Mendengkus kesal Davira menatap sengit pada dua orang yang barusan melewatinya. Rasanya jika tak memikirkan para orang tua, kemungkinan besar Davira sudah mencakar wajah wanita itu. Anak dari wanita gila jahat yang sangat ia benci, seperti itulah cerita yang pernah ia dengar lewat menguping pembicaraan antara mamanya dan bunda Kia. Meskipun Davira tidak begitu tahu cerita di masa lalu secara detailnya.
"Davira!" panggilan Dava membuyarkan segala lamunan Davira yang masih setia berdiri. "Duduk disini sayang." sambungnya menyuruh Davira agar duduk di kursi meja makan.
Davira menurut sebab sudah tak ada lagi si dia yang sangat Davira benci. Davira memilih duduk di sebelah Orlando, adiknya.
Orlando sendiri tampak cuek, tak ada sapaan jahil yang biasanya pemuda itu berikan setiap bertemu dengan Davira. Setelah insiden keributan kecil tadi cukup membuat semua orang yang ada di situ menjadi canggung dan tegang.
Terutama Kia dan Nando, mereka terlihat sedikit terluka dan sangat menyayangkan insiden yang terjadi tadi.
Kenapa sangat susah membuat kedua orang itu akur? Tidak, lebih tepatnya Davira. Kapan gadis itu bisa menerima kehadiran Ayesha yang juga merupakan bagian keluarga ini?
"Makanlah," kali ini suara Airaa yang berseru menyuruh Davira untuk sarapan.
Davira tersenyum masam, menatap malas pada makanan yang tersaji banyak di atas meja makan. Semua makanan itu terlihat lezat dan menggiurkan, tapi entah kenapa napsu selera makan Davira hilang padahal ia sangat lapar sekali.
Oh, astaga!
"Kau mau kemana?!" tanya Dava nyaris berteriak begitu Davira menarik kursi seraya berdiri.
"Aku tidak berselera makan papa, maaf." jawabnya dan langsung melenggang pergi dari situ.
Melihat Davira pergi, Cavia menyudahi acara makannya dan langsung berjalan terburu-buru bahkan nyaris berlari mengejar sepupunya itu.
"Maaf, jadi merepotkan anak kalian." sesal Dava merasa menyesal telah melibatkan Cavia kerena kerena tingkah puterinya.
"Tidak apa-apa Dav, mereka seperti anak kembar, sangat menggemaskan." kata Nando tak mempermasalahkan puterinya yang menjadi bodyguard untuk Davira.
Davira itu lebih rapuh daripada Cavia. Davira sangat labil ketimbang Cavia yang selalu berpikiran logis dan dewasa. Davira akan menjadi sangat dewasa apabila bersama Haikal. Tidak, lebih tepatnya bertingkah sangat dewasa dalam menggoda. Maka untuk itu Davira butuh seseorang yang bisa mengawasinya.
******
"Astaga, aku cariin kamu sampai keliling rumah ini. Eh, taunya kamu ada disini." omel Cavia kesal sedari tadi ia kesulitan menemukan Davira yang tak kelihatan dimana pun.
Davira yang tengah duduk santai di ranjang sembari membaca sebuah buku novel sama sekali tak menghiraukan kehadiran Cavia.
Cavia memutar bola matanya kesal seraya mendekati ranjang. "Hei, kamu sangat menyebalkan!"
"Pergilah!" seruan suara Davira tiba-tiba mengusir Cavia. "Tinggalkan aku sendirian Cav, aku lagi ingin sendiri."
"Kau serius?" tanya Cavia merasa tak percaya dengan permintaan sepupunya ini.
"Apa aku terlihat seperti bercanda?" tanya balik Davira yang sama sekali tak mengalihkan perhatiannya dari buku novel yang tengah ia baca.
Cavia menggeleng, tapi tentu saja itu tak di lihat Davira sebab gadis itu tengah fokus menghayati bacaan cerita novel bergenre komedi romantis. Sesekali Davira terlihat tersenyum dan tertawa, genre yang memang sangat di sukainya.
Berbeda dengan Cavia yang lebih suka genre horor dan action. Porsi yang sangat berbanding terbalik sekali untuk mereka berdua, namun dengan begitu keduanya malah jadi terlihat seimbang dan saling melengkapi satu sama lain.
Cavia menghela napas seraya bangkit berdiri dari duduknya, melangkah perlahan menuju pintu dan keluar. Sesampainya di luar pintu kamar Davira ia melihat Dava yang tengah berjalan mendekat.
"Davira di dalam papa," beritahu Cavia sebelum Dava bertanya lebih dulu.
Dava tersenyum, "benarkah? Lalu kenapa kamu di luar, sayang?" tanya Dava heran saat melihat Cavia di luar kamar puterinya.
"Uhm, itu..., Davira bilang dia ingin sendirian papa." jawab Cavia gugup.
"Ingin sendirian?" Cavia mengangguk.
"Kenapa?"
