Share

Part 3. Puteri Tidur

                

            Akira menatap jam di pergelangan tangan menunjukan pukul delapan. Namun, Ramdan tak kunjung keluar dari ruang kerjanya. Padahal rencananya, pria tampan itu akan menemani Akira melanjutkan liputan terkait kasus perampokan toko emas. 

           "Waduh, kalau begini ... bisa siang selesai liputannya. Mana sih, bos besar ini? Bisa mati berdiri saya, karena menunggu," gumamnya sambil melanjutkan melihat gawainya.

            Sedang asik jari-jemari lentik Akira memainkan gawai, tak sadar jika pria yang dinanti sudah berdiri di belakang kursinya.

           "Hmm ...."

           "Ayo berangkat!"  ajak Ramdan yang kemudian pergi keluar menuju arah parkir kendaraannya.

           "Ish ... dari tadi juga sudah siap. Bos aja tuh yang lama," keluhnya dalam hati sembari mengikuti langkah panjang Ramdan.

           Tampak Mitsubishi Pajero Sport warna hitam metalik, terpakir di tempat khusus untuk pimpinan perusahaan media tersebut. Kendaraan itu terlihat sangat cocok dengan penampilan Ramdan yang bertubuh atletis. Walaupun, saat itu ia hanya mengenakan  baju kaos hitam dan celana cargo selutut. Justru hal itu membuat dirinya terlihat keren dan modern.

            

           Usai naik di kursi kemudi, Akira menyusul masuk melalui pintu belakang.

           "Eh, kamu ngapain duduk di belakang? Sini pindah ke depan!" perintah Ramdan.

          "Maaf, Bapak. Saya nggak bisa," jawab Akira sopan. 

          "Lho, kenapa?" tanyanya heran. 

          "Saya ingat pesan ibu. Kalau harus menjaga jarak dengan yang bukan mahrom, untuk menghindari fitnah," jelas gadis yang mengenakan jilbab hitam itu.

            Mendengar penuturan Akira, pria lajang itu  tak marah. Ia cukup menghargai prinsip yang dipegang bawahannya itu. Karena, di zaman sekarang sangat jarang ada wanita yang memegang teguh prinsip syariat agamanya. Kebanyakan, jika sudah melihat pria tampan dan berduit pasti langsung melirik. Bahkan tak jarang hingga merendahkan harga dirinya.

            Bagi Akira, duduk berdua dalam satu mobil dengan pria yang bukan mahromnya memang jarang dialaminya. Apalagi, pria yang baru aktif di kantor sekitar satu bulan itu, belum terlalu ia kenal. Lantas hal itu membuat Akira merasa canggung.

           

             Keduanya kemudian keluar meninggalkan parkiran kantor menuju lokasi liputan. Suasana hening terasa selama perjalanan. Akira yang biasa aktif berbicara, kini hanya terdiam membeku seperti es. Ia sibukkan diri dengan melihat gawainya, untuk menghilangkan perasaan gugup.

            Tak lama Ramdan memecah keheningan. "Sudah berapa lama kamu jadi wartawan, Ra?" tanya Ramdan.

            Akira yang asik memainkan gawainya tak mendengar pertanyaan Ramdan.

            "Ra, saya tanya kamu. Sudah lama jadi wartawan?" tanya Ramdan yang kali ini agak mengeraskan suaranya.

            Akira terkejut mendengar suara Ramdan yang agak keras.

            "Oh m-maaf, Pak. Saya nggak dengar. Baru 5 tahun, Pak," jawabnya.

           "Oh begitu."

           "Ra, saya heran. Gadis seperti kamu, kok mau jadi wartawan?"

          "Kerjaan ini 'kan cukup berat. Cocoknya gadis cantik seperti kamu kerja di dalam ruangan saja. Jadi sekretaris atau paling tidak di bagian administrasi," kata Ramdan.

           "Saya suka jalan-jalan, Pak. Kalau di dalam ruangan suka bosen. Cuma itu-itu saja yang dilihat," jawabnya tersenyum.

            Mendengar pertanyaan Ramdan, gadis yang sering mengenakan jilbab lebar itu tak merasa heran. Karena, jika melihat penampilan sehari-harinya memang tak terkesan sebagai seorang jurnalis. Justru banyak narasumber yang ditemuinya mengira ia adalah seorang guru. Namun, setelah menunjukan tanda pengenal, barulah mereka percaya.

