Abimana membubuhkan goresan pena di halaman terakhir proposal, menandakan tugasnya dalam mengecek berkas-berkas itu pun tuntas. "Masuklah!" seru pria ini saat mendengar ketukan pintu dari balik ruangannya.
"Pak, ini kopi Anda. Satu jam lagi Tuan Lim akan tiba. Beliau bilang ingin menemui anda untuk membicarakan demo produk di cabang di Kalimantan." Diana/sekretarisnya menuturkan. "Saya sudah baca e-mail yang dia kirim. Tolong kamu siapkan semuanya, ya." "Baik, Pak." Diana membungkuk sopan sebelum meninggalkan atasannya itu. Embusan napasnya terdengar berat, Abimana tampak lesu kali ini. Padatnya jadwal pertemuan bisnis dan proyek yang harus dituntaskan membuat dia berangsur-angsur merasakan jenuh. Usai merapikan lagi berkas-berkas yang sudah rampung diperiksa, dia mengangkat gagang telepon di sisi kanannya. "Dimas, tolong ke ruangan saya sekarang. Saya sudah baca semua proposal yang kamu kirim kemarin." Lima menit berikutnya pria jangkung tersebut sudah muncul, bergegas menghampiri Abimana. "Iya, Pak?!" "Ini proposal yang bisa kamu urus." "Hanya ini, Pak? Kemarin ada banyak." "Saya pilih yang idenya matang dan perencanaan juga jelas. Dari semuanya cuma ini yang memenuhi syarat. Kita harus selalu berhati-hati. Buat apa kita sukarela mengeluarkan dana untuk rencana yang masih mengambang? Di antaranya juga ditulis asal-asalan. Sepertinya ulah oknum yang tidak bertanggung jawab." "Begitu ya, Pak?" Dimas cengengesan, menyapu kepalanya demi mengusir rasa segan. Tak lama berselang dia berpamitan sembari membawa berkas-berkas yang diberikan Abimana. Saat situasinya tenang tanpa urusan tugas lagi, Abimana pun rehat sejenak. Kini dia dapat menikmati secangkir kopi dengan tenang. Satu sesap membawa pikirannya melayang pada sang istri. Sedang apa Ajeng bersama teman-temannya? Ajeng bilang ingin menghabiskan waktu hingga sore menjelang. Padahal, Abimana membayangkan quality time berdua. Dia begitu mendambakan keintiman mereka semasa kehamilan istrinya. Seperti mengobrol sambil bermanja-manja, menonton acara TV kesukaan mereka atau juga berpelukan di atas ranjang. Tentu sangat membahagiakan jika bisa melewati momen tersebut berdua. Namun, harapan tidak selalu selaras dengan kenyataan. Tungkainya melangkah ke jendela. Sebuah jendela kaca seukuran dinding, hingga dia dapat melihat langsung pemandangan kota dari lantai tiga; tempatnya berdiri sekarang. Detik singkat berlalu, dia gagal menahan rasa rindunya. Abimana meraih ponselnya di saku celana, menekan tombol khusus untuk menghubungkan dia dan nomor istrinya. "Halo, Dek! Adek udah di mana?" "Baru aja nyampe, Mas. Adek lagi jalan ke dalam mal." "Jangan terlambat makan, Mas juga enggak mau Adek makan sembarangan!" "Iya. Udah ya, Mas. Enggak enak sama teman-teman Adek, mereka nungguin." Abimana mengerang rendah jangka obrolan itu diputus sepihak oleh istrinya. Tak jarang dia kehabisan kata-kata bila menghadapi Ajeng yang dalam mode keras kepala dan seenaknya. Atau itu hanya disebabkan dia tipikal suami yang terlalu lunak, sulit mengatasi perilaku negatif istrinya. ----- "Abimana Abrisam, apa kabar Pak Direktur? Sehat banget nampaknya, Bro." Keduanya fist bump ria. Alvian Lim adalah seorang etnis Tionghoa dengan rambut klimis mengkilap di sisir rapi ke belakang. Sepuluh menit yang lalu dia tiba di PT Sabina. "Bisa aja kamu, Vin. Kamu juga sama, makin bugar. Ya