Home / Rumah Tangga / Dek Ajeng & Mas Abim / Jamuan hangat yang terlewatkan

Share

Jamuan hangat yang terlewatkan

Author: Ceeri
last update Last Updated: 2025-03-24 01:55:58

Ajeng dan teman-temannya masih betah duduk di kafe yang letaknya tak begitu jauh dari mal. Seraya bercakap-cakap mengenai banyak perkara, meskipun sebagian terkadang tidaklah begitu penting, mereka memesan teh tawar berikut cheesecake, tiramisu juga beberapa penganan manis lainnya.

"Girls, luar biasa ya permaisuri kita yang satu ini! Kalau dibiarin dia pasti memborong habis barang-barang bermerek di butik tadi." Jeslyn amat bersemangat mengutarakan pernyataan itu di depan teman-temannya, berdecak ketika menjumpai si empu yang dimaksud seakan tidak mendengarkan dia.

"Kami takjub sama kamu, Jeng. Segampang itu ya suami kamu kasih kartu kredit, bukan cuma satu lagi." Lisa menyambung sembari menyesap pelan-pelan teh chamomile miliknya.

"Bagi ke kita kali, Jeng. Satu aja juga udah cukup buat bertiga. Ya enggak, Lis?"

"Kapan lagi 'kan bisa belanja-belanja banyak tanpa harus pusing mikirin dompet menangis?!" sahut Lisa, menanggapi perkataan Jeslyn tadi.

"Silakan kalian bermimpi sepuasnya. Suamiku bukan relawan sosial, enak aja membiayai hobi foya-foya kalian. Lebih baik Mas Abim drop bantuan ke yayasan sosial. Berkah juga hasilnya."

"Oh, si paling yayasan sosial rupanya." Lisa menukas halus saat Gisca mulai bergulir mengamati mereka.

"Dari kami semua ... bukannya kamu yang pertama kali menikah, Lis? Tapi, sampe sekarang kamu belum juga hamil." Gisca sengaja mengalihkan topik sebelum dua temannya itu kembali mengusik Ajeng.

"Memang belum ada rencana punya anak, Gis. Kamu 'kan tau profesiku. Karierku masih panjang. Dan aku enggak mau pekerjaanku terganggu cuma gara-gara mengurus anak. Eh, tunggu! Kamu lagaknya ngebahas soal anak, menikah pun belum, Gis." Gisca mendengkus, hingga atensi yang lain berpindah padanya. "Kenapa dengan wajahmu?" Lisa menautkan sepasang alisnya, menunggu tanggapan Gisca.

"Setelah mendengar jawabanmu, aku jadi makin percaya bahwa memiliki anak adalah pekerjaan yang sangat berat. Enggak seharusnya juga aku terburu-buru buat menikah." Gisca cukup tenang dalam menjelaskan asumsinya. Agaknya sepotong tiramisu dalat membantunya agar tetap rileks.

"Kamu enggak usah terlalu memikirkannya. Semua akan terjawab saat kamu dan pasanganmu menikah nanti." Jeslyn mengutarakan sepenggal jawaban bijak, disusul anggukan oleh Lisa.

Di saat itu juga Ajeng sedang menikmati secangkir teh melati daun mint pilihannya, tiada menyadari tiga pasang mutiara jelaga kompak menengok dia. "Apa mukaku aneh sampai kalian melihatku seperti itu?"

"Bukan karena aneh. Tapi, kamu sendiri yang berbeda dari kita semua. Bisa dibilang kamu dalam posisi emas. Punya suami tampan, kaya raya, juga sangat mencintai kamu. Kamu bisa dapatkan segala yang kamu mau tanpa harus berusaha keras. Sementara kami? Semua ini baru bisa kami nikmati setelah banting tulang seharian." Jeslyn tidak mengada-ada mengenai pernyataan demikian. Di antara kehidupan Ajeng dan mereka ada sebuah kontradiksi yang amat menonjol.

"Terus, apa aku perlu berterimakasih kepada kalian? Memang, di antara hidup yang berat ada kesenangan lain untuk bisa mengimbanginya."

