Share

5. Rencana Perjodohan

Seorang wanita paru baya terlihat duduk dengan secangkir teh, yang masih memperlihatkan asap mengepul. Bibirnya bergerak, meniup asap yang mengudara.

“Ma!” sapa seorang pria paru baya, yang datang berjalan menghampirinya.

“Eh, Papa. Sudah pulang?” tanyanya. Wanita itu segera berdiri. Kemudian meraih tangan pria paru baya yang kini sudah berada di hadapannya.

“Aku sangat lelah. Ada David juga di kantor.”

Wanita itu mengangguk perlahan. Tangannya membantu melepaskan jas, dan juga dasi pria paru baya yang berstatus sebagai suaminya.

Adrian Mahardika, pemilik utama perusahaan MA Grup. Perusahaan milik keluarga Mahardika. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi. Perusahaan yang dibangun atas kerja kerasnya sendiri.

Pria paru baya berusia 60 tahun itu, masih tetap saja memaksa pergi ke kantor. Dengan berbagai alasan, dia tetap memaksa agar bisa menghabiskan harinya di balik meja kerja, yang sudah hampir 30 tahun menjadi tempat ternyamannya.

“David belum pulang, Pa?” tanya Citra.

Adrian menggeleng pelan. “Anak itu selalu menghabiskan waktu di kantor. Padahal sudah tidak ada pekerjaan lagi,” jawab Adrian.

Citra mengangguk mengerti. David memiliki sifat pekerja keras yang menurun langsung dari suaminya. Bahkan mereka berdua memiliki sifat yang hampir sama.

“Dia sama seperti Papa.” Citra menggeleng seraya tersenyum tipis.

“Iya, tapi setidaknya aku sudah menikah di saat usiaku masih muda. Bahkan belum menginjak kepala tiga sepertinya,” jelas Adrian.

Mereka berdua memang menikah di usia yang masih cukup muda. Di mana usia Adrian kala itu masih 28 tahun, sedangkan Citra baru menginjak angka 24 tahun.

Citra mengangguk. Dia juga tidak tahu, kenapa sampai sekarang David masih menutup hati kepada wanita. Tiba-tiba sekelebat pikiran buruk terlintas.

“Apa jangan-jangan, David ....”

“Mama jangan memikirkan hal yang aneh-aneh.” Adrian menggeleng pelan. “Mungkin kali ini kita harus turun tangan,” usul Adrian.

Citra terdiam untuk sesaat. “Sepertinya begitu.” Wanita paru baya itu langsung tersenyum penuh arti. Dia langsung paham dengan maksud dari perkataan suaminya.

“Mama sudah punya calon?” tanya Adrian penasaran.

Citra mengangguk cepat. “Dia gadis yang sangat manis, Pa. Sangat sopan santun, Mama suka dengan dia. David juga sudah pernah bertemu dengan gadis itu,” ujar Citra.

“Siapa?” tanya Adrian sembari mendudukkan pantatnya di atas sofa.

“Temannya Nita, Pa.”

Adrian tercengang mendengarnya. “Nita adiknya Nathan?” tanya pria baru baya itu memastikan.

“Iyalah siapa lagi. Keponakan Mama, kan cuma dia yang namanya Nita,” jelas Citra.

“Bukankah usianya baru 18 tahun, itu artinya gadis itu juga masih berusia 18 tahun?”

Citra mengangguk antusias. Dia langsung membayangkan Nala yang akan menjadi menantunya. Dari awal bertemu dengan Nala, Citra sudah sangat menyukai gadis tersebut. Sikap lemah lembut, dan sopan santunnya membuat dia begitu kagum dengan Nala. Meski dia sudah tahu, perihal kehidupan Nala dari Nita.

“Mama sudah bertemu dengan dia? Di mana?” tanya Adrian memastikan.

“Kemarin sewaktu acara ulang tahun Nathan.”

“Terserah Mama saja kalau begitu. Tapi ingat jangan memaksakan kehendak kepada siapa pun. Biarkan mereka berdua menjalaninya dengan normal, lagi pula gadis itu masih terlalu muda.”

“Usianya memang muda, Pa. Tapi pemikirannya sudah dewasa, jauh di atas Nita,” jelas Citra menggebu-gebu. Rasanya dia sudah tidak sabar menjadikan Nala sebagai menantunya.

“Baiklah. Tapi ingat jangan memaksa siapa pun,” pesan Adrian sekali lagi.

Citra mengangguk. “Papa tenang saja.”

***

“Kamu kerja habis ini, La?” tanya Nita di kantin kampus. Gadis itu sedang memakan makanannya.

Nala mengangguk. “Meskipun aku kuliah dengan beasiswa, tetap saja aku butuh biaya hidup,” jelas gadis itu.

