Share

Episode Balas Dendam Salah Kaprah [2]

Kendra yang malang itu pun mengerjap. “Tapi....”

Maxim menggeleng tanpa ragu. “Dua hari yang lalu, kakak saya memang berhasil membujuk sehingga saya bersedia mengikuti acara ini. Setelahnya, saya bicara dengan Rossa di telepon. Bosmu itu sudah memastikan kalau hari ini kami akan bertemu untuk membahas soal itu sekaligus makan siang. Tapi apa yang terjadi kemudian?” tanya Maxim dengan gaya dramatis. “Kita sama-sama tahu, kan?”

Kendra tidak terlihat benar-benar terintimidasi. Setidaknya, gadis itu masih mampu memberi balasan. “Saya tadi sudah menjelaskan situasinya. Di kantor...”

“Itu bukan alasan!” suara Maxim agak meninggi. “Saya adalah orang yang sangat menghargai janji dan waktu. Tapi sepertinya Rossa tidak melakukan hal yang sama. Dia seenaknya memundurkan janji hanya beberapa menit sebelum pukul dua belas siang. Selain itu, dia malah mengutus orang lain. Nah, kalau dia saja tidak menganggap pertemuan ini penting, untuk apa saya melakukan yang sebaliknya?”

Kendra terdiam. Maxim bisa melihat wajah gadis itu memucat.         

“Maxim,” panggilnya dengan suara pelan. “Saya rasa Mbak Rossa sama sekali tidak punya niat untuk menganggap sepele pertemuan ini. Masalahnya adalah....”

Maxim menyambar cepat, “Masalahnya adalah, Rossa merasa di dunia ini hanya urusannya yang paling penting. Apa kamu tahu kalau dia bahkan tidak bertanya apakah saya keberatan dengan pertemuan yang diundur? Rossa mungkin lupa, bukan dia sendiri yang punya banyak pekerjaan. Saya pun sama.”

“Saya betul-betul minta maaf,” kata Kendra dengan nada memohon yang terdengar tulus. Kendra jelas-jelas tidak tahu lagi harus berbicara apa. Gadis itu membenahi letak kacamatanya yang menurut Maxim seharusnya tidak perlu. Pria itu tersenyum tipis akhirnya.

“Jadi, lebih baik kamu kembali ke kantormu dan habiskan waktu dengan lebih produktif. Saya tidak akan berubah pikiran. Ketertarikan saya pada acara perjodohan konyol ini, kalaupun memang pernah ada, sudah benar-benar lenyap setelah dia tak memegang janji. Sampaikan kepada Rossa, saya sama sekali tidak berniat ikut serta di acaranya. Silakan cari orang lain saja.” Maxim berdiri. Kendra mengikuti apa yang dilakukan lelaki itu.

“Hati-hati di jalan. Terima kasih sudah jauh-jauh datang ke sini. Selamat siang, Kendra.” Maxim mengangguk. “Oh ya, satu lagi. Ini sekadar saran. Lain kali, jangan berkaca di depan kaca jendela mobil siapa pun. Jangan sampai kejadian seperti tadi terulang lagi. Karena itu agak memalukan.”

Maxim meninggalkan Kendra tanpa menoleh lagi. Setelah membayar tagihan, pria itu segera meninggalkan restoran. Meski merasa tidak tega karena menjadikan Kendra sebagai sasaran kekesalannya, tapi Maxim cukup lega. Sejak tadi dia sudah menahan geram karena sikap Rossa yang dianggapnya sama sekali tidak menghargai calon kliennya. Jika seperti itu cara Rossa memperlakukan orang yang akan terlibat dalam acaranya, wajar jika perempuan itu mendapat sedikit pelajaran, kan?

Tempat pertama yang dituju Maxim saat tiba di kantor Buana Bayi adalah ruang kerja sang kakak. Setelah ketukannya mendapat respons, lelaki itu masuk dengan langkah tegap. Begitu melihat hanya ada Maureen di ruangannya, Maxim pun buka suara tanpa basa-basi.

“Aku sudah membatalkan keikutsertaan di acara Dating with Celebrity. Teman Mbak yang bernama Rossa itu seenaknya saja bersikap. Dia sama sekali tidak menghargai janji yang sudah dibuat. Tolong jangan membujukku supaya mengikuti acara sejenis karena aku pasti akan menolak mati-matian.”

Maureen yang sedang berkutat dengan laptopnya, mengangkat wajah dengan ekspresi kaget. “Membatalkan? Kamu jangan bercanda, Max!”

