Perkataan Gavin pagi itu masih terngiang-ngiang di telinga, membuat Krista beberapa kali mencuri lihat pada pria yang menyetir di sebelah. Bahkan, dia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka saat ini.
Belum lagi pria itu mengatakan sedang mencari pendamping dan menanyakan lamaran yang pernah dia ucap saat masih berusia tiga belas.
Saat ini barulah Krista sadari, dia sangat percaya diri pada usianya yang sangat muda.
“Berhenti menatap wajahku, Krista,” ucap pria itu masih dengan fokus ke depan, pada jalanan yang padat merayap.
Tanpa mengatakan apa-apa, Krista pun mengalihkan pandangan ke luar jendela.
Untungnya ada musik yang berputar dari radio sehingga suasana tidak terasa canggung. Namun, karena tidak ada topik pembicaraan, akhirnya Krista pun mencoba untuk sedikit bersuara. Setidaknya cukup untuk mengisi kekosongan di antara mereka.
“Kapan kau akan kembali ke Denver?”
Gavin hanya melirik
Gavin memperdalam ciuman dan dia pun memegangi kepala Krista bagian belakang untuk memberinya akses lebih mudah dan menahan gadis itu agar tidak bergerak menjauh, sedang tangan satunya mulai meraba pinggang dan panggulnya yang ramping.Begitu merasakan sentuhan di tubuh bagian bawah, barulah Krista tersadar dan tanpa diduga dia pun melakukan sesuatu yang menyakiti pria itu.Seketika Gavin merasakan bau amis darah yang menyebar di mulut saat gadis itu menggigit bibirnya yang berubah menjadi merah.Mata Gavin pun membuka cepat begitu merasakan sakit yang menyengat.Dalam sekejap tautan mulut keduanya terlepas. Dia tidak mengira Krista melakukan yang baru saja.Melihat ada celah untuk bebas, Krista pun mendorong dada Gavin untuk mundur beberapa langkah. Dan untung saja tidak ada apa-apa di belakangnya, sehingga pria itu tidak terluka.Mendapat gigitan cinta yang berlebihan, Gavin hanya memandang Krista dengan ekspresi yang tidak biasa tanpa sed
Suara kerincing dari mainan kunci yang terdengar di luar kamar membuat Krista menoleh ke arah sumber suara. Dia hendak menyuruh siapa pun di depan sana untuk tidak masuk saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Gavin hadir di ambang pintu dengan satu tangan di saku celana sedang mata memandang lurus ke arahnya.Seketika Krista terduduk di atas kasur dengan selimut melilit tubuh.“Mau apa lagi kau ke sini?” tanya gadis itu sengit sembari mendelik tajam.Gavin tidak menjawab dan dengan sikap diam dia menutup pintu di balik tubuh, mengurung mereka dalam kamar yang berukuran kotak sepatu.Pria itu melangkah masuk sembari menatap sekitar, pada lukisan dan beberapa vas kosong di atas meja yang dia yakini pernah diisi bunga-bunga pemberiannya.“Gavin!” geram Krista kesal sembari menyibak selimut yang menunjukan piyama yang dia pakai dengan tali satu dan memamerkan beberapa bagian tubuh.Mata pria itu langsung beralih
Ketika air matanya mulai mengering, Krista pun mengangkat kepala yang rebah dari dada Gavin.“Kau mau tahu sesuatu?” tanya Gavin dengan senyum samar, yang membuat Krista hanya menatap datar dengan wajah sembab.Pria itu membantu untuk mengusap pipinya yang penuh akan jejak air mata, sisa-sisa tangis yang sebenarnya masih belum reda.“Selama kita bersama, aku tidak pernah benar-benar dengan wanita lain.”Begitu perkataan tersebut keluar dari mulut pria di hadapan, tangan Krista seketika naik ke udara dengan ancang-ancang hendak menampar yang dengan cepat Gavin tahan.“Jangan mengatakan suatu kebohongan padaku!” desis Krista dengan sedikit meninggikan suara.Mata basah gadis itu pun berubah menjadi bara amarah yang terlihat berkilat-kilat.Melihat ekspresinya, sudut bibir Gavin berkedut sedang tatapan pria itu menunjukan bahwa dia berkata sebuah kebenaran.“Aku tidak berbohong, Little Gir
