Beranda / Rumah Tangga / Dek Ajeng & Mas Abim / Senda gurau yang bikin Ajeng geram

Share

Senda gurau yang bikin Ajeng geram

Penulis: Ceeri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-21 19:25:24

•• ༻❁༺ ••

Di sepanjang perjalanan tawa jenaka dan senda gurau meramaikan suasana. Kegembiraan terpancar jelas di wajah-wajah nan cantik. Mereka begitu antusias. Sesekali salah satu teman Ajeng melantunkan lirik yang sengaja mereka putar dari tape mobil, Lisa namanya.

"Ajeng, bukannya kamu bilang suamimu enggak kasih izin? Kok tiba-tiba bisa ikut kita? Kalau suamimu marah, bagaimana?" Jeslyn melanting tanya sebagai pembuka obrolan di antara mereka.

"Lis, menyetirnya yang fokus. Nyanyi-nyanyi enggak jelas begitu enggak bikin laju mobilnya bertambah, Lis."

"Jangan cerewet, Jes! Aku yang menyetir. Kamu hanya perlu duduk manis di situ dan biarkan maestro beraksi."

"Pokoknya aku udah ingatkan ya, Lis. Kamu gede belagunya doang soalnya, padahal sering menabrak pembatas jalan."

"Kalem kenapa sih, Jes?! Di mana-mana selalu kamu yang bising." Tahu-tahu yang lain menyeletuk, dia Gisca.

"Aku enggak minta pendapat kamu, tuh. Kamu sendiri suka menyela obrolan orang." Lalu, dibalas ketus oleh Jeslyn.

"Yang suka menyerobot pembicaraan orang itu kamu, Gis. Diingat-ingat dulu coba, sebelum kamu menuduh aku." Gisca lagi-lagi menyahut, dia tampak makin kesal.

"Ya ampun! Please ... kalian bukan anak kecil lagi. Bisa-bisanya memperdebatkan yang gak penting. Bayiku bakalan stres gara-gara ulah kalian."

"Ajeng benar. Malu kali sama usia. Jeslyn dan Gisca kalau udah disatukan bakal jadi trouble maker. Tahan ribut berjam-jam." Lisa sengaja memanas-manasi. Dia menyeringai ketika Jeslyn dan Gisca serentak mendelik kepadanya.

"Jeng, kamu belum jawab pertanyaan aku. Gimana caranya sampai kamu bisa ikut kita?" Penuturan Jeslyn pun mengubah pertikaian kecil tadi, mereka kembali fokus pada aktivitas masing-masing.

Sambil menarik napas perlahan-lahan, Ajeng mengamati Jeslyn yang kini menunggu jawabannya. "Enggak ada yang gimana-gimana. Aku cuma bilang udah janjian sama kalian sejak dua minggu lalu. Terus, doi langsung kasih izin."

"Begitu aja?!" Lisa mengoreksi perkataan tadi. "Kami sempat mengira kamu enggak akan ikut, Jeng."

"Mas Abim belum pernah menolak permintaan aku. Apa yang aku mau bisa aku dapat dengan mudah." Senyum Ajeng mengembang. Rasa bangga menguasai dirinya kala mendapati semua teman-temannya memandang iri pada dia.

"Wah, enak sekali. Aku juga mau punya suami seperti Abimana—andaikan suamiku sekaya dan setampan dia." Jeslyn memandang ke atas, menangkup tangan sambil mendesah ringan, "Semua mimpi-mimpiku pasti terwujud."

"Lisa, lihat teman kamu ini. Dia sudah gila. Bisa-bisanya mengidamkan suami orang. Idih!" Terang-terangan Gisca meledek Jeslyn sambil mulutnya ikut komat-kamit.

"Oh, kamu mau bermain-main sama aku? Oke, aku bakal ladeni. Mungkin aja kamu lupa biar aku ingatkan lagi. Apa kalian tau Gisca pernah mengatakan padaku kalau dia sangat penasaran dengan suami Ajeng?!" Pengumuman Jeslyn ini membuat Lisa spontan tergelak, berbanding terbalik pada Ajeng yang kini justru merungut.

"Gis, apa benar?" Lalu, si empu yang ditanya sekadar mengedikkan kedua bahunya. "Aku jadi heran, sebenarnya apa yang bikin kalian segitu penasaran sama mas Abim? Dia suami aku, dan kalian lupa perutku yang besar ini? Ini anak Mas Abim, anak kita berdua. Kalian sembrono sekali perilakunya." Ajeng mengernyit, secara bergilir menghunuskan tatapan tajam ke tiga temannya.

