Share

Dear Kakak Kelas ~ 5

Vicky's home.

Disinilah mereka semua berada. Vicky, Angga, Pace, dan Tasya.

Setelah tangan Vicky terluka akibat gesekan indah pisau cutter milik Tasya, cowok itu menyuruh Pace mengantarnya pulang. Karena Tasya merasa tidak enak, Tasya memilih untuk mengikut Vicky. Alhasil, Vicky dibonceng Pace, Tasya dibonceng Angga.

"Aaauww ...." Vicky meringis saat Tasya menaruh salep ke luka potong itu, kemudian diberi perban.

"Beres," ucap Tasya saat sudah selesai mengobati tangan Vicky.

"Tangan lo kenapa, Vik?" tanya Angga.

"Iya, Vik. Beta heran kenapa tangan kau bisa luka bagitu?" Pace mengeluarkan suara.

"Gak--"

"Kena pisau cutter gue," Tasya memotong pembicaraan Vicky, "gak sengaja."

"Terus kenapa kau bawa cutter ke sekolah, Nona? Kau psikotak kah?"

"Psikopat, njirr." Angga menoyor kepala Pace atas ucapannya yang diluar pikiran manusia.

"Terserah beta to. Mau psikopat kah, psikotak kah, pesing kah, mulut mulut beta jadi beta mau omong apa terserah beta to," ucap Pace, "setiap manusia wajib berbicara."

"Lo waktu kecil dikasih makan apa sama Bokap lo? Logat lo bikin gue stroke," ucap Angga.

"Waktu kecil beta makan papeda deng rica-rica. Enak batul .." Pace memegang perutnya, bernostalgia tentang makanan masa kecil.

"Pantesan muka lo mirip rantai sepeda," Angga heran.

"Papeda, Angga, bukan sepeda," jelas Pace, "Angga tuli, kah?"

"Au ah," Angga frustasi, "nyesel gue punya temen kaya lo."

"Beta juga iri deng menyesal punya teman seperti Angga."

"Kenapa iri?" tanya Angga.

"Iri karena Angga lebih ganteng to," Pace lesu.

Angga tersenyum sinis merendahkan. "Ups, itu jelas."

"Trus kenapa lo menyesal berteman sama gue?"

Pace menarik napas dan membuangnya. "Karena Angga tuli."

"Bangsat, lo!" Angga kembali menoyor kepala Pace.

Vicky dan Tasya yang sedaritadi menonton perdebatan antara Angga dan Pace hanya menggelengkan kepala. Dunia memang sempit, sehingga spesies langka seperti Pace bisa dipertemukan dengan spesies jelek seperti Angga.

"Kenapa air yang gua kasih kemarin gak lo minum?" Vicky bertanya kepada Tasya.

Tasya menatap Vicky bingung. "Air apa?"

"Yah air minum lah." Vicky menghela berat. "Masa air kencing?"

"Ih!" Tasya memukul paha Vicky. "Air yang lo titip di, Ria?"

"Ria?" Vicky bingung.

"Temen gue itu .."

"Iya."

"Ngapain lo ngasih gue? Gue juga ada duit buat beli," ucap Tasya sarkastik.

"Karena gara-gara gue lo dihukum, jadi setidaknya gue harus bertanggung jawab," ucap Vicky, "supaya saat nikah nanti, gue bisa jadi ayah yang baik buat anak-anak kita."

"Gombal mulu, lo." Tasya memalingkan wajahnya yang kini telah berubah menjadi merah merona.

"Cieee blushing." goda Vicky sambil menarik dagu Tasya agar kembali melihatnya.

"Ihh apaan sih, lo." Tasya semakin blushing, dan seketika tawa Vicky pecah.

"Hahahahaha .."

"Ekhemm .." Angga berdehem, merasa dihiraukan.

"Blushing tu apa, Angga?" Pace berbisik.

"Blushing itu kopi susu," ucap Angga dengan nada yang dibuat serius.

"Ngapain lo berdua masih disini? Pulang sono!" usir Vicky.

"Iya, ini udah mau pulang." Angga memakai sepatu, kemudian bangkit dan berjalan keluar.

"Lo ngapain disini?" tanya Vicky saat melihat Pace yang belum beranjak.

"Duduk to, masa berak?" ceplos Pace.

"Pulang sono!" usir Vicky.

"Vicky ee .. beta su antar kau sampe rumah, seng dapa uang bensin na beta isi apa di motor?"

"Isi air kencingnya Angga," jawab Vicky santai.

"Bisa, kah?" tanya Pace polos.

"Bisa, makanya buruan gih sebelum Angga pulang."

"Oke, kalo begitu beta jalan do ee. Eh, Nona nama sapa le?" tanya Pace.

Tasya mengernyit, kemudian Vicky berbisik. "Dia nanya nama lo."

Tasya mengangguk. "Tasya."

"Oke, Tasya. Kalo dapa tahan dari preman, bilang saja 'Pace' pu adik. Nanti dong lepas." Pace memukul dada.

"Emang lo siapa?" Vicky menambahkan.

"Adoo. Jang tanya le. Coba kau tanya dari Jakarta sampe Papua, siapa yang kenal beta," Pace nyengir.

"Bodo," ketus Vicky, "udah pulang sono!"

"Yoo lanjut ee." Pace pun berlari keluar menyusul Angga, memintanya untuk kencing di tangki motor.

"Itu manusia atau alien, sih?" tanya Tasya yang heran akan kelakuan Pace.

"Manusia lah, Ogeb," ucap Vicky, "dia orang Papua, makanya logatnya gitu. Pake beta beta segala."

Tasya hanya ber 'oh' ria.

"Lo tunggu disini."

Tanpa menunggu jawaban dari Tasya, Vicky berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Vicky kembali membawa kotak P3K, membuat Tasya mengernyit bingung.

"Mau ngapain?"

Vicky tidak menjawab. Ia berjongkok di hadapan Tasya yang sedang duduk di sofa.

"Lo--"

"Mau ngobatin luka kamu, sayang,"ucap Vicky membuat Tasya lagi dan lagi harus salah tingkah.

Vicky membersihkan luka di lutut Tasya menggunakan Rivanol, kemudian memberikan sedikit Betadine lalu diperban.

"Kak," panggil Tasya.

Vicky mendongkak. "Gausah panggil kakak."

"Kan lo sendiri yang bilang ke teman gue kalau panggil lo kakak kelas," ucap Tasya sewot.

"Oh."

Tasya menghela berat. "Btw, waktu gue dihukum kok lo gak dihukum?"

"Gue sogok Pak Asep pake rokok," ucap Vicky.

"Satpam mau kalo disogok?" Tasya heran. "Cih .."

"Satpam kan terpesona sama gue. Tapi dia malu-malu kucing," ucap Vicky, "sama kaya lo."

"Ihh, geer banget sih, lo," Tasya mencoba menetralkan rasa gugupnya. "Nama lo Vicky?"

"Iya."

"Nama lengkap?" tanya Tasya penasaran.

"Lo sensus penduduk?"

Jleb

Vicky terkekeh melihat perubahan raut wajah Tasya yang kini cemberut. "Nama gue Vicky Nugraha, nama panggilan Vicky. Tapi kalo lo manggil 'sayang' juga gakpapa kok."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status