Share

6.Perjodohan

Helva baru saja keluar dari kamarnya untuk makan malam. Sang ibu sedang sibuk di bawah, melayani pengunjung yang hedak makan di rumah makan sederhananya. Setidaknya mereka bisa bertahan hidup dengan itu. Biasanya Helva juga suka membantu, tapi hari ini ibu meminta untuk istirahat saja karena ada yang ingin disampaikan. 

Dia adalah gadis rajin dan sederhana. Usai makan dia mencuci bekasnya sendiri, membereskan apa pun sebagai pengusir bosan meski kenyataannya rumah itu selalu dalam keadaan rapi dan bersih. Senyuman hadir begitu menatap sebuah bingkai yang tergantung di dinding. 

“Ayah, aku rindu,” ucapnya pelan. 

Foto itu telah lama tergantung, saat Helva masih terbilang anak-anak, bahkan adiknya masih kecil saat itu. Ada kakek dan nenek juga di bingkai yang tergantung, saat bahagia yang dia rasakan. Perlahan, air matanya turun lewat sudut pelupuk, menetes ke tangannya. 

Siapa yang tidak merindukan keluarga yang lengkap? Usia sepuluh tahun, adalah masa di mana seorang anak butuh kasih sayang dan perhatian lengkap dari keluarga. Namun, saat itu, takdir seolah ingin menunjukkan bahwa ada yang lebih berkuasa atas hidup. 

“Maaf, belum bisa bahagiakan Mama, Yah. Tapi aku berusaha untuk melakukan yang terbaik, mempertahankan apa yang kita miliki sekarang,” gumamnya dengan pandangan yang tertuju pada sosok ayah dalam bingkai, di atas bupet. Ada beberapa pigura di sana, termasuk dirinya. 

Diusapnya perlahan sosok pria yang tersenyum hangat dengan tatapan penuh kasih sayang. Helva merindukannya, selalu. Namun, sekali lagi, takdir ingin dia berjuang untuk mencari cara agar bisa bertahan. 

Krek. 

Suara pintu yang terbuka membuat Helva buru-buru mengais tetesan air matanya dan menoleh lalu tersenyum begitu melihat sang ibu datang.

“Udah selesai?” tanya Helva mendekati sang ibu yang tampak tersenyum, menyembunyikan gurat lelahnya. 

“Ya, sudah. Adikmu mana?” tanyanya setelah mendudukkan diri di sofa sederhana itu. 

Helva mendekat dan duduk di samping wanita yang telah melahirkannya dengan penuh perjuangan itu, lalu memijit bahu sang ibu. 

“Tadi katanya ngantuk, makanya tidur dualuan. Udah nyenyak dia,” jawabnya. 

Senyum hangat penuh keibuan itu tersunging, menganggukkan kepala sambil menikmati pijitan Helva yang bercerita bagaimana kesehariannya sebagai mahasiswa baru, dan mengabarkan kalau dia resmi menjadi mahasiswi mulai besok. Sang ibu tersenyum, ikut bahagia dan menanggapi celoteh ringan dari Helva. 

Meski tak lagi ada sosok pria yang memimpin keluarganya, ibu teta bersyukur karena dikaruniai anak yang begitu berbakti. 

“Oh iya, Ma. Aku besok pulang telat, ada yang harus kukerjakan,” ujar Helva. Dia menghentikan pijatannya dan duduk bersila di samping sang ibu. 

“Apa yang kamu kerjakan itu?” tanya Heni, ibunya Helva. 

“Ada saja,” balas Helva dengan gelagat yang aneh. 

Tatapan itu menelisik seolah bisa menangkap gelagat anaknya itu, tapi kemudian memilih tersenyum daripada membuat keresahannya semakin banyak. Ada hal yang harus disampaikan juga pada Helva. Usia gadis itu delapan belas lewat, jadi sudah semestinya mengerti apa yang akan dikatakannya itu.

“Helva,” panggilnya lembut sambil memosisikan diri menghadap putri sulungnya itu. 

“Hm.” Helva membalas. 

Heni meraih tangan Helva setelah menatap lamat putrinya itu. Mengusap pelan punggung tangannya, memberi kehangatan. Apa yang hendak disampaikannya seolah sulit, maka Heni memilih diam beberapa saat, berpikir apa yang harus dia sampaikan.

Helva memperhatikan sang ibu yang menundukkan kepalanya, mengusap tangannya lembut. Dia tahu ada yang ingin disampaikan Heni tapi tetap diam agar sang ibu leluasa mengungkapkannya.

Setelah puas diam, Heni akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Helva lamat. 

“Helva, tolong dengarkan Mama, ya, dan jangan marah,” ucapnya lembut. 

“Iya, Ma. Ada apa?” tanya Helva mulai penasaran juga dengan apa yang akan dikatakan ibunya. Dilihat dari raut wajah wanita itu yang tampak serah, Helva mulai merasa tidak enak. 