enggak, Direktur?" Alvian Lim tergelak sebelum dia berdeham dan berkata, "Jangan dipanggil Direktur lah! Gue buruh, Bim. Bokap gue Bosnya." "Aku juga cuma pekerja di sini." "Sama 'kan? Sama-sama makan gaji. Hahaha." Alvian Lim tertawa lagi. "Mau membangun perusahaan sendiri udah enggak kebagian lahan, Bro. Modalnya juga gede. Atap belum dipasang, tiangnya keburu goyang. Haha." Gampang sekali bagi Alvian Lim untuk tertawa. Dia ceriwis dan santai. "Lebih baik melanjutkan yang udah ada, Vin. Sekalian menghargai usaha orang tua." "Iya, benar. Daripada orang lain yang menikmati. Betul, enggak? Sekali lagi tawa keduanya pun meramaikan suasana. "Jadi, kapan berangkat ke Kalimantan? Gue dengar mau mengenalkan produk Lo ke sana. Apa waktunya udah tepat? Lumayan jauh 'kan?" "Kalau enggak ada halangan, rencananya sih bulan depan." Alvian Lim manggut-manggut. Lalu berkata, "Semoga lancar, Bro." "Pasti aman. Ada Alvian Lim di sini." Kelakar Abimana, dia berhasil menjahili rekannya itu hingga si empu sedikit salah tingkah. "Humor yang bagus," kata Alvian Lim pula. "Lebih pas lagi itu karena kerjasama kita berdua, Bim. Bukan gue atau siapapun." Abimana sekadar menaikkan pundak dan alisnya seiring sudut bibir pun bergerak serupa. "Btw nih, Bim. Gue pengen mengundang Lo ke acara makan malam di rumah gue. Emang dadakan, sih. Tapi, momennya pas buat merayakan reuni kecil-kecilan. Setahun juga 'kan kita enggak jumpa." "Itu karena kamu kabur ke Singapura." Abimana tersenyum tipis usai mengatakannya, bersusulan Alvian Lim menunduk; menyeringai tipis. "Kapan, Vin?" "Ya malam ini." "Nanti malam?" "Hn. Lo enggak bisa, ya?" "Bisa, enggak ada schedule lain sebenarnya." Abimana tampak berpikir sekejap, dia berniat mengajak istrinya. Cukup lama keduanya tidak bepergian bersama. "Okelah. Aman, kok. Aku bakal datang." "Serius nih?" "Udah lama enggak keluar bareng istri, Vin. Sekalian aja aku pikir." "Wess, pucuk dicinta ulam pun tiba. Istri gue bakalan makin semangat nih kayaknya. Lagi belajar menu-menu western dia, nanti malam eksekusinya." "Wah, apa enggak ngerepotin?" "Ya enggaklah. Istri gue hamil, dan selama kehamilan pertama ini dia di rumah aja. Kasihan gue, rahimnya lemah. Happy banget muka dia begitu gue bilang mau ngadain acara makan malam. Berarti ada yang mampir, dia punya temen ngobrol." "Jadi, istrimu sedang hamil?" "Jalan empat bulan, Bro." "Kebetulan sekali." "Jangan bilang kalau istri Lo juga." "Iya, Vin. Istriku hamil sudah bulan ke lima." Senyum Abimana mengembang. Dan yah ... aku dikalahkan sama dia. Enggak berdaya, Vin. Aku kepikiran, pengennya dekat terus." "Wajar, Bim. Ada yang bilang suami juga bisa ngidam. Siapa tau di kehamilan istri Lo, Lo yang kebagian merasakan itu." "Mungkin kali, ya." "Kayaknya seru nih semisal istri gue dan istri Lo ketemu. Apa ya reaksi mereka? Penasaran gue." "Pasti rame. Belum apa-apa udah ngomongin soal belanja perlengkapan bayi." "Nah, itu dia. Gue tunggu kedatangan Lo ya, Bim. Jangan sampe enggak datang, istri gue effort banget buat masak demi menyambut kalian." "Yoi, Vin. Bilangin ke istrimu, jangan cape-cape. Kasihan bayinya." "Tenang aja, 'kan ada gue, Bim." Detik sekian berputar, Alvian mengembus ringan napasnya. "Gue pamit, ya. Masalah keberangkatan ke Kalimantan, kita bahas entar malam aja. Deal ya, Bro!" "Oke. Hati-hati, Vin." "Sip, Bro." ----- "Ya, Tuhan. Perasaan baru