Setelah Indira menikah dengan Ilham, dia resmi menjadi istri sang majikan. Ilham mendaftarkan pernikahan mereka secara sah agar status anak itu nantinya diakui secara hukum negara.
Malam ini adalah malam pertama mereka. Ilham yang sudah tidak sabar untuk memiliki putra, tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Tidak perlu obrolan singkat sebagai pemecah ketegangan yang dirasakan Indira, pria itu langsung ke bagian intinya. Tidak peduli apa yang dirasakan Indira di malam pertamanya, pria itu tetap dengan rencananya sendiri. Sebenarnya, malam itu juga merupakan yang pertama bagi Ilham, pria itu merasakan sensasi lain saat dia menyentuh Indira untuk pertama kalinya. Entah mengapa dia merasa lebih tenang setelahnya. Setelah menyelesaikan malam pertama mereka, Ilham tidur di tempat tidur yang sama dengan Indira. Tepat jam empat pagi, pria itu bangun. Ketika Ilham duduk di atas kasur, Indira terbangun. Pria itu turun dari ranjang lalu menyalakan lampu kamar. Indira yang baru saja terbangun harus menyesuaikan penglihatannya. “Tuan?” “Nanti malam aku akan datang lagi ke kamar ini. Kamu rapikan lagi kamar ini dan jangan biarkan berantakan!” “Baik, Tuan.” “Aku mau melakukannya setiap hari sampai kamu hamil. Kamu harus secepatnya mengandung anakku agar urusan kita cepat selesai.” “Iya, Tuan. Ada lagi?” “Tidak ada. Aku mau siap-siap ke kantor dulu.” “Tuan ….” “Ya, ada apa, Dira?” “Apa saya harus menyiapkan semua keperluan Tuan sebelum berangkat ke kantor?” “Tidak perlu, Dira. Mulai sekarang tugasmu hanya mengandung dan merawat calon anak saya saja. Lainnya biar dikerjakan pembantu dan pelayan yang lain.” “Oh ya, baik, Tuan.” Setelah Ilham meninggalkan kamar itu, Indira turun dari ranjang menuju kamar mandi. Dia berjalan perlahan karena merasakan sedikit nyeri. Sebenarnya Indira memiliki kamar lain bersama pembantu lainnya. Namun, sejak menjadi istri dari majikannya, dia mendapat kamar sendiri yang dia tempati sejak tadi malam. Pikiran negatif muncul di benak Indira, apakah dia melakukan kesalahan dengan menikah dan melahirkan anak majikannya nanti. Dia merasa seperti sudah menggadaikan dirinya hanya untuk membayar utang ayahnya. Namun, perempuan itu tidak ada pilihan lain. Daripada dia menikah dengan rentenir lebih baik dia menikah dengan majikannya. Toh, setelah melahirkan nanti dia bisa melanjutkan hidup dan mulai membangun mimpi seperti apa dia akan melanjutkan hidupnya nanti setelah keluar dari rumah majikannya. Selesai mandi, Indira menuju halaman belakang. Hari itu dia masih ingin bekerja seperti biasanya. Menyapu halaman belakang, menyiram bunga dan membersihkan ruangan kerja yang ada di rumah Ilham. Tentu saja dia melakukan semuanya tanpa sepengetahuan Ilham dan berusaha agar tidak terlihat oleh majikannya. Syukurlah hari itu, sang majikan tidak mengetahui jika Indira masih melakukan pekerjaanya seperti biasa. Malam harinya, Indira sudah siap di kamar. Tak lama kemudian, Ilham datang ke kamar Indira. Tanpa basa basi pria itu langsung naik ke tempat tidur dan menyentuh Indira tanpa memanjakan perempuan itu lebih dulu. Yang ada dalam pikirannya hanya membuat agar Indira cepat mengandung calon anaknya. Setelah menyentuh perempuan itu dia akan tertidur di kamar yang sama. Satu minggu kemudian, masih pagi-pagi sekali, Ilham memberikan sebuah tespack pada Indira. Dia suruh perempuan itu memakai alat itu untuk mengecek kehamilannya. Namun, hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan Ilham. Pria itu marah menatap hasil tespack yang hanya menunjukkan garis satu saja. “Kenapa kamu belum hamil? Saya sudah tidur denganmu kamu selama satu minggu, tapi kamu belum hamil juga? Padahal hasil tes kesuburan kamu kan menyatakan kalau kamu subur?” Indira terdiam. