Share

Kamp Penyintas

"Apa yang terjadi di sini?"

Argo dan Cheryll terbelalak saat melihat kamp penyintas yang mereka datangi telah hancur porak poranda. Bangunan museum dan kemah-kemah sederhana di sekitarnya telah dilalap api. Tidak ada yang tersisa, kecuali puing-puing yang terbakar.

"Kebakarannya belum lama," gumam Argo setelah menganalisis tempat itu. Mungkin sekitar satu atau dua jam yang lalu, dan aku rasa tidak ada korban yang selamat, atau bisa jadi mereka telah melarikan diri, pikirnya.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang batuk dari dalam museum, sewaktu mereka mendekati bangunan tersebut.

"Kau mendengarnya? Sepertinya barusan ada yang batuk dari dalam," ujar Cheryll seraya menatap pria berambut hitam pekat di sampingnya.

"Kelihatannya masih ada orang yang selamat di dalam museum. Aku akan menolongnya," ujar Argo seraya berlari ke arah lubang besar di dinding museum. Sangat aneh tetapi ia tidak punya waktu untuk memikirkannya.

Kebakaran tidak menghabiskan museum itu, karena hampir keseluruhan bangunan penyimpan barang-barang sejarah tersebut tidak terbuat dari kayu. Hanya pintu dan beberapa rak yang digunakan untuk memajang barang-barang bersejarah. Atapnya sendiri terbuat dari beton.

Argo memeriksa ruangan museum yang tertutupi oleh asap hitam dan hawa panas sisa bara api dengan berhati-hati. Ia terbatuk-batuk dan matanya terasa perih.

Di dekat salah satu rak terguling yang hampir habis dimakan api, ia menemukan seorang pria tua terbaring lemah. Tak berdaya. Dari kaki sampai lututnya tertimpa oleh rak itu. Tubuhnya basah kuyup oleh keringat. Pria ini cukup beruntung karena tidak ada rak lain di dekatnya, selain rak yang menimpa kakinya. 

"Bertahanlah!" ujar Argo seraya berusaha mengangkat lemari tanpa pintu itu.

Akan tetapi ia tidak cukup kuat untuk mengangkatnya. Terlebih lagi rak tersebut terasa panas. Baranya masih memerah.

"Uhuk … uhuk … tidak usah mengkhawatirkanku, Orang Asing!" lirih si kakek dengan bibir bergetar. "Aku sudah tidak tertolong lagi. Waktuku sebentar lagi akan segera habis."

"Maaf saja, Pak Tua! Aku tidak akan membiarkanmu pergi sekarang!" Argo tetap berusaha mengangkat rak itu sekuat tenaga, dan entah bagaimana ia berhasil mengangkatnya, meskipun hanya sedikit.

"Ah, Profesor Agatha!" kata Cheryll yang menyusul Argo.

"Cheryll! Cepat keluarkan dia! Aku sudah tidak bisa menahannya lebih lama lagi!" perintah Argo.

"Ba-baiklah!" jawab Cheryll seraya berlari melewati kepulan asap. Lalu menarik tubuh pria tua yang dipanggilnya profesor Agatha itu dengan susah payah.

Setelah Profesor Agatha berhasil dibawa menjauh dari bawah rak jatuh dan disandarkan pada dinding, Argo segera melepaskan rak itu. Ia membuang napas sambil mengelap peluh di keningnya.

"Oh, kalau tidak salah, kamu adalah Cheryll," kata Aghata seraya menyipitkan matanya.

"Iya, aku Cheryll, apa yang sudah terjadi, Prof?"

"Ah, begini, aku ingin menyelesaikan proyekku membuat robot tempur, untuk menjaga kamp ini dari para penjarah, tapi …." Terbatuk-batuk.

"Tapi robot itu lepas kendali, kemudian menghancurkan tempat ini dan membunuh semua orang?" Argo menyimpulkan.

"Tidak! Aku mendengar teriakkan mereka semakin menjauh," sangkal Profesor Agatha. "Pasti mereka selamat! Ya, setidaknya kuharap begitu."

"Ke arah mana mereka pergi?" tanya Argo menyelisik.

"Entahlah, aku hanya mendengar teriakan mereka saja! Kakiku terjebak rak di sini, ingat? Aku mendengar suara mereka terpencar-pencar."

"Huh, ya sudah, sebaiknya kita segera rawat kakimu, Pak Tua."

Argo segera membopong tubuh kurus ilmuwan pembuat robot itu keluar dari museum. Lalu dibaringkan di bawah pohon tua berdaun rimbun. Ia memakaikan perban pada kedua kaki Profesor Aghata yang telah patah.

Kamp itu berada lima belas meter dari sungai Kapuas yang berair kecokelatan. Jauh dari gedung-gedung lain. Tempatnya bersebelahan dengan hutan lindung. Ini adalah salah satu tempat yang masih memiliki udara segar dan pohon-pohon berbatang besar. Burung-burung bernyanyi riang seolah tidak tahu bencana yang telah melanda umat manusia, atau mungkin mereka memang tidak peduli sama sekali.

