Ajeng dan teman-temannya masih betah duduk di kafe yang letaknya tak begitu jauh dari mal. Seraya bercakap-cakap mengenai banyak perkara, meskipun sebagian terkadang tidaklah begitu penting, mereka memesan teh tawar berikut cheesecake, tiramisu juga beberapa penganan manis lainnya.
"Girls, luar biasa ya permaisuri kita yang satu ini! Kalau dibiarin dia pasti memborong habis barang-barang bermerek di butik tadi." Jeslyn amat bersemangat mengutarakan pernyataan itu di depan teman-temannya, berdecak ketika menjumpai si empu yang dimaksud seakan tidak mendengarkan dia. "Kami takjub sama kamu, Jeng. Segampang itu ya suami kamu kasih kartu kredit, bukan cuma satu lagi." Lisa menyambung sembari menyesap pelan-pelan teh chamomile miliknya. "Bagi ke kita kali, Jeng. Satu aja juga udah cukup buat bertiga. Ya enggak, Lis?" "Kapan lagi 'kan bisa belanja-belanja banyak tanpa harus pusing mikirin dompet menangis?!" sahut Lisa, menanggapi perkataan Jeslyn tadi. "Silakan kalian bermimpi sepuasnya. Suamiku bukan relawan sosial, enak aja membiayai hobi foya-foya kalian. Lebih baik Mas Abim drop bantuan ke yayasan sosial. Berkah juga hasilnya." "Oh, si paling yayasan sosial rupanya." Lisa menukas halus saat Gisca mulai bergulir mengamati mereka. "Dari kami semua ... bukannya kamu yang pertama kali menikah, Lis? Tapi, sampe sekarang kamu belum juga hamil." Gisca sengaja mengalihkan topik sebelum dua temannya itu kembali mengusik Ajeng. "Memang belum ada rencana punya anak, Gis. Kamu 'kan tau profesiku. Karierku masih panjang. Dan aku enggak mau pekerjaanku terganggu cuma gara-gara mengurus anak. Eh, tunggu! Kamu lagaknya ngebahas soal anak, menikah pun belum, Gis." Gisca mendengkus, hingga atensi yang lain berpindah padanya. "Kenapa dengan wajahmu?" Lisa menautkan sepasang alisnya, menunggu tanggapan Gisca. "Setelah mendengar jawabanmu, aku jadi makin percaya bahwa memiliki anak adalah pekerjaan yang sangat berat. Enggak seharusnya juga aku terburu-buru buat menikah." Gisca cukup tenang dalam menjelaskan asumsinya. Agaknya sepotong tiramisu dalat membantunya agar tetap rileks. "Kamu enggak usah terlalu memikirkannya. Semua akan terjawab saat kamu dan pasanganmu menikah nanti." Jeslyn mengutarakan sepenggal jawaban bijak, disusul anggukan oleh Lisa. Di saat itu juga Ajeng sedang menikmati secangkir teh melati daun mint pilihannya, tiada menyadari tiga pasang mutiara jelaga kompak menengok dia. "Apa mukaku aneh sampai kalian melihatku seperti itu?" "Bukan karena aneh. Tapi, kamu sendiri yang berbeda dari kita semua. Bisa dibilang kamu dalam posisi emas. Punya suami tampan, kaya raya, juga sangat mencintai kamu. Kamu bisa dapatkan segala yang kamu mau tanpa harus berusaha keras. Sementara kami? Semua ini baru bisa kami nikmati setelah banting tulang seharian." Jeslyn tidak mengada-ada mengenai pernyataan demikian. Di antara kehidupan Ajeng dan mereka ada sebuah kontradiksi yang amat menonjol. "Terus, apa aku perlu berterimakasih kepada kalian? Memang, di antara hidup yang berat ada kesenangan lain untuk bisa mengimbanginya." "Kamu enggak perlu terima kasih ke siapapun. Tapi, apa kamu enggak mau sedikit berempati kepada kami yang kurang beruntung ini?! Buat kamu impian kami sungguh mudah. Enggak seperti kami yang terjebak di dalam