Share

2. Awal Dari Sebuah Kisah

Seorang gadis tampak mengerjapkan matanya berkali-kali. Pantulan sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela, membuat gadis itu memaksa membuka mata, meski kepalanya masih terasa sangat sakit.

“Kenapa kepalaku sakit sekali?” gumamnya.

Tangannya tampak memijit kepala berkali-kali. Mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi.

Matanya terbuka sempurna ketika melihat isi kamar yang ditempatinya. Kamar yang didominasi warna putih. “Aku di mana?” tanyanya dengan sedikit terkejut. Tempat ini benar-benar terasa begitu asing bagi dirinya.

“Anda baik-baik saja?” tanya seorang pria berjas hitam.

Pria yang tiba-tiba saja membuka pintu, dan membuat gadis yang tengah berbaring itu, terlonjak kaget.

Wajah pria itu terlihat dingin, tidak ada jejak senyum sama sekali di sana.

Nala merasa takut melihat pria yang baru saja muncul dari balik pintu. Dari penampilannya saja, dia tahu bahwa pria itu adalah seorang pria dewasa.

“Anda siapa?” tanya Nala dengan suara bergetar. Gadis itu memiliki alasan tersendiri, akan rasa takutnya yang datang tiba-tiba.

Pria itu tampak menarik napas dalam, seraya membuang wajah ke samping. Lalu kembali menatap remaja yang berada di hadapannya. “Tidak perlu takut. Saya yang menolong Anda,” ujarnya dengan suara dingin. Seolah tahu bahwa gadis remaja itu sedang ketakutan.

Suara berat yang terdengar sangat mengerikan di telinga Nala. Gadis itu tampak memerhatikan wajah pria di depannya. Mencoba untuk mengingat apa yang sebenarnya terjadi, seraya menimbang apakah perkataan pria itu benar.

“Anda pingsan di toilet mall tadi. Kebetulan saya lewat,” jelas pria asing itu lagi seolah tahu isi pikiran Nala.

“Te-Terima kasih,” ucap Nala setelah memberanikan diri dan meyakinkan bahwa pria di depannya itu adalah orang baik.

Pria itu hanya mengendikan bahunya, tidak peduli sama sekali. “Jika sudah lebih baik mari saya antar pulang!”

“Tidak perlu!” jawab Nala cepat. Tubuhnya kembali bergetar diiringi dengan bulir keringat yang mengalir di dahi. Sekelebat bayangan tentang hari itu kembali menghantui.

Pria di hadapan Nala itu terus saja memerhatikan, sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan gadis remaja yang ada di hadapannya. Tak lupa tatapan dingin dan tajam, seolah mengintimidasi lawan bicaranya.

Nala tampak menggelengkan kepala berkali-kali. Mengusir rasa tidak nyaman dan juga takut yang datang secara bersamaan. Setelah sekian lama rasa takut itu menghilang, kini kembali lagi.

“Anda baik-baik saja?” tanya pria itu dengan berjalan mendekati Nala.

Ada sedikit gurat kekhawatiran di wajah tampan itu. Dia takut terjadi sesuatu yang serius dengan gadis remaja itu. Tangannya terulur hendak menyentuh bahu Nala, tetapi Nala menjauh, menolaknya.

“Aku ingin pulang sekarang!” ucap Nala. Matanya tampak melihat ke sana-sini mencari keberadaan tas miliknya. Nala ingin segera menghubungi Nita. Dia yakin bahwa sekarang Nita pasti sedang panik mencarinya karena hilang tiba-tiba.

***

David Mahardika. Pria matang berusia 30 tahun yang membuat kaum hawa tergila-gila karena parasnya. Kulit berwarna cokelat eksotis ditambah tubuh kekar dan berotot membuat dia terlihat seksi di mata para wanita. Serta, pewaris tunggal kerajaan bisnis milik keluarga Mahardika.

David menjatuhkan tubuh kekar itu di atas tempat tidur kesayangannya. Sepatu dan jas masih melekat di tubuh pria itu. Menandakan berapa melelahkannya hari ini.

Pertemuannya dengan seorang gadis kecil tadi, menghadirkan sesuatu yang berbeda. Ada perasaan yang muncul tiba-tiba, yang selama ini tidak pernah dipahami oleh David sendiri. Jantungnya berdegup  kencang, ketika pertama kali melihat paras ayu milik gadis remaja tadi.

Pria itu kembali menarik napas dalam-dalam.

Wajah manis dan ayu itu, kembali membayangi benaknya. “Kenapa ada kebetulan seperti ini?” David menggeleng pelan, mencoba mengusir perasaan gundah yang tiba-tiba hadir.

