Share

6. Masa Lalu

Prang!

Bunyi piring-piring yang berhamburan di atas lantai dapur kecil, sebuah rumah.

Terlihat dua orang dewasa yang sedang berdebat. Sampai mereka tidak menyadari jika ada seorang anak yang selalu mengintip pertengkaran mereka.

“Apa kau tidak bisa sehari saja tidak membuat masalah?” teriak Liana. Wanita berusia 39 tahun, yang terlihat sedang menahan amarahnya.

“Aku tidak pernah membuat masalah apa pun. Kau yang selalu membuat masalah, dan menjadi biang masalah dalam hidupku.” Pria di hadapan Liana tersenyum sinis, seolah tidak memiliki dosa apa pun.

“Damar!”

Plak

Pria bernama Damar itu menampar Liana. “Kau sudah berani memanggil namaku?” Tangannya mencengkeram kuat dagu wanita yang sekarang meringis kesakitan.

“Bajingan! Aku menyesal menikah denganmu!” umpat Liana.

Muak. Dia sangat muak dengan semua yang terjadi di kehidupan rumah tangganya.

Menikahi seorang pecandu alkohol dan narkoba. Pulang dalam keadaan mabuk. Bahkan, tak jarang dia mendapati tubuh Damar penuh dengan tanda keunguan dari wanita lain.

“Apa? Kau menyesal?” Damar semakin kuat mencengkeram dagu Liana. Tidak peduli dengan desis kesakitan yang keluar dari bibir wanita itu. “Seharusnya aku yang mengatakan hal itu. Dasar jalang!”

“Damar!” teriak Liana tidak terima.

Selama ini dia berusaha menerima ketika mendapati Damar tidur dengan wanita lain. Dengan jalang yang sesungguhnya, tetapi dia tidak terima jika julukan itu ditujukan kepada dirinya.

Atas dasar apa?

“Kau tidak terima jika aku memanggilmu seperti itu? Apa perlu aku ingatkan lagi!” Kini tangan besar Damar sudah turun ke leher Liana. Mencekik wanita yang sudah membuatnya hancur. Membuat pernikahan mereka hancur, sejak lama.

Liana berusaha meraih tangan besar Damar. Napasnya sudah tersengal-sengal. Dia tidak boleh berakhir seperti ini.

“Ibu, Ayah!” panggil seorang gadis kecil berusia 12 tahun, yang sedang berdiri di dekat pintu. Mengamati pertengkaran mereka. Kegiatan yang selalu dilihatnya setiap hari.

Damar menoleh sekilas. Tangannya terlepas begitu saja dari leher Liana. Pria itu terdengar menghela napas. Berusaha meredam amarahnya. Lantas beranjak dari sana, tanpa peduli dengan tatapan dari anaknya.

Liana terjatuh. Lemas. Sedetik saja anaknya terlambat, mungkin dia sudah berada di alam lain.

Nala masih mematung di ambang pintu. Pemandangan ini sudah menjadi makanannya sehari-hari. Bahkan dia selalu berpikir, sebenarnya seperti apa sosok seorang ayah itu?

Mengapa dia tidak memiliki sosok ayah seperti yang teman-teman ceritakan di sekolah?

“Kemari!” Liana merentangkan tangannya. Meminta Nala untuk mendekat.

Perlahan gadis kecil itu mendekat. Melihat ibunya tersenyum, dia juga memaksakan untuk tersenyum.

“Maafkan Ibu.” Liana memeluk erat tubuh kecil anaknya. Seorang anak yang membuat kesalahpahaman bermula, di dalam keluarga kecil mereka.

“Ibu, maafkan Nala.” Nala mendekap kuat tubuh ringkih ibunya. Dia tidak tega terus menerus melihat penderitaan ibunya.

Setiap hati bertengkar. Setiap hari dia melihat luka baru di setiap bagian tubuh Liana. Apa yang sebenarnya terjadi?

Nala tidak mengerti dengan semua permasalahan yang ada. Dia hanya sering mendengar ibunya mengatakan menyesal telah menikah dengan ayahnya. Namun, dia tidak pernah tahu alasan dari semua penyesalan itu.

“Nala tidak salah apa pun. Ini hanya perdebatan kecil saja. Wajar terjadi di dalam rumah tangga.”

‘Perdebatan kecil?’ batinnya bertanya.

.

.

.

.

.

Liana mengerjapkan mata ketika mendengar suara bising di ruang tamu. Dilihatnya jam yang menempel di dinding, yang sudah menunjukkan jam setengah satu dini hari.

Dengan sedikit malas wanita itu melangkahkan kakinya untuk keluar. Melihat apa yang sebenarnya terjadi, meski dia sudah bisa menduga bahwa Damar adalah sumber dari semua kebisingan itu.

Benar saja, dia mendapati pria itu pulang dalam kondisi mabuk. Seperti hari-hari sebelumnya.

Liana menghela napas panjang.

Wanita itu berjongkok. Melepas sepatu dan kaus kaki Damar. Aroma alkohol yang menyeruak sedikit mengganggu.

“Dasar pria payah!” Meski bibirnya selalu mengumpat, tetapi tangannya dengan sigap membantu melepaskan sepatu dan pakaian pria itu.

Bukankah dulu mereka pernah saling mencintai?

***

Liana tersentak ketika Damar menarik tangannya dengan kasar. Wanita yang sedang memasak di dapur itu, memberontak dengan sekuat tenaga.

“Lepaskan tanganku brengsek!” makinya lagi.

