Share

5. Di Balik Surat Wasiat

Steven membaringkan tubuhnya di kasur, pandangannya tertuju pada langit-langit kamar. Dia tak menggubris ketukan di pintu, hanya nggan meneruskan percakapan yang menurutnya tak penting, hanya akan membuatnya bimbang. Dia tidak terima, jelaslah, menurutnya, sistem perjodohan itu terlalu kuno.

Namun, sebuah bayangan seraut wajah membuatnya terdiam. Dia mendudukkan tubuhnya, heran dengan pikirannya, mengapa tiba-tiba ingat dengan wajah gadis itu.

“Helva Anriani,” gumamnya dengan kedua alis yang tertaut. “Sejak kapan aku bisa mengingat nama seseorang dalam sekali pertemuan, bahkan ingat namanya dengan lengkap,” katanya tak mengerti. “Astaga, sudahlah.”

Dia bangkit dari kasurnya, jemarinya perlahan membuka satu persatu kancing kemeja, memamerkan perut kotak-kotak yang tercetak jelas. Sepertinya dia rajin olahraga. Steven melangkah ke kamar mandi, berguyur di bawah air shower yang mengalir deras sambil memejamkan matanya.

Bayangan tentang pernyataan nenek bahwa telah ditetapkan pendamping untuknya hadir dalam pikiran. Sekelebar bayangan senyuman sang kakek yang amat dia sayangi, hadir dalam benaknya. Senyuman sang kekasih pun itu hadir membuat Steven membuka mata. Dia menarik napas, mematikan air shower dan menatap pantulan dirinya di cermin. Apakah memang seperti itu nasib sang terpilih?

Steven segera meraih handuk begitu selesai mandi, melilitkannya ke tubuh, membiarkan dada bagian atasnya terekspos bebas, memamerkan ototnya yang kuat. Dia berjalan ke ruang pakaiannya, mengambil baju santai. Dia hanya mengenakan celana hitam selutut dengan kaos putih bergaris.

“Ya.”

Dia menyahut saat seseorang mengetuk pintu kamarnya.

Pintu bercat putih susu itu terbuka perlahan menampilkan sosok wanita yang sedikit mirip dengannya. Steven tak menggubris kedatagannya, dia hanya menatap pantulan diri di cermin, dan dari sana dia bisa melihat sosok itu duduk di kasurnya alih-alih sofa yang ada di sana.

“Kau ada perlu?” tanyanya dingin. Yah, Steven ingat saat sosok itu terkesan mendukung rencana bodoh itu.

“Ya, ada. Melihat adik sendiri, tidak boleh?” tanyanya santai.

Steven mendengkus sambil membalik badan lalu menyandar di meja rias dan menatap sang kakak.

“Kak Vie selalu begitu. Kata saja kalau memang ada yang ingin di sampaikan,” kata Steven tanpa raut wajah, hanya datar.

Stevie bangun dari rebahan, duduk, dan menatap sang adik yang jaraknya lumayan sedikit jauh dari tempatnya sekarang.

“Tidak ada yang penting, hanya ingin mengulang apa yang di sampaikan Oma,” katanya.

Kembali Steven mendengkus. Ada raut kesal kini di wajahnya yang di lihat Stevie sekilas. Stevie bangun dan mendekat pada Steven.

“Kamu bisa menolaknya, itu adalah kesempatanmu, Harri. Namun, satu hal yang harus kamu ketahui alasan Opa melakukan ini. Kita berutang besar pada keluarganya,” terang Stevie yang membuat Steven menatapnya.

“Maksud Kak Vie?” Mata elang Steven tertuju pada sang kakak, menuntut penjelasan lebih.

Bukannya menjawab, Stevie malah duduk di sofa lalu menumpukan kakinya. Pandangan dia terakah ke depan lurus. Pikirannya penuh dengan segala hal yang pernah terjadi.

“Kamu mungkin tidak ingat, tapi itu adalah hal yang paling menyakitkan bagi keluarga kita. Mereka telah berkorban.” Stevie tidak menjelaskan, dia malah mengatakan sesuatu yang entah apa maksudnya.  

Berkorban untuk apa?

Steven tidak ingat sama sekali karena itulah dia membuang pandangan ke luar jendela.

“Kamu tidak akan ingat, sebab dari sanalah traumamu hadir, Harri,” ungkap Stevie yang membuat Steven berbalik terkejut.

“Trauma?”

“Ya. Kamu trauma naik bus, atau kendaraan umum lainnya, dan keramaian.” Stevie berdiri dari duduknya. “Kamu tidak akan ingat, tapi seseorang berkorban untuk menyelamatkanmu,” tambahnya. Dia melangkah mendekati sang adik.