Cavia mengerjap saat bingung dengan arti pertanyaan Dava.
"Kenapa Davira ingin sendirian?"
"Cavia enggak tahu papa." Dava manggut-manggut mengerti.
"Ayah dan bunda, apakah mereka sudah pulang papa?"
"Sudah, kenapa? Kamu juga ingin pulang?" Cavia mengangguk.
"Ya sudah kalau begitu, kamu pulanglah ke rumah. Hitung-hitung istirahat dari lelahnya menjaga anak papa yang nakal itu." Cavia terkekeh.
"Papa! Nanti kalau Davira denger, hayooo loh."
Dava ikut terkekeh, "oh, sayang sekali, tapi dia memang sangat nakal."
Cavia tergelak, "ya sudah kalau begitu, Cavia pulang papa."
Di raihnya tangan kanan Dava, memberikan kecupan di punggung tangan pria itu. "Mau dia antar?" tawar Dava.
"Boleh."
"Baiklah, minta Salman untuk mengantarmu, nak." Cavia mengangguk.
"Perlu papa antar sampai ke depan pintu utama."
"No!" tolak Cavia terkekeh sembari geleng-geleng kepala. "Dadah, pa, assalamualaikum." Cavia melambai-lambaikan tangannya sembari mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam."
Tbc....
Update nih! Hayoo, siapa yang kangen?! Cungg, angkat tangannya! 😋
Davira mendesah kecewa karena hari ini sepertinya ia tidak akan bisa menemui Om Haikal di apartemennya. Sebab, mulai hari ini di terapkan penjagaan ketat untuknya yang otomatis tak ada keringanan akses keluar untuknya. Sungguh hal ini sangat menyulitkan sekali untuknya, Davira tidak suka ini. Biasanya ia di beri sedikit kebebasan untuk keluar, tapi sepertinya tidak akan berlaku lagi mulai hari ini.Davira sendiri juga tak mengerti kenapa bisa seperti ini, padahal sedari awal semuanya berjalan baik-baik saja. Tak ada masalah, tak ada protesan, dan yang paling utama tak ada larangan. Davira berpikir keras, apa mungkin Om Haikal sendiri yang mengatakan sejujurnya pada mamanya? Atau mungkin, Cavia?Ah tidak, tidak, kalau Cavia rasanya tidak mungkin. Dugaan kuat Davira sangat yakin jika ini pasti ulah Om Haikal.Sial!!Jika memang begitu, apa mungkin maksudnya si Om Haikal ini udah bosan, udah muak dan gak kuat lag
Airaa menutup kedua matanya kembali, pura-pura tidur ketika mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Ah, itu pasti suaminya yang baru pulang dari mengantar anak mereka yang nakal ke rumah Haikal.What? Airaa tau?Ya, wanita itu tau jika suaminya ternyata melakukan persengkokolan dengan anak sulung mereka. Jadi, sebenarnya tadi Airaa tidak benar-benar tertidur saat Dava masih di dalam kamar ikut berbaring bersamanya.Airaa mendengar suara langkah kaki Dava yang perlahan keluar dari kamar. Hatinya berseru untuk mengikuti suaminya untuk menangkap basah anak dan bapak itu yang ketahuan bersekongkol. Tapi, niat itu di urungkannya.Airaa bukan wanita bodoh yang akan dengan gampang mereka tipu. Selama ini Airaa sempat menaruh curiga pada sang suami yang menurutnya terlalulembeksikapnya pada Davira. Tak seperti sikap seorang ayah pada umumnya, yang biasanya akan selalu tegas pada anak-anaknya.
