Share

4. Ulang Tahun

Cinta adalah misteri. Entah di mana dan kapan cinta itu datang, tidak ada yang dapat mengetahuinya. Kepada siapa cinta kita berlabuh, bahkan kita juga tidak mampu untuk mengendalikannya.

David duduk berpangku tangan di tepi pantai. Deburan ombak terasa menenangkan jiwa. Senja di ufuk barat juga sudah mulai terlihat. Sejak kejadian beberapa hari lalu, perasaannya kian tak menentu.

Ada keinginan untuk bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Namun, ada satu sisi dalam dirinya yang mengatakan untuk pergi menjauh dari gadis itu. Setelah memastikan bahwa dia tidak mungkin salah orang.

“Bukankah dunia ini terlalu sempit?” ucap pria itu diiringi dengan napas yang berat. “Bagaimana kalau dia tahu atau mengingat kejadian yang sebenarnya?”

Angannya melayang jauh, menerawang kejadian di masa silam. Kesalahan yang dia lakukan di masa silam, yang membuat hidupnya terasa begitu menyedihkan hingga saat ini.

“Ah, bahkan aku belum mengetahui namanya sampai sekarang,” desah pria itu lagi, frustrasi.

***

Hari berlalu begitu cepat bagi Nala. Gadis itu sudah mulai masuk kuliah. Ah ya, beasiswanya diterima, dan dia bisa kembali melanjutkan kuliah. Yang paling beruntung, dia masih satu kampus dengan Nita, sahabatnya.

Sudah tiga bulan mereka menjadi seorang mahasiswi di kampus. Mengambil jurusan yang sama membuat mereka bisa selalu bersama. Terdengar sangat menyenangkan, bukan?

“La, ikut pulang ke rumah aku ya?” ajak Nita.

“Ada acara?” tanya Nala. Dia sudah hafal kebiasaan gadis itu, selalu mengajaknya pulang jika ada acara di rumahnya.

Nita mengangguk. “Kak Nathan ulang tahun hari ini. Rencananya aku mau kasih dia kejutan.”

Bukankah hidup Nita jauh lebih beruntung daripada Nala? Meski dia yatim piatu, tetapi dia masih memiliki satu orang kakak laki-laki yang akan selalu ada untuk dirinya. Yang selalu menjadi garda terdepan untuk membela adiknya.

Sedangkan Nala, gadis itu hanya sebatang kara. Tiada ada ayah, ibu, atau saudara yang menemani. Ada kalanya rasa iri menghampiri hati.

Nala mengangguk antusias.

Nathan adalah sosok yang baik selama ini. Pria yang berhasil membuat Nala sedikit percaya, bahwa tidak semua pria sama seperti yang ada dalam pikirannya.

***

Rumah yang biasa sepi itu kini terlihat lebih ramai, walau hanya kedatangan keluarga dari almarhumah ibunya Nita saja.

Gadis itu dari tadi terlihat begitu antusias, mempersiapkan semua keperluan pesta kejutan.

“Nit, pesta kejutan ini terlihat seperti pesta untuk anak remaja,” ucap Nala disertai dengan gelengan kecil.

“Sengaja. Aku mau lihat ekspresi kak Nathan kalau melihat ini.” Nita terkekeh geli ketika membayangkan wajah kesal Nathan.

Bukan ungkapan terima kasih atau yang lainnya yang ingin didapatkan Nita, melainkan wajah kesal milik sang kakak yang menurut Nita terlihat sangat menggemaskan.

“Wah, sepertinya ini terlihat seperti pesta remaja laki-laki.” Suara wanita paru baya membuat kedua gadis itu menoleh ke belakang, melihat siapa yang datang.

“Tante!” seru Nita. Gadis itu berlari, menghambur ke pelukan wanita paru baya yang masih terlihat cantik.

Nala mengangguk dengan senyum hangat, ketika wanita paru baya itu tersenyum kepadanya.

“Ini siapa?” tanya wanita itu.

“Nala, Tan. Dia sahabat Nita,” jawab Nita masih diiringi dengan senyum cerah.

Wanita itu terlihat menganggukkan kepalanya berkali-kali. “Tante pikir kamu pacarnya Nathan,” serunya dengan gelak tawa.

Gadis itu tersenyum simpul mendengarnya. Bagaimana bisa dia memiliki kekasih? Di saat hatinya masih sangat membenci seorang pria, dan menganggap semua pria itu sama saja. Seorang pembawa kehancuran.

Setelah mengobrol sebentar, Nita kembali melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda tadi.

Pesta remaja? Bagaimana Nala tidak mengatakan bahwa pesta ini sangat mirip dengan pesta untuk seorang anak remaja, dibanding pesta untuk pria matang seperti Nathan.

Ruang tamu di dekor sedemikian rupa. Warna biru laut menjadi tema kali ini. Terlalu mencolok bagi pria seperti Nathan.