“Kamu masih kerja di tempat kerja yang dulu?” tanya Nita memastikan.

Nala menggeleng. “Aku kerja di mini market di depan sana. Rasanya aku begitu lelah kerja di toserba itu. Badanku terasa sakit semua.” Gadis itu menghela napas pelan.

Nita merasa terenyuh mendengarnya. Dia sudah tahu jika Nala sudah terbiasa bekerja, sejak usianya baru menginjak 12 tahun. Di saat anak seusia mereka sibuk bermain, Nala justru sudah sibuk mencari uang untuk biaya hidup.

“Aku nggak tau gimana jadinya kalau aku ada di posisimu, La.”

Nala tersenyum lembut. “Jangan pernah membayangkannya, Nit. Hidupmu sudah sempurna saat ini. Aku hanya berharap suatu saat aku akan memiliki pekerjaan dan hidup yang lebih layak lagi.”

Nita terdiam. Tidak terasa ada bulir bening yang menetes dari sudut matanya. Dia merasa sangat beruntung, karena masih memiliki Nathan yang selalu ada untuknya. Memiliki Nathan, yang masih bisa menjadi tumpuan hidupnya.

Tidak perlu bekerja keras, seperti Nala. Tidak perlu menjalani hidup serba kekurangan seperti Nala.

Nala menggeleng. “Jangan menangis. Kau tau kalau aku benci dikasihani,” ingat gadis itu lagi.

Nita segera mengusap air matanya dengan tergesa-gesa. Dia lupa bahwa Nala, sangat membenci orang yang memandang iba kepadanya.

“Sorry, La,” ucap Nita setelah merasa lebih baik.

“It's okay.” Nala mengangguk beberapa kali. Dia sudah hafal benar bagaimana sifat Nita. Gadis itu memang sangat cengeng, apalagi jika sudah mendengar kisah tentang kehidupan dirinya.

***

Nala segera mengganti seragam kerjanya. Gadis itu kini bekerja di sebuah mini market, tepat di depan kampus tempat dia kuliah.

Sudah hampir tiga bulan dia bekerja di sini. Beruntung dia memiliki rekan kerja yang begitu baik.

“Pulang cepat, La?” tanya Anisa salah satu rekan kerja Nala di sana.

Nala mengangguk. Tangannya dengan terampil mengikat rambut hitam panjang miliknya.

Anisa mengangguk. Dia sudah paham bagaimana sifat Nala. Gadis itu terkenal karena begitu pendiam.

“Aku duluan, Kak.” Nala segera melangkahkan kakinya, keluar dari dalam ruang ganti.

Gadis itu bergegas, membantu para pekerja lain yang sedang menyusun barang. Membersihkan rak-rak barang, dari debu.

Dia tidak peduli ketika mendengar suara bisik-bisik, yang terus menggosipkan dirinya. Dia hanya butuh pekerjaan ini, sebagai penyambung hidup. Dia tidak butuh belas kasihan orang, atau berteman dengan orang-orang seperti mereka.

“La, kamu gantikan aku jaga kasir ya? Hari ini aku izin, ada acara penting,” pinta Anisa. Sebagai senior di sana, Anisa hanya bekerja sebagai kasir saja.

“Aku masih baru loh, Kak. Apa Kakak percaya padaku begitu saja?” tanya Nala seraya melirik sekelilingnya. Melihat melalui sudut mata, bagaimana rekan kerja yang lainnya langsung berbisik, ketika Anisa memintanya untuk menggantikan dia sementara.

“Ya ampun, La.” Anisa terkekeh pelan, seraya terus menggeleng. “Aku percaya kok. Aku percaya kamu anak yang bisa menjaga amanah dariku,” imbuh Anisa lagi.

“Baiklah.” Nala tersenyum manis. “Kakak bisa percayakan perkerjaan Kakak, kepadaku untuk hari ini”

“Thanks, La,” pungkas Anisa. Gadis itu segera meraih tas miliknya, lalu keluar dari dalam mini market.

.

.

.

.

.

David menyenderkan tubuh pada kursi kerja miliknya. Matanya terlihat terpejam, dengan tangan yang terus saja memijit pangkal hidung.

Hari ini rasanya dia begitu lelah. Entah apa penyebabnya. Ingin segera pulang, tetapi dia enggan beranjak dari kursi kebesarannya.

“Huh, rasanya aku sangat lelah akhir-akhir ini,” desah pria itu.

Dia kembali memejamkan matanya. Menengadahkan kepalanya ke atas. Sampai tiba-tiba sekelebat bayangan wajah manis Nala terlintas begitu saja. Tentu, hal itu membuatnya mengernyit heran. Namun, entah mengapa memikirkan wajah gadis itu, membuat David merasa sedikit tenang dan nyaman.

‘Aku sudah gila!’

To be continue

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status