Share

Dear Kakak Kelas ~ 3

"VICKY KAMU KE CLUB LAGI?!" Viona mulai emosi dengan kelakuan anaknya yang semakin rusak.

"Papa sama Mama nggak pernah ngajarin kamu buat ngelakuin hal ini. Tapi--"

"Cukup, Ma. Vicky capek."

Vicky menutup telinganya, ia pusing setengah mati jika Mamanya yang cerewet mulai berkokok.

Vicky langsung pergi ke lantai atas menuju ke kamarnya, kesal rasanya mendengar ocehan Viona dan Arga setiap hari. Ia menghembuskan napas beberapa kali dan menutup matanya di kasur.

Ia tersenyum kecil, mengingat besok hari Selasa yang artinya akan diadakan ulangan Matematika, dan banyak sekali tugas yang belum ia kerjakan. Tenang saja, ia akan mengandalkan Sandy, si cowok cupu kelas XI IPS 3 yang pintarnya gak ketulungan itu untuk menyalin tugasnya.

Saat hendak menutup mata, pikirannya melayang kepada seorang gadis cantik kelas X IPA 2. Entah kenapa rasanya berbeda saat menyentuh tangan gadis itu?

Tasya .. nama yang indah..

***

Mungkin mustahil bila Serigala bermain kelereng bersama Domba, atau Kucing ngedate bersama Tikus. Begitu juga dengan Tasya, sangat mustahil bin ajaib jika dirinya bangun pagi.

Dengan tegesa-gesa, Tasya berlari menuju kamar mandi untuk melaksanakan ritual mandi paginya. Setelat-telatnya Tasya, ia akan tetap mandi pagi karena mandi pagi baginya sangat menyegarkan tubuh.

Cuma membutuhkan waktu sepuluh menit, gadis itu selesai mandi. Ia segera mengenakan seragam putih abu-abunya, memakai sedikit bedak bayi dan lipbalm di bibir tipisnya. Untung saja Tasya sudah memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam tasnya tadi malam, jadi ia tidak perlu ambil pusing dengan buku lagi di saat-saat seperti ini. Ia segera memakai sepatu Vans hitam miliknya, kemudian mengambil tas dan bergegas untuk sarapan.

Saat sampai di ruang makan, pemandangan yang membuatnya kesal kembali hadir. Ya, dimana Vando-ayah Tasya, sedang mengotak-atik komputernya, sedangkan Sarah-ibu Tasya, sedang membolak-balikkan berkas. Pekerjaan selalu menjadi yang utama bagi mereka, seperti menomorduakan kasih sayang untuk anak perempuan milik mereka, Natasya Priskilla.

"Pagi, Ma, Pa." sapa Tasya sambil mencoba tersenyum paksa.

"Pagi, sayang." balas Sarah acuh, sedangkan Vando masih sibuk dengan komputernya.

"Pagi, Pa," sapa Tasya kepada Vando, berharap agar dibalas.

"Iya, Papa udah tau kalau hari ini udah pagi. Papa lagi sibuk, jadi jangan ganggu Papa!" ucap Vando dengan nada sedikit membentak. Dan parahnya lagi, Sarah bukan membela Tasya, melainkan kembali memperkuat pertahanan mereka.

"Iya, Sya. Papa sama Mama lagi sibuk, jadi kamu sarapan trus berangkat yah?" ucap Sarah.

Tanpa mereka sadari, air mata bening milik Tasya kini telah lolos keluar dari matanya.

"Tasya berangkat, nanti Tasya sarapan di sekolah."

Bukannya mencegah Tasya dan menyuruh sarapan, kedua pasangan suami istri itu masih tetap bergeming pada pekerjaannya. Sungguh orang tua idaman.

Tasya keluar dari rumah dengan sedikit berlari, karena ia tidak mau menangis di depan kedua orang tuanya. Ia tidak mau mengganggu pekerjaan mereka.

Tasya tampak mengambil sesuatu dari tasnya, dan kini ia telah mengeluarkan sebuah pisau cutter.

"Hari ini harus berhasil."

Tasya menghapus air matanya, berusaha untuk tetap tersenyum walau sebenarnya ada sejuta kesakitan dibalik senyum itu.

Tasya berjalan menuju ke halte, berniat untuk menunggu bus karena tidak mungkin ia berjalan kaki di saat jam sudah menunjukkan pukul 06.48.

Saat hampir mendekati halte, dirinya dihalang oleh dua preman bertato yang rambutnya diikat seperti Upin.

"Hai, cantik."

"Mau ke sekolah ya?"

Merasa keadaan sedang tidak baik, Tasya memilih untuk mundur beberapa langkah.

"Main sama abang dulu, yuk!"

"Sekali gak masuk sekolah gakpapa, kan?

Jantung Tasya semakin berdebar tak karuan di saat preman itu mencolek dagunya. "Mau apa kalian?!"

"Mau kamu, sayang," ucap preman itu.

Lari adalah pilihan yang tepat. Saat berbalik badan dan hendak lari, dirinya dikejutkan oleh seorang preman yang sudah mendekapnya, seolah memberikan kehangatan. Eh?

Ternyata preman itu bukan berjumlah dua orang, melainkan tiga.

"Kayanya masih enak ni, bos."

"Yoi sikat, bray!"

Bugh ..

Bugh ..

Bugh .. 

Tiba-tiba saja Tasya jatuh tersungkur ke aspal, membuat lututnya harus mengeluarkan cairan merah bening. Ia tidak merasakan adanya preman lagi. Kemana mereka?

Tiba-tiba sebuah tangan terulur ke arah Tasya, membuatnya harus mendongkakkan kepala melihat si sang empunya tangan.

"Bangun."

Tasya melotot saat dilihatnya orang yang kemarin menolongnya untuk masuk ke area sekolah melalui gerbang belakang.

Tasya meraih tangan cowok itu, kemudian berdiri dengan kesusahan karena lututnya yang berdarah.

"Tunggu di motor gue," perintah cowok itu, seakan memberikan perlindungan untuk Tasya.

Tasya hanya mengangguk dan mengikuti perintah cowok itu, daripada ia harus masuk ke perangkap para preman yang kurang belaian itu.

"Wah, ni bocah songong banget nih!"

"Kayanya pacarnya tuh cewek, deh."

"Udah gak usah basa-basi sik--"

Bugh ..

Bugh ..

Bugh ..

Bugh ..

Cowok itu memukul ketiga preman itu tanpa memberi ampun, seakan-akan mereka bertiga telah merampas sesuatu yang berharga milik cowok itu.

"KABUR!"

Ketiga preman itu lari terbirit-birit karena mereka merasa kesusahan menghadapi cowok dengan seragam putih abu-abu yang tampak acak-acakan.

Cowok itu berjalan menghampiri Tasya yang sedang memeluk erat tasnya. "Lo gakpapa?"

Tasya hanya mengangguk. Ia sedikit trauma ketika melihat perkelahian antara cowok yang belum diketahui namanya itu dengan tiga orang preman, apalagi preman itu sampai mengeluarkan banyak darah.

"Kalo gakpapa kenapa lututnya darah?" tanya cowok itu saat melihat lutut Tasya yang berdarah.

"Gakpapa kok."

Cowok itu kembali naik di atas Ninja Hitam miliknya. "Ayo naik, ke sekolah bareng gue."

Tasya masih diam sembari memeluk erat tasnya.

"Jangan meluk tas terus. Nanti gue cemburu,"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status