Share

1. Hari Kelulusan

Di tengah kerumunan para siswa SMA Tunas Bangsa, tampak seorang gadis saling berimpitan. Tubuh mungilnya menyelinap begitu saja, berusaha mencari tahu apa yang ada di depan sana, seperti siswa lainnya. Tak peduli aroma tak sedap yang dihirup, rasa penasarannya jauh mengalahkan semua itu.

Wajahnya berbinar, ketika mendapatkan sebuah nama tertulis di kertas yang terpajang. Senyum manis terus saja mengambang di bibir berwarna merah muda itu.

“La, kita lulus!” sorak temannya kegirangan.

Gadis itu mengangguk antusias, sama seperti siswa lainnya.

“Hebat kamu, La, ada di posisi pertama lagi,” ucap salah satu siswa yang ada di sana.

Nala Anindita, atau orang biasa memanggilnya Nala. Gadis berusia 18 tahun yang terkenal pendiam, adalah siswi yang tak bisa dianggap remeh. Otaknya yang di atas rata-rata tak perlu diragukan lagi. Selain itu, paras wajahnya yang hampir sempurna menjadikan Lala primadona para remaja laki-laki SMA Tunas Bangsa.

Setelah selesai dengan drama saling berdesakan, kini Nala dan Nita memutuskan untuk langsung pulang. Nita adalah teman satu-satunya, yang dimiliki Nala. Di saat yang lain berteman dengan tujuan memanfaatkan kepintarannya, berbeda dengan Nita. Gadis itu tulus berteman dengan Nala, meski telah mengetahui tentang latar belakang keluarga Nala.

“Setelah lulus kamu lanjut kuliah di mana, La?” tanya Nita sembari memasukkan keripik kentang ke dalam mulutnya. “Pak antar kita ke mall dulu ya!” perintah Nita lagi kepada sopir pribadinya.

Nala menggeleng melihat tingkah temannya itu. Nala dan Nita mempunyai kehidupan yang jauh berbeda. Nita yang memiliki hidup mewah, membuat gadis itu bisa mendapatkan apa pun yang diinginkan, dan itu berbanding terbalik dengan kehidupan Nala. Hanya satu persamaan mereka, menjadi anak yatim piatu.

“Kamu lanjut kuliah di mana, Nit?” tanya Nala setelah lama bungkam.

Nita menoleh, “Ditanya kok malah balik tanya,” cebik Nita. Gadis itu kembali melanjutkan memakan keripik kentang miliknya. Sementara Nala, hanya terdiam sembari tersenyum kecil.

Kuliah adalah hal yang diimpikannya sejak dulu. Mengenyam pendidikan setinggi mungkin, adalah keinginan semua orang, termasuk Nala. Hanya satu yang masih membuatnya ragu. Beasiswa yang diajukannya belum juga mendapat balasan. Hidup dalam keterbatasan ekonomi, membuat Nala sedikit merasa terhambat dalam hal pendidikan, tetapi hal itu tidak serta merta membuat dia menyerah. Nala akan berusaha sebisa mungkin agar bisa menggapai mimpinya.

“Ayo turun!” ajak Nita yang sukses membuyarkan lamunannya.

Nala tersenyum, kakinya mengikuti sang empu mobil untuk turun. Kini dia dan Nita berjalan memasuki salah satu mal terbesar di Kota Bandung. Andai saja Nala tidak memiliki teman seperti Nita, mungkin dia akan berpikir seribu kali untuk datang ke tempat seperti ini. Sebelumnya, mereka sudah berganti pakaian, ketika mobil Nita mampir untuk mengisi bahan bakar.

“Kamu mau cari apa, Nit?” tanya Nala. Dia belum mengetahui maksud gadis itu datang kemari.

“Tentu saja belanja, La ... apalagi? Minggu depan pesta kelulusan kita, dan aku belum memiliki pakaian untuk pesta nanti,” jelasnya panjang lebar.

Nala hanya mengangguk. Bibirnya membulat membentuk huruf O.

“Jangan bilang kamu lupa?” Nita langsung berbalik, menghadap ke belakang untuk melihat temannya itu. Matanya menyipit, disertai dengan jari telunjuk yang menunjuk wajah cantik Nala.

Gadis itu hanya tersenyum lebar menanggapinya.