"Kamu enggak perlu terima kasih ke siapapun. Tapi, apa kamu enggak mau sedikit berempati kepada kami yang kurang beruntung ini?! Buat kamu impian kami sungguh mudah. Enggak seperti kami yang terjebak di dalam ekspektasi." Kepalang kesal mengakibatkan Jeslyn menuding secara runtut.

"Jalani aja kehidupan yang kita miliki. Beruntung atau enggak tergantung cara kita dalam menerimanya juga bersyukur. Apa kalian enggak pernah berpikir kalau di luar sana ada perempuan yang menginginkan bisa hidup bebas seperti kalian?!" Fakta yang dituturkan Ajeng barusan menutup keluh kesah teman-temannya.

-----

Abimana menunggu istrinya di ruang TV dengan perasaan yang turut gelisah. Sudah hampir malam dan Ajeng belum juga menunjukkan tanda-tanda akan pulang ke rumah. Ponselnya tak lagi bisa dihubungi. Berkali-kali mencoba, yang ditemukan Abimana adalah suara otomatis operator. Kemungkinan ponsel Ajeng kehabisan daya, asalkan dia bukan dengan sengaja menonaktifkannya.

Prasangka buruk segera ditepis. Abimana tetap pada dugaan pertama, mempercayai bahwa istrinya tidak akan tega mengabaikan dia.

Putaran sekon berangsur-angsur bertambah lama dan membosankan. Abimana sadar kini kepalanya berdenyut. Tak henti-hentinya Memikirkan undangan makan malam dari keluarga Lim juga mengenai Ajeng yang terlambat pulang. Abimana mendengkus keras, lalu mengayun kaki menuju kamarnya. Dia telah memutuskan untuk pergi memenuhi undangan si rekan bisnis, walau tanpa kehadiran istrinya. Sakitnya cukup membekas di hati, namun dia perlu memahami kondisi istrinya yang rentan.

-----

"Rencana enggak berlangsung seperti harapan. Maaf, aku terlambat," ucap Abimana apa adanya dengan santun; di meja makan yang saat ini penuh dengan bermacam hidangan. Dia benar-benar pergi seorang diri

"Anyway, gue pikir istri Lo ikut." Alvian Lim terang-terangan bertanya selagi istrinya menuangkan teh ke dalam cangkir-cangkir keramik yan ditata di situ.

"Dia kelihatan kurang sehat. Wajahnya lesu. Mungkin karena kelelahan—aku memintanya untuk tetap beristirahat di rumah." Berat untuk Abimana menerangkan peristiwa sebenarnya, supaya kehormatan dan nama baik istrinya terjaga.

"Istri Abimana sedang hamil juga." Alvian Lim agak berbisik, hingga keterkejutan spontan terlihat di wajah istrinya.

"Sayang sekali, padahal aku sangat berharap bertemu dia. Pasti seru memiliki teman dengan kondisi yang sama, bisa berbagi banyak hal. Khususnya seputar kehamilan ini." Olivia, dialah istri Alvian Lim.

"Masih banyak waktu, atau nanti kita adakan lagi makan malam berikutnya. Tapi, di rumah Abimana."

"Beneran? Aku jadi enggak sabar." Olivia menanggapi dengan sukacita, berbarengan Abimana menyeringai sungkan. Sejujurnya dia masih tetap gundah; tidak berhenti memikirkan Ajeng.

"Tanya Abim dulu."

"Ehm, boleh kok. Bisa diatur, Vin." Dan si empu secara ringkas menanggapi setelah sempat diliputi bimbang. "Jamuan dibalas jamuan. Kayaknya seru, ya. Ajeng pasti menyukai ide ini."

"Ya udah! Tunda dulu ngobrolnya." Olivia melepas senyum yang mengembang. Wanita ini benar-benar ramah, pandai membuat suasana menjadi terasa akrab. "Jangan sungkan, ya. Nikmati makanannya, semoga semua sesuai selera."

"Dari tampilannya aja udah menggugah selera." Abimana pun menyadari bahwa dia perlu meninggalkan kesan positif terhadap Tuan Rumah seperti pasangan Lim ini. Selain bersahaja, juga mampu menarik suasana yang hangat ke tengah-tengah mereka.