satu jam yang lalu, deh. Ini suami kamu udah menelepon lagi? Jeslyn seperti ingin memekik di situ. Dia bahkan melongo saking tidak percayanya. "Gila, ya. Istimewa banget kamu Jeng di mata dia. Ditelepon melulu, dong. Buset! "Biarin aja. Mas Abim udah terbiasa siaga setiap aku keluyuran." "Suamimu terdeteksi bucin," celetuk Lisa. "Atau mungkin dia enggak tahan berlama-lama tanpa kamu. Tapi, bukannya seharian dia di kantor?" Gisca turut menambahi. "Enggak bisa ini enggak bisa. Jiwa iri di dalam diriku meronta-ronta." Lisa sekonyong-konyong menjadi heboh. "Kamu kok beruntung banget, Ajeng. Apa kebaikan yang kamu lakukan di masa lalu? Suamimu impian semua wanita, loh. Termasuk bagi kami-kami yang memiliki pasangan sekaku manekin ini." Kemudian, tetes terakhir di permukaan gelas diseruput tandas oleh Lisa. Kebetulan kafe yang mereka singgahi belum terlalu ramai pengunjung. Mereka jadi bebas berbincang, juga mengekspresikan perasaan masing-masing. Sementara, Ajeng Dwi Ayu tengah berada di atas angin sekarang. Suaminya selalu menempati tahta tertinggi untuk standar lelaki idaman, setidaknya demikian di mata teman-temannya.Tepat ketika temaram menggantikan pendar mentari senja, lampu gantung di ruang makan memancarkan kehangatan yang menenangkan. Meja yang panjang dipenuhi berbagai hidangan lezat. Aromanya menggugah selera dengan warna tampilan yang pula menarik. Abimana sekeluarga berkumpul untuk makan malam bersama.Abimana dan Ajeng duduk di ujung meja, saling menatap melalui binar-binar sayang. Mereka tampak segitu mesra, seakan dunia hanya milik mereka berdua. Ajeng secara refleks menyuapkan sendok demi sendok makanan kepada Abimana. Sudut bibir serta pelupuk matanya serempak tertarik, menyematkan lengkung cantik setiap satu suapan yang dia suguhkan diterima oleh Abimana. Suaminya itu pun turut mengulas senyum serupa tanpa merasa canggung untuk memperlihatkan bahasa cinta demikian. Semua tentu bergembira, merasakan nyaman bersama orang-orang terkasih. Mereka berbincang, tertawa di antara senda gurau yang tercipta. Namun, di tengah-tengah sukacita itu Arjuna ternyata tidak turut mengarungi suasana.
Mentari senja meninggalkan langit cerah di sepanjang siang semula. Kini perlahan-lahan berganti kelabu malam yang sekejap lagi akan mengundang hawa dingin. Ajeng telah menuntaskan pekerjaannya dalam merapikan pakaian ke lemari. Kini dia mondar-mandir tenang di dapur, menghangatkan makanan yang mereka masak beramai-ramai tadi. Lalu, dia menyajikan piring per piring ke permukaan meja. Ajeng tampak sendirian, segar serta dengan raut gembira. Heningnya suasana mengakibatkan daya pekanya cukup tanggap. Ajeng Dwi Ayu menengok ke sumber suara langkah kaki yang dia dengar. Saudara laki-lakinya ada di sana, balas menatap dia lewat senyuman berarti. "Kakak baru pulang?! Dari mana sih? Kenapa kak Alyssa enggak diajak?" Rentet kalimat tanya terangkai licin dari belah bibirnya. Tetapi, tangan-tangan Ajeng masih cekatan menata piring-piring berisi makanan. Arjuna menghampiri, hanya duduk begitu dia menarik satu kursi kosong. "Kakak abis ketemu teman SMA. Mau mengajak Alyssa, dia lagi asyik baren