***

Nita duduk harap-harap cemas menanti kedatangan sang kakak. Biasanya di jam-jam seperti ini kakaknya sudah pulang dari kantor.

“Kak Dav nggak ke sini, Tan?” tanya Nita.

Wanita itu melihat jam di pergelangan tangan kiri. “Mungkin sebentar lagi. Dia pasti datang.”

Cukup lama mereka menunggu, sampai terdengar deru mobil yang memasuki halaman rumah besar itu.

Nita dan Nala juga sudah siap. Nala memakai pakaian sederhana miliknya. Menolak ketika Nita menawarkan untuk meminjamkan pakaian. Baginya tidak masalah, lagi pula pesta ini hanya dihadiri oleh mereka saja, tidak ada orang lain.

Pintu terbuka lebar. Nita segera berlari menghampiri kakaknya. Menghamburkan diri ke dalam pelukan sang kakak.

“Happy birthday, Kak,” ucapnya dengan tulus.

Nathan termangu. Pria itu begitu terkejut dengan kelakuan sang adik. Tangannya menyentuh rambut adiknya, mengelus penuh kasih sayang.

“Terima kasih,” sahutnya. Pria itu masih belum menyadari apa yang terjadi di ruangan itu.

Nala terpaku di tempatnya. Ternyata Nathan tidak datang sendiri. Dia datang bersama sosok laki-laki, yang selalu datang untuk menolongnya.

“Kak David!” seru Nita. Gadis itu kini beralih memeluk David, kakak sepupunya.

Sama seperti Nala, David diam terpaku di tempat dia berdiri. Memandang sosok gadis yang berdiri tidak jauh darinya. Gadis yang selalu menghantui otak dan hatinya beberapa waktu belakangan ini.

.

.

.

.

.

Setelah acara tiup lilin dan potong kue. Nathan terlihat kesal ketika menyadari dekorasi ruangan yang terlalu meriah.

“Nita, kau menghias rumah seperti ingin mengadakan parade.” Pria itu menggeleng pelan.

Nita tertawa keras melihatnya.

Jam dinding terus bergerak cepat. Mereka melakukan makan malam bersama. Sedari tadi Nala dan David sama-sama terdiam. Menyelami pikiran masing-masing.

“Nit, aku pulang sekarang ya. Sudah terlalu malam.” Nala berdiri dari duduk setelah menyelesaikan makan malam.

“Kak, Tante, aku pamit dulu.” Gadis itu menunduk, lalu berlalu. Akan tetapi, suara wanita paru baya yang tidak lain adalah Citra, terdengar menghentikannya.

“Nak, biarkan David mengantarmu pulang.”

Nala berbalik. “Tidak usah, Tan,” tolaknya halus.

Citra tersenyum, lalu memandang putranya penuh arti. David terdengar menghela napas. Tak urung dia juga berdiri.

“Mari saya antar.”

Nala ingin menolak tetapi dia merasa sungkan ketika melihat wajah dingin pria tersebut. Terlihat Nathan dan Nita tersenyum penuh arti melihat hal tersebut.

***

Di dalam mobil kedua sejoli itu hanya berdiam diri. Tidak saling menyapa atau sekadar berkenalan. Mobil yang dikemudikan oleh David terus meluncur, sesuai petunjuk yang diberikan oleh Nala.

Bukan tanpa alasan dia mau mengantar gadis itu pulang. Pria itu hanya ingin memastikan sesuatu. Memastikan tentang banyak hal, yang masih terus mengganjal di hati dan pikirannya.

David tertegun ketika mobilnya mulai memasuki perkampungan padat penduduk. Rumah-rumah di sana terlihat saling berimpitan.

“Di sini.”

David menghentikan mobilnya di depan rumah yang sudah terlihat sangat renta. Tidak layak huni.

“Terima kasih,” ucap Nala sebelum turun.

“Tunggu!”

“Ya,” gadis itu menoleh.

“Biarkan saya turun dan menjelaskan kepada orang tua Anda, kenapa Anda bisa pulang malam,” tawar pria itu.

Nala tersenyum mendengarnya. “Tidak perlu. Saya hidup sendiri.”

Tubuh David menegang mendengarnya. Seolah ada kilat yang menyambar tubuh itu. Tangannya gemetar, mencengkeram kuat kemudi mobil. Apakah semua dugaannya benar?

“Sekali lagi terima kasih.” Nala benar-benar turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah itu.

Tubuh pria itu masih bergetar hebat di dalam mobil. Jantungnya berpacu cepat. Apa ini? Apa ini fakta yang sebenarnya? Apa ini arti mimpinya selama ini?

Melihat rumah gadis itu membuat rasa bersalah kian menyarang di dalam hati. Apa gadis itu hidup susah seperti ini karenanya?

‘Pecundang Dav, kau seorang pecundang!’

To be continue

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status