Kedua bola mata yang tertutup itu tampak bergerak kesana-kemari, perlahan kelopak mata itu terbuka. Davira tersentak bangun dari pingsannya, membiasakan cahaya lampu yang menyilaukan kedua matanya.Davira mengamati setiap sudut di sebuah kamar yang tengah di tempatinya, kamar yang sangat ia hafal hingga pikirannya kembali terlempar ke momen dimana ia menemukan perselingkuhan Haikal.Perselingkuhan? Ya, begitulah Davira mendefinisikannya.Dan karena itu juga sebabnya ia merasa syok luar biasa yang mengakibatkannya pingsan tak sadarkan diri."T-tapi, siapa yang menemukanku pingsan dan membawaku ke kamar ini?" ucap Davira tergugu dan bertanya-tanya pada diri sendiri.Apakah mungkin Om Haikal yang menemukannya pingsan dan membawanya ke kamar ini? Mungkinkah?Saat masih sibuk berperang melawan pemikirannya sendiri, pintu
"Vira!" jerit Cavia memanggil Davira ketika ia sudah sampai di lantai apartemen tempat Haikal tinggal.Terlihat Davira yang masih betah bersandar di belakang pintu apartemen Haikal dengan posisi berjongkok menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan miliknya. Setelah mendengar panggilan Cavia, Davira membuka telapak tangan dan mendongak menatap Cavia yang kini sudah berdiri di depannya."Cavia...." panggil Davira dengan suara merengek manja, Davira membuka lebar kedua tangannya sebagai isyarat untuk Cavia agar memeluknya.Cavia yang mengerti kode itu pun mengangguk seraya tersenyum, merundukkan tubuhnya berjongkok di depan Davira.Cavia memeluk erat tubuh Davira yang montok namun kini seakan rapuh, bahkan di dalam pelukannya pun Davira kembali menangis."Dia jahat Cavia," kata Davira mengadu pada sepupunya ini. "Dia berselingkuh bahkan bercinta denga
Benar saja apa yang Davira katakan, tak butuh waktu lama hanya dengan hitungan jam saja kabar mengenai dirinya yang tengah berada di kediaman keluarga Wicaksana sudah diketahui oleh sang papa. Dava Atmadja.Pria tampan yang dulunya mantan playboy itu kini sudah berada di kediaman rumah milik Arnando Wicaksana. Pagi-pagi sekali saat ia berpamitan pada Airaa untuk berangkat kerja ke kantor, Dava menyempatkan diri berkunjung ke rumah sahabatnya tersebut setelah mendapatkan kabar dari salah satu anggota keluarga itu.Meskipun sedikit dilanda kebingungan tentang keberadaan Davira yang ada di sana. Seingat Dava, bukankah tadi malam ia sengaja membantu putrinya itu untuk kabur dari rumah agar bisa menemui Haikal? Lalu kenapa sekarang anaknya bisa berada di rumah Nando? Seharusnya kan Davira masihberada di apartemennya Haikal. Aneh! pikir Dava merasa sepertinya sedang terjadi sesuatu hal yang tak beres.Kedatangan Dava di sambu
"Dasar bodoh!" umpat Dava memaki Haikal.Setelah pergi dari rumah Nando, Dava bukannya ke kantor malah singgah mendatangi apartemen Haikal. Syukurlah Haikal masih berada di apartemennya dan langsung membuka pintu begitu mendengar suara bunyi bel apartemen.Sedikit tercengang ketika melihat siapa tamu yang datang dan sungguh tak menyangka jika Dava akan berkunjung ke apartemennya pagi ini.Tak ada sapaan yang Dava berikan, justru pria itu langsung nyelonong masuk ke dalam tanpa sang tuan rumah menyuruh terlebih dahulu. Dan Dava tanpa tendeng alih-alih langsung mengeluarkan semua makian dan umpatan pada Haikal yang sama sekali tak mengerti."Berengsek, Haikal bodoh!" entah umpatan dan makian yang ke berapa kalinya Dava berikan untuk Haikal.Haikal yang tadinya berusaha tenang dan sabar menghadapi sikap Dava pada akhirnya pun meledak. "Sebenarnya ada apa denganmu? Kenapa kau tiba-tiba datang ke ap
"Ini!" Haikal meletakkan segelas air mineral di atas meja, "minumlah agar tenggorakanmu tidak kering lagi dan batukmu berhenti." titahnya yang di angguki Dava.Dava meraih segelas air mineral itu dan langsung menegguknya cepat. "Pelan-pelan Dav, nanti kau bisa tersedak." kata Haikal memperingati, namun terlambat sebab segelas air mineral itu sudah tandas di teguk Dava.Dava nyengir seraya meletakkan gelas yang sudah kosong kembali ke meja. "Udah habis," katanya cengengesan.Haikal memutar bola matanya kesal, tingkah bapak satu ini masih sama saja seperti dulu. Tidak berubah sama sekali walaupun umurnya sudah semakin bertambah dan memiliki anak dua. Tapi, tingkah Dava masihlah sama seperti waktu muda, hanya satu yang sudah berubah darinya. Yaitu, sikap playboynya, Dava memang seperti sudah bersumpah jika ia akan berubah untuk yang satu itu. Dan harus Haikal akui, jika Dava memang bersungguh-sungguh pada janjinya itu.
Siang itu Davira memutuskan pamit pergi dari kediaman rumah milik keluarga Wicaksana. Davira beralasan jika ia ingin pulang ke rumahnya sendirian tanpa mau di temani Cavia sekalipun ataupun di antarkan pak supir pribadi keluarga Wicaksana.Kia awalnya menolak keinginan Davira tersebut karena ia sedikit merasa curiga dengan gerak-gerik serta gelegat gadis itu. Tapi, Davira yang bersikeras pun tentu tak kehabisan ide untuk terus meyakinkan Kia.Pada akhirnya Kia mengalah dan merelakan Davira pulang sendiri. Dalam hatinya, wanita itu berdoa semoga Davira tak berbohong dan sungguh pulang ke rumahnya dengan aman."Bunda yakin dengan keputusan ini? Merelakan Davira pergi sendirian." ucap Cavia setelah kepergian Davira, "bagaimana jika Davira berbohong Bunda?"Kia menghela napasnya sejenak sembari menatap lembut sang anak. "Insyaallah sayang, semoga Davira berkata jujur d