Maxim memandang kakaknya dengan serius. “Siapa bilang aku bercanda? Coba saja Mbak bayangkan apa yang terjadi hari ini! Teman Mbak sendiri yang berjanji kalau pukul dua belas tadi dia akan menemuiku di sini. Tiba-tiba dia meneleponku untuk mengabari kalau dia tidak bisa menepati janji. Dan teleponnya cuma berselang beberapa menit sebelum waktu yang dijanjikannya.” Maxim mengulangi apa yang tadi diucapkannya di depan Kendra.

“Kamu serius? Itu yang terjadi?” Maureen tampak tak percaya.

“Ya ampun, untuk apa aku berbohong?” Maxim kesal karena kakaknya mengira dia hanya sedang bicara berlebihan. Atau malah bercanda?

Maureen mendongak ke arah Maxim yang berdiri menjulang di dekat mejanya. “Kamu membatalkan rencana untuk mengikuti acara Dating with Celebrity karena itu?” Perempuan itu mencari penegasan.

“Menurut Mbak, apa itu bukan hal yang tepat untuk kulakukan? Setelah seenaknya menggeser janji makan siang kami, Rossa malah mengutus salah satu karyawannya untuk menemuiku. Semua itu dilakukannya tanpa merasa bersalah. Intinya, aku  melihat Rossa itu sebagai sosok yang tidak bisa menghargai orang lain. Padahal, dia itu seorang makcomblang yang sudah pasti membutuhkan klien. Dan situasi makin parah karena karyawannya itu telat hampir tujuh menit.”

Maureen tersenyum mendengar kalimat terakhir adiknya. Perempuan itu geleng-geleng kepala “Kenapa kamu tidak memaafkan tujuh menit yang berharga itu?” suaranya dicemari nada menyindir.

Maxim menggeleng tegas. “Tidak bisa seperti itu, Mbak. Tapi aku lega karena berhasil mengusir karyawannya Rossa. Oh ya, namanya Kendra.”

Maureen terbelalak, kekagetan terpentang di matanya. “Kenapa kamu mengusirnya? Dia kan tidak bersalah, Max! Karyawannya hanya mengikuti perintah bosnya. Kenapa kamu membuat keputusan gegabah?”

Untuk sesaat, Maxim merasa jengah mendengar kata-kata kakaknya. Namun itu tidak cukup memadai untuk membuatnya hingga  merasa bersalah.

“Mbak seharusnya tidak perlu marah. Andai Mbak berada di posisiku, apa tetap akan diam saja dan memaklumi sikap temanmu itu? Bukan hanya karena dia sudah membatalkan janji seenaknya. Tapi aku lebih kesal setelah menyadari bahwa dia kurang menghargai orang. Aku sama sekali tidak menyukai fakta itu,” tukas Maxim.

Maureen menyandarkan tubuh di kursinya yang nyaman sambil menatap sang adik dengan saksama. “Aku tetap merasa kalau reaksimu itu berlebihan. Rossa itu orang yang memiliki segudang kesibukan.”

“Oh, dan aku tidak ya?” sindir Maxim. “Aku bahkan terpaksa tidak menemani Mama ke dokter karena menghormati janjiku. Tiba-tiba teman Mbak itu memundurkan jam makan siang begitu saja. Untungnya Mama masih menunggu dokternya saat aku mampir ke sana.”

Maureen menggeleng. “Kamu itu kadang sok tua. Memangnya mau apa kamu menemui Mama di rumah sakit? Mama sudah hidup tiga puluh tahun lebih lama darimu. Kamu kira Mama tidak bisa menghadapi dokter sendirian? Apalagi, sudah ada yang mengantar Mama, kan?” Lalu, Maureen menyebut nama salah satu asisten rumah tangga ibu mereka yang selalu mengekori ke mana pun perempuan tersayang Maxim itu pergi.

Maxim tidak merasa geli mendengar komentar kakaknya. Itu bukan kali pertama ada yang mengkritik seputar soal sikapnya yang dianggap keterlaluan terhadap ibu mereka. Terlalu melindungi, terlalu perhatian hingga ke taraf menakutkan. Akan tetapi, tentu saja laki-laki itu tidak setuju.

“Mama sudah tua, aku takut nantinya beliau malah merasa diabaikan oleh anak-anaknya. Aku tidak mau merasa menyesal,” akunya.

“Mama kita tidak seperti itu. Mama kita terlalu tangguh untuk berubah secengeng itu. Astaga, Max! Mama cuma mengontrol kesehatan, bukan dalam kondisi sakit parah,” kritik Maureen. “Kamu memang sering berlebihan kalau terkait dengan Mama.”

Maxim tidak menyetujui kalimat kakaknya dan itu ditunjukkannya dengan jelas. Lelaki itu meninggalkan ruangan Maureen sambil mengangkat bahu dengan gaya tidak peduli.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status