Share

3. Tanda Tangan Dewi Kematian.

“Maaf, Kak, kami harus pergi, udah disuruh kumpul,” ujar Maria berusaha untuk tidak berurusan dengan Lisa. Tangan Maria dan Helva saling menggenggam.

“Nggak semua itu. Lo kira gue mau? Jangan mimpi ya,” timpal Lisa garang yang membuat kedua gadis itu tak bisa membantah, hanya berharap dalam hati ada seseorang yang datang menyelamatkan.

Namun, sepertinya itu hanya harapan kosong karena berikutnya salah satu teman Lisa mengambil paksa buku mereka lalu memberikannya pada gadis itu. Helva ingin protes rapi dibungkam salah satu dari mereka, pun dengan Maria.

“Punya lo aman,” katanya setelah melihat buku Maria yang isi tanda tangannya berbeda dari Helva. Seringai Lisa muncul kala akhirnya dia mendapati satu tanda tangan yang dia cari. “Tapi lo … sayang,” ujarnya dengan dramatis lalu membubuhkan tanda tangan dengan tanda kematian di sana.

Clalisa Mia, anggota panitia dari jurusan seni berserta tanda tangan yang meliuk mirip cambuk. Dia bahkan melemparkan buku itu ke Helva lalu melenggang dengan angkuhnya.

Helva hanya mampu terdiam melihat tanda tangan itu. Artinya, dia beneran tidak akan dapat poin apa pun selama OSPEK, bukan? Yah, tanda tangan Lisa tampak begitu merajai halaman bukunya, memperjelas bahwa dia sudah mati!

Maria mengusap lengan Helva prihatin. Bila Lisa sudah memberikan itu, artinya Helva tidak bisa selamat. Separah itukah?

“Yang sabar, Hel,” ucap Maria menghibur.

“Nggak apa-apa, kok, yuk, kita ke lapangan,” ajaknya berusaha untuk tersenyum meskipun hatinya terasa sakit. Salah apakah dia sampai segitunya Lisa bertindak, padahal, selama ini, sekalipun tak pernah berhubungan dengan genk gadis itu. Tapi sekarang, apa yang akan terjadi padanya?

Sementara di sisi lain, seorang gadis yang juga mengenakan atribut OSPEK tampak menatap kasihan Helva yang murung. Dia juga tahu apa arti tanda tangan Lisa, dan tidak ada yang mau mendapatkannya. Namun, Lisa suka seenaknya tanpa alasan. Dia bergegas menghampiri Maria.

“Ria!” panggilnya dari belakang. Maria menoleh. “Tungguin, dong,” ujarnya sambil mendekat dengan senyuman di wajahnya.

Gadis cantik dengan lesung pipi yang manis itu tak lupa menyapa Helva, bahkan memperkenalkan dirinya sebagai teman Maria.

“Kenapa wajahmu murung gitu, Helva?” tanyanya berusaha untuk mendapat jawaban meskipun dia sudah tahu apa yang terjadi.

Helva hanya menarik napasnya saja, tersenyum menanggapinya. Gadis itu namanya Desty.

“Nggak apa-apa, kok,” ucapnya sambil tersenyum seriang mungkin.

Tapi Maria tahu tidak begitu. Maria kenal baik Helva meskipun kebersamaan mereka masih terbilang baru. Tiba-tiba saja mata Maria berbinar, dia menatap Desty.

“Des, kamu bisa bantu, kan, ya?” tanyanya sambil menyentuh tangan Desty. Gadis itu menatapnya pun Helva. “Aku tahu siapa yang bisa menyelamatkan kamu, Helva,” ujarnya semringah.

Helva menatap Maria tak mengerti tapi gadis itu justru menatap Desty yang sepertinya menangkap maksud Maria dengan cepat.

***

Di sinilah ketiga gadis itu kini berada dengan tiga pria di hadapan mereka. Saling tatap, hanya Helva yang sama sekali tidak paham dengan rencana Desty dan Maria, mengapa membawanya menghadap tiga pria itu hanya untuk menyelamatkannya.

“Please, Kak, waktu kami nggak banyak,” buju Desty untuk kesekiannya.

“Memangnya kenapa dapat tanda tangan Lisa? Itu artinya lo udah tamat, jangan ngelak lo,” timpal salah satu dari mereka.

“Kak Martin pelit amat, sih, tega bener jadi senior,” kata Desty.