Nita menepuk dahi, sementara gadis di depannya itu terkekeh pelan. “Aku sudah menduganya. Pasti kamu lupa,” cibirnya lagi.

“Nggak lupa, Nit … hanya tidak ingat,” kekeh Nala.

Pada dasarnya Nala tidak terlalu memikirkan tentang pesta perpisahan itu. Bisa lulus dengan nilai yang bagus saja sudah membuatnya merasa sangat senang dan terus bersyukur.

“Ck kebiasaan. Kamu nggak ada niat buat nggak datan, kan, La?” tanya Nita dengan tatapan menyelidik.

Nita tahu benar sifat temannya. Tidak suka keramaian, itu selalu menjadi alasan Nala jika diajak menghadiri pesta-pesta yang diadakan teman sekolah mereka.

“Pokoknya kali ini kamu harus datang, La. Aku tidak menerima penolakan.” Nita langsung menarik tangan Nala, membawanya masuk ke dalam salah satu stan yang menjual pakaian.

Nala hanya bisa pasrah ketika Nita menariknya. Menolak, itu percuma saja. Nita adalah seseorang yang tidak bisa dibantah, mungkin sudah menjadi kebiasaan gadis itu di rumah.

Nita menyuruh Nala untuk mengambil pakaian yang akan dipakai untuk acara pesta nanti. Tak peduli gadis itu berusaha keras untuk menolak, Nita tetap memaksa gadis itu. Uang? Nita tidak terlalu memikirkan hal itu. Baginya, untuk Nala dia rela merogoh saku cukup dalam.

Setelah melewati perdebatan yang cukup panjang. Akhirnya pilihan mereka jatuh pada gaun selutut dengan model off shoulder. Nala memandangi dirinya di depan cermin di kamar pas, bahu mulusnya tampak terekspos nyata.

“Apa ini tidak terlalu terbuka?” tanya Nala dengan wajah polos. Ini pertama kalinya dia mengenakan gaun.

Nita menggeleng. “Cocok sama kamu,” ujar Nita sembari memutar-mutar tubuhnya di depan cermin. “Lihatlah warna merah sangat cocok denganku, kan?” tanya Nita sembari memandang Nala dari depan cermin.

Setelah yakin dengan pilihan masing-masing, kedua gadis itu segera naik ke lantai atas, menuju foodcourt untuk mengisi kembali energi mereka. Nala dan Nita membeli gaun yang sama hanya berbeda warna saja. Jika Nita lebih menyukai warna cerah seperti merah, maka Nala lebih menyukai warna gelap seperti hitam.

“Aku ke toilet sebentar,” pamit Nala ketika mereka sudah duduk di sebuah meja. “Aku ikut pesanan kamu saja,” ujarnya sebelum berlalu.

Gadis itu berjalan dengan sedikit tergesa. Panggilan alam yang datang tiba-tiba membuatnya berjalan tanpa memperhatikan sekitar. Setelah memastikan toilet kosong gadis itu segera berlari masuk. Menuntaskan panggilan alam yang terasa mengganggu.

.

.

.

.

.

Nala terlihat membasuh wajah di wastafel. Berusaha menghilangkan bercak darah di hidung mancungnya. Saat di dalam toilet tadi, tiba-tiba saja gadis itu mengeluarkan darah dari dalam hidung.

Gadis itu tampak menggeleng berkali-kali, mengusir rasa sakit yang menyerang kepala. Tangannya mencengkeram kuat pinggiran wastafel. Merasa sudah tidak tahan lagi, Nala segera menyambar tas miliknya lalu berjalan keluar.

Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi. Napasnya terdengar memburu, disertai dengan dada yang bergerak naik turun. Nala berusaha sekeras mungkin untuk tetap mempertahankan kesadarannya. Nihil, tubuh mungil itu akhirnya limbung.

“Anda baik-baik saja?” tanya seorang pria yang tanpa sengaja melihat dan menangkap tubuh mungil Nala. Gadis itu berusaha membuka matanya untuk melihat wajah itu, tetapi hal itu tidak berpihak kepadanya. Tubuh Nala jatuh dalam pelukan pria itu.

“Oh Shit! Kini aku harus terjebak dengan seorang gadis asing!” umpat pria itu.

Namun, naluri kemanusiaannya masih bekerja. Pria itu segera membopong tubuh gadis muda di hadapannya. Membawanya keluar, untuk segera ke rumah sakit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status