"Saya tau ini sudah jam pulang. Tapi, setelah kedatangan Diana tadi terpaksa saya panggil kamu untuk bicara."Abimana Abrisam tetap menyampaikan rasa sungkannya, walau Dimas tidak sama sekali memperlihatkan raut keberatan. Justru pria itu duduk di hadapan Abimana dengan raut yang bersahaja. "Bapak pasti punya alasan memanggil saya ke sini. Saya bisa memahaminya, Pak." "Tidak ada konfirmasi mengenai kemunculan dia. Saya jadi kaget." Dahi Abimana berkerut sambil dia menautkan kedua tangannya. "Saya memikirkan sesuatu yang tidak bisa saya katakan. Diana agak berbeda dari Diana yang kita hadapi sebelumnya.""Bu Diana berubah jadi apa, Pak? Apa selama ini Bu Diana bukan manusia?" Dimas tidak berniat bergurau, tapi pernyataan sekian meluncur begitu mudah dari belah bibirnya. "Saya tidak bercanda. Dia seperti—ah, sudahlah. Lupakan aja!" Kini, giliran Dimas yang mengernyit sebab tidak mendapatkan informasi yang jelas. "Saya harus apa, Pak?" Kontan Abimana menengadah, mengamati Dimas yang
"Daripada Kakak sedih-sedih begitu, boleh enggak aku minta tolong mengupaskan buah?""Tumben enggak bikin kopi, Nak?" Cahyani seketika menangkap pernyataan putrinya barusan."Es buahnya buat kita semua, Bu. Ajeng kepingin mencampurkan madu ke dalam airnya, enggak usah pakai gula. Kopi 'kan untuk Mas Abim. Tapi, kayaknya dia juga bakal pilih es buah. Soalnya cuaca gerah-gerah berangin begini cocok banget minum yang dingin-dingin sambil makan yang manis-manis." Alyssa mengangguk di saat Cahyani berbalik ke belakang guna mengambil keranjang buah dari dalam kulkas. "Kasih tahu Alyssa buah apa yang perlu dia kupas." Cahyani menyambung lagi."Ehm, apa ya ... kalau semuanya pasti kebanyakan. Oh, kalau begitu pilih buah yang gampang dikupas atau dibersihkan. Anggur, stroberi, jeruk, apel sama kurmanya masukin, Kak.""Masukin?""Ke sini aja maksudnya." Ajeng memindahkan wadah mangkuk kaca yang besar ke hadapan Alyssa. "Ini buahnya dicuci Mumu, Kak Alyssa hanya mengupas aja. Nanti biar aku ya
Seorang office boy menurunkan dua cangkir kopi ke permukaan meja. Alvian Lim masih di situ, berbincang-bincang dengan Abimana mengenai projek perusahaan juga rencana liburan mereka. Karier Alvian Lim di bidang periklanan patut diapresiasi. Ide-idenya kerap brilian, mengikuti perkembangan zaman dan selera pasar. Maka dari itu, banyak pebisnis senior maupun dari kalangan pemula memilih untuk memakai jasanya. Salah satunya tentu saja Abimana Abrisam. Pria ini justru dari kapan waktu hendak bekerjasama dengan teman lamanya itu, meski padatnya daftar di dalam buku kerja Alvian Lim menyebabkan Abimana butuh menunggu hingga tiga tahun. "Ajeng masih harus menunggu reaksi ayah dan ibu, Vin. Aku enggak bisa memutuskan sepihak, walau sebenarnya aku yakin ayah ibu pasti mengerti. Cuma, pikiran aku ke Ajeng. Kalau dia belum benar-benar siap atau rela, mungkin rencana pindah ke Kalimantan bakal tertunda sampai dia bersedia.""Moodnya juga pasti naik turun. Maklum ajalah, Bro. Ibu hamil gampang str
Sembari menganalisa laporan yang dikirim dari Kalimantan, Abimana Abrisam juga sedang mengobrol dengan istrinya melalui Video Call. Padahal pagi tadi pun mereka mencuri-curi waktu dan situasi untuk bermesraan. Namun, seakan jarak rumah ke perusahaan merupakan kilometer panjang, Abimana sering merasakan kerinduan yang menyiksa pikirannya. "Dek, Mas pulang aja deh, ya. Kita pergi kek ke mana. Atau mau check in hotel enggak, sayang? Yang kolam renangnya privat. Kayaknya asyik sekali, serasa kita bulan madu lagi." "Mas, jangan ngaco ih! Ada Kak Juna di rumah, kok malah kamu mau kelayapan." "Biar bebas, sayang. Soalnya Mas jadi sungkan mau dekat-dekat sama Adek. Entar disangka enggak tau adat dan sopan santun." "Bukannya ada Kak Juna atau enggak, Mas tetap aja menempel ke Adek? Buktinya pas sarapan tadi Mas minta disuapin. Diliatin Kak Juna dan Kak Alyssa juga Mas enggak peduli tuh." "Hehe, biarin ah! Mau dikata norak juga Mas bodo amat, Dek. Mas udah telanjur kecintaan dengan y