“Ayah … ku?” tanya Gadis itu dengan pandangan kosong sedang mata mengedip beberapa kali.Gavin hanya diam, dan tidak langsung menjawab. Sengaja menunggu Krista untuk tersadar dari keadaan trans.“A-ayahku … memintamu? Ba-bagaimana …?”Keheningan menyelimuti kamar tersebut, dan rasa sesak membuat Krista meremas dada Gavin keras. Hingga pada akhirnya gadis itu menangis dengan kepala menunduk.Pria itu menahan ringisan, namun sesekali tangannya menyapu rambut Krista yang terjatuh menutupi wajah.“Ayahmu bilang; ‘Aku ingin puteriku tumbuh menjadi gadis mandiri dengan pendidikan bagus dan mencapai mimpi setinggi-tingginya ketika berada di luar sana, karena dia memiliki kesempatan untuk menikmati masa muda selagi mencari cita-cita yang sebenarnya’ sehingga aku pun menuruti keinginan seorang Ayah yang sangat mencintai puterinya.”Seketika kepala Krista terangkat, dan dia menatap l
Krista mempercepat langkah saat menelusuri koridor asrama.Baru saja Gavin mengantarnya pulang sampai parkiran, dan dengan bersikeras dia melarang pria itu untuk ikut ke dalam.Benar-benar tidak habis pikir, bagaimana pria itu memperlakukannya akhir-akhir ini. Manis dan penuh perhatian, jauh berbeda saat awal mereka bersama.“Kurasa dia memiliki kepribadian ganda,” sungut Krista sembari menghentakkan kaki ke lantai. “Jika tidak, bagaimana mungkin dia bersikap sangat manis. Dan apa-apaan penjelasan tentang Ayah yang memintanya untuk menolakku ke prom night?”Jauh dalam lubuk hati, Krista merasa semua itu tidak masuk akal. Ayahnya bukanlah pria seperti itu.Sembari menggeram kesal, dia setengah berlari untuk tiba di kamar secepatnya. Namun, langkahnya terhenti saat tiba-tiba dia melihat Evan tengah berdiri dengan posisi tubuh bersandar di dinding dekat pintu.Pria itu menoleh saat menyadari kehadirannya.“S
Setibanya di kampus, Krista jadi lebih banyak melamun. Bahkan, Linda yang mengajaknya untuk makan di kafe terdekat ditolak begitu saja.“Aku tahu kau sedang patah hati, tapi mengurung diri di kamar sampai berhari-hari bukanlah sesuatu yang baik.”Krista tersenyum lemah mendengar sindiran barusan.“Jauh lebih baik aku mengurung diri daripada mencari pria-pria di luar sana hanya untuk melupakan satu pria.”Seketika dia mendapat pukulan di bahu.“Ouch!” ringisnya yang tidak Linda dengarkan.Ketika Krista hendak melempar suatu hal yang menyinggung, tiba-tiba saja dia terdiam begitu melihat Evan melintas di hadapan. Anehnya, pria itu tidak menyapa seperti biasa dan hanya lewat begitu saja. Seolah dia tidak melihat Krista saat itu.“Ada apa dengannya?” tanya Linda yang ternyata menyadari kejanggalan hal tersebut.Merasa perlu untuk memastikan sesuatu, Krista pun menyusul Evan yang henda
Krista menimang-nimang uang satu cent di tangan. Lama dia terdiam sembari berpikir cukup dalam, sebelum akhirnya gadis itu menarik napas panjang dan membuat panggilan pada seseorang.Saat dering ke dua berbunyi, terdengar sapaan dari seberang.“Kupikir kau tidak akan menghubungi lagi,” kata Jaxon dengan suara yang menunjukkan kelegaan, sedikit membuat Krista merasa bersalah.“Kenapa kau berpikir seperti itu?” tanya gadis itu sembari berjalan menelusuri taman.“Karena ada Gavin yang menjagamu di sana,” ucap Jaxon yang membuat langkah Krista terhenti.Gadis itu menatap langit yang mulai gelap. Dan dia bisa merasakan keberadaan Gavin di sekitar.“Aku tidak menerima kedatangan pria itu dengan tangan terbuka,” balas Krista sembari melanjutkan langkah. Uang satu cent di tangannya tampak berkilau di bawah lampu jalan.Terdengar suara tawa dari seberang. Dia yakin Jaxon sangat terhibur mendengar
“Aku tidak bisa melakukannya,” jawab Jaxon dari seberang sambungan, membuat Krista terdiam seketika.Detak jantung gadis itu memompa cepat hingga keringat dingin membasahi telapak tangan.Susah payah Krista menata diri akan rasa tidak percaya yang perlahan menguasai.Saat dia hendak bertanya alasannya, pria itu pun menjawab dengan sendirinya.“Dengar, aku tahu bahwa kita punya kesepakatan, tapi untuk masalah ini aku benar-benar tidak bisa membantu. Kau bisa saja meminta yang lain, tapi kali ini aku angkat tangan.”Pembicaraan keduanya pun menjadi hening. Dan saat itulah Krista dapat mendengar suara serangga yang berasal dari danau di taman.Kini, matanya menatap lurus, pada siluet pria yang sabar menunggu di ujung jalan.Bila saja dia meneriakkan nama pria itu, maukah dia berlari ke tempatnya berdiri?Merasa diperhatikan, Gavin memiringkan kepala dan balas menatap dengan seksama. Seolah-olah dia me