Keakraban tampak menguasai ruang makan. Mereka silih berbagi senyuman/tawa jenaka. Sahut menyahut dalam percakapan yang kompleks dan terkadang acak.

"Sorry Bro, gue telat bilang ini. Selamat makan! Buat diri Lo santai. Gue dan Olivia berterimakasih sekali Lo mau datang ke jamuan sederhana kita." Itu perkataan penutup dari Alvian Lim jangka mereka mulai menikmati menu-menu yang tersaji di sana.

-----

Di perjalanan pulang Abimana Abrisam bercokol lagi dengan perasaan cemasnya semula. Entah sudah yang ke berapa kali dia coba menghubungi nomor HP istrinya, tetap saja dia gagal. Seluruh prasangka bercampur aduk di kepala lelaki ini. Rasa takut, kesal serta kecewa bertubi-tubi merundung benaknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Keinginan Arjuna

    Lobi hotel itu tampak sepi dengan hawa sejuk yang menggigit, bahkan di siang hari begini. Arjuna mengenali setiap sudutnya. Termasuk arah pantulan cahaya di lantai marmer. Tempat itu telah menjadi persinggahan sementara dalam hidupnya. Sejak Alyssa memilih menepi, langkah kakinya kerap berakhir di sana. Kadang dengan maksud jelas, ada pula cuma untuk memastikan istrinya baik-baik saja.Pintu kamar terbuka setelah ketukan singkat.Alyssa berdiri di ambang, wajahnya tampak lelah namun tetap bersahaja. Rambutnya diikat longgar, gaun sederhana menutupi tubuh yang kian menampakkan usia kandungan. Tatapannya menyiratkan kejenuhan yang lunak."Kamu datang cepat." Sapaannya terdengar datar saat dia memberi jalan masuk.Arjuna melangkah ke dalam, sembari menutup pintu di belakangnya. Ruangan sunyi menyambut kehadiran dia, beriringan dengung AC berputar pelan. Pandangannya secara refleks menyapu seisi kamar itu—masih terlalu rapi untuk persinggahan."Aku cuma mau tahu kamu gimana. Wajar 'kan kh

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Rahasia yang mulai retak

    Kamar samar-samar masih dilingkupi wangi sabun pel. Seprai telah dirapikan, bantal disusun kembali, sebagai rutinitas mingguan demi menjaga kenyamanan dia dan suaminya. Tangannya bergerak otomatis—menarik sudut seprai dan meratakan lipatannya. Lalu, derap langkah pelan di ambang pintu membuatnya tersentak.Gerakannya terhenti. Sepasang telempap nya tengah menekan permukaan kasur, seiring jari-jarinya kaku. Ajeng mematung, tubuhnya membutuhkan jeda untuk mengenali kehadiran siapa yang baru saja datang."Boleh ibu masuk, Nak?"Suara tersebut lembut, sekaligus menyimpan beban. Di sana, ibunya berdiri di bingkai pintu, enggan langsung melangkah masuk. Pandangnya menyiratkan permohonan—dan perkara yang lebih dalam berupa kesedihan serta kegelisahan.Ajeng menelan ludah. Dadanya sesak akan perkara yang tidak bisa dia namai. Dia menengok lamban, memaksakan senyum tipis yang sesungguhnya juga mengandung sungkan. "Bu—" Kata itu menggantung, kehilangan kelanjutannya. Sejemang dia mengangguk, s

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Perang di antara penolakan dan konsistensi

    Abimana menatap layar komputernya, meski dia tak benar-benar membaca baris demi baris yang terpampang. Padahal kursor berkedip, seperti menyamai denyut pikiran yang berdentum ke banyak titik.Belakangan hari ada sesuatu yang mengganggu ritme kerjanya, berupa intuisi serta jenis kegelisahan yang sesungguhnya.Perubahan Diana terlalu halus jika disebut mencurigakan. Tetapi, dia kelewat konsisten untuk diabaikan. Abimana tidak menyukai hal-hal yang mengaburkan batas. Dan ketika batas itu mengabur, dia tahu dirinya perlu mengambil sikap.Panggilan internal dikirimnya ke meja personalia. Nama Dimas terlintas pertama kali. Pria muda itu pernah menggantikan posisi Diana saat cutinya beberapa waktu lalu—cepat, rapi, serta tidak pula mencampurkan urusan personal ke dalam pekerjaan.Tak lama berselang, pintu ruangannya diketuk."Masuk!" Dimas berdiri di ambang pintu dengan postur yang tegak. "Bapak manggil saya?""Duduk, Dimas," lanting Abimana sambil menutup dokumen di layarnya.Dimas duduk s