"Aku enggak ikut-ikutan ya, Jeng. Konfliknya cuma di antara Jeslyn dan Gisca." Lisa menyela demi menyelamatkan diri dari tuduhan itu. "Jeslyn pernah ngomong juga dia enggak sengaja lihat foto Abim di layar HP kamu. Setelah itu dia suka muji-muji Abimana semisal kita enggak sengaja menyeret dia ke dalam obrolan kita."

"Gila, ya! Ember banget mulutmu, Lisa. Sialan! Teman macam kamu?!" Jeslyn mengumpat kasar, menatap sengit pada gadis berambut pirang kecokelatan di balik kemudi.

"Ayolah, Jes. Untuk apa ada rahasia di antara kita? Biasanya kamu yang paling bersemangat saat kita membahas suami si Ajeng." Gisca justru menambah bara di permukaan percikan api, hingga situasi di dalam mobil kian memanas akibat kalimat provokasi olehnya tadi.

"Enggak usah saling menuduh. Aku tahu kalian berdua sama aja." Bagaikan pemenang dan yang paling bersih, Lisa makin ketagihan mengolok-olok dua temannya. Dia berganti peran selayaknya pakar dunia gosip.

"Udah, udah, cukup! Lama-lama aku makin kesal sama kalian. Enggak ada yang benar kelakuannya, enggak tahu diri banget." Berujung luapan amarah Ajeng meledak juga.

"Hello, Ajeng Dwi Ayu ... kalem, Sis. Ini buat seru-seruan aja. Kami enggak bakal melakukan apa-apa ke suami, kamu. Kita semua udah punya pasangan kali. Santuy, Beb." Ini penuturan Lisa. Di saat situasinya hampir di luar kendali, dia pun bergegas meluruskan kasus yang sengaja dia perpanjang.

"Kalian enggak bisa menormalisasikan candaan jelek kayak begini. Lisa! Kamu dan Jeslyn udah menikah, kenapa akhlak kalian berdua enggak mencerminkan wanita bersuami? Kamu juga, Gisca! Sebentar lagi kamu menikah. Dikurang-kurangi genitnya. Belajar menghargai pasangan sendiri." Ajeng mendengkus gemas sebelum membuang muka ke jendela.

"Kamu 'kan bukan orang lain, Jeng. Jangan marah beneran, dong! Janji deh, enggak lagi bercandanya." Sejemang Lisa hendak mendinginkan ketegangan. Ajeng sungguh berang dan bosan melihat tingkah teman-temannya. Suasana hatinya mendadak gerah dan panas. Detak jantung meningkat, tetapi dengan pertimbangan matang dia mesti bisa memaklumi gurauan itu.

"Hentikan percakapan enggak penting ini, kita udah sampai." Jeslyn menginterupsi.

"Nyebelin banget sih, Jes! Kamu duluan yang buka topik sensitif begini. Kamu dan Lisa sama aja, selalu cuci tangan dari kesalahan yang dilakukan. Dosa apa aku dulu sampai bisa punya teman kayak kalian berdua?!" Gisca mendengkus jemu. Perasaan tersebut tidak dapat dicegah saat dia menyadari tidak satupun obrolan mereka yang berguna, segalanya hanya omong kosong menggelikan.

"Ajeng, kamu kok diam aja? Kamu enggak suka ya sama lelucon kita? Kita beneran minta maaf. Aku, Lisa ataupun Jeslyn enggak akan menyeret suami kamu lagi ke dalam keributan kita." Kompak Lisa dan Jeslyn mengangguk-angguk. Namun, Ajeng enggan mengangkat wajahnya. Sekian menit lalu dia memberi usapan lembut ke permukaan perutnya.

"Aku tau kalian cuma main-main, Gisca. Tapi, aku juga minta maaf ke kalian. Aku enggak bisa menahan diri. Emosiku langsung naik."

"Keteledoran kita. Kamu enggak seharusnya mengalami hal ini. Aku menyesal banget." Giska seolah berperan sebagai penengah yang baik. Selalu yang namanya penyesalan muncul di belakang, di saat semuanya telanjur membekas.

"Ajeng, kita udah di basemen." Lisa menginterupsi. Ucapannya sontak memancing perhatian Ajeng, dia lekas-lekas tengadah.