David terdiam di atas tempat tidur, mengulang dan menyelami kisah masa lalu, sampai pada akhirnya pria itu memejamkan mata karena kelelahan.

.

.

.

.

.

Keringat deras tampak membasahi tubuh David yang sedang terlelap di alam mimpi. Dadanya terlihat naik turun diiringi dengan napas yang memburu. “Maaf ... maafkan aku. Jangan hukum aku.”

Citra, ibu David tampak beberapa kali mengguncang keras tubuh anaknya. Setelah masuk dan mendapati sang putra bermimpi buruk lagi.

“David!” panggil Citra dengan mengguncang kuat tubuh David. Ada gurat khawatir di wajah tua itu. Ternyata kejadian empat tahun lalu masih membekas di ingatan sang putra.

“David!” panggilnya sekali lagi.

David membuka matanya dengan napas terengah-engah. Mimpi buruk itu kembali datang menghantui.

Tangannya tampak mencengkeram kuat pinggiran tempat tidur. Dia benci. Benci ketika mimpi itu hadir dan membuatnya ketakutan.

“Ini minumlah dulu!” Citra menyodorkan segelas air kepada anaknya. Wanita itu menatap David dengan penuh kecemasan.

Sudah banyak usaha dia lakukan untuk keberlangsungan hidup David. Termasuk membawa anaknya ke dokter ahli untuk melupakan tentang kejadian hari itu.

“Kamu baik-baik saja, Dav?” tanya Citra masih dengan kekhawatiran di wajahnya.

David mengangguk pelan. “Aku mau mandi.” Pria itu kemudian berdiri lalu melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.

Sesampainya di dalam kamar mandi, David langsung mengguyur tubuhnya di bawah shower. Tak peduli betapa dinginnya air yang terasa menusuk kulit. David hanya ingin melupakan kejadian hari itu dan wajah gadis yang ditemuinya tadi.

“Ini semua hanya kebetulan,” gumamnya di bawah guyuran air.

Di balik sifat dinginnya, tersembunyi ketakutan yang selalu dia sembunyikan. Ketakutan akan mimpi buruk yang selalu menghantuinya selama ini. David bisa berusaha menyembunyikan ketakutan itu jika berada di hadapan orang banyak. Namun, hal itu berbeda ketika dia seorang diri. Tubuhnya akan menggigil ketakutan.

David sengaja memendam semua itu karena tidak ingin ada orang lain yang memanfaatkan kekurangan yang ada di dalam dirinya itu.

Sejak kecil dia sudah ditempa untuk menjadi pribadi yang kuat dan pemberani. Maka dari itu, David tidak pernah menunjukkan sisi lain dari dalam dirinya.

Di tempat lain. Nala tampak berjalan pelan masuk ke dalam rumahnya. Rumah sederhana peninggalan kedua orang tuanya. Ah tidak ... lebih tepatnya peninggalan sang ibu.

Setelah memaksa untuk bisa pulang sendiri, Nala langsung pergi menemui Nita di rumahnya. Awalnya Nita marah karena gadis itu pergi tanpa kabar, tetapi setelah Nala menceritakan segalanya, Nita justru meminta maaf atas kesalahpahaman yang sempat terjadi.

Nala tampak duduk di ruang tamu, matanya melihat ke arah dapur. Tempat di mana semua kenyataan pahit dalam hidupnya bermula. Tempat di mana semua kemalangan itu bermula.

Pria? Semuanya sama saja hanya bisa menyakiti.

Lala menatap sekeliling isi rumah yang tidak pernah berubah sama sekali. Di satu sisi ada rasa rindu dan sakit yang datang bersamaan. Benci dan dendam yang masih menyelimuti hati dan pikirannya.

“Aku benci keadaan ini!” ucapnya dengan rahang mengeras.

Bukan takut kepada seorang pria, Nala hanya berusaha menutupi kebenciannya saja. Ketakutan yang dulu pernah hadir, perlahan berubah menjadi sebuah kebencian. Baginya, seorang pria hanya makhluk tidak tahu diri. Makhluk yang hanya bisa menyakiti.

Semua yang terjadi di dalam hidupnya adalah palsu. Semuanya hanya kepalsuan.

Lama terdiam, Nala kembali teringat wajah pria yang menolongnya tadi. “Aku seperti pernah melihatnya tapi di mana?” batin Lala.

Namun, gadis itu memilih untuk mengacuhkannya. Lagi pula, pria tadi hanyalah orang asing yang tidak sengaja menolongnya.

“Aku tidak peduli siapa pun dia. Jika dia orangnya mungkin aku akan peduli,” ujar Nala sebelum menutup rapat kelopak mata indahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status