Setibanya di basement hotel, Krista melirik Gavin tajam.
“Aku tidak akan masuk ke dalam sana,” desis gadis itu sembari berusaha keluar dan berniat untuk mencari kereta bawah tanah, tetapi pintu yang berusaha dia buka tidak juga bergerak seinci, membuatnya menggeram frustrasi. “Keluarkan aku!”
Untuk sesaat Gavin diam memerhatikan Krista yang kesulitan dan beberapa kali memukul jendela kaca menggunakan telapak tangan dengan keras.
“Aku mau keluar!”
Mendengar jeritan keras gadis itu yang diikuti suara bergetar hendak menangis, Gavin pun menghela napas panjang dan membuka pintu, sebelum akhirnya keluar dari sana dan memutari mobil, lalu berdiri di depan pintu di mana Krista berada.
Melihat gadis itu terus memukul kaca jendela, Gavin pun mengeluarkan Krista yang seketika menghambur keluar dan berjalan cepat untuk menghindarinya.
“Urusan kita belum selesai,” ucap Gavin sembari menarik tangan gadis it
Pandangan Gavin lurus ke depan, sedang kedua tangan menggenggam erat pada pembatas rooftop. Dari ketinggian ini, dia dapat menikmati suguhan pemandangan sore Kota Boston yang terbentang di hadapan.Beberapa kali dia menghela napas, dan juga menyugar rambut sebanyak itu pula."Shit," umpatnya sembari menghembuskan napas keras, kemudian menyesap air mineral dari botol yang dia bawa ke atap gedung hotel.Fokus Gavin kembali pada ingatan seorang gadis yang masih tidur di atas kasur dalam kamar yang dia sewa sementara.Ketika Gavin hendak menyesap minumannya kembali, tiba-tiba saja ponsel yang berada di saku celana berdering nyaring dan nama
Krista terbangun saat dia merasakan hangat tubuh seseorang tengah membungkusnya. Seketika gadis itu berputar cepat untuk berbalik badan dan melihat siapa yang memeluk dari belakang.Mata gadis dua puluh satu itu mengerjab-ngerjab hingga bulu mata lentiknya mengipas wajah begitu mendapati sosok pria berwajah rupawan yang terlelap di hadapan.Awalnya Krista hanya terdiam, memandangi pria yang mendengkur halus. Gurat wajah tampannya membuat Krista ingin meraba setiap lekuk yang membingkai dengan sempurna.Namun, dia pun menepis perasaan itu ketika ingatan banyak wanita mungkin telah melakukannya lebih dulu, membuat Krista meremas dada yang terasa n
Mata Krista yang basah menatap Gavin lekat. Dia bahkan tidak tahu harus berbuat apa pada pria yang telah berkali-kali membuat hatinya pecah berkeping-keping.“Tidak perlu peduli padaku,” ucap Krista sembari menarik tangan yang berada dalam genggaman hangat pria itu.“Aku tahu kau merasa nyeri di sini,” ucap Gavin dengan suara sedikit serak sembari menghembus pelan-pelan permukaan kulit Krista yang masih berdenyut akibat tamparan tadi.Rasanya hati Krista seperti diremas begitu perhatiannya teralih ke wajah rupawan yang berusaha meredakan nyeri bekas tamparan tadi. Bahkan, alam bawah sadarnya ingin mengelus pipi pria itu yang memerah bekas jejak telapak tangan. Namun dengan cepat dia menepis semua perasaan itu.“Mengapa kau tidak menjauh saja seperti tiga tahun ini,” bisik Krista dengan nada suara berderak dan bibir bergetar.Dia tidak kuat membendung air mata yang perlahan berlinang jatuh ke atas tangan mereka ke
Wajah Gavin seketika basah karena tiba-tiba saja wanita di hadapan menyiramnya dengan air mineral di depan semua orang. Untuk sesaat pria itu terpaku.Atmosfir di sekitar dengan sangat cepat berubah menjadi tegang.Dalam posisi berdiri, Krista memegang erat gelas yang berada dalam genggaman, di mana benda berbahan kaca tersebut menggantung di sisi tubuh sedang matanya sembab dengan manik mata bergetar ketika menatap pria di hadapan.Terdengar suara terkesiap dari segala arah, namun tidak mereka pedulikan.Setelah menarik napas, perlahan-lahan Gavin membuka kelopak mata yang tadi sempat tertutup karena refleks tubuh. Dia berkedip beberapa kali, sebelum akhirnya mata Gavin terbiasa dengan air di sekitar wajah.Pria itu tidak mengulas senyum, tidak pula terlihat marah. Ekspresinya sangat datar, tanpa ada emosi mengitari.Pandangan Gavin pun terarah pada gadis bertatapan melankolis di depannya begitu dia menyadari apa yang sedang terjadi.
