Share

Part 6. Ditembak

      Tiba di kamar kos. Akira yang merasa perutnya begitu penuh langsung bersiap untuk tidur. Setelah membersihkan diri dengan cepat dan menunaikan kewajiban salat isya yang tertinggal cukup larut. Ia pun beranjak ke pembaringannya. Tiba-tiba dering telepon yang terdengar kencang, membuatnya terpaksa harus bangkit saat ia baru saja merebahkan tubuh di atas kasur. 

      "Assalamualaikum, Iraaaa!" teriak ibunya di ujung telepon, sehingga reflek ia menjauhkan gawai dari telinganya. 

     "Waalaikumsalam, Mama ... jangan kenceng-kenceng suaranya, Mak. Nanti kedengaran ibu kos loh, di sini nggak boleh bertamu kalau udah malam?"  jawabnya sambil terkekeh.

      Rasa rindunya sedikit terobati mendengar suara ibu. Orang yang selalu bersikap sama padanya. Sejak kecil hingga dewasa seperti saat ini. Suara cempreng dan cerewet ibunya selalu menjadi obat penawar rasa rindu saat berada jauh darinya.

      "Kamu ke mana saja sih, kenapa tidak pernah ko telpon mama. Sudah makan ko, Nak?" tanya ibunya dengan aksen suku Bugis terdengar prihatin.  

      "Maaf, Mak. Sibuk sekali ka akhir-akhir ini. Jadi tidak sempat menelpon mama. Rencananya besok ji mau kutelpon mama tapi kalah cepat ka pale'." Jawabnya merasa tak enak hati. 

      "Alhamduillah, kenyang sekali ka hari ini, Ma. Tadi ada teman yang traktir makan." Tambahnya. 

      "Syukurlah kalau begitu, Nak. Jadi kapan ko pulang , sudah ketemu calon suamimu?" tanya Halimah.

      "He-eh belum, Mak. Sabar ya nanti kucarikan yang yang paling ganteng dan kaya" tuturnya terkekeh. 

      "Huss kamu ini! suami yang baik itu bukan hanya dilihat dari wajah ganteng dan harta yang banyak, Nak. Tapi harus lihat bagaimana sikapnya kepada orang lain. Baik atau tidak.  Selain itu perhatikan juga ibadahnya, bagaimana hubungannya kepada Tuhan. Supaya dia bisa menjaga kamu  kalau sudah menikah," tutur Halimah panjang lebar. 

      "Iyye, Mak. Kutau ji itu. Bercanda ka saja. Habisnya mama suruh cari calon suami seperti mencari kacang goreng saja. Tidak mudah, Ma." Ucap Akira.

      "Makanya pulang ko sini! menikah sama Akrom saja ya, Nak. Dia itu laki-laki sempurna untuk kamu. Orangnya paham agama, tampan dan kaya pula. Apalagi dia anaknya pak Wibi, sahabat almarhum bapakmu itu. Jadi sudah kenal dekat sama keluarga kita.  Apalagi yang kamu cari di sana?" ungkap Halimah kesal karena sikap keras Akira yang tak mau langsung menerima calon pilihannya.

      "Haiss, Mama ini. Tolonglah biarkan saja aku mencari sendiri calon suamiku dulu ya, sampai batas waktu perjanjian kita to. Jadi tolong doakan saja gadis cantik mama ini agar selalu dijaga Allah dan segera bertemu jodoh terbaik. Oke, Mama sayang!" terdengar hembusan napas Halimah di seberang telepon. 

      Akira tahu ibunya sedang resah dan kesal, karena begitu mengharapkan dirinya untuk kembali ke kampung halaman. Namun ia sudah berjanji, tidak akan pulang, sebelum bisa mengumpulkan banyak uang untuk  membahagiakan ibunya sejak kepergian bapak. 

      "Ma ... Ira mohon ridhoi niatku untuk mengumpulkan uang dulu, Ma," lirihnya sendu. 

      "Semua ini aku lakukan untuk membahagiakan mama. Jadi kalau uang Ira banyak, keinginan mama untuk berangkat ke tanah suci melaksanakan umrah dan haji bisa terkabul. Maafkan Ira ya, Mak," ucapnya tulus.

      Tak ada sahutan dari ujung telepon. 

      "Ma ... mamaaaa ...," teriaknya cukup keras.

      "Woiii ... mama masih di sini, Ira!" 

      "He-eh ... maaf, kirain mama tidur."

      "Ya sudah kalau begitu. Hati-hati di kampung orang ya, Nak. Jangan teledor, walapun sibuk jangan lupa salat wajibmu selalu kerjakan. Tambah tahajjud supaya Allah selalu jaga. Mama tak bisa menjagamu di sana, jadi mama hanya titipkan kamu kepada Allah," pesan Halimah.

      Ucapan Halimah begitu dalam menusuk ke dalam sukma Akira. Ia sadar beberapa kejadian yang dilaluinya akhir-akhir ini. Bahkan, nyaris saja mencelakakannya. Semuanya tak lepas dari pertolongan Sang Kholik. Serta doa seorang ibu, yang menitipkan anaknya langsung kepada satu-satunya Dzat yang paling pantas untuk diminta perlindungan. 

      "Iyye, Ma. Insya Allah selalu kukerjakan itu. Assalamualaikum." Jawabnya sembari menutup sambungan telepon. 

