Share

Part 5. Orang Dalam

             Usai membekuk dua pelaku penyerangan terhadap Ramdan dan Akira, polisi terus melakukan penyelidikan. Hasilnya sesuai dugaan, kedua pelaku penyerangan ternyata pelaku perampokan yang melarikan diri. Bahkan, polisi kini menemukan bukti baru, bahwa salah satu dari mereka merupakan orang terdekat korban.

            "Ra, coba kamu hubungi polisi! Saya dapat info dari pak Ramdan, kalau pelaku penyerangan tadi siang ternyata juga bagian dari pelaku perampokan," kata Edi yang merupakan Redaktur Pelaksana (Redpel) Surat Kabar Harian Local Post.

         "Siap, Mas," ucap Akira yang tengah sibuk menulis berita.

          Akira menghentikan sejenak aktivitas menulisnya. Ia kemudian mengambil ponsel untuk menghubungi Agus Suseno. Tiga kali ia menghubungi nomor tersebut, tetapi tak kunjung dijawab. 

         "Wah, si Bos ini. Padahal lagi sakit, sempat-sempatnya urusin kantor," gumamnya, teringat kondisi Ramdan yang terluka akibat sabetan senjata tajam.

          Tak ada jawaban. Ia coba lagi dan lagi. "Mungkin beliau sedang sibuk. Coba sekali lagi, ah," gumamnya tak berputus asa.

          Berhasil. Akira akhirnya berhasil menghubungi Agus.

          "Maaf, Mbak Akira, tadi lagi sibuk," jawab Agus Suseno di ujung telepon.

           "Iya, Pak, nggak apa-apa. Oh ya, Pak, saya dapat info kalau orang-orang yang menyerang kami tadi siang adalah pelaku perampokan yang buron, ya?"  tanya gadis itu memastikan. 

          "Iya, Ra. Mereka berdua pelaku yang kabur. Dari hasil penyelidikan, mereka ini sebenarnya sengaja mengikuti kamu, Ra. Karena terus membuat berita lanjutan terkait insiden di toko emas tempo hari," jawab Agus.

           "Hah, serius, Pak?"  ucapnya terkejut. 

           "Beruntung saat liputan tadi tidak sendiri, jadi tidak sampai mencelakaimu," ujar pria yg kerap disapa Seno oleh sang bos. 

         "Iya, Pak. Pantas saja beberapa hari ini saya selalu merasa diikuti orang asing. Ternyata mereka memang mengincar saya," ucap Akira sembari bergidik ngeri. 

        "Bahkan yang lebih mengejutkan kami, salah satu pelaku perampokan ternyata karyawan toko emas itu sendiri. Makanya dia sangat mengetahui seluk-beluk ruang penyimpanan harta dari pemilik toko. Sehingga ketika melihat kondisi toko berangsur sepi, ia segera menghubungi kawan-kawannya untuk melancarkan aksi mereka dengan leluasa," jelas pria itu. 

           Cukup lama Akira berbincang melalui ponsel untuk mengorek keterangan sebanyak-banyaknya. Sampai akhirnya tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 8 malam. Akira segera mengakhiri percakapan, karena harus menyelesaikan berita sebelum deadline berakhir.

           "Wah menarik, Mas, beritanya. Segera saya siapkan sebelum deadline," ucap Akira kepada Edi yang duduk di hadapannya. 

          "Oya? bagus. Secepatnya kirim ke server. Saya tunggu ya, Ra!" ujar pria berkulit putih itu sembari berlalu.

           Setelah berjibaku dengan sejumlah data dan informasi selama kurang lebih  2 jam di depan komputer, gadis itu pun meluruskan punggung. Terasa seluruh badannya pegal kerena tugas liputan hari ini.

           Sembari menyeruput teh botol yang disiapkan sejak awal, ia lemaskan otot-otot jari yang kaku, setelah menari di atas keyboard. Netranya menyapu ke seluruh ruangan, mengamati beberapa rekan wartawan yang masih tenggelam dalam kesibukan serupa. Mereka pemburu berita, tak akan berhenti sebelum menemukan solusi atas masalah yang diangkat ke publik.

           Meski lelah kerap menghampiri, lantaran harus selalu memenuhi tuntutan berita setiap hari. Namun, para kuli tinta itu merasakan kepuasan tersendiri saat melihat berita yang dipublish mendapat perhatian dari pihak yang bertanggung jawab atas masalah tersebut.  Sehingga tercapailah tujuan mereka sebagai wartawan, yakni menjadi jembatan penyalur aspirasi bagi masyarakat.

         "Masih banyak, Mbak Met?" tanyanya pada Meta yang nampak serius dengan komputer di hadapan. 

          "Nggak juga, sih, sisa satu berita lagi. Tapi datanya masih kurang. Ini masih menunggu press realease-nya dikirim," jawabnya tanpa menoleh. 

          "Kalau mau pulang, duluan saja, Ra! Aku belum kelar," lanjutnya.

           "Ya sudah. Kalau begitu, aku pulang ya, Mbak. Nggak apa-apa 'kan?" tanyanya memastikan.

            "Sip aman, Ra," jawabnya sambil berlalu menuju pintu keluar di sudut ruangan.

           "Hati-hati di jalan!" teriak wanita tambun itu saat Akira melangkah menuju pintu. 

           Berjalan ke arah motornya yang tengah parkir di halaman, gadis itu sedikit terkejut saat suara seseorang memanggilnya.

           "Ra ... tunggu!" panggil Edy.

           "Eh, Mas Edy ada apa, berita saya ada yang kurang, ya?" tanyanya sedikit cemas, lantaran perutnya mulai keroncongan meminta jatah malam. 