Martin, pria yang disebutkan Clara sebagai pangeran ketiga itu mendesah tak percaya dengan tanggapan Desty. Dih, mentang-mentang gadis itu dekat malah berlaku tidak sopan.

Bukannya ikut membuju tiga pria itu, Helva justru mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut bangunan yang disulap menjadi sebuah ruangan mirip kamar. Dari Maria dia akhirnya tahu kalau itu markas tiga pangeran.

“Ayolah, Kak, bisa, kan, ya?” Destu membali membujuk, bahkan memegangi tangan salah satu dari mereka yang sejak tadi hanya menampilkan wajah dasar.

“Dia udah dapat tanda tangan dewi kematian, memangnya siapa yang bisa selametin dia? Dewi Fortuna? Jangan gila kamu, Des,” ujar Martin tetap tidak sependapat dengan pemikiran Desty.

“Aku minta bukan ke Kak Martin jadi mending diem aja, deh,” balas Desty ketus. Martin melotot tak terima.

Mengetahui itu tidaklah mudah, Helva akhirnya angkat bicara dan membujuk Desty.

“Udah, Desty, nggak apa-apa, kok. Kita balik aja, yuk, datang tepat waktu lebih baik dari pada ini,” katanya.

“Nah betul! Lo tahu juga. Di sini cuma buang-buang waktu saja, jadi mending, sana, balik.” Martin tampak senang dengan pemikiran Helva berbeda dengan dua temannya yang tetap diam.

“Kak Martin jahat amat, sih.”

“Udah, Desty, nggak apa-apa, kok.” Helva membujuk Desty untuk pergi saja dari sana, bahkan meminta Maria untuk menunjukkan jalannya setelah membujuknya.

Helva berhasil membujuk Desty karena dua pria itu hanya diam saja, hanya Martin yang menolak keras menandatanganinya.

“Ayolah, Kak, sekali ini aja bantuin aku, ya.” Desty kembali lagi dan memohon pada pria dengan raut wajah dingin itu.

Hanya seraut wajah datar tanpa ekspresi apa pun, bahkan menatap Desty tajam yang membuat Helva jadi merasa bersalah mengira tatapan itu adalah penolakan. Helva tidak tahu siapa pria itu, apa hubungan antara Desty dengan mereka.

Pria dengan postur tubuh yang tinggi itu bangun dari duduknya meraih tangan Desty agar berdiri tapi tak mengatakan apa pun lalu menghampiri Helva yang hanya mampu terdiam, mulai gugup dengan tatapan itu.

Apa yang akan terjadi padany sekarang? Salah apa dia sampai tidak beruntung di hari terakhir masa osientasinya sebagai mahasiswa baru, padahal, sejauh ini tidak terlibat masalah dengan siapa pun, dan Helva tidak mengerti itu.

Sepertinya dia memang tidak tahu apa pun tentang kampusnya sekarang. Dia hanya bersyukur bisa meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi meskipun bukan di kampus idamannya. Mendengar ada yang mampu membiayainya saja dia sudah lebih dari bersyukur, bahkan, terbesit dalam benak untuk membalas kebaikan orang tersebut. Namun, sepertinya masa perkuliahannya tidak akan semulus itu. Mungkinkah takdir telah tergariskan sebuah kehidupan yang penuh liku untuknya? Entah, yang pasti, Helva tidak mengetahui apa pun.  

 Ah, Helva akhirnya ingat pria itu, yang terakhir disebutkan oleh Clara. Namanya, mata Helva terpejam sesaat untuk mengingat sosok yang kini berdiri tepat di hadapannya. Harri Steven!

Tubuhnya kaku kala tatapan itu semakin menusuk padanya. Dalam hidupnya, Helva selalu menghindari masalah, berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlibat dengan siapa pun, tetapi, justru masalah yang menghampirinya, membuat gadis itu mau tak mau terlibat.

“Helva … nama lo?” tanyanya dengan nada dingin.

Helva mengangguk kaku, mengiyakan pertanyaan pria itu yang membaca namanya di papan nama terbuat dari kertas karton.

Tangan Steven terulur ke hadapannya dengan tatapan yang masih menusuk tepat pada manik Helva yang hanya mampu bergeming, terpaku pada sosrot tajam itu tanpa menyadari apa yang dilakukan Steven.

Namun, baik Steven ataupun Helva tidak menyadari bila takdir telah bekerja.

****

Terima kasih sudah baca, semoga suka dan jangan lupa tinggalkan jejaknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status