           "Tapi wartawan itu banyak musuhnya, lho. Apalagi kalau nulis berita kriminal. Apa kamu tidak takut?" tanya Ramdan sambil sesekali menatap Akira dari arah spion.

           "Kalau rasa takut yah, pasti ada, Pak. Tapi mau bagaimana lagi. Sejak terjun jadi wartawan, saya rasa pekerjaan ini menantang banget. Mulai buat perencanaan, memburu narasumber, sampai berita kita dicetak dan diterbitkan. Semua ada tantangannya," ucapnya antusias. 

          "Yah ... anggap saja ini takdir dari Allah buat saya, Pak," tambah Akira. 

          Sementara Ramdan sendiri dulunya juga sebagai wartawan seperti Akira. Ia bertugas di Jakarta. Namun, karena prestasinya ia kemudian diangkat menjadi direktur utama di perusahaan local post. 

          Kondisi jalan yang lengang membuat Ramdan memacu kendaraan lebih cepat. Tak terasa keduanya tiba di lokasi kejadian kasus perampokan toko emas. Sembari melihat ke sekeliling, Ramdan kemudian memarkirkan kendaraan. 

          Sementara Akira masih terlelap di bangku tengah. Gadis itu tak menyadari jika kendaraan yang ditumpanginya telah berhenti.

           "Ayo, Ra, kita liputan!" kata Ramdan.

           Hening, tak terdengar sepatah kata pun dari Akira. Saat menoleh ke belakang, Ramdan mendapati gadis berparas cantik itu sedang terlelap sembari memegang gawainya. 

          

           Sejenak dipandanginya wajah ayu Akira yang tengah tertidur bak putri. Ia tak tega untuk membangunkannya. Terlebih, sikap Akira yang menjaga jarak terhadap pria yang bukan mahromnya membuatnya segan untuk menyentuh.

            Saat asik memandangi Akira, tiba-tiba wanita itu terbangun. Sontak saja, hal itu membuat Ramdan kaget dan menjadi salah tingkah.

           "M-maaf. Saya tadi panggil kamu, tapi kamu nggak menyahut. Eh ternyata lagi enak tidur. Makanya saya tunggu saja," kata Ramdan sembari membuka pintu mobil.

           Melihat tingkah laku Ramdan yang berubah, Akira hanya terdiam. Ia kemudian melangkah keluar mengikuti Ramdan menuju toko emas.

          "Nyenyak banget ya tidurnya, Ra," ejek Ramdan.

          "Ah bapak ini, cuma sebentar kok," sahut Akira sambil menunduk malu.

          "Kamu ini memang nggak ada malunya, ya. Masa liputan sama bos tidur. Jangan-jangan kalau lagi tugas liputan lain kamu juga suka tidur, ya?" selidik Ramdan sembari berjalan menuju lokasi yang hanya berjarak 10 meter dari tempat parkir kendaraan.

            "Bukan begitu, Pak. Saya itu bawaannya suka mengantuk kalau naik mobil. Makanya jarang mau ikut liputan bareng kalau diajakin teman-teman," jelas Akira.

          "Oh begitu, bilang dong dari tadi. Jadi kita berangkatnya naik motor saja. Nggak usah pakai mobil," ucapnya.

           Setibanya di toko emas, masih banyak warga yang mengamati percikan darah yang mulai mengering menempel di lantai dan dinding. Meskipun begitu, tak satu pun warga yang berani mendekat. Terlebih, garis polisi masih terpasang mengelilingi toko. Di sisi lain juga terlihat beberapa petugas yang berjaga.

           "Mana alamat narasumber yang mau kita datangi?" tanya Ramdan.

           "Ini, Pak. Rumahnya hanya berhelat dinding pagar dari toko emas," ujarnya.

           Bangunan berlantai dua itu terletak tepat di belakang toko emas yang disatroni perampok kemarin malam. Perlahan, Akira dan Ramdan mendekati pintu depan rumah. Setelah mengetuk beberapa kali, tak satu pun terdengar jawaban penghuninya.

           "Mungkin orangnya sedang keluar, Ra," kata Ramdan.

           "Nggak, Pak. Tadi saya sudah hubungi, kata beliau ada di rumah" sahutnya.

           "Oh begitu. Ayo kita coba sekali lagi!"

           Keduanya pun kembali mencoba menemui pemilik rumah.

           "Permisi .... "

           "Assalamualaikum!" teriak Akira dengan suara agak keras.

