“Gimana, Tan, terapinya?” tanya Sinar antusias saat melihat Eila lebih dulu keluar ruangan. “Pras mau datang aja, udah syukur banget, Nar,” jawab Eila. “Makasih, ya. Semoga aja ke depannya bisa ada progres. Apa pun itu.”“Saya yang harusnya berterima kasih.” Sinar kembali mengingat detik-detik di saat Pras menggeram menahan sakit kala itu. “Mau sebanyak apa pun itu, rasanya saya nggak bisa ngebayar utang budi saya ke mas Pras.”“Nggak usah terlalu dipikirkan,” ucap Eila mengusap lengan Sinar. “Tante minta doanya aja.”Sinar menatap ponselnya yang berdering singkat. Ia membaca pesan yang dikirimkan oleh Elo, tetapi tidak membalasnya,“Saya selalu doain mas Pras,” ujar Sinar masih merasa tidak enak hati pada Eila. “Semoga ada keajaiban dan dia bisa jalan seperti dulu.”“Amin.”“Tan, saya pamit ke toko dulu, ya,” ujar Sinar segera menyalami Eila. “Sudah ditunggu mas El di lobi.”“Oke, Tante juga bentar lagi pulang,” kata Eila. “Hati-hati, ya.”“Iya, Tan,” pamit Sinar lalu berlari kecil
Sinar terbatuk keras, memuntahkan air yang sempat tertelan saat Bima selesai melakukan kompresi dada dan napas buatan. Bibirnya yang semula membiru mulai berangsur pulih, rona pucat di wajahnya perlahan menghangat.Suasana yang semula diliputi kepanikan, sontak berubah jadi kelegaan. Napas panjang terdengar dari semua yang menyaksikan, seolah baru saja dilepaskan dari mimpi buruk.Lega. “Haaah … bego banget, sih, lo!” hardik Bima, menepuk pelan pipi Sinar. Antara kesal, panik, dan masih syok oleh ketakutan akan kehilangan wanita itu.Saat mendengar suara Pras berteriak, Bima tahu ada yang salah. Terlebih ketika ia tidak melihat Sinar berada di tempatnya. Bima segera berlari keluar, menatap kolam renang, dan langsung melompat ke dalamnya tanpa pikir panjang. “Lo itu nggak bisa berenang begooo!” Bima kembali meluapkan kekesalannya pada Sinar. “Ambil handuk!” titah Eila pada pelayan yang berada di sana. “Bathrobe atau apalah! Cepat!”Telunjuk Eila kemudian mengarah pada Irfan, perawat
“Tante, maaf kalau saya ngerepotin lagi,” ucap Sinar sebelum Eila membuka suara. Ia memang sudah membicarakan beberapa hal melalui telepon, tetapi tetap saja Sinar ingin memastikan semuanya. “Tapi, saya harap Tante nggak berubah pikiran.”Eila tersenyum kecil. Menunduk dan melepas gandengan Asa dari Sinar. “Mungkin bukan Tante yang berubah pikiran, tapi kamu. Pras itu makin keras kepala, jadi, kamu harus siap-siap makan hati kalau ngadapin dia.”“Saya sudah yakin.” Sinar mengangguk mantap. “Nggak akan berubah pikiran.”“Kalau begitu, ikut Tante ke belakang,” ajak Eila kemudian menggendong Asa. “Aya nggak diajak?”“Enggak.” Sinar menggeleng sambil mengeluarkan sebuah wadah plastik dari tas yang dibawanya. “Ada papanya ke rumah. Jadi–”“Aaasa!” Kaisar tersenyum lebar saat melihat Asa di gendongan Eila. “Ikut Opa ke depan ayo!”“Jangan ngerebut!” ujar Eila menepis tangan sang suami. “Kami mau ke belakang.”“Jangan bawa Asa nemui Pras,” ujar Kaisar akhirnya mengambil Asa dari tangan Eila.