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan sang majikan. Perempuan itu hanya bisa tertunduk ketakutan. “Kenapa kamu diam saja, Dira? Ayo jawab!” Ilham mendesak Indira agar menjawab pertanyaannya. “Sa-saya tidak tahu, Tuan.” “Masa kamu tidak tahu sih?” Ilham menghembuskan napas kasar. “Ya sudah. Aku mau berangkat ke kantor.” Setelah kepergian Ilham dari kamarnya, Indira duduk di tepi ranjang lalu menangis. Dia tidak tahu mengapa dia belum hamil. Tiba-tiba perutnya terasa nyeri dan Indira baru ingat jika hari itu adalah jadwal biasanya dia datang bulan. Perempuan itu menangis sejadi-jadinya. “Ya Tuhan kenapa aku harus datang bulan hari ini? Gimana kalau tuan Ilham marah. Dia mau aku segera hamil, terus gimana nasibku sekarang?” Indira terus berlinang air mata. Tak lama kemudian, Ilham masuk ke kamar Indira. Wajah pria itu terlihat serius. “Nanti sore pakai baju yang rapi. Aku mau bawa kamu ke dokter kandungan.” Indira menghapus air matanya lalu mengangkat kepalanya menatap sang majikan. “Ke dokter kandungan? Mau ngapain, Tuan?” “Mau periksa kandungan kamu, sekalian tanya kenapa kamu belum hamil juga padahal kita sudah berhubungan selama satu minggu.” “Oh, iya, Tuan. Nanti sore saya akan siap-siap sebelum berangkat ke dokter.” Indira semakin merasa takut karena nanti majikannya akan tahu jika dia sedang datang bulan. Namun, Indira hanya bisa pasrah apa pun yang akan terjadi nanti.Setahun kemudian, Indira sudah melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Ilham memberinya nama Keyra Salsabila. Indira masih tinggal di rumah yang dibeli Ilham sebelum mereka menikah dan tiga bulan sebelum melahirkan Ilham memboyong mbak Rohiman ke rumah itu untuk membantu Indira sesuai permintaannya. Kebahagiaan Ilham terasa lengkap dengan lahirnya anak perempuan itu. Dia pun semakin cinta dengan Indira dan keluarga kecilnya. Tidak ada lagi yang Ilham inginkan selain hidup bahagia dengan keluarga kecilnya. Karena kondisi Indira sudah pulih, Ilham minta Indira memasak makanan untuknya, termasuk bekal makan siang. Lidahnya sangat cocok dengan masakan istrinya dan mengesampingkan makanan lain meskipun itu dari restoran ternama. Siang itu Ilham sudah menunggu bekal makan siang yang dijemput Dedi ke rumah. Ilham : Sayang, sudah diantar belum makan siangnya? Mas sudah laper banget ini. Indira : Sudah, Mas. De
Tamu undangan mengantre untuk memberikan ucapan selamat pada Indira dan Ilham. Siang itu mereka harus menyiapkan tenaga untuk menyambut banyak tamu di acara resepsi yang memang langsung digelar setelah akad nikah tadi. Ruangan resepsi itu ramai dengan tamu-tamu yang antre salaman, menikmati hidangan dan mengobrol. Kenzi sedang bermain bersama Linda di luar ruangan acara. Anak yang berusia 10 tahun itu sedang malas berada di dalam ruangan yang sesak dengan banyak orang. Dia lebih suka duduk di luar bersama Linda sehingga tidak perlu capek berbagi oksigen dengan orang lain. “Kenzi tadi sudah foto kan sama mama, papa?” tanya Linda di luar ruangan. “Sudah, Tante. Oh ya, Tante kapan mau nikah?” “Hei, kamu masih kecil kok penasaran sih tanya kapan Tante nikah? Doain aja ya, Kenzi yang ganteng. Kamu seneng enggak papa sama mama nikah? Dulu mereka juga sudah pernah nikah, tapi harus pisah.” “Tante, aku sudah tahu cer
