2 bulan kemudian.
“Tania……!” seseorang berlari-lari kecil ke arah gue dengan senyumannya yang terbuka lebar.
Gue membalas senyuman itu lantas melambai kecil dan langsung memeluknya dengan erat ketika ia sampai di depan gue.
Namanya Rani, sahabat gue sewaktu SMA. Dulu waktu sekolah, kami sahabat dekat, sebangku lagi. Namun sewaktu kuliah, kami berpisah. Dia mengikuti mamanya ke Surabaya sedangkan gue masih betah-betah aja tinggal di Jakarta.
“Enggak nyangka ya, delapan tahun kita enggak ketemu.” Komentar gue ketika kita sudah duduk di bangku kami masing-masing.
Seorang waiters datang membawa sebuah buku menu. Karena tak ingin diinterupsi terlalu lama, akhirnya kami memilih langsung memesan. Virgin mojito buat gue, dan stroberi punch untuk Rani.
“Lo tambah cantik aja sih Nia?” Rani tertawa ke arah gue. Tawa yang sama dengan delapan tahun lalu, bedanya kini Rani terlihat lebih dewasa dan lebih anggun.
“Akh, lo juga sama tau. “Jawab gue sambil menyesap virgin mojito yang baru saja datang. Meskipun semalamam kami sudah bertukar cerita layaknya sepasang kekasih yang dipertemukan kembali setelah terpisah cukup lama, namun tak bisa mengurai rindu yang sudah terjeda selama delapan tahun ini.
“By the way…kenapa tiba-tiba lo ngehubungi gue Ran?” Tanya gue kemudian. Kami memang sudah lama lost contact, dan gue cukup terkejut ketika semalam muncul nomor baru di ponsel gue.
Rani mengulas senyum, membuka tas cokelat yang ia taruh di sampingnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana.
“Lo harus dateng…..” dia mengulurkan sebuah kotak berwarna hitam dengan pita berwarna cokelat itu.
“Jadi bridesmaid gue.”
Gue menaikkan alis, cukup terkejut ketika mendengar Rani hampir melepas masa lajangnya. Pasalnya sejak dulu gue selalu mengira jika Rani bakalan tertinggal jauh dari gue masalah pernikahan. Gue yang suka gonta ganti pacar, sedang Rani yang selalu setia dengan cintanya yang bertepuk sebelah tangan.
“Jadi lo mau nikah?” Gue menerima kotak itu lantas membukanya. “So beautiful dress….” gue menarik isi kotak hitam yang ternyata berisi sebuah dress berwarna peach itu. Sangat anggun dan gue yakin jika gue bakalan kelihatan cantik dengan dress ini.
“Lo harus dateng Nia. Enggak boleh ada kata enggak atau lo bukan sahabat gue.”
Gue tertawa.
“Gue enggak ada alasan untuk menolak undangan lo honey!” jawab gue mantap. “HUjan badai bakal gue terjanglah demi datang ke pesta pernikahan lo.”
“Sure?”
“Yes!” Gue mengangguk. “By the way, siapa cowok beruntung yang bisa memenangkan hati seorang Rani Demiatri yang sekeras batu untuk masalah percintaan?” gue melebarkan senyum.
“Rangga.” Jawab Rani santai sambil meletakkan gelas minumannya yang baru selesai ia sesap.
“Rangga?” gue mengerutkan alis. Nama Rangga sepertinya tidak asing di telinga gue.
“Rangga Abiyaksa.” Rani memperjelas kalimatnya.
“Ra-ngga Abi….Abi……” gue masih mencoba mengingat-ingat sampai akhirnya ingatan gue tertuju pada sebuah nama yang begitu familiar di kepala gue.
“What?!” Gue menatap Rani tidak percaya. “Rangga Abiyaksa?! Bukannya itu pacar Mitha waktu SMA dan cowok yang diem-diem lo sukai itu?”
Rani mengangguk sambil tertawa.
“Yap. Lo kaget khan?”
“Bangeeet……” Gue menggeleng-geleng tidak percaya. Bagaimanapun juga Rangga Abiyaksa-lah yang membuat Rani betah menjomblo selama tiga tahun dengan cintanya yang bertepuk sebelah tangan.
“Gimana caranya lo bisa nikah dengan Rangga Ran? Secara dia sama Mitha dulu….udah kaya….I’m sorry…..gue bukannya mau membuka masa lalu…..”