Mata Steven terpejam, dia tidak bisa mengingat apa pun. Kenapa dia tidak begitu ingat dengan wajah yang menyelamatkannya. Dia memegangi kepalanya yang terasa berdenyut saat mencoba mengingat kejadian itu.

Stevie mengembuskan napas pelan melihatnya. Dia sudah tahu.

“Kamu tak perlu memaksakan diri, Harri. Jika memaksakan, itu hanya akan membuatmu lebih sakit,” terangnya. Lalu menyentuh lengan sang adik. “Itulah alasan kenapa Opa ingin kamu bertunangan dengannya. Omah tidak setuju, begitu juga kami pada awalnya. Namun, saat Opah mengatakan yang sebenarnya, tidak ada lagi alasan untuk menolak. Bahkan, Opah kita, membuktikan kalau keluarga itu bukanlah sembarangan,” jelas Stevie.

Hening. Stevie hanya mampu terdiam. Tapi kenapa harus dia? Cucu lelaki di keluarga ini bukan hanya dia, tapi kenapa ….

Stevie berbalik, pandangannya lurus ke luar jendela. Menerawang. Ya, hanya dia yang bisa mengatakannya pada sang adik. Tidak ada yang ingin mengusiknya dari sejak sang kakek pergi untuk selamanya. Bukan saja memiliki trauma masa lalu dalam diri Steven karena insiden, kepergian sang kakek mengubahnya menjadi pribadi yang dingin dan tertutup. Dia seolah tak tersentuh, dan mereka tahu kalau ada seseorang di sisi Steven, kekasihnya. Namun sayangnya, pria itu tidak tahu apa pun.

“Dan inilah alasan mengapa Omah memilih mengundur waktu. Sehausnya, pertunanngan ini terjadi saat kamu berusia delapan belas tahun. Seperti yang Omah katakan, kamu terlalu muda. Tapi sekarang,” Stevie menjeda, kembali membalik badan menghadapa sang adik yang menatapnya.

 “Sudah waktunya, Harri. Tapi bila kamu tidak bisa, silakan buat keputusan. Kami akan menerimanya, tetapi kamu harus melepaskan segalanya.” Stevie menegaskan.

Bukan saja sebagai kakak perempuan satu-satunya, Stevie juga merupakan dokter pribadi untuk Steven. Tidak ada yang lain meski keluarganya memiliki dokter pribadi. Tapi khusus untuk Steven, sang kakak adalah dokternya.

Tidak ada tanggapan dari Steven. Stevie menatapnya dalam.

“Pikirkanlah. Waktumu tiga hari. Kakak tahu, kamu mencintainya karena dialah yang mampu menggerakkan hatimu. Namun, apakah kamu tahu apa yang dia inginkan?”

Steven menatap sang kakak, tak paham apa maksudnya? Ada apa dengan kekasihnya itu.

“Hanya itu yang ingin Kakak sampaikan. Jadi, tolong, pikirkanlah. Kami menunggu keputusanmu dalam tiga hari. Bila kamu tidak juga memberikan jawaban, maka jangan protes karena kami mengambil keputusan sepihak.”

Tatapan Stevie mengunci mata elang sang adik, berharap dia mengerti dengan segala aturan yang telah dibuat oleh keluarga mereka. Meski tidak mudah, tapi itu adalah tradisi yang telah diturunkan dari leluhur mereka, sebelum sang kakek.

Tangan Stevie kini menyentuh lengan sang adik, mengusapnya pelan.

“Pikirkanlah. Kami tidak bisa membatalkannya hanya karena kamu ingin bersamanya. Kecuali, keputusanmu tegas, dan tidak ada keraguan apa pun. Omah bilang akan menerimanya. Namun, bila kamu ragu, maka jangan harap kami akan melakukannya untukmu, membatalkan pertunangan ini.”

Tidak ada yang bisa Steven lakukan atau katakan saat ini. Dia hanya diam, mencerna setiap kata yang disampaikan sang kakak. itu bukan ancaman tapi peringatan untuknya. Keluarganya tidak mungkin mengambil keputusan tanpa mematangkannya lebih dulu. Steven tahu, Nenek adalah wanita yang pendiriannya teguh. Yang selalu tegas mengambil keputusan, dan yang selalu di siplin. Jadi, untuk alasan apa bila Nenek membatalkan pertunangan ini. Bisa jadi, terlepas dari wasiat sang Kakek, ada sesuatu yang membuat Nenek tak bisa menariknya. Entah apa itu.

“Kamulah yang berutang, bukan yang lain, Harri. Jadi, terimalah. Jika kamu ingin tahu, maka ketahuilah dengan perlahan.”

Setelah itu Stevie memutuskan untuk keluar dari kamar, meninggalkan sang adik yang termenung memikirkan kata-kata sang kakak. Bisakah dia memilih?

****

Terima kasih sudah baca, semoga suka. Ikuti kisahnya di Bab selanjutnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status