Dengan tubuh yang masih saja bergetar, Sinar mondar-mandir di depan ruang operasi. Setiap langkahnya dipenuhi kecemasan yang menumpuk. Tidak kunjung mereda, seperti lampu di atas pintu ruang operasi yang terus menyala tanpa kepastian.“Nar …”Sinar menoleh cepat. Tanpa ragu, tubuhnya menghambur ke pelukan Elo yang berlari menghampiri dengan wajah panik.“Asa di mana?” Sinar mengurai pelukannya. “Sama Pak Harsa … Ta-tadi masih di IGD, tapi nggak ada yang serius.”Helaan lega keluar dari mulut Elo. “Gimana kro–”“Je!” Bima menyusul beberapa saat kemudian. Napasnya berat, ngos-ngosan seperti Elo. “Pras?”“A-aku nggak ngerti, Bim.” Suara Sinar bergetar, kemudian menatap Elo. “Mas … titip Asa, ya? Aku … aku–”“Ssshhh …” Elo menyela dan kembali memeluk Sinar, lebih erat. Ia paham, wanita itu sedang berada dalam kepanikan yang tidak berujung. Getaran tubuh yang sejak tadi terasa begitu jelas, sudah membuktikan jika Sinar tidak mampu memikirkan apa pun untuk saat ini. Elo tidak jadi menuntu
Dengan sengaja, Sinar menekan sudut bibir Elo begitu gemas, membuat pria itu meringis dan merintih menahan nyeri. “Biarin! Rasain!” desis Sinar sambil mengobati luka di wajah Elo. Mengusap sisa darah kering yang masih menempel di wajah sang mantan suami. “Nggak inget umur apa? Udah tua masih aja berantem! Tawuran sama siapa, sih, Mas!” Sebenarnya, Elo baru pulang dari apartemen Zevan. Ia langsung mengkonfrontasi perihal Melati pada pria itu tanpa basa basi. Awalnya, mereka hanya adu mulut, tetapi berakhir dengan adu jotos yang tidak bisa terelakkan. Meskipun pria itu sudah berulang kali meminta maaf dan mengaku menyesal, tetapi Elo belum merasa puas karena Zevan telah berbohong dan mengkhianatinya.Persetan dengan kasus Miliar Paper yang tengah mereka korek untuk menjatuhkan Pras. Yang jelas, Elo sudah melampiaskan amarahnya pada pria itu, meski rasanya tidak akan pernah cukup. “Berantem sama siapa sih, Mas?” tanya Sinar sangat penasaran. “Cewek barumu jalan sama cowok lain? Gitu?
“Kamu mau dicopot dari jabatan CEO terus dibuang ke jalan sama Pras!” desis Melati mendorong tubuh Elo hingga pria itu terduduk di kursi rapat. “Kamu nggak mikirin gimana nasib anakmu nanti? Nggak mikirin gimana masa depanmu?”“Apa-apaan, sih, Mel!”Baru saja Elo masuk ke dalam ruang rapat, tetapi Melati sudah mendorongnya dan mengomel tanpa sebab. “Zevan!” hardik Melati.Elo menelan ludah. “Kamu … dari mana kamu tau? Pras tau? Dia sudah tau, makanya kalian semua ke sini ada meeting mendadak?”“Nggak ada yang tau kecuali aku.” Melati kembali melunak setelah membuang napas besar. “Jauhi kasus Miliar Paper dan jangan beri Zevan info apa pun.”Elo berdecih. “Kamu takut karirmu hancur, karena kamu sekutu Pras?”“Aku tau, kalian berdua benci dengan Pras.” Melati menggenggam tangan Elo. “Tapi percaya sama aku, kalau kamu nggak berhenti, Pras akan tahu kalau kamu juga ada andil di belakang semua ini.”“Mel–” “Dengarkan aku dulu,” mohon Melati mengeratkan genggamannya. “Pak Abraham, nggak p