"Terima kasih sudah menolongku, anak-anak," kata Agatha seraya tersenyum palsu. "Tapi, sekarang aku sudah tidak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi, aku hanya orang tua tidak berguna. Mungkin lebih baik aku mati sekarang."

"Jangan bodoh! Kau sudah diberikan kesempatan untuk hidup dan selamat dari epidemi beberapa waktu yang lalu. Lagipula, tanpa kau inginkan juga, kematian pasti akan menjemputmu," tegas Argo.

"Ya, kau benar, anak muda." Agatha menghela napasnya. "Tapi sekarang aku hanya sendirian dan kakiku tidak bisa digerakkan lagi. Aku benar-benar tidak berguna."

"Jangan terlalu pesimis! Mungkin orang-orang yang melarikan diri itu akan kembali lagi ke sini. Kita tunggu saja sampai sore!"

"Aku harap juga begitu."

Mereka menunggu kembalinya para penyintas yang melarikan diri dari amukan robot tadi pagi, di bawah pohon berdaun lebat itu. Ditemani nyanyian burung dan belaian lembut angin sepoi-sepoi yang membuai mereka dalam rasa kantuk. Mata mereka semakin berat hingga tanpa sadar telah terlelap tidur.

Siang menjelang sore, Cheryll yang telah bangun lebih awal segera membangunkan Profesor Agatha dan Argo, sewaktu ia melihat sekelompok orang mendekat dari arah barat.

Orang-orang itu terdiri dari lima wanita paruh baya, tiga gadis remaja, satu anak laki-laki berusia kurang lebih delapan tahun dan dua pria dewasa. Salah satu dari mereka tidak diragukan lagi adalah Mia. Satu-satunya wanita yang memiliki rambut keemasan.

"Oh, itu mereka, syukurlah mereka benar-benar kembali," ujar si tua Agatha dengan ekspresi yang susah diungkapkan.

Orang-orang itu langsung menghampiri Agatha yang menunggu di bawah pohon rindang.

"Oh, kau ada di sini, Cheryll?" tanya Mia saat melihat wajah gadis yang dikenalnya.

Cheryll hanya mengangguk.

"Di mana ibumu?" Mia mengedarkan pandangannya. "Apa kau datang ke sini sendirian?"

"Tidak, aku bersama Argo." Cheryll menggelengkan kepalanya kemudian menunduk. "Tapi ibuku …."

Melihat respon Cheryll, Mia langsung memahaminya. Ia segera memeluk gadis berambut panjang tersebut dengan penuh kasih. "Maaf, aku turut berduka."

"Profesor Agatha, kau baik-baik saja?" tanya pria berjanggut tipis.

"Aku baik-baik saja, Den. Aku hanya tertindih rak museum dan kakiku tidak bisa dipakai lagi."

"Tapi setidaknya kau masih hidup, Kakek!" kata gadis bermantel biru yang tak lain dari cucunya, Nadira. Berkaca-kaca.

"Ya, aku selamat berkat anak muda ini," kata Profesor Agatha seraya melirik Argo.

"Terima kasih sudah menolong kakekku, aku pasti akan membalas kebaikanmu." Nadira membungkukkan tubuhnya kepada Argo.

"Bukan masalah besar!" jawab Argo dengan skeptis, kemudian berpaling pada wanita yang memeluk Cheryll. "Lagipula tujuanku ke sini untuk menemuimu, Dokter Mia Hipatia."

Mia sama sekali tidak terkejut mendengar orang yang tidak dikenal mengetahui namanya. Ia seorang dokter, sudah pasti banyak orang yang mengenalnya. Setidaknya itulah yang dipikirkannya.

"Kenapa kau mencariku?" tanyanya.

"Ada yang ingin aku tanyakan kepadamu, kau tidak keberatan?" Argo menatap Mia lekat-lekat.

"Ya, boleh saja, tapi …." Mia menoleh ke arah kemah-kemah dan museum yang berantakan. "Kau harus membantu kami membereskan tempat ini. Bagaimanapun juga, ini adalah satu-satunya tempat tinggal kami yang aman dari para penjarah."

"Huh, baiklah."

Profesor Agatha tampak celingukan. Menatap setiap orang yang ada di sana satu per satu. Sepertinya sedang mencari seseorang.

"Omong-omong, di mana ayah dan ibumu, Nadira?" tanyanya.

"Aku, aku tidak tahu, kami berpisah saat robot itu menyerang." Nadira tertunduk.

Wajah pria yang sudah keriputan itu terlihat diliputi oleh penyesalan. "Maafkan aku, jika saja aku tidak membuat robot itu …."

"Apa yang kau katakan, Kakek!" tukas si pria berbaju hitam. "Ini bukan kesalahanmu, satu-satunya orang yang bersalah adalah aku, kalau saja waktu itu aku tidak lupa memberitahumu ada kesalahan sistem, mungkin robotmu tidak akan …."

"Ya, sudah! Sudah!" lerai seorang wanita paruh baya bergaun merah muda seraya tersenyum manis, tetapi terkesan menakutkan. "Daripada saling mengaku salah, lebih baik kita mulai memperbaiki tempat tinggal kita, lihat sudah hampir sore!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status