Ilham terkesiap. Pria itu masih belum percaya jika perempuan yang ada di hadapannya itu menerima lamarannya. “Dira, kamu benar-benar menerima lamaran saya? Kamu lagi enggak bercanda kan, Dira?” Saking seringnya ditolak, Ilham pun sudah pasrah dengan keputusan Indira hari ini. Pria itu terlalu bahagia saat ini. “Iya, Mas. Kalau saya tolak kan enggak mungkin saya bilang iya.” Indira tersenyum sekali lagi dan membuat hati Ilham meleleh. Pria itu pun menyematkan cincin di jari Indira. Dia tersenyum puas karena perjuangannya selama ini tidak berakhir sia-sia.“Kita harus buru-buru kasih tahu Kenzi nih kalau sebentar lagi kita akan tinggal bersama lagi.” Indira tidak setuju dengan ucapan Ilham itu. “Jangan dulu, Mas. Nanti saja tunggu selesai akad, kita baru kasih tahu Kenzi.” Ada banyak yang ingin Ilham diskusikan dengan Indira, dia pun menarik Indira ke sofa dan duduk bersamanya di sana. “Ada syarat
Indira tiba di rumah sakit, di kamar tempat Ilham dirawat, di sana dia melihat pria itu terbaring lemah dia tas brankar. Indira menghampiri Kenzi lebih dulu. “Kamu beneran enggak apa-apa, Sayang?” tanya Indira sambil memeriksa keadaan Kenzi. “Aku enggak apa-apa kok, Ma.” Indira terua memeriksa tubuh Kenzi sampai dia merasa yakin anak itu benar-benar dalam keadaan baik-baik saja. “Kenzi sudah makan? Aduh, Mama tadi lupa bawa makanan ke sini. Nanti kita cari makan di luar aja ya, Sayang.” Indira menatap Kenzi masih dengan perasaan khawatir. “Kenzi tunggu di sini ya, Mama mau lihat kedaan papa dulu.” Indira lalu beralih mendekati Ilham. Dia kasihan pada pria itu. Indira sendiri masih belum tahu keadaan Ilham yang sebenarnya. Dia pun duduk di kursi di dekat brankar Ilham.“Mas, gimana keadaannya? Apa ada yang kerasa sakit?” Indira hanya bisa menatap Ilham dan tidak bisa memeriksa kondisi tubuh pria itu seperti dia
Pada suatu malam, Ilham mengajak Kenzi menginap di rumahnya. Tentu saja tanpa Indira. Dia ingin mengajak Kenzi kerja sama untuk membujuk Indira agar mau menikah lagi dengannya. Harapan terakhir Ilham hanya pada Kenzi saja. “Kenzi, Papa mau minta tolong sama Kenzi, boleh?” “Papa mau minta tolong apa?” Anak itu penasaran. “Kenzi mau engggak tinggal bersama di satu rumah? Di rumah itu ada Papa, mama sama Kenzi?” Tanpa perlu pikir panjang Kenzi langsung menjawab pertanyaan Ilham. “Mau, Pa, tapi mama suka bilang kalau kita belum bisa tinggal bareng di satu rumah.” Ilham berpikir sejenak, apa yang bisa dia katakan agar Kenzi paham dengan maksudnya, “Besok coba tanya sama mama, mau enggak mama tinggal bareng sama papa dan kamu. Kalau mama mau, Kenzi kasih tahu Papa ya?” “Kalau mama enggak mau, gimana, Pa?” “Ya nanti Papa mikir lagi deh. Yang penting sekarang Kenzi tanya dulu sama mama, mau apa enggak.” “Ok, Pa, besok aku tanya sama mama.” Kenzi tersenyum. Dia mengemban misi untuk men
Masuk liburan anak sekolah, setelah mengambil rapot Kenzi, Ilham mengajak putranya ke Australia untuk liburan dan mengobati rasa rindunya pada Indira. Ilham sudah berada di hotel bersama Kenzi dan menunggu Indira pulang dari kampus. Indira berjanji akan mengabari Ilham saat pulang dari kampus. Ketika dia mendapat pesan dari Indira, pria itu langsung mengajak Kenzi ke apartemen Indira. Hotel yang dia pesan letaknya tidak jauh dari apartemen Indira, dengan berjalan kaki pun mereka sudah bisa tiba di sana. Namun, ketika Ilham datang ke apartemen Indira, pintunya terbuka dan dia lihat mantan istrinya itu sedang mengobrol dengan seorang pria. Ilham terkejut dan bertanya-tanya. “Siapa Pria itu? Dia mau PDKT sama Dira atau cuma teman kuliah saja?” tanya Ilham dalam hati.Setelah mengucap salam Ilham dan Kenzi masuk ke apartemen Indira. Perempuan itu pun menoleh ke arah pintu. “Mas Ilham? Eh, ada Kenzi?” Indira langsung bangkit dari sofa lalu berjalan mendekati anaknya. “Kenzi … Mama kange