ekspektasi." Kepalang kesal mengakibatkan Jeslyn menuding secara runtut. "Jalani aja kehidupan yang kita miliki. Beruntung atau enggak tergantung cara kita dalam menerimanya juga bersyukur. Apa kalian enggak pernah berpikir kalau di luar sana ada perempuan yang menginginkan bisa hidup bebas seperti kalian?!" Fakta yang dituturkan Ajeng barusan menutup keluh kesah teman-temannya. ----- Abimana menunggu istrinya di ruang TV dengan perasaan yang turut gelisah. Sudah hampir malam dan Ajeng belum juga menunjukkan tanda-tanda akan pulang ke rumah. Ponselnya tak lagi bisa dihubungi. Berkali-kali mencoba, yang ditemukan Abimana adalah suara otomatis operator. Kemungkinan ponsel Ajeng kehabisan daya, asalkan dia bukan dengan sengaja menonaktifkannya. Prasangka buruk segera ditepis. Abimana tetap pada dugaan pertama, mempercayai bahwa istrinya tidak akan tega mengabaikan dia. Putaran sekon berangsur-angsur bertambah lama dan membosankan. Abimana sadar kini kepalanya berdenyut. Tak henti-hentinya Memikirkan undangan makan malam dari keluarga Lim juga mengenai Ajeng yang terlambat pulang. Abimana mendengkus keras, lalu mengayun kaki menuju kamarnya. Dia telah memutuskan untuk pergi memenuhi undangan si rekan bisnis, walau tanpa kehadiran istrinya. Sakitnya cukup membekas di hati, namun dia perlu memahami kondisi istrinya yang rentan. ----- "Rencana enggak berlangsung seperti harapan. Maaf, aku terlambat," ucap Abimana apa adanya dengan santun; di meja makan yang saat ini penuh dengan bermacam hidangan. Dia benar-benar pergi seorang diri "Anyway, gue pikir istri Lo ikut." Alvian Lim terang-terangan bertanya selagi istrinya menuangkan teh ke dalam cangkir-cangkir keramik yan ditata di situ. "Dia kelihatan kurang sehat. Wajahnya lesu. Mungkin karena kelelahan—aku memintanya untuk tetap beristirahat di rumah." Berat untuk Abimana menerangkan peristiwa sebenarnya, supaya kehormatan dan nama baik istrinya terjaga. "Istri Abimana sedang hamil juga." Alvian Lim agak berbisik, hingga keterkejutan spontan terlihat di wajah istrinya. "Sayang sekali, padahal aku sangat berharap bertemu dia. Pasti seru memiliki teman dengan kondisi yang sama, bisa berbagi banyak hal. Khususnya seputar kehamilan ini." Olivia, dialah istri Alvian Lim. "Masih banyak waktu, atau nanti kita adakan lagi makan malam berikutnya. Tapi, di rumah Abimana." "Beneran? Aku jadi enggak sabar." Olivia menanggapi dengan sukacita, berbarengan Abimana menyeringai sungkan. Sejujurnya dia masih tetap gundah; tidak berhenti memikirkan Ajeng. "Tanya Abim dulu." "Ehm, boleh kok. Bisa diatur, Vin." Dan si empu secara ringkas menanggapi setelah sempat diliputi bimbang. "Jamuan dibalas jamuan. Kayaknya seru, ya. Ajeng pasti menyukai ide ini." "Ya udah! Tunda dulu ngobrolnya." Olivia melepas senyum yang mengembang. Wanita ini benar-benar ramah, pandai membuat suasana menjadi terasa akrab. "Jangan sungkan, ya. Nikmati makanannya, semoga semua sesuai selera." "Dari tampilannya aja udah menggugah selera." Abimana pun menyadari bahwa dia perlu meninggalkan kesan positif terhadap Tuan Rumah seperti pasangan Lim ini. Selain bersahaja, juga mampu menarik suasana yang hangat ke tengah-tengah mereka. Keakraban tampak menguasai ruang makan. Mereka silih berbagi senyuman/tawa jenaka. Sahut menyahut dalam