Ketika pagi tiba, Krista membuka mata dengan pandangan bingung ke segala arah. Dia mendapati diri berada di kamar yang terasa asing. Seketika dia berada dalam keadaan de ja vu, terutama ketika sebuah tangan kekar memeluk dari belakang.“Gavin?” panggil Krista dengan nada suara sedikit bergetar. Berharap dia tidak berada di atas ranjang pria asing.“Hmm,” gumam pria itu, masih dalam keadaan mata terpejam.Mendengar suara maskulinnya, seketika perasaan lega memenuhi dada. Dan tanpa sadar dia mengelus permukaan lengan yang masih memeluk tubuhnya erat.“Apa kau tidak ada kuliah?” tanya pria itu dengan suara serak bangun tidur, sedang pelukannya semakin kuat, dan tanpa aba-aba Gavin menarik Krista hingga mendekati badan, sementara hidung pria itu mengendus tepat di balik telinga dan sepanjang leher bagian belakang.“Berhenti mengendusku!” geram Krista dengan suara rendah.Dia berusaha menjauhi
Perkataan Gavin pagi itu masih terngiang-ngiang di telinga, membuat Krista beberapa kali mencuri lihat pada pria yang menyetir di sebelah. Bahkan, dia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka saat ini.Belum lagi pria itu mengatakan sedang mencari pendamping dan menanyakan lamaran yang pernah dia ucap saat masih berusia tiga belas.Saat ini barulah Krista sadari, dia sangat percaya diri pada usianya yang sangat muda.“Berhenti menatap wajahku, Krista,” ucap pria itu masih dengan fokus ke depan, pada jalanan yang padat merayap.Tanpa mengatakan apa-apa, Krista pun mengalihkan pandangan ke luar jendela.Untungnya ada musik yang berputar dari radio sehingga suasana tidak terasa canggung. Namun, karena tidak ada topik pembicaraan, akhirnya Krista pun mencoba untuk sedikit bersuara. Setidaknya cukup untuk mengisi kekosongan di antara mereka.“Kapan kau akan kembali ke Denver?”Gavin hanya melirik
Gavin memperdalam ciuman dan dia pun memegangi kepala Krista bagian belakang untuk memberinya akses lebih mudah dan menahan gadis itu agar tidak bergerak menjauh, sedang tangan satunya mulai meraba pinggang dan panggulnya yang ramping.Begitu merasakan sentuhan di tubuh bagian bawah, barulah Krista tersadar dan tanpa diduga dia pun melakukan sesuatu yang menyakiti pria itu.Seketika Gavin merasakan bau amis darah yang menyebar di mulut saat gadis itu menggigit bibirnya yang berubah menjadi merah.Mata Gavin pun membuka cepat begitu merasakan sakit yang menyengat.Dalam sekejap tautan mulut keduanya terlepas. Dia tidak mengira Krista melakukan yang baru saja.Melihat ada celah untuk bebas, Krista pun mendorong dada Gavin untuk mundur beberapa langkah. Dan untung saja tidak ada apa-apa di belakangnya, sehingga pria itu tidak terluka.Mendapat gigitan cinta yang berlebihan, Gavin hanya memandang Krista dengan ekspresi yang tidak biasa tanpa sed
Suara kerincing dari mainan kunci yang terdengar di luar kamar membuat Krista menoleh ke arah sumber suara. Dia hendak menyuruh siapa pun di depan sana untuk tidak masuk saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Gavin hadir di ambang pintu dengan satu tangan di saku celana sedang mata memandang lurus ke arahnya.Seketika Krista terduduk di atas kasur dengan selimut melilit tubuh.“Mau apa lagi kau ke sini?” tanya gadis itu sengit sembari mendelik tajam.Gavin tidak menjawab dan dengan sikap diam dia menutup pintu di balik tubuh, mengurung mereka dalam kamar yang berukuran kotak sepatu.Pria itu melangkah masuk sembari menatap sekitar, pada lukisan dan beberapa vas kosong di atas meja yang dia yakini pernah diisi bunga-bunga pemberiannya.“Gavin!” geram Krista kesal sembari menyibak selimut yang menunjukan piyama yang dia pakai dengan tali satu dan memamerkan beberapa bagian tubuh.Mata pria itu langsung beralih