggalkan ruangan Maureen sambil mengangkat bahu dengan gaya tidak peduli.
Seperti dugaan Sean, Maxim meradang sepulang dari Singapura dan mendapati kekasihnya sudah berkantor di tempat Sean. Lelaki itu berusaha keras membuat Kendra mempertimbangkan tawaran untuk bergabung di Buana Bayi. Ketika ditolak, Maxim mulai mengomel. Dia bahkan merasa bahwa Kendra sok idealis. Juga pemilik The Matchmaker yang sudah membuat keputusan tidak masuk akal. Bla bla bla.Kendra sampai merasa pelipisnya berdenyut. Padahal, gadis itu sudah berjuang untuk memberi tahu Maxim dengan bahasa seringan mungkin. Dia pun sengaja menunda mengabari sang kekasih setelah Maxim kembali bekerja di hari Senin. Kendra mendatangi ruang kerja Maxim setelah jam kantor usai.Awalnya, Maxim begitu senang karena pacarnya datang berkunjung. Namun begitu diberi tahu bahwa Kendra sudah empat hari bekerja di kantor Sean, Maxim pun langsung menunjukkan kekesalannya. Lelaki itu juga tak senang karena Kendra tak mengatakan apa pun saat didesak Rossa untuk mengundurkan diri. Sean yang menyus
Kendra terpana mendengar kata-kata Sean barusan. “Kamu ... apa?”Sean tidak buru-buru menjawab. Lelaki itu bersandar di kursinya dengan gaya santai. “Sebelumnya, aku cuma bilang kalau aku melakukan ini bukan karena Maxim. Tapi karena kamu sendiri, Ken.”Kendra yang tak paham maksud lelaki itu, mengerutkan glabelanya. “Maksudmu?”“Begini. Selama kamu mewakili The Matchmaker, aku menilai bahwa kamu adalah orang yang berkomitmen pada pekerjaan. Punya kemauan keras juga. Contoh nyata yang tak terbantahkan adalah bagaimana kamu bisa membujuk Maxim sehingga akhirnya bersedia mengikuti acara kencan yang masih diejeknya sebagai acara norak sampai detik ini. Buatku, itu adalah poin plus, Ken.”“Aku boleh menganggap itu sebagai pujian?” gurau Kendra.“Tentu saja! Karena itu memang pujian, kok!” sahut Sean. “Nah, sekarang kita sampai pada poin utamanya, yaitu tawaran pekerjaan yang
“Oke. Memangnya kamu kira aku ini laki-laki bawel yang akan melapor ini-itu pada Maxim? Nanti juga dia akan tahu,” kata Sean. “Tapi memang berita ini bikin aku kaget setengah mati. Tidak menyangka ada drama baru hanya karena kamu dan Maxim berpacaran. Lalu, masih ditambah lagi dengan Aiden. Ck ck ck.” Sean geleng-geleng kepala.“Itu bukan salahku,” Kendra membela diri, merujuk pada Aiden.Sean menyeringai. “Kamu ternyata penuh pesona ya, Ken. Aku tak bisa membayangkan seperti apa reaksi Maxim kalau dia tahu bahwa ada laki-laki kelas kakap yang jadi pesaingnya. Siap-siap saja diikuti pengawal pribadi yang akan memastikan kamu tidak diganggu oleh laki-laki mana pun,” guraunya.Kendra mencebik tapi akhirnya dia malah tertawa. Gadis itu merasa geli membayangkan Maxim yang pencemburu itu mengetahui jika ada pria lain yang menyukai Kendra. Namun di sisi lain, Kendra tahu Maxim sudah berjuang untuk sedikit berubah sehingg
Pertanyaan Sean itu mengagetkan Kendra. Tadinya dia mengira lelaki itu menelepon cuma untuk menganggunya karena Maxim sedang berada di Singapura. Atau sekadar memamerkan hubungan dengan pasangan kencan pilihan Sean di acara Dating with Celebrity yang masih berlanjut hingga kini.“Kamu tahu dari mana?” Kendra balik bertanya. Dia merasa heran karena Sean bisa mengetahui informasi itu.“Bisakah kamu datang ke kantorku, Ken? Kurang nyaman kalau harus bicara di telepon. Sementara sepuluh menit lagi aku harus bertemu dengan salah satu klien,” pinta Sean. “Aku punya waktu luang di atas jam tiga.”Kendra menjawab tanpa pikir panjang, “Oke. Aku akan ke kantormu. Mumpung sedang jadi pengangguran dan tak punya jadwal meeting dengan klien,” guraunya.“Sip, kutunggu ya, Ken.”“Eh iya, tolong jangan dulu ngomong apa pun soal ini pada Maxim ya, Sean,” sergah Kendra sebelum l
Setelah meninggalkan mantan kantornya, Kendra langsung pulang. Dia sempat mampir ke supermarket untuk berbelanja beberapa kebutuhan. Gadis itu juga membeli camilan dalam jumlah lumayan banyak. Mungkin dia akan menghabiskan satu minggu ke depan dengan bersantai di depan televisi sembari menikmati aneka makanan kecil.Selama ini, Kendra memang ingin mencari pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmunya. Namun, itu menjadi cita-cita yang sengaja ditangguhkannya. Hingga detik ini, Kendra sama sekali belum serius berusaha untuk mencari pekerjaan lain di luar The Matchmaker. Akan tetapi hari ini dia harus menghadapi kenyataan yang sama sekali tak pernah terbayangkan. Jauh lebih mudah berimajinasi bahwa dirinya akan meninggalkan The Matchmaker atas keinginan sendiri, bukan karena dipaksa untuk membuat pilihan.Membayangkan dia sudah resmi menjadi pengangguran, Kendra pun menjadi luar biasa cemas. Mendadak, masa depannya terlihat buram dan gelap. Apa yang akan dilakukann