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Kegigihan Diana

    Kafetaria lantai bawah tampak lapang ketika Diana Sophia mengambil tempat di sudut yang agak tertutup. Dinding kaca memantulkan sinar mentari yang sedikit lembut di pagi ini, turun ke permukaan meja kayu berlapis pernis. Dia menyiasati segalanya. Salah satunya dengan membaca saat-saat situasi tidak ramai, supaya ranah yang dia punya cukup privat untuk percakapan yang ingin dia jaga agar tak didengar telinga lain. Dua cangkir latte mengepul halus di atas meja, ditemani sepiring ragam kue tradisional yang belum disentuh. Diana sibuk mengaduk minuman, lalu menyesapnya tipis-tipis. Rexa datang di beberapa menit kemudian. Perempuan itu menjatuhkan tubuhnya ke kursi di seberang Diana, seiring pula napasnya berembus panjang. "Pagi-pagi banget lo ngajak ketemu, penting banget, ya?" Diana mengangkat pandangnya, sembari menyematkan seringai wajar. "Gue butuh suasana yang bersih, Rex. Makanya gue pilih jam segini.""Bersih?" Rexa menyipitkan mata usai dia mengamati sekitar mereka. "Lo gampan

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Canggung

    Meja makan malam terisi seperti biasa, diterangi cahaya remang jingga yang memantul ke permukaan set kayu sebagai pusat kebersamaan keluarga. Uap masakan mengepul dengan bau lezat yang seharusnya menggugah selera. Cahyani duduk di ujung meja, sedang merapikan serbet di pangkuannya. Mumu mondar-mandir sebentar sebelum akhirnya ikut duduk. Arjuna datang belakangan, wajahnya tenang tanpa cela. Sangat khas perawakan dia. Ajeng duduk di sisi Abimana. Tangannya bertaut di atas meja, jemarinya saling mengunci lebih erat. "Masakan hari ini luar biasa," ujar Abimana membuka percakapan, sekadar mengisi ruang yang tampaknya terlalu hening."Iya, Nak." Cahyani menyahut cepat. "Ini permintaan beberapa orang. Ibu dan Mumu memang dari siang sudah di dapur." Di seberang, Ajeng mengangguk lamban. "Makasih untuk makanan hari ini, Bu--tadi Ajeng enggak ikut bantu." Nada suaranya datar, tapi cukup sopan untuk tidak menimbulkan kecurigaan.Di samping, Abimana melirik istrinya itu sekilas. Singkat saj

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Sesuatu yang tertunda untuk diucapkan

    Suhu ruangan lebih bersahabat ketika obrolan mereka berpindah dari nada panik ke arah yang lebih tenang. Olivia menambahkan air putih ke gelas kosong, yang segera di minum oleh Ajeng. Tak lama berselang, dia mengangguk dan meneguk sedikit isinya. Sensasi hangat itu mereda di tenggorokan.Meskipun wajahnya masih menunjukkan bekas guncangan, tatapan Ajeng kini fokus. Napasnya teratur. Sesekali dia mengusap sisa basah di sudut matanya, tetapi nada suaranya tidak lagi bergetar semula."Sekarang gimana perasaanmu?" tanya Olivia, sedikit hati-hati agar ucapannya tidak memantik emosi Ajeng lagi."Aku masih pusing, tapi sekarang bisa mikir. Tadi itu ... terlalu tiba-tiba dan datangnya barengan. Aku enggak bisa bereaksi apa-apa, dan milih kabur. Untung aku langsung ingat kamu, Liv. Enggak kebayang kalau yang ku telepon Mas Abim." Olivia mengangguk, "Aku ngerti. Jadi, langkahmu sekarang apa? Kamu mau cerita ke Mas Abim?"Pertanyaan sekian membuat Ajeng terdiam beberapa detik. Dia tidak berkedi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status