Rani tertawa melihat ekspresi gue. Karena gue bener-bener terkejut. Gue kira cowok cakep yang namanya Rangga itu memang sudah ditakdirkan berjodoh sama teman sekelas kami bernama Mitha. Secara mereka udah kayak lem sama perangko, udah kayak botol sama tutupnya. Kemana-mana selalu berdua, bahkan denger-denger dulu mereka bakalan segera nikah selepas SMA karena orangtua juga udah pada merestui. Tapi enggak Taunya…yang Namanya jodoh…..Cuma Tuhan yang tahu.
“Jodoh itu emang misteri Nia. Terkadang yang pacaran bertahun-tahun tetep kalah sama yang udah tertulis dalam takdir.” Ungkap Rani. “Awalnya gue juga enggak nyangka bakalan ketemu lagi sama Rangga di Surabaya, dan dengan status dia yang single.”
“Jadi mereka udah putus?”
Rani mengangguk. “Ceritanya panjang Nia. Lain waktu bakalan gue certain kalau ketemu. Oke?”
Gue mengangguk meskipun sebenarnya amat sangat penasaran. Gue menghormati perasaan Rani, mungkin dia memang masih merasa tidak nyaman jika harus membuka cerita masa lalunya Bersama Rangga dengan Mitha diantara mereka.
“Lo punya cowok kan Nia?” Tanya Rani kemudian, yang membuat gue langsung menoleh.
“Kenalin sama gue.”
Gue mengangguk.
“Ada.” Jawab gue. “Sebentar lagi gue juga mau nikah.”
“Beneran?” kali ini Rani yang tampam terkejut.
“Iya. Sebulan lagi.”
“Wooow…..padahal kita enggak janjian. Tapi kenapa nikahan juga hampir barengan ya Nia?” senyum Rani terbuka lebar.
“Gue juga enggak ngerti. Kayaknya kita punya sesuatu yang dinamakan telepati?”
Rani tergelak.
“Sok atuh….kenalin sama gue. Siapa namanya?”
“Altan.”
“Altan…nama yang bagus. Kapan-kapan kenalin gue ya Nia?”
“Pasti Ran. Masa gue enggak ngenalin suami gue sama sahabat baik gue?”
“JAdi lo bisa dateng sama Altan ‘kan?” Rani menatap gue penuh harap.
Gue berfikir sejenak. Sebenarnya tidak sulit sih bagi gue buat ngomong ‘iya’ karena gue juga pengen datang sama pasangan gue di pernikahan Rani nanti. Tapi masalahnya apa Altan punya waktu, berhubung dia punya sejuta kesibukan melebihi orang normal?
“Iya. Nanti gue bilang sama dia.” Jawab gue kemudian.
*****
“Lo datang sendiri aja ya Beb. Gue ada meeting sama klien.”
Nah, bener kan!
“Enggak bisa ya ketemu klien-nya dicepetin gitu atau ditunda gitu?” Gue bersungut. Wajah gue yang semenit lalu penuh dengan senyum kini berubah masam.
Altan menggeleng.
“Yakali aku harus ngebatalin acara meeting Cuma buat datang ke pesta nikahan temen kamu?”
Gue menenggak ludah. Kalimat Altan begitu mengena di hati gue. ‘Cuma buat datang ke pesta temen kamu?’ sebegitu enggak pentingkah sahabat gue bagi dia? Untung saja hari ini gue bener-bener sabar, jika tidak, mungkin gue udah ngajakin dia berantem seperti biasanya.
“Yaudahlah, terserah kamu aja.” Gue mengaduk-aduk pasta di depan gue dengan tidak bersemangat.
“Marah?” Altan meraih tangan gue dan meremasnya pelan. “Kalau enggak ada meeting, aku juga bakalan dateng sama kamu Nia.”
Gue mengangkat muka, dan mendapati wajahnya tengah tersenyum sama gue. Yaaa….setidaknya senyum itu yang bikin gue meleleh. Altan memang tampan, bukan Cuma pendapat gue yang emang tergila-gila sama dia. Banyak kok yang bilang gue beruntung dapet cowok tampan macam dia. Hidung yang mancung dibingkai dengan wajah yang kecil serta kulit kecoklatan membuat dia layak mendapatkan predikat cowok tertampan di Indonesia. Hahahaha.