percakapan yang kompleks dan terkadang acak. "Sorry Bro, gue telat bilang ini. Selamat makan! Buat diri Lo santai. Gue dan Olivia berterimakasih sekali Lo mau datang ke jamuan sederhana kita." Itu perkataan penutup dari Alvian Lim jangka mereka mulai menikmati menu-menu yang tersaji di sana. ----- Di perjalanan pulang Abimana Abrisam bercokol lagi dengan perasaan cemasnya semula. Entah sudah yang ke berapa kali dia coba menghubungi nomor HP istrinya, tetap saja dia gagal. Seluruh prasangka bercampur aduk di kepala lelaki ini. Rasa takut, kesal serta kecewa bertubi-tubi merundung benaknya.Hujan sudah lama reda, tapi daun-daun di pekarangan masih menggantungkan sisa air. Arjuna duduk sendiri di bangku kayu belakang rumah, jaket masih melekat di tubuhnya. Cahaya lampu taman redup menyorot garis wajahnya yang letih.Dia tidak menangis. Tapi, bias di matanya kosong. Seperti seseorang yang terlalu lama menyimpan sesuatu tanpa pernah benar-benar punya ruang untuk bicara.Tangannya saling bertautan sambil sekali ibu jarinya saling mengusap satu sama lain. Dia kentara sedang berpikir keras, meski semua itu tetap percuma. Dari jendela lantai dua Alyssa berdiri mengintip dari balik tirai. Tidak ada kemarahan di wajahnya. Tidak juga kecemburuan. Hanya ... kekosongan yang perlahan-lahan membeku jadi jarak.Dia memandang suaminya di sana; Arjuna tampak bagaikan remaja muda yang tengah kehilangan arah. Lalu, tirai ditarik. Alyssa menutupnya sebab dia ingin sedikit ruang lapang untuk kesehatan perasaannya sendiri. -----Pagi berikutnya cahaya matahari menerobos lembut ke dapur ya
Sudah lebih dari satu jam sejak Arjuna dan Ajeng kembali dari reuni. Tapi, Arjuna belum juga masuk ke kamar. Alyssa menunggu di balik dinding koridor rumah keluarga itu, mendengar langkah suaminya mondar-mandir di ruang belakang. Tanpa suara, tanpa panggilan.Alyssa duduk di tepi ranjang tamu yang sementara mereka tempati, sambil menekuk ujung jarinya di atas pahanya sendiri. Usia kandungannya hampir menginjak sembilan bulan, sebulan lebih tua dari Ajeng. Sayang, yang terasa sekarang bukan keintiman sebagai pasangan yang sedang menanti ... melainkan sesuatu yang menggantung dan menjauh.Pintu kamar terbuka pelan.Arjuna masuk tanpa menatap istrinya."Habis hujan," katanya pendek, menurunkan jaket yang sudah agak lembab.Alyssa hanya mengangguk, "Kamu kehujanan?""Sedikit."Arjuna melewati Alyssa begitu saja, menuju lemari dan mengganti bajunya tanpa menoleh. Alyssa menunggu, menunggu sesuatu yang tidak datang; pertanyaan, sentuhan, atau sekadar perhatian kecil.Tapi, tidak ada.Dan it
Hari ini akhirnya tiba...Ajeng berdiri di depan cermin panjang di lorong rumah. Tangannya perlahan membenarkan kerudung; disematkan dengan pin sederhana. Gaun pastel selutut yang dia kenakan memeluk perut buncitnya dengan lembut. Wajahnya terlihat tenang, tapi ada rasa berdebar yang samar.Dari balik pintu terdengar suara langkah kaki, Arjuna."Kita berangkat sekarang? tanyanya, berdiri dengan satu tangan menyelipkan kunci mobil di antara jari.Ajeng menoleh. "Iya. Kakak yakin enggak keberatan ada aku? Entar Kakak enggak leluasa sama yang lain.""Kenapa harus keberatan?" jawab Arjuna pelan, "Bukannya kita udah biasa, ya? Dari dulu juga kita selalu bareng di acara-acara kayak begini."Ajeng tersenyum kecil, tidak menjawab. Dia tahu Abimana seharusnya ikut menemani dia, setidaknya mengantar. Tapi urusan kantor membuat suaminya harus pergi pagi-pagi ke Bandung. Ajeng tidak menuntut. Dia pun tahu Abimana sudah berusaha. Lagi pula, suaminya percaya.Di dalam mobil, keduanya lebih banyak d