Masih termenung mengingat ucapan ibunya. Gadis itu perlahan meletakkan ponsel di nakas. Melangkah ke kasur, saat tiba-tiba suara notifikasi pesan masuk dari ponselnya membuat ia beralih kembali ke arah nakas. Meraih gawai dan kini mendapati pesan w******p dari Edi.

      "Terimasih ya, Ra tadi sudah menemani saya makan malam. Rasanya ingin makan bersama kamu setiap hari, Ra" tulisnya.

      Mengerutkan dahi gadis itu merasa pesan yang dikirim atasannya itu cukup aneh. 

      "Ya ampun, mas Edi ini baik banget sih sama saya. Mau mengajak makan setiap hari.  Nggak takut bangkrut mas, saya kan kuat makan?" balasnya dengan menyertakan emoticon tawa terbahak-bahak.

      Di luar jam kerja hubungan mereka memang tak memandang status jabatan. Namun saat bertugas, setiap wartawan tetap harus  profesional dalam bersikap dan bertutur kata. Itu salah satu atitude yang ditekankan di perusahaan Local Post Group.

      "Saya nggak akan bangkrut, Ra. Untuk kamu semua bisa saya berikan. Asalkan mau hidup bersama saya," lanjut Edy.

      "Hah maksud, Mas?" balas Akira.

      "Mas mau kalau Akira menjadi kekasih mas" tulis Edi. 

      Seketika nafas Akira rasanya terhenti. Pernyataan Edy ibarat peluru yang ditembakan tepat menghujam ke jantungnya. Sebab, ia tak menyangka jika pria tampan itu ternyata menaruh hati padanya.

      Kendati memang selama ini Edy kerapkali memuji bahkan menggoda dirinya. Namun bagi Akira, hal itu hanya dianggap sebagai gurauan. 

      "Maaf ya, Mas ini sudah malam. Jangan bercanda terus. Saya ngantuk, besok saya ada banyak tugas liputan" balasnya dengan cepat. 

      Saya tidak sedang bercanda, Ra. Ini serius. Tolong jawab pertanyaan saya. Kamu mau kan menjadi kekasih saya? Kita jalani hidup seperti pasangan lainnya. Nanti jika sudah saling mengenal dekat, saya siap datangi orangtua kamu untuk melamar. Gimana?" tulisnya panjang.

      Jantungnya berdegub kencang. Ada perasaan aneh dan asing merambat menjalari hatinya.

      "Apa-apaan ini, apakah ini calon suami yang aku cari selama ini? rasanya begitu aneh. Ini tak normal, terlalu cepat bila semua ini adalah jawaban dari doa-doa yang selalu kupinta dalam salat," gumamnya masih menatap gawai.

      Akira coba menelengkan kepalanya. Ia berusaha mengusir bayangan wajah tampan Edy. Siapa yang tidak mengenal Edy Susilo. Seorang pria tampan dan muda, putra dari pengusaha furniture terbesar di kotanya. Tak heran jika ia selalu hidup dengan harta berlimpah. 

      Sosoknya yang cerdas dan supel membuatnya begitu mudah bergaul dengan siapa saja. Banyak wanita yang seakan terhipnotis dan berlomba untuk mendekati.

Beberapa kali Edy terlihat jalan bersama gadis cantik yang berbeda. Entah apa hubungan mereka. Ia pun tak pernah mau tahu. 

      

      Memang interaksinya dengan Edi terbilang cukup sering. Namun hanya sebatas tugas kantor dan sesekali makan bersama. Hanya saja, belakangan perhatian Edy berubah. Kini Akira sering menerima ajakan pria itu untuk menemani makan. 

      "Waduh gimana ini! aku harus jawab apa?" ucapnya bingung sambil merebahkan tubuhnya di kasur yang sejak tadi menantinya. 

      Cukup lama Akira membiarkan pesan Edy terbuka tanpa mengirimkan balasan sepatah kata Ya atau Tidak. Sampai akhirnya pria itu pun kembali mengirimkan pesan.

      "Ok kalau begitu, sudah larut malam. Saya tunggu jawabannya besok ya, Ra. Selamat tidur gadis cantik. Semoga esok kamu membawa kabar baik" tutup Edy.

      Membaca pesan terakhir itu membuat Akira bisa bernapas lega. Setidaknya tak harus dijawab sekarang. Apalagi ia sudah sangat mengantuk karena aktifitasnya yang padat seharian. Sehingga yang ada dipikirannya saat ini hanya ingin tidur. Karena menurut Akira, tidur adalah solusi sementara dari semua masalah yang menghampiri. Setelah tidur baru bisa ia berpikir jernih. 

  

      " Huh Alhamdulillah, syukurnya tak perlu dijawab sekarang. Saatnya tidur dulu,  semoga mimpi bertemu pangeran sesungguhnya," ucapnya pada diri sendiri. 

      Tak lupa, gadis itu membaca doa-doa perlindungan terlebih dahulu. Setelah usai, barulah kemudian ia tidur dengan nyaman di atas kasur kesayangannya yang dilapisi seprai bermotif bola. Pemberian ibu sebelum merantau meninggalkan kampung halamannya.  

To be Continued ... 

                 ****Ana'na Bennu****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status