"Loh, udah nyampe ternyata. Kok enggak ada yang ngomong?" Mereka bersiap turun sambil memastikan barang-barang tidak ada yang tertinggal.

"Jeslyn udah kasih kode, tapi karena melamun kamu enggak sadar."

"Kayaknya kehadiran aku cuma jadi pengganggu buat kalian, bikin kalian enggak leluasa."

"Itu perasaan kamu doang, Ajeng. Memang kita yang keterlaluan bercandanya. Eh, mumpung aku ingat. Kita bertiga rencananya mau liburan ke puncak. Sewa villa gitu, mana tau kamu pengen ikut." Gisca menawarkan planning itu dini keempatnya keluar dari pintu di sisi terdekat mereka.

"Kita-kita aja?"

"Ehm, rencananya gitu. Cuma, belum fix sih. Boleh aja bawa suami kalau memang situasinya memungkinkan."

"Eh, enggak-enggak! Niatnya 'kan mau bebas. Aku enggak setuju. Siapapun yang mau ikut enggak boleh bawa partner apalagi pasangan, entar malah enggak seru lagi. Aku udah prepare dari lama, loh! Pengen rileks yang beneran santai. No gangguan, no drama dan segala tetek-bengeknya." Serta merta Jeslyn menyangkal sebelum rencana yang dia bayangkan berjalan indah dan mulus, justru akan carut-marut.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Ruang untuk bernapas dengan tenang

    Hujan sudah lama reda, tapi daun-daun di pekarangan masih menggantungkan sisa air. Arjuna duduk sendiri di bangku kayu belakang rumah, jaket masih melekat di tubuhnya. Cahaya lampu taman redup menyorot garis wajahnya yang letih.Dia tidak menangis. Tapi, bias di matanya kosong. Seperti seseorang yang terlalu lama menyimpan sesuatu tanpa pernah benar-benar punya ruang untuk bicara.Tangannya saling bertautan sambil sekali ibu jarinya saling mengusap satu sama lain. Dia kentara sedang berpikir keras, meski semua itu tetap percuma. Dari jendela lantai dua Alyssa berdiri mengintip dari balik tirai. Tidak ada kemarahan di wajahnya. Tidak juga kecemburuan. Hanya ... kekosongan yang perlahan-lahan membeku jadi jarak.Dia memandang suaminya di sana; Arjuna tampak bagaikan remaja muda yang tengah kehilangan arah. Lalu, tirai ditarik. Alyssa menutupnya sebab dia ingin sedikit ruang lapang untuk kesehatan perasaannya sendiri. -----Pagi berikutnya cahaya matahari menerobos lembut ke dapur ya

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Rahasia yang ingin berteriak dengan lantang

    Sudah lebih dari satu jam sejak Arjuna dan Ajeng kembali dari reuni. Tapi, Arjuna belum juga masuk ke kamar. Alyssa menunggu di balik dinding koridor rumah keluarga itu, mendengar langkah suaminya mondar-mandir di ruang belakang. Tanpa suara, tanpa panggilan.Alyssa duduk di tepi ranjang tamu yang sementara mereka tempati, sambil menekuk ujung jarinya di atas pahanya sendiri. Usia kandungannya hampir menginjak sembilan bulan, sebulan lebih tua dari Ajeng. Sayang, yang terasa sekarang bukan keintiman sebagai pasangan yang sedang menanti ... melainkan sesuatu yang menggantung dan menjauh.Pintu kamar terbuka pelan.Arjuna masuk tanpa menatap istrinya."Habis hujan," katanya pendek, menurunkan jaket yang sudah agak lembab.Alyssa hanya mengangguk, "Kamu kehujanan?""Sedikit."Arjuna melewati Alyssa begitu saja, menuju lemari dan mengganti bajunya tanpa menoleh. Alyssa menunggu, menunggu sesuatu yang tidak datang; pertanyaan, sentuhan, atau sekadar perhatian kecil.Tapi, tidak ada.Dan it

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Reuni SMA dan juga perubahan sikap Arjuna