Kendra meninggalkan kantor The Matchmaker dengan kehebohan di belakangnya. Karena gadis itu memang tak menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Dia tak mau kelak pengunduran dirinya malah diikuti dengan tuduhan ini-itu yang sama sekali tak benar. Karena tentunya Kendra tak lagi ada di biro jodoh itu untuk membela diri.Paling tidak, Kendra merasa berhak memberi tahu kebenaran versi dirinya. Terserah saja jika dianggap sikapnya kekanakan. Apakah setelah ini Rossa akan berkoar-koar tentang versinya yang bisa saja berbeda, itu masalah lain. Kendra tak mau memikirkan hal itu dan memusingkan sesuatu yang tak bisa dikontrolnya.“Kamu betul-betul harus mengundurkan diri?” Neala masih tak percaya. Kendra sengaja mengajak Neala dan Pritha ke ruang rapat supaya mereka bisa bicara bertiga dengan leluasa. Gadis itu merasa berutang penjelasan pada keduanya, orang-orang terdekat Kendra di The Matchmaker.“Iya. Untuk apa aku bohong?” komentar Kendra dengan
Keluar dari ruangan Rossa, kepala Kendra terasa berputar. Dia berharap semuanya cuma mimpi buruk yang kebetulan datang bertandang tanpa aba-aba. Akan tetapi, Kendra tahu yang ini bukan mimpi.Demi menenangkan diri, gadis itu buru-buru menuju toilet yang bersebelahan dengan pantri. Dia butuh waktu untuk memikirkan apa yang akan dilakukan saat ini. Langsung pulang atau menunggu hingga jam kerja berakhir? Masing-masing ada risikonya.Jika Kendra langsung pulang, pasti dia akan menghadapi banyak pertanyaan dari rekan sejawatnya. Padahal, Kendra merasa saat ini dia butuh ruang untuk bernapas. Karena ada banyak sekali kejutan yang didapatnya hari ini. Bertubi-tubi pula.Sementara jika gadis itu menunggu hingga jam kantor berakhir dan berpura-pura tak terjadi sesuatu, sisa hari ini mungkin akan berjalan lancar dan aman. Dia bisa menghindari hujan pertanyaan mengapa harus mengundurkan diri hari ini. Kecuali Rossa memutuskan untuk meminta Kendra meninggalkan kantor secep
Tubuh Kendra menegang selama beberapa sekon. Dia menatap Rossa dengan kening berkerut. “Ini serius, Mbak?” Kendra mencari tahu. “Saya harus putus dari Maxim?”“Tidak ada yang mengharuskan,” sahut Rossa cepat. “Tadi kan saya cuma bertanya. Kalau saya memintamu putus dari Maxim, bagaimana? Apa kamu bersedia?”Kendra menjawab di detik yang sama, “Tidak, Mbak. Maaf. Saya tidak melihat alasan kenapa saya dan Maxim harus putus. Kami tidak melanggar kontrak apa pun. Selain itu secara etika, saya juga tidak merasa ada masalah. Karena saya dan Maxim berpacaran berbulan-bulan setelah syuting Dating with Celebrity selesai. Tidak ada ‘cinta lokasi’ selama saya mengurusi Maxim sebagai klien kita.” Kendra membuat tanda petik di udara.Rossa beranjak dari tempat duduknya. Perempuan itu melangkah ke arah kulkas kecil di sudut ruang kerjanya. Rossa mengambil dua kaleng soda. Salah satunya diserahkan
Rossa tersenyum masam. “Tapi versi Judith tidak seperti itu. Kamu menjadi orang ketiga yang membuat hubungannya dengan Maxim menjadi jauh. Intinya, Judith mengkritik keras kebijakan-kebijakan The Matchmaker sehingga ada klien yang akhirnya malah berpacaran dengan pegawai di sini dan meninggalkan pasangan kencan yang sudah dipilih. Menurut kamu, mendengar tuduhan semacam itu dilontarkan oleh salah satu peserta kencan sekaligus sponsor acara Dating with Celebrity, apa yang harus saya lakukan?”Pertanyaan Rossa itu sungguh sulit untuk dijawab. Karena bukan kapasitas Kendra untuk mengajari perempuan itu apa yang harus dilakukan atau sebaliknya. Namun kalimat-kalimat bosnya yang menempatkan Kendra sebagai si penggoda, menyedot konsentrasi gadis itu lebih besar. Dia mustahil diam saja tanpa membela diri.“Tuduhan Judith sama sekali tidak benar, Mbak. Saya tak pernah menjadi orang ketiga yang merusak hubungannya dengan Maxim. Seperti yang saya bilang tadi, k