           Lagi-lagi tak terdengar suara apa pun dari dalam. Lantas, Akira memberanikan diri melangkah menuju belakang rumah berwarna orange itu. Sementara Ramdan menunggu di pintu depan.

           Sesampainya di pintu belakang, ternyata dalam keadaan terkunci rapat. Akiri segera kembali ke depan rumah sembari mencoba menghubungi nomor ponsel pemilik rumah. Saat berada di pintu depan, Akira tercengang. Karena didapatinya Ramdan tengah berbincang-bincang dengan seorang wanita paruh baya di dalam rumah.

           "Eh, Ibu. Assalamualaikum," ucap gadis itu sambil tersenyum karena tingkah lakunya sendiri.

         "Waalaikumsalam, Mbak. Mari silakan masuk!" ajak wanita itu. 

          "Maaf ya, Bu. Saya tadi coba lihat ke belakang. Saya pikir tidak ada orang," ujarnya.

         "Iya, nggak papa, Nak. Tadi ibu juga nggak dengar kalau di luar ada orang. Baru tahu saat suara bel berbunyi," lanjut Sinta yang ternyata istri korban perampokan toko emas yang tewas.

          Menurut keterangan Sinta, kasus perampokan ini bukan pertama kali dialami suaminya. Sekitar setahun lalu, tokonya juga sempat didatangi perampok. Namun, saat itu kondisinya siang hari saat beberapa karyawan masih ada. Sehingga dibantu dengan karyawannya, sang suami berhasil mengusir perampok.

           "Kalau dulu bapak ada temannya. Jadi bisa melawan. Sekarang kebetulan lagi sepi, dan perampoknya juga banyak. Jadi bapak tidak bisa apa-apa," ucap Sinta berkaca-kaca mengenang suaminya yang tewas meregang nyawa di pangkuannya, usai mempertahankan hartanya dari perampok.

            Kedua wartawan muda itu pun sempat diperlihatkan Sinta rekaman kamera pengintai. Terlihat jelas bagaimana kasus perampokan terjadi.

            Cukup lama perbincangan terjadi dengan istri pemilik toko emas. Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 10.00. Setelah meminta ijin untuk mengambil beberapa gambar dan merasa bahan liputannya sudah cukup, keduanya berpamitan dengan pemilik rumah.

          Sambil melangkah menuju kendaraan, Ramdan kembali berusaha mencairkan suasana.

          "Untung saja nggak dikira maling kamu, Ra. Masuk-masuk sampai ke belakang rumah orang nggak ijin," ledek Ramdan.

         "Hahaha ... iya, Pak. Karena terlalu semangat, saya sampai lupa kalau ada bel," ucap Akira tersipu malu.

         "Makanya lain kali dilihat dulu. Ada bel atau tidak. Jangan malu-maluin," ujarnya sambil berlalu memasuki kendaaran.

          Keduanya melanjutkan liputan ke kantor polisi untuk mengetahui perkembangan hasil penyelidikan terkait kasus perampokan berdarah itu. Jarak yang cukup jauh, membuat Akira berusaha sebisa mungkin agar tidak tertidur lagi. Sesekali ia menurunkan kaca mobil untuk menghirup udara segar. Tampak pohon karet berjejer rapi di sepanjang jalan yang mereka lalui.

             

          Dari bangku kemudi, Ramdan hanya tersenyum melihat tingkah laku gadis bermata bulat itu.

            "Jangan tidur lagi yah, Ra!" ucap Ramdan sambil menyalakan musik sedikit keras untuk membantu mengusir kantuk.

           "Eh iya, Pak," kata Akira.

           Untuk menghilangkan kejenuhan, keduanya pun berdiskusi tentang kasus perampokan yang sedang mereka liput. Suasana yang tadinya kaku, secara perlahan mulai mencair. Lelaki penyuka olahraga sepak bola itu lebih banyak menjawab pertanyaan dari Akira. Sesekali keduanya tertawa, sehingga status antara atasan dan bawahan pun terlupakan.

            Melihat sikap Akira yang begitu ceria, menarik perhatian Ramdan. Maklum saja semenjak pindah tugas, dirinya sangat jarang berbicara dengan wanita. 

          "Ngomong-ngomong kamu asli mana, Ra?" tanya Ramdan.

          "Saya lahir di Bone, Pak—Sulawesi Selatan. Di sana tinggal sama ibu," jawabnya.