Langkah Ajeng terdengar pelan di koridor marmer PT. Sabina. Dia membawa tas makan siang berwarna biru yang merupakan favorit Abimana. Ajeng mengenakan blouse sederhana dan celana kulot longgar nuansa pastel. Penampilannya tetap elegan meski tanpa riasan berlebihan. Dia hanya ingin mengantarkan bekal suaminya yang tertinggal, tiada niat lebih.Resepsionis menyambutnya ramah. "Selamat siang, Bu Ajeng. Ke ruang Pak Abimana, ya?"Ajeng tersenyum sambil mengangguk. "Iya. Saya cuma mau antar makan siang si Mas aja. Ketinggalan." Ajeng terbiasa datang sesekali ke kantor suaminya. Penghuni perusahaan juga tentu mengenal dia. Tidak ada hal aneh, tak ada yang perlu dijaga-jaga pula. Namun, langkah Ajeng kontan melambat ketika pintu ruang direktur terbuka sedikit; cukup lebar untuk dia dapat melihat dua sosok di dalam.Diana Sophia berdiri di sisi meja kerja, senyumnya diam-diam. Di mata Ajeng kentara lembut dan terlalu lama tertuju pada Abimana. Pria tersebut sedang duduk di belakang meja deng
Pagi itu dapur masih berantakan setelah semua orang menyelesaikan rutinitas sarapan pagi mereka. Piring-piring belum dibereskan. Sementara, Mumu Sedang berada di ruang laundry untuk menjemur kain. Dia akan mengerjakan bagian dapur begitu rampung dengan urusan pakaian. Ajeng berdiri di dekat meja makan, satu tangan menopang pinggangnya yang membesar, satu tangan lain menggenggam ponsel yang menempel di telinga."Mas, kamu serius ninggalin bekal di meja begitu aja?" Suaranya tenang, tapi nadanya menyimpan jengkel yang ditahan-tahan.Di ujung sana, Abimana menghela napas."Maaf, Dek. Mas tadi buru-buru banget, Alvian bakal datang jam delapan ... enggak usah diantar, nanti Mas beli makan di kantor aja."Ajeng berdecak pelan, menoleh ke meja makan di mana bekal dalam kotak stainless itu masih tergeletak rapi, lengkap dengan sendok dan tisu."Mas tau kan adek nggak suka Mas makan sembarangan di luar. Itu lauk kesukaan, Mas. Adek masak dibantu sama ibu ..." Intonasi suara Ajeng melemah di a
Sejak Diana kembali dari cutinya, Abimana mulai merasa ada yang tidak beres. Perempuan itu berubah. Bukan dalam kinerja—pekerjaannya masih rapi dan tepat waktu—tetapi dalam sikap. Diana menjadi lebih sering tersenyum, terlalu ramah, dan suka mampir ke ruangannya untuk urusan-urusan yang sebenarnya tidak perlu dibicarakan langsung. Awalnya Abimana sekadar mengerutkan kening, bertanya-tanya dalam hati. Lalu, dia mulai mendengkus setiap kali mendengar suara ketukan khas di pintu ruangannya. "Pak, saya cuma mau memastikan file presentasi yang tadi itu sudah betul belum? Atau, "Maaf ganggu, saya mau konfirmasi jam makan siang Bapak dengan klien." Berulang Diana datang demi hal-hal sepele demikian, padahal semuanya sudah ditandai jelas di kalender bersama. Abimana risih. Sangat risih. Dia bukan tipe pria yang menikmati perhatian orang lain. Lagi pula ada yang membuat hatinya makin tak tenang; dia begitu mencintai istrinya. Cinta yang utuh dan tidak tergoyahkan. Maka, sikap Diana yang me