Damar tidak melepaskannya. Pria itu justru menyeringai. Ini adalah kesempatan besar baginya, karena Nala belum pulang sekolah.

“Ikut aku!” Damar menarik Liana keluar rumah.

“Mau ke mana? Aku tidak sudi ikut denganmu!” Wanita itu masih berusaha memberontak.

“Diam, dan ikuti aku, atau kau ingin terjadi sesuatu dengan anakmu?" Pria itu menyeringai iblis.

Wanita itu sudah sedikit tenang, ketika mendengar Damar menyebut nama anaknya. “Nala itu anakmu juga,” tukas Liana tidak terima.

“Aku tidak peduli.”

.

.

.

.

.

Liana memberontak tidak karuan, ketika Damar membawanya ke sebuah rumah besar. Rumah yang sama sekali tidak pernah dia kunjungi.

Melihat begitu banyaknya penjaga, membuat wanita itu yakin bahwa sang empu rumah, bukanlah orang sembarangan.

Sebenarnya apa yang akan dilakukan Damar kepadanya?

Damar mendorong kuat tubuh Liana. Membuat wanita itu jatuh terjerembap ke hadapan seorang pria tua. Pria yang berkumis tebal, dengan senyum yang terlihat seperti senyum seorang iblis.

“Dia istriku ... tolong hanya untuk hari ini saja.” Damar menatap dingin pria tua di hadapannya.

“Cukup menarik.” Pria tua itu tersenyum penuh arti, memandang Liana.

Meski di usianya yang hampir menginjak kepala empat, Liana masih terlihat cantik. Bentuk tubuhnya juga terlihat sempurna.

Liana berusaha berdiri. Dia tidak mengerti dengan perkataan Damar. “Kau bicara apa?” Tangannya meraih tangan Damar.

“Ikuti saja perintahnya ....” Belum selesai Damar menyelesaikan perkataan yang, pria tua itu sudah memotongnya dengan sebuah perintah.

“Bawa dia!”

Beberapa penjaga di sana segera menaik tangan Liana dengan sedikit kasar.

“Damar!”

“Lepaskan aku!”

“Bajingan!”

Liana terus saja memberontak, dia tidak mau mengikuti apa perintah pria tua itu. Firasatnya mengatakan ada hal yang tidak beres.

Damar menatap tubuh Liana yang menghilang di balik pintu, dengan tatapan sendu. Dia terpaksa melakukan ini. Dia harus merelakan Liana, meski batinnya menjerit, menahan gejolak amarah.

***

Liana duduk bersimpuh di dekat kasur lusuh miliknya. Wanita itu terus saja berteriak, meraung, meluapkan segala rasa sakit di hatinya.

“Bajingan kau, Damar!” Tangannya mengusap kasar setiap bagian tubuhnya.

Tubuh yang selama ini dia jaga sepenuh hati. Tubuh yang selama ini, hanya dia berikan kepada sang suami. Namun, dengan begitu keji Damar menjualnya. Menukarkan tubuhnya dengan sejumlah uang, kepada pria tua itu.

“Damar, aku membencimu!”

Entah sudah berapa banyak umpatan yang keluar. Entah sudah berapa banyak air mata, dan penyesalan yang timbul. Bahkan sekarang dia begitu benci dengan dirinya sendiri.

Damar, pria itu tidaklah pantas disebut sebagai seorang pria apalagi seorang suami. Mana ada suami yang tega menjual istrinya sendiri. Mana ada suami yang hanya diam, ketika melihat istrinya digauli orang lain.

Bukan hanya sekali, pria tua itu berkali-kali menggaulinya. Memukul dan menghajar dengan sangat keras sehingga menimbulkan bekas. Pria tua itu tidak peduli hal itu, dia berdalih bahwa dia sudah membayar mahal semuanya.

Damar?

Pria itu pergi begitu saja setelah membawa pulang istrinya. Tanpa sepatah kata pun, bahkan tidak peduli dengan umpatan Liana.

.

.

.

.

.

Nala berlari ke kamar ibunya, setelah mendengar suara tangis dan teriakan dari dalam sana.

Masih lengkap dengan seragam putih biru, gadis kecil itu terpaku di ambang pintu. Melihat tubuh ibunya yang penuh luka memar.

“Ibu!” Nala berlari masuk ke dalam kamar.

Ditatapnya Liana yang sedang menangis dengan tubuh bergetar. Wajah dan bagian tubuh yang lain, sudah penuh dengan bekas luka yang masih terlihat baru.

“Apa ayah yang melakukan ini semua, Bu?” Nala meraih tangan Liana. Meneliti bekas merah di sana.

Sakit. Hatinya begitu sakit ketika dia melihat hal ini. Mengapa ada pria yang setega itu?

“Bu, apa ayah yang melakukan semua ini?” tanya Nala sekali lagi. Dadanya bergemuruh hebat. Dia murka, sangat murka melihat semua ini.

Liana hanya diam. Bibirnya terasa begitu kelu, tidak bisa menjawab satu pun pertanyaan dari anaknya.

Apa yang harus dia katakan? Haruskah dia mengatakan bahwa Damar menjualnya? Haruskah dia mengatakan bahwa dia sudah ditiduri orang lain?

“Ibu jawab Nala, Bu.” Nala menatap sendu sang ibu. Dia bukan anak kecil lagi bukan? Dia berhak tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi.

‘Ayah, mengapa kau menjadi seperti monster? Ayah mengapa kau memupuk kebencian di hatiku? Ayah mengapa kau membuat aku tidak percaya denganmu?’

To be continue

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status