            "Wah ... jauh juga, yah," ujar Ramdan.

          "Iya, Pak. Enam tahun lalu saya merantau sendiri di sini, karena cari kerja. Akhirnya, terpaksa pisah sama orang tua dan tinggal ngekos di sini," akunya.

           Tak terasa, lokasi yang mereka tuju pun sudah sampai. Sebelum turun dari kendaraan, bergegas Akira menyiapkan alat liputannya. Keduanya kemudian melangkah memasuki halaman kantor polisi dan langsung menuju ruangan kepala bagian humas.

         "Assalamualaikum," ucap Akira disertai ketukan.

          Tak lama berselang, terdengar jawaban dari dalam ruangan.

          "Waalaikumsalam," jawab pria berbadan tegap seraya mempersilakan masuk.

          "Oh Akira. Mari masuk," lanjutnya yang masih terlihat sibuk merapikan berkas diatas meja.

           Tiba-tiba dari belakang terdengar suara Ramdan.

         "Seno?" teriak Ramdan yang tampak terkejut melihat sosok yang ditemuinya.

        "Hah ... Ramdan ?"

          Kedua pria itu pun saling berpelukan dan tertawa saat melihat penampilan masing-masing. Sikap keduanya sempat membuat Akira bingung. Namun, setelah dijelaskan barulah ia sadar jika keduanya kawan akrab saat kuliah di Jogja.

         "Sudah berapa anakmu, Dan?" tanya Agus.

         "Sepuluh! Percaya nggak?" ketus Ramdan.

          "Hahaha ... nggak percaya aku. Pasti gara-gara ditinggal Merlin yah, makanya sampai sekarang kamu nggak nikah-nikah," ledeknya.

         "Huss ... berisik lo! Rahasia itu, jangan main bongkar aja," sahutnya.

         "Oh jadi bapak berdua ini ternyata sahabat lama, ya?" sambung Akira yang sedari tadi mengamati keduanya.

           "Betul sekali, Mbak Akira. Sejak lulus, saya putus kontak sama mas Ramdan. Eh nggak tahunya sekarang sudah jadi bos."

           "Ayo mari silakan duduk! Saya sampai lupa kalau kedatangan wartawan cantik," lanjut Agus ramah sesekali menyeringai menatap sahabat lamanya itu. 

          "Jadi, apa yang bisa saya bantu?" tanyanya serius pada kedua jurnalis di hadapannya. 

           "Kami butuh informasi soal penyelidikan kasus perampokan berdarah di toko emas tempo hari, Pak," ucapnya seraya mulai mengaktifkan mode rekam pada ponselnya, demi keakuratan berita. Sesekali mencatat di sebuah buku kecil yang selalu ada di saku jaket yang dikenakannya. 

          Sementara Ramdan duduk sedikit jauh dari Akira terlihat fokus pada gawainya. Sesekali menimpali perbincangan antara gadis berhijab itu dan Seno. Dirinya tak menyangka akan bertemu sahabatnya itu. 

           Dulunya penampilan Seno tak segagah sekarang. Bahkan kerap di bully kutu buku. Karena badannya tinggi kurus dengan kacamata tebal dan setumpuk buku di tangan. Kini penampilannya terlihat keren dengan seragam dinas kepolisian melekat di tubuhnya.

            Merasa cukup dengan sejumlah data yang dipaparkan, keduanya berpamitan. Tak lupa bertukar nomor ponsel. 

           "Jangan lupa undangannya ya, kalau menikah!" ucap Seno sambil terkekeh.

 

          "Calonnya saja belum ada,  gimana mau nikah, Pak komandan?" tukasnya sambil membuka pintu untuk gadis di belakangnya. 

         "Loh nggak usah pusing mencari jauh-jauh, yang dekat saja ada kok, Dan!" ucap Seno tersenyum penuh arti.

         "Siap, Komandan!" jawabnya sembari berdiri tegak dengan tangan kanan di pelipis, layaknya prajurit. 

         Ramdan melajukan kendaraannya ke arah kota. Perut yang mulai terasa lapar membuatnya berfikir untuk singgah mencari makan.

        "Kita cari makan dulu atau langsung ke kantor, Ra?" tanyanya pada gadis di belakannya. Tak ada sahutan. 

        "Ra ...."

        "Astaga , tidur lagi!" ucapnya berdecak heran. 

To be continued ...

By : Ana'na Bennu

                   

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ucing Ucay
semangat thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status