“Kamu … sebenarnya,” ucapan Heni terpotong, kesulitan untuk menyampaikan. 

“Ada apa, Ma?” 

Tatapan Heni tertuju pada putrinya, jelas ada yang mengganggu pikiran ibunya. Heni sendiri menelan ludahnya, membasahi kerongkongan agar bisa mengatakannya dengan baik.

“Sebenarnya, kamu … telah ditunangkan,” ucap Heni sambil menutup matanya. 

“Apa?” Bukannya terkejut karena marah, Helva bingung, tak paham dengan maksud sang ibu. “Apa maksud Mama?” tanyanya menuntut. 

Heni membuka matanya perlahan, kembali menatap sang putri. Menarik napasnya panjang, bersiap untuk menyampaikan selebihnya. 

“Kamu, telah di jodohkan dengan seseorang, Helva,” ungkapnya. 

Mata Helva mengerjap, terkejut. Di jodohkan? Hah, yang benar saja. usianya baru melewati Sembilan belas dua bulan lalu dalam keadaan jomlo, dan kini justru sang ibu mengungkapkan kalau telah di jodohkan? Ah, konyol sekali. 

“Mama ….”

“Ya. Mama tahu. Tapi ini saatnya kamu tahu, Helva. Usiamu sudah Sembilan belas, sudah waktunya Mama menjelaskannya.”

“Maksud Mama?”

Helva masih belum mengerti. Atas dasar apa dia di jodohkan dengan seseorang yang tak dia kenal? Ah, ayolah, ini bukan jaman Siti Nurbaya, kenapa harus ada perjodohan? Kuno sekali. 

“Kamu … telah di jodohkan dengan cucu sahabatnya Kakek, seseorang yang ditolong Ayah,” jelas Heni tapi tetap ambigu. 

“Mama bercanda, bukan? Tidak mungkin aku … M-mama pasti tahu, aku tidak ingin terikat dengan siapa pun sebelum menyelesaikan study,” kata Helva. Dia kebingungan, menyampaikan niatnya yang berulang kali dia sampaikan. 

Benar, Helva hanya ingin fokus dalam study dan meraih gelar sarjana lalu mendapat pekerjaan untuk menebus beberapa utang yang dibebankan pada keluarganya itu. 

Heni diam, dia tahu benar. Tapi, apalah dayanya bila perjanjian itu telah melekat di atas sebuah kertas putih. Tak bisa dielakkan lagi, tak bisa di gugat juga meskipun tak memaksa pihaknya. Namun, sebagai penghargaan dan niat baik dari sahabat kakeknya Helva. Mata Heni terpejam kala ingatan tentang sosok itu yang berlutut di hadapannya, memohon segala hal yang telah terjadi, mulai dari penyelamatan, lalu pengorbanan, dan janji. 

“Mama, kenapa diam? Katakan sesuatu untuk membatalkan perjodohan itu. Aku tidak mau, Ma. Aku sungguh tidak siap terikat dengan seseorang,” kata Helva mengguncang tubuh sang ibu yang hanya mampu diam. 

“Mama tau, Helva, Mama tau. Tapi, Mama tidak bisa membatalkannya,” aku Heni. 

“Tidak mungkin! Bagaimana bisa tiba-tiba aku di jodohkan padahal sama sekali tidak ingat apa pun tentang masa kecil setelah Ayah pergi,” ceracau Helva. Dia menangkup wajahnya, mengacak rambut bingung dan sulit untuk menerima kabar itu. 

“Helva, dengarkan Mama,” ucap Heni. Berusaha untuk menjelaskannya lagi pada Helva tapi gadis itu menolaknya dengan menepis tangan sang ibu. 

“Aku tidak mau dengar. Tolong jangan paksa aku, Mama! Aku tidak mau.” Helva menolak penjelasan Heni. 

Siapa yang bisa menerima pernyataan mendadak seperti itu? Siapa yang bisa menerima kabar itu? Rasanya dunia telah runtuh begitu mendengar perjodohan atas dirinya. Oh Tuhan.

“Mama tidak punya pilihan dan tidak bisa menolaknya. Tapi kamu bisa,” ujar Heni dengan suara yang sedikit meninggi agar menembus tameng di telinga Helva yang menolak mendengarkan keelanjutan penjelasan ibunya.

Helva terdiam, mencerna apa yang dikatakan ibunya barusan. Apakah itu berarti Helva bisa menolaknya bila ibunya tidak? Perlahan kembali menatap ibunya untuk memastikan.

“Benarkah?” tanyanya. 

Heni mengangguk dengan kedua mata yang tertutup, dan diam-diam air matanya lolos dari pelupuknya. 

Apakah memang bisa menolak perjodohan itu atau hanya sebagai pengalihan semata saja agar Helva mau mendengarkan apa yanh akan disampaikan Heni selanjutnya? Siapakah gerangan yang menjadi calon bagi Helva?

***

Yuk tetap baca bab berikutnya. Terima kasih, semoga suka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status