           "Nggak, beritamu sudah aman. Kamu pasti lapar 'kan? Ayo, saya traktir makan!" ajak pria tampan yang mengenakan jaket putih itu. 

          "Wah ... serius, Mas? Alhamdulillah, rejeki anak solehah ini," ujarnya terkekeh. 

          "Tumben, Mas tahu saja kalau saya lagi lapar," tambahnya.

          "Ayo, bareng saya!" ajak Edy pada Akira yang mulai menaiki sepeda motor merahnya. 

          "Maaf, Mas, saya naik motor saja. Sekalian pulang ke kos," tolaknya halus. 

          "Wah, padahal cuaca dingin ini, yakin nggak mau naik mobil saja? Di sini lebih aman loh, Ra," bujuk pria itu lagi. 

          "Nggak usah, Mas. Terima kasih, saya ngekor saja di belakang mobil biar aman," tukas gadis keras kepala itu. 

          Ia lantas menghidupkan sepeda motor kesayangannya. Perlahan mengikuti mobil Edy menuju rumah makan yang disepakati. 

           Berjalan sekitar 20 meter dari kantor, mereka menepikan kendaraan masing-masing di lahan parkir yang cukup luas. Sebuah rumah makan Khas Bugis dipilih lelaki itu. Komunikasi di luar urusan pekerjaan antara Akira dan Edy memang sangat jarang. Karena tak mudah menaklukkan hati gadis berjilbab itu. 

            Entah mengapa, setiap kali mengajak Akira untuk sekedar bersenang-senang di luar jam kerja, selalu ditolak mentah-mentah. Padahal, dari dulu Edy selalu berusaha mencari cara agar lebih dekat dengan Akira. Sebab, dalam pandangannya, Akira tidak hanya cantik secara fisik, namun otaknya juga sangat cerdas.

            Beberapa kali Edy kerap memberi bingkisan hadiah di hari spesial gadis itu. Pada mulanya pemberian itu diterima dengan senang hati. Namun belakangan, ia melihat benda-benda tersebut justru ada pada Meta sahabat dekat Akira. 

          "Salah satu hobi saya makan, Mas. Semua jenis makanan akan saya lahap. Karena lambung saya ini diciptakan Tuhan yang maha kuasa, mampu menampung banyak makanan. Tapi syukurnya, badan saya nggak mudah gemuk. Mungkin faktor aktivitas yang padat. Saban hari jalan ke sana kemari. Jadi makanan yang masuk tak sempat menjadi lemak," tutur Akira sembari terbahak menertawakan dirinya sendiri, saat ditanya alasannya mau menerima ajakan Edy untuk makan bersama. 

             Edy sengaja memilih meja kosong yang tersedia di sudut ruangan. Ia pun mencoba bersikap romantis dengan menarik satu kursi untuk gadis di sampingnya. Namun dengan gesit, Akira justru menarik kursi lain dan langsung menghempaskan bobotnya.

           "Ampun dah cewek ini. Sudah duduk duluan, 'kan enak dilihat kalau duduk di kursi yang saya pilihkan ini. Biar lebih romantis gitu, Ra," tuturnya sembari menggeleng-gelengkan kepala melihat sikap Akira.

           "Saya bukan anak manja, Mas. Masa untuk duduk saja kursi harus diambilkan. Bisa kok ambil sendiri," tukas gadis itu lantas mencomot kerupuk yang ada di hadapannya.

          "Kalau sama wanita cantik, ya, harus perhatian, Ra," ujar Edi sembari tersenyum menawan. 

         "Hmm ... nggak usah gombal, Mas. Ini perut lagi lapar, nih," tutur Akira yang kini tengah mengunyah kacang goreng. 

          Sepertinya pengunjung rumah makan, yang menyediakan aneka makanan khas bugis itu sedang ramai. Sembari menunggu pesanan datang, mereka terlibat perbincangan serius. Mulai dari urusan pemberitaan hingga persoalan keluarga. 

            Bagi Akira, pria di hadapannya, bukan hanya atasannya di divisi pemberitaan, tetapi teman yang asik diajak berdiskusi. Tutur katanya yang lembut serta sikapnya yang ramah membuat semua orang yang bersamanya tak mudah bosan. Selain itu, wawasannya juga cukup luas sehingga Akira banyak bertanya soal profesi mereka. 

           "Tadi siang, liputan bareng pak Ramdan ya, Ra?" tanya Edi.

           "Iya, Mas. Kebetulan motor saya sedang di bengkel tadi. Jadi waktu diminta Pak Ram untuk ikut, saya nurut aja," jawab gadis yang mulai menyantap hidangan di hadapannya. 

           Bulir keringat terlihat keluar dari pori-pori kulit putih Akira, lantaran menyantap kuah pedas coto makassar miliknya. Baginya, belum lengkap rasanya menyantap makanan ini jika tanpa diberi perasan jeruk nipis.

             Melihat Akira yang begitu lahap dengan makanannya, membuat Edy pun tergiur untuk mencoba masakan tersebut. Ini kali pertama pria kelahiran Jawa Tengah itu mencoba masakan khas Sulawesi.

           "Enak juga ya, cotonya. Pantas saja kamu sampai nambah 4 ketupat, Ra," ungkap pria yang merasa takjub dengan selera makan gadis di hadapannya. 

             Dirinya tak berhenti tersenyum selama duduk bersama Akira. Dipandanginya terus wajah gadis itu. Karena kapan lagi, bisa sedekat ini dengannya. Meski sesekali terlihat Akira berceloteh dengan mulut penuh, tetapi tetap tak mengurangi kecantikannya. Malah membuatnya semakin gemas.

To be Continued ... 

     ********  Ana'na Bennu  ********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status