"Satu miliar? Sedikit sekali."
Indira mengangkat wajah, menahan napas sesaat, lalu menunduk kembali. Dia baru saja meminjam uang pada majikan tempat dia bekerja. Tuan Ilham. Baginya, jawaban yang baru diterimanya itu adalah perendahan harga dirinya. Hinaan. Sebenarnya, dia hanya coba-coba saja. Meski berharap dia bisa mendapatkannya, tetapi dia sadar, itu tak mungkin. Orang miskin sepertinya, tak pantas menghadap majikan besar seperti orang di depannya itu. Permasalahan besarnya, memaksanya untuk mencoba berbagai macam cara. "Itu pas, Tuan. Memang segitu kebutuhanku." Tuan Ilham tak mengangkat kepala, jemarinya tetap setia pada kerja. Suara ketikan jadi satu-satunya yang bicara. Beberapa detik terasa begitu lama. Lalu dia menoleh, menatap Indira dengan mata yang tak terbaca. "Kamu butuh sekali?" Indira mengangguk perlahan, lehernya kaku. "Tolong, Tuan." Meski tak yakin, dia tetap saja mencoba. Tuan Ilham menggerakkan kursinya sedikit. "Untuk apa?" "Bayar utang, Tuan." Indira menunduk. Ujung-ujung jarinya saling bertaut. Dia berusaha mengusir rasa takut dan kalut. "Bayar utang?" "Iya, Tuan. Ayahku meninggalkan ...." Ilham mengangkat tangan. "Cukup! Aku tak peduli alasanmu. Bukan urusanku. Tapi mungkin aku bisa mempertimbangkan sesuatu." Tuan Ilham memicingkan mata. Kadang dia mengangguk-angguk, kadang dia menggeleng. Indira berusaha untuk sabar. Tenggorokannya mengering. Akan tetapi lelaki itu tidak melepaskan tatapan. Semua yang dilakukan Indira karena perbuatan ayahnya. Arman, si penjudi tua yang dulu juga sempat bekerja di rumah ini sebagai tukang kebun, meninggal dengan mewariskan lubang bernama utang. Satu miliar. Jumlah yang tidak masuk akal untuk seorang buruh, tapi Indira berpikir mana ada penjudi bisa berhitung untung rugi. Ibunya meninggal saat dia masih SMP. Sejak itu, Indira bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah Tuan Ilham. Di sini dia besar. Bertahan hidup dengan gaji yang kadang dicuri ayahnya. Tiga hari lalu, seorang pria datang ke rumah sempitnya. Menyebut dirinya Kartos, wakil rentenir kejam yang meminjamkan uang pada almarhum ayahnya, datang bersama dua orang bertubuh besar. Tanpa basa-basi, mereka mengobrak-abrik lemari dan laci, lalu menyodorkan surat perjanjian yang ditandatangani Arman. Utang pokok seratus juta, yang bunganya menumpuk sekian lama, hingga menjadi satu miliar. Arman selamat, Indira yang terjerat. "Utang ini harus lunas. Sekarang, atau kubuat kamu lunas juga." Indira hanya bisa berdiri di sudut ruang, tubuh gemetaran. "Beri waktu, aku akan bayar." Kartos menyeringai. "Sekalipun kamu berikan tubuhmu pada Santon, bos kami, satu miliar itu tetap utang. Tapi, kalau kamu mati, aku anggap lunas. Biasanya begitu. Bayar atau mati. Lumayan, organmu bisa dijual seperti para pengutang lain yang tak bisa membayar. Tapi baiklah, siapa tau kamu bisa. Aku beri waktu tiga hari." Indira mengerjap beberapa kali, lalu kembali pada kenyataan. Dibuangnya ingatan tentang sang debt collector kejam. Karena lama tak dijawab oleh Tuan Ilham, Indira berkata lagi. "Aku akan bekerja untuk Tuan sampai utang itu lunas. Asal Tuan mau bantu." Tuan Ilham tidak berkata apa-apa. Dia hanya terus menatap Indira. Lalu tangannya meraih ponsel, menekan satu tombol cepat. "Dedi, ke ruanganku sekarang." Tak sampai semenit, Dedi masuk. Tuan Ilham berdiri, merapikan jasnya. "Ajak dia ke rumah sakit. Lakukan pemeriksaan kesehatan yang lengkap termasuk rahimnya. Aku tunggu hasilnya." Dedi menatap lelaki itu. "Maaf, Tuan. Kenapa harus memeriksa pembantu ini?" Tuan Ilham hanya berjalan melewatinya, dan sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, dia berkata, "Ikuti saja!" Di dalam mobil, Dedi menyetir dengan pandangan lurus ke depan. Indira duduk di kursi penumpang, memeluk tas kecil usangnya. Jantungnya berdetak sangat cepat. "Om, Ded." "Iya?" "Kita mau ke rumah sakit buat apa?" Dedi menggeleng. "Aku hanya disuruh mengantar. Kamu dengar sendiri tadi." "Kenapa harus periksa rahim juga?" "Aku nggak tau, Dira! Kita ini kuli. Tak perlu banyak tanya!" "Tapi Om Ded asistennya." "Aku ini cuma asisten. Bukan ibunya." Indira diam. Dia keringatan. Padahal, suhu ruang mobil sangat dingin. * Satu setengah jam kemudian, Indira kembali ke rumah megah Tuan Ilham. Tangannya menggenggam amplop berisi hasil pemeriksaan. Dia mengetuk pelan pintu ruangan bosnya itu. Pintu terbuka otomatis. Tuan Ilham duduk di belakang meja, tampak tenang seperti biasa. Dia menyuruh Indira masuk dengan anggukan kecil. Indira melangkah pelan, lalu menyerahkan amplop itu dengan kedua tangan. Tuan Ilham membuka, membaca cepat, lalu mengangguk. Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya. "Kesuburan kamu baik. Itu kabar bagus." Indira menelan ludah. "Aku bisa bantu kamu. Satu miliar akan aku berikan hari ini. Tapi tidak gratis." Hening sejenak. "Kamu harus menikah denganku. Hari ini. Tugasmu hanya melahirkan seorang anak laki-laki dalam waktu satu tahun." Indira membeku. Menikah dengan majikan? Dia pikir itu tak masuk akal. Dia sangat tahu, orang kaya tak semudah itu memberi harapan. Satu pertanyaan, terbersit di kepalanya. Ini jelas bukan karena cinta. "Kalau aku tak bisa hamil, atau melahirkan anak perempuan, Tuan?" "Tidak ada yang gratis, kan? Kalau kamu tidak berhasil. Aku akan ...." *Belum sempat Indira menjawab pertanyaan Kenzi, Ilham sudah bicara lebih dulu. “Ajak tante Dira main ke kamar kamu sebentar, nanti Papa mau antar tante Dira pulang ke rumahnya. Ayo! Sebelum Papa berubah pikiran. “Iya, Pa.” Dengan wajah lesu, Kenzi mengajak Indira ke kamarnya. Tiba di depan kamar, Kenzi membuka pintu dan mengajak Indira masuk ke kamarnya. Kamar itu besar dengan banyak mainan dan buku bacaan di sana. Kenzi mengambil dua mobil remote di rak mainan. “Main ini dulu ya, Tante.” Kenzi berikan satu mobil remote pada Indira.“Ya,” jawab Indira singkat. Dia takjub melihat kamar itu. Memang anak orang kaya sudah pasti berbeda dengannya. Indira tidak bisa membayangkan seperti apa nasib Kenzi jika putranya itu tinggal bersamanya. Kenzi menyalakan mobil remotenya. “Kita balapan ya, Tante.” “Ok. Pokonya, Tante enggak akan kalah.” Kenzi dan
Bahkan saat Ilham mendekat pun, Indira masih tetap diam menatap pria yang terus berjalan mendekatinya. Entahh kenapa pada saat itu tubuhnya terasa kaku. Apa dia merindukan pria itu sampai membiarkannya mendekat? Atau perempuan itu merasa penasaran dengan kabar pria yang saat ini telah berdiri tepat di hadapannya?“Ikut saya ke parkiran!” Ya bukan menanyakan kabar, Ilham malah memerintah yang lain. Namun, Indira tetap diam di tempatnya berdiri. “Kenapa diam saja? Ayo ikut saya ke parkiran. Saya mau bicara sama kamu.” Indira hanya menatap Ilham. Karena Indira tidak kunjung bergerak, Ilham pun mendekat dan meraih tangan Indira lalu menarik lengan perempuan itu agar mengikutinya menuju parkiran. Kedua kaki Indira bergerak mengikuti langkah Ilham. Pada saat itu banyak pasang mata ya