“Habisnya kamu sibuk terus.” Gue merengek. “Tau enggak kalau aku udah mirip wanita enggak laku-laku karena selalu datang sendiri tiap ke kondangan?”
Altan tertawa. Memperlihatkan gigi rapihnya.
“Iya…iya…sorry….” Balasnya. “Tapi bulan depan ‘kan udah sah jadi nyonya Altan.”
Aku merengut. Masih pura-pura merajuk.
“Tapi janji ya kalau udah nikah nggak ada drama-drama kayak begini lagi dan bakalan nganterin aku ke kondangan?!” gue mengangkat jari kelingking, dan dia mengangguk. Menautkan jari kelingkingnya di kelingking gue.
“I’m promise honey….”
Gue mengulas senyum. Meski gue enggak yakin kalau omongannya bisa dipercaya, tapi setidaknya gue selalu merasa nyaman jika dia membuat sebuah janji sama gue. Bukannya wanita gitu ya? Suka banget kemakan janji-janji palsu?
“Udah dong, dimakan kalau gitu.” ALtan mengedik kearah pasta gue yang udah mirip bubur.
Gue berdecak lirih.
“Udah enggak nafsu.” Jawab gue kemudian.
“Mau dipesenin yang lain?” Altan hendak mengangkat tangan memanggil waiters, namun buru-buru tangan gue mencekal lengannya.
“Enggak usah.” Tolakgue.
Nafsu makan gue sudah benar-benar hilang, jadi meskipun diganti dengan makanan lain pun enggak bakalan gue habiskan.
“Gimana kalau makan di rumah?” tawarnya kemudian. “Aku yang masak.”
“Di rumah kamu?” gue mendadak antusias. Sudah lama juga gue enggak datang ke rumah.
Dia mengangguk.
“Sekalian tidur di rumah ya? Aku kangen.”
Dan gue hanya menjawab dengan senyuman sambil tersipu malu.
*****
Gue nggak nyangka jika Tania menyetujui ajakan gue untuk jalan-jalan ke taman bermain. Gue pikir dia bakalan menolak mentah-mentah seperti biasanya, tapi ternyata kini dia sudah bersiap. Celana jeans dipadukan dengan kaos pendek membuatnya terlihat segar pagi ini.“Siap?” Tanya gue ketika kami sudah berada di baik kemudi. Gue lirik dia yang duduk tenang di kursinya.“As you can see.” Jawabnya sambil memasang seat belt.Gue mengulas senyum, lantas menghidupkan kendaraan. Tak berselang lama, mobil BMW gue sudah keluar dari basement, memebelah jalan raya yang relative sepi ketika liburan seperti ini.Berbeda dengan jalanan yang lumayan lengang, taman bermain justru penuh dengan lautan manusia. Mumpung libur, mereka pasti menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama keluarga sebelum akhirnya kembali pada rutinitas padat mereka yang mencekik keesokan harinya.“Lo mau hiburan apa Tania?” gue memutar pandangan ke sekelili
TaniaCuti gue masih tersisa beberapa hari lagi, sebelum akhirnya gue kembali ke kantor dan menyibukkan diri dengan aktifitas pekerjaan seperti biasanya. Cuti yang rencananya sebagai liburan bulan madu gue, kini hanya berakhir di apartement. Tidur, makan, lihat TV, ngelamun. Setiap malam mama pasti datang menemani gue tidur di sini, sedangkan jika siang hari Rani yang akan datang ketika suaminya sibuk bekerja. Gue tahu jika mereka khawatir sama gue jika sendirian. Tapi tenang, patah hati nggak akan sampai buat gue bunuh diri.Gue memang masih sedih. Siapa coba yang tidak akan berduka ketika patah hati? Apalagi ketika ditinggalkan menjelang akad nikah. Namun gue adalah manusia yang berfikir rasional, tangisan gue atau apapun itu nggak akan merubah keadaan menjadi lebih baik. Jadi gue berusaha untuk bersikap biasa saja di depan orang-orang yang menyayangi gue, meskipun terkadang ada suatu waktu yang membuat gue tidak bisa menahan air mata, yaitu waktu menjelang tidur.
