Rosa tersenyum malu. Wajahnya telah memerah. Sekali saja Esa mengatakannya sudah membuat jantungnya berdebar, apalagi diulang kembali.
"Aku terima, Bang. Tak usah lah kau ulang lagi," sahut Rosa, wajahnya bersemu merah.
Wajah kesal Esa berubah menjadi cerah. Mood yang ambyar telah kembali. Ia berdiri dan membuka kotak tadi, memakaikan sebuah kalung emas putih dengan liontin berbentuk bunga mawar.
"Cocok," ucap Esa, semringah.
"Benarkah? Cantik kali lah kalungnya, Bang," timpal Rosa, tersenyum. Ia memperhatikan kalung yang telah melingkar pada lehernya.Esa kembali duduk pada kursinya. Ia memperhatikan gadis yang telah resmi menjadi kekasihnya itu. Rasanya seperti banyak bunga-bunga di sekitar mereka.
Esa memegang tangan Rosa. Ia ingin menjanjikan kehidupan bahagia untuk gadis itu, tetapi bukan sekarang. Dengan kerja keras, ia akan membahagiakan Rosa.
"Aku akan bekerja keras agar kita bisa selalu bersama," ucap Esa, penuh
Terimakasih telah membaca cerita ini. Baca terus lanjutannya setiap hari Selasa dan Sabtu
"Entahlah, aneh kali kulihat, dia yang suruh kita memperhatikan, 'kan?""Betul! Eh, lo perhatiin doi?""Iya, kenapa pulak?""Pantesan." Meity melengos. Ia segera mengemasi barang-barang miliknya ke dalam tas bahu berwarna pink. Rosa mengernyit kebingungan. Ia mengikuti langkah Meity di belakang menuju ke kantin. Tiba di kantin, Rosa melihat Jo tengah duduk bersama Felix dan teman-temannya. Ia segera menarik lengan Meity dan mengajak keluar kampus. "Aku traktir ke kafe, yuk," ajak Rosa, tidak menghiraukan protes Meity. "Gue lapar, Ros. Lom sarapan!" pekik Meity, tubuh mungilnya terseret. "Aku traktir apa aja yang kau mau," sahut Rosa, mempercepat langkahnya. Meity tersenyum senang. Ia langsung menyejajarkan langkah cepat Rosa. Meskipun agak tergopoh-gopoh dan napas yang terengah-engah, Meity berhasil menyusul. Mereka keluar dari kawasan kampus Unpad menuju kafe. Tidak jauh memang, sekitar 500 meteran. Mereka
Rosa menutupi kamera ponselnya. Ia benar-benar sangat malu karena telah mengatakan isi hatinya. Esa terkekeh-kekeh. "Jangan ditutupi! Hilangkan cantiknya." Esa semakin senang menggoda Rosa. "Abang, nih, malu tau!""Gak usah malu. Sering cemburu aku rela, kok.""Taklah, sana kerja lagi. Aku ngantuk!" Esa tersenyum geli. Gadis Batak itu marah karena terlalu malu. Wajahnya telah memerah seperti kepiting rebus. "Iya, Sayang. Met istirahat. Nice dream," ucap Anan sembari mengecup layar ponselnya. Tingkahnya terlihat oleh Susan. Ia berteriak, "Kau ngapain cium-cium ponsel, hah!" "Uups! Eh, Kak Susan." Esa memperlihatkan giginya yang putih. Esa merasa jengah karena ketahuan sedang menciumi ponsel miliknya. Mesam-mesem saking terlalu malu. Susan berkacak pinggang memelototinya. "Awas hati-hati kau, ya, nanti kulapor ke Bang Anjun!""Calm down, Kak. Aku gak ngapa-ngapain, kok." Esa jelas ketakutan kalau sudah di
udah jelas bagi Jo bahwa Rosa memiliki abang yang superior. Kehidupan Rosa banyak diatur oleh abangnya tersebut. Ia harus bisa menggantikan peran abang Rosa yang memiliki sifat berkebalikan dengannya. Hal tersebut akan memudahkannya untuk mendekati Rosa. Jo tidak peduli meskipun ia harus merebut Rosa dari Esa. Rosa merupakan mangsa yang besar. Ia akan memperoleh banyak keuntungan. Mereka tiba di kafe strawberi. Rosa turun dari mobil sport. Terlihat Angga sedang memperhatikan Rosa yang berjalan menuju perkebunan. Jo menyeringai, kemudian berbalik masuk ke mobil. Ia memutar balik kemudi untuk keluar dari area parkir kafe. Melaju dengan kecepatan sedang, ia mengendarai mobil ke arah Jakarta. Lewat tol Pasteur. Jo memang biasa menyetir mobil sendiri untuk pulang ke Jakarta. Ia akan menanyakan kepada ayahnya tentang hubungan kekerabatan dalam marga. Keinginannya untuk memiliki Rosa amat besar. Ia tidak peduli lagi tentang adat. *** "S