"Kak Juna, aku enggak tau kalian berdua ada masalah apa. Tapi, Kak ... Ajeng ngerti banget menangis adalah batas dari kesabaran emosi seseorang. Entah kesedihan, marah, kecewa, apapun itu bukanlah sesuatu yang baik untuk dipendam. Dengan kondisi Kak Alyssa yang juga sedang hamil, reaksi emosional berlebihan bisa mengganggu perkembangan pada otak janin. Please, Kak ... buat sementara waktu Kakak yang harus lebih banyak bersabar. Suasana hati wanita hamil enggak ketebak, Kak. Terkadang kita bisa tiba-tiba aja ngerasa seperti orang yang paling malang atau kek yang udah cape banget menghadapi hidup." Arjuna dan Alyssa serempak bungkam, masing-masing memandang ke arah berlainan juga perasaan yang kontras. Arjuna menyadari jantungnya berdebar kencang. Terselip bangga saat mendengar segitu luas pemahaman adiknya sekarang. "Aku mau keluar. Kamu di sini dulu temani Alyssa, ya. Aku pasti balik lagi kalau semuanya udah lebih dingin.""Jangan lama-lama ya, Kak. Kasihan Kak Alyssa. Ajeng juga ha
Pulang ke Indonesia merupakan keputusan tunggal oleh Arjuna Eka Angga setelah dia melewati minggu-minggu untuk pertimbangan matang. Dia tak lagi merasa cocok bekerjasama dengan rekan-rekan maupun agensinya di Prancis. Maka dari itu, berangkat ke negara asalnya menjadi pilihan paling bijak menurut dia. Daripada harus terpaksa melibatkan diri ke dalam suasana lingkungan kerja yang tiada selaras. Namun, tentu semuanya itu bukan hanya tentang dia dan kenyamanannya. Setelah menikah, segala hal dalam kehidupan akan selalu berkaitan dengan pasangan. Mustahil Arjuna mengabaikan begitu saja opini Alyssa Chloe selaku istrinya. Lebih dari siapapun, wanita tersebut sudah sangat tahu seluk beluk personal dia, termasuk bagian terkelam. Alyssa hafal siapa/bagaimana ayah dan ibu Arjuna di Indonesia, tahu jika kedua paruh baya ini adalah keluarga angkat; sepasang suami istri yang mengambil Arjuna dari panti asuhan. Rahasia Laksmana Cahyani pun turut diketahui Alyssa, menyangkut status Arjuna. Sampa
Kamar hening kian senyap oleh suasana siang yang begitu tenang. Arjuna Eka Angga duduk diam di atas kasur, menghadap ke jendela bertutup tirai renda. Sikunya bertumpu di atas lutut dengan jemari menahan dahi. Gerangan beban apa yang sepertinya sungguh berat dia pikul. Nyatanya Arjuna tidak terlihat segitu senang. Di sini dia menumpahkan gulana itu kepada ruangan hampa. Kala dia tengadah, dapat terbaca luka yang menyedihkan. Arjuna meneteskan kepedihannya. "Jun ..." "Alyssa ..." Teguran lembut tadi tak pula mengakibatkan Arjuna panik, seolah tiada rahasia di antara mereka. "Kamu, okay? Sebelum aku pergi kamu masih baik-baik aja." "Nothing, you don't need to worry--gimana hangout tadi? Kamu happy?" "Lumayan. Adik kamu baik. Dia banyak omong sama aku. Aku rasa kita bakalan cepat akrab." "Bagus 'kan? Kamu jadi enggak perlu nethink lagi soal pergaulan di sini. Aku perhatiin juga kamu sendiri gembira pas bareng Ajeng." Alyssa sudah berada di samping Arjuna usai menaruh b