Jika biasanya setelah menikah suami istri akan tinggal serumah dan memulai kehidupan baru dengan bahagia, namun tidak dengan pernikahan gue. Status suami istri hanya ada di buku nikah, selebihnya kami menjalani kehidupan kami masing-masing. Tania tinggal di apartementnya, sedang gue masih betah tinggal di hotel. Meskipun begitu, gue tidak serta merta cuek dengan gadis itu. Sesekali gue menanyakan pada Rani tentang keadaannya di apartement, atau bahkan terkadang gue menelpon mamanya Tania untuk menanyakan kabar gadis itu.Kabar pernikahan gue bukannya sesuatu yang dianggap biasa saja oleh orang-orang di sekeliling gue. Terlebih mama dan tentu saja Jessi. Awalnya mama marah-marah tidak jelas karena tak dikabari tentang pernikahan mendadak gue, namun setelah gue jelaskan semuanya—namun tentu saja bukan tentang keinginan gue bertanggung jawab untuk menutupi aib—akhirnya mama setuju untuk tidak kembali terbang ke Jakarta.Gue tahu jika sekarang Jessi berada dala
Tania.Siapa yang tidak terkejut ketika melihat seseorang yang kita cintai berada di dalam hotel dengan seorang wanita lain. Mungkin, ini lebih seperti mimpi buruk bagi gue. Ketika gue dicampakkan dengan alasan yang tidak jelas hanya melalui sebuah pesan singkat di saat ijab qobul sudah hampir dilaksanakan.Hati gue menjerit. Memberi dorongan bagi gue untuk melampiaskan semua sakit hati yang gue rasakan sekarang pada Altan, namun hati kecil gue berkata lain. Tidak pantas penghianat seperti dia mendapatkan apapun dari gue, bahkan pukulan dari tangan gue yang berharga ini.“Jadi, alasan lo ninggalin gue adalah karena wanita itu?” Tanya gue tenang. Tak ada lagi panggilan ‘aku-kamu’sekarang. Karena gue muak. Karena dia bukan orang yang pantas gue hargai sekarang.Altan menarik nafas lalu menunduk.“Iya.”Dan jawabannya seperti sambaran petir di hati gue. Dada gue sesak, ingin menangis. Namun sekali lagi, gue t
Felix.Gue nggak nyangka kalau status gue berubah secepat ini dari lajang menjadi menikah. Suatu hal yang sama sekali tidak terpikirkan dalam otak gue. Sebenarnya gue juga tidak bermaksud untuk menjadi pengganti suami bagi Tania. Hanya saja ketika melihatnya seperti tadi, perasaan gue bener-bener hancur.“Seharusnya lo nggak usah berbuat senekat ini Fel!” Rangga menyisir rambutnya ke belakang dan tampak frustasi. Sejak tadi dia berdiri di depan gue dengan tatapan menghakimi. Kini kami berada di rooftop hotel, setelah beberapa saat menyalami para tamu yang hadir. Ketika Rangga menghampiri gue dan mengajak gue kesini tadi, Tania sudah dibawa Rani ke dalam kamar. Entah apa yang akan terjadi setelah ini, sama sekali belum gue pikirkan.“Udah terlanjur Ngga. Tania udah jadi istri gue.” Entah kenapa perasaan gue menghangat ketika menyebut tania dengan panggilan ‘istri gue’. Sama sekali tidak ada penyesalan di hati gue, bahkan gue sa
Tania.Moment yang paling membahagiakan bagi seorang wanita itu mungkin ada dua. Pertama, adalah hari pernikahannya dan kedua adalah lahirnya jabang bayi dari perutnya. Dan sekarang, gue sedang menapaki kebahagiaan pertama gue, yaitu menjadi pengantin. Hal yang gue impikan lebih dari apapun selama ini. setelah penantian gue yang terbilang cukup lama. Setelah sabar gue ketika teman-teman gue yang baru pacaran seumur jagung menyalip gue dan lebih dulu menikah. Akhirnya, Tuhan menjawab doa-doa gue selama ini. menikah dengan orang yang gue cintai, dan gue rasa orang yang paling tepat untuk mendampingi seumur hidup gue.“Aduuuuh gue deg-deg-an banget Ran…” berkali-kali gue meremas tangan gue untuk mengurai debar yang sejak semalam membelenggu hati gue. Sesekali gue lirik layar televisi yang terhubung dari kamar hotel ke aula yang berada di lantai bawah. Dimana sekitar setengah jam lagi akad nikah gue bakalan dilaksanakan.“Kalem….tenan