“Kapan saya bisa pergi dari rumah Tuan Ilham?” tanya Indira sambil menaha rasa sesak di dada.Ternyata, setelah melahirkan seorang bayi walaupun bukan dengan melahirkan normal, perasaan keibuan dalam Indira hadir juga. Dia tidak ingin berpisah dengan bayi itu.“Kapan saja kamu mau pergi. Saya tidak akan menahan kamu untuk bertahan di rumah saya.” Ilham tampak begitu dingin di mata Indira. Dia ingin mencoba bertahan di rumah Ilham demi anaknya. “Tuan … apa saya tidak diizinkan untuk tinggal di rumah Tuan?” “Tidak, Dira. Kita sudah menandatangani surat perjanjian. Kamu harus pergi dari rumah saya setelah bayi itu lahir. Kenapa kamu jadi berubah dan tidak mau pergi dari rumah saya? Padahal kamu punya kesempatan buat hidup lebih baik di luar sana.” Ilham tampak heran pada Indira yang enggan pergi dari rumahnya. “Saya harus menepati janji say
Indira sudah dibawa ke rumah sakit dengan ambulans sedangkan Ilham langsung menuju rumah sakit tanpa pulang dulu ke rumah agar Indira segera ditangani. Di UGD, Indira sudah diperiksa dan ditangani oleh dokter. Kemudian, dokter menjelaskan keadaan Indira pada Ilham. “Syukurlah, janin dalam kandungan istri Bapak baik-baik saja. Kandungan istri Bapak cukup kuat sehingga tidak terjadi keguguran. Saya sudah periksa janin dalam kandungannya, kondisinya bagus dan saya harap tidak ada masalah di kemudian hari. Hanya saja istri Bapak harus bed rest selama satu minggu agar tidak terjadi sesuatu pada kandungannya.” Dokter menjelaskan semuanya pada Ilham. “Baik, Dok. Apa istri saya boleh beraktivitas seperti biasa?” “Sementara ini, jangan dulu banyak aktivitas. Lebih baik banyak berbaring saja dulu selama satu minggulah. Setelah itu boleh mulai beraktivitas sedikit. Yang penting tidak mengangkat beban yang berat-berat.” “Tapi, istri saya baik-baik aja kan, Dok?” “Iya, istri Bapak baik-baik s
“Kamu mau ke luar negeri?” tanya Ilham untuk memastikan.“Iya, Tuan. Bisa apa enggak?” “Bisa, Dira, bisa. Bisa banget malah. Kamu tunggu saja ya. Saya akan siapkan acara liburan kita ke luar negeri.” Dalam waktu dua minggu, Ilham sudah mengurus paspor Indira dan memesan tiket liburan selama satu minggu. Dia anggap kepergian mereka untuk memenuhi ngidamnya Indira. Padahal perempuan itu benar-benar ingin jalan ke luar negeri. Bukan karena ngidam. Negara tujuan pertama mereka adalah ke Malaysia. Mereka akan berada di sana selama dua hari. Ilham sudah menentukan jadwal mereka selama di sana. Pria itu mengajak Indira ke mal yang ada di Kuala Lumpur. Dia ingin Indira belanja di sana. “Kamu boleh beli apa saja di sini. Tas, sepatu, baju, semua yang kamu mau.” Ilham siap membelikan Indira apa saja di sana. Namun, yang terjadi adalah Indira hanya membeli beberapa kaos untuk oleh-oleh yang akan dia berikan pada pembantu yang bekerja di rumah Ilham. “Saya mau beli semua ini, Tuan.” Ilham
Ilham sangat memperhatikan kehamilan Indira sejak kepulangannya dari luar kota. Mulai dari sarapan, makan siang hingga makan malam. Dia juga mengatur jam istirahat Indira. Dia ingin anak dalam kandungan Indira tumbuh dengan sehat. “Kamu harus makan tiga kali sehari ya, Dira. Makanan kamu akan saya atur yang banyak gizinya. Camilan juga saya yang tentukan. Kamu tinggal minta sama Rania. Dia akan menyiapkan semuanya buat kamu.”“Baik, Tuan.”Indira tidak akan membantah karena dia tahu semua demi kesehatan bayi dalam perutnya. Perempuan itu rela mengandung yang penting setelah melahirkan dia bisa keluar dari rumah itu. “Tuan, apa saya boleh minum susu khusus ibu hamil?” Jika Ilham melarang, dia akan membuang semua susu itu dan akan diam karena sudah minum susu itu. “Sepertinya boleh saja. Susu itu bagus untuk ibu hamil. Jadi, tidak masalah.”“Oh ya, baik, Tuan.”“Kamu lagi pengen makan sesuatu enggak, Dira? Mangga muda atau rujak? Yang saya tahu ibu hamil suka makan makanan asam seper