Telah hampir enam bulan Rosa berhubungan dengan Esa. Jo masih mendekati dengan berbagai cara. Juga rencananya telah tersusun matang. "Ros, nanti pulang jam berapa?" tanya Jo saat melihat Rosa melintasi lapangan basket dan ia mengejarnya. "Hmmm jam tiga sudah di kosan. Kenapa pulak rupanya?""Tak apa. Sekarang mau ke mana?""Ke kantin lah, mau makan siang. Kau tak makan siang?" Jo menggeleng. Lalu tersenyum sembari mengedipkan sebelah matanya. Rosa merasa jengah. Bibir ranumnya cemberut. Dengan sebal, ia pergi tanpa pamit lagi kepada Jo. Jo menyeringai menatap punggung Rosa melalui sudut matanya. Ia akan melancarkan rencana untuk memisahkan Rosa dan Esa. Membuat Esa dibenci oleh Rosa dan gadis Batak itu akan menjadi miliknya. *** Malam hari Rosa menerima sebuah paket tanpa nama. Setahunya, ia sama sekali tidak belanja online. Keluarga di Berastagi juga tidak mengabarinya tentang paket. Rosa penasaran dengan isi paket yang
Selama satu minggu Rosa meringkuk di kamarnya. Esa mencarinya ke mana-mana, di kampus tidak ada, di indekos diusir. Meity terus menemani Rosa. Terkadang Susan datang untuk menjenguk dan menanyakan keadaan Rosa. Rosa benar-benar tidak ingin ditemui oleh siapa pun, terutama Esa. Anjun berulang kali menelepon yang juga tidak dijawab. Ia meminta tolong kepada Susan untuk melihat keadaan Rosa dan menghajar lelaki yang telah menyakiti hati adiknya itu. *** "Sumpah, Kak. Aku gak melakukan hal itu." Esa ditanyai oleh Susan di ruangan kantornya. "Lalu apa ini?!" Susan melemparkan foto-foto ke wajah Esa. Esa terperangah mendapati foto-foto tersebut. Ia sama sekali tidak pernah pergi dengan wanita yang ada di dalam foto. Ia mengamati gadis itu dengan seksama. Mata Esa melebar saat melihat siapa wanita yang ada dalam foto. Ia memandang wajah murka Susan, susah payah untuk mengendalikan ketakutannya. "Bu–bukankah dia, Milia?" "Ya, dia Milia
"Aduh, ngapa pulak dia kasih-kasih aku barang ini?" "Mana gue tau. Tanya sendiri sana masih di bawah orangnya, tuh." Meity sibuk menghabiskan sarapan Rosa."Kau tidak ke kampus?" Meity menggeleng dengan mulut penuh. Pipinya menjadi gembul akibat makanan yang dikunyah. Acuh tak acuh walau Rosa telah mendelik kesal. "Ya, sudah. Kau tinggal di kos dulu. Aku mau ke kampus mengejar ketinggal," ucap Rosa sembari membereskan beberapa buku yang harus dibawanya. "Lo udah baikan emangnya?""Udah, kok, bye ...." ***Rosa berjalan tergesa-gesa menuju ruang kelasnya. Ia tidak menyadari ada seseorang yang mengikuti langkahnya sedari menginjakkan kaki di depan gerbang universitas. Orang itu ialah Jo. Jo berjalan mendekat dan menepuk pundak Rosa. Ia berkata, "Kenceng banget jalannya." Rosa menoleh dan melambatkan langkahnya. Ia menekan perasaannya sehingga dapat menampilkan wajah biasa. Bahkan tersenyum ramah kepada Jo. "Eh, k
Rosa sama sekali tidak punya janji dengan Jo hari itu. Hubungan mereka yang baru dua hari tidak terlalu banyak berkomunikasi karena Rosa yang agak sibuk mengejar ketinggalannya. Begitu pula dengan Jo yang bertekat untuk segera lulus kuliah. Jo sudah menunggak dua tahun selama kuliah di Jakarta. Seharusnya, ia sudah lulus. Hanya saja, akibat perbuatannya selama mengikuti balap liar bersama teman satu geng, membuatnya harus menerima untuk diskors bahkan dikeluarkan. Jo tidak ingin itu terulang kembali. "Jalan ke club, yuk. Kamu sudah terlalu banyak belajar.""Gak mau, Jo. Di sana berisik banget," keluh Rosa, menolak ajakan Jo. "Ya, udah. Ke kafe seberang kampus aja. Gimana?""Baiklah. Ayo, berangkat sekarang." Rosa dan Jo semakin lama semakin dekat. Hubungan mereka sangat romantis di awal. Hingga keduanya lulus bersama dan mulai bekerja di bidang masing-masing. *** "Kamu keterlaluan, Jo!" pekik Rosa, penuh amarah dan kese
"Haaah! Dokter kandungan?" "Iya, kamu sedang hamil. Hanya saja saya tidak dapat memastikan, kecuali kamu mau mengetesnya dengan alat tes kehamilan. Atau, kamu mau mengatakan kapan terakhir kali kamu menstruasi." Rosa bersemu merah. Merasa jengah karena harus bercerita kepada dokter laki-laki di depannya. Ia juga tidak ingin aibnya dibuka kepada orang yang tidak dikenal. Melihat reaksi Rosa, dokter tersebut tidak memaksa. Ia memberikan resep, lalu berkata, "Istirahat dan makan yang cukup, ya." "Terima kasih, Dok," sahut Rosa, menunduk malu. Rosa bersyukur dokter tersebut memahami situasi, tanpa memaksanya untuk bercerita. Ia benar-benar kalut saat itu. Bingung dengan situasi yang menimpanya. "Kenapa harus sekarang? Kenapa harus hadir di saat hubungan kami mulai renggang?" Rosa menangis dalam hati. Rosa menyadari bahwa itu kesalahannya. Ia t