    Hari ini akhirnya tiba...Ajeng berdiri di depan cermin panjang di lorong rumah. Tangannya perlahan membenarkan kerudung; disematkan dengan pin sederhana. Gaun pastel selutut yang dia kenakan memeluk perut buncitnya dengan lembut. Wajahnya terlihat tenang, tapi ada rasa berdebar yang samar.Dari balik pintu terdengar suara langkah kaki, Arjuna."Kita berangkat sekarang? tanyanya, berdiri dengan satu tangan menyelipkan kunci mobil di antara jari.Ajeng menoleh. "Iya. Kakak yakin enggak keberatan ada aku? Entar Kakak enggak leluasa sama yang lain.""Kenapa harus keberatan?" jawab Arjuna pelan, "Bukannya kita udah biasa, ya? Dari dulu juga kita selalu bareng di acara-acara kayak begini."Ajeng tersenyum kecil, tidak menjawab. Dia tahu Abimana seharusnya ikut menemani dia, setidaknya mengantar. Tapi urusan kantor membuat suaminya harus pergi pagi-pagi ke Bandung. Ajeng tidak menuntut. Dia pun tahu Abimana sudah berusaha. Lagi pula, suaminya percaya.Di dalam mobil, keduanya lebih banyak d

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Perasaan seorang istri sangat peka

    Langkah Ajeng terdengar pelan di koridor marmer PT. Sabina. Dia membawa tas makan siang berwarna biru yang merupakan favorit Abimana. Ajeng mengenakan blouse sederhana dan celana kulot longgar nuansa pastel. Penampilannya tetap elegan meski tanpa riasan berlebihan. Dia hanya ingin mengantarkan bekal suaminya yang tertinggal, tiada niat lebih.Resepsionis menyambutnya ramah. "Selamat siang, Bu Ajeng. Ke ruang Pak Abimana, ya?"Ajeng tersenyum sambil mengangguk. "Iya. Saya cuma mau antar makan siang si Mas aja. Ketinggalan." Ajeng terbiasa datang sesekali ke kantor suaminya. Penghuni perusahaan juga tentu mengenal dia. Tidak ada hal aneh, tak ada yang perlu dijaga-jaga pula. Namun, langkah Ajeng kontan melambat ketika pintu ruang direktur terbuka sedikit; cukup lebar untuk dia dapat melihat dua sosok di dalam.Diana Sophia berdiri di sisi meja kerja, senyumnya diam-diam. Di mata Ajeng kentara lembut dan terlalu lama tertuju pada Abimana. Pria tersebut sedang duduk di belakang meja deng

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Pagi yang cukup menguras emosional

    Pagi itu dapur masih berantakan setelah semua orang menyelesaikan rutinitas sarapan pagi mereka. Piring-piring belum dibereskan. Sementara, Mumu Sedang berada di ruang laundry untuk menjemur kain. Dia akan mengerjakan bagian dapur begitu rampung dengan urusan pakaian. Ajeng berdiri di dekat meja makan, satu tangan menopang pinggangnya yang membesar, satu tangan lain menggenggam ponsel yang menempel di telinga."Mas, kamu serius ninggalin bekal di meja begitu aja?" Suaranya tenang, tapi nadanya menyimpan jengkel yang ditahan-tahan.Di ujung sana, Abimana menghela napas."Maaf, Dek. Mas tadi buru-buru banget, Alvian bakal datang jam delapan ... enggak usah diantar, nanti Mas beli makan di kantor aja."Ajeng berdecak pelan, menoleh ke meja makan di mana bekal dalam kotak stainless itu masih tergeletak rapi, lengkap dengan sendok dan tisu."Mas tau kan adek nggak suka Mas makan sembarangan di luar. Itu lauk kesukaan, Mas. Adek masak dibantu sama ibu ..." Intonasi suara Ajeng melemah di a

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Perubahan sikap Diana merupakan awal keresahan

    Sejak Diana kembali dari cutinya, Abimana mulai merasa ada yang tidak beres. Perempuan itu berubah. Bukan dalam kinerja—pekerjaannya masih rapi dan tepat waktu—tetapi dalam sikap. Diana menjadi lebih sering tersenyum, terlalu ramah, dan suka mampir ke ruangannya untuk urusan-urusan yang sebenarnya tidak perlu dibicarakan langsung. Awalnya Abimana sekadar mengerutkan kening, bertanya-tanya dalam hati. Lalu, dia mulai mendengkus setiap kali mendengar suara ketukan khas di pintu ruangannya. "Pak, saya cuma mau memastikan file presentasi yang tadi itu sudah betul belum? Atau, "Maaf ganggu, saya mau konfirmasi jam makan siang Bapak dengan klien." Berulang Diana datang demi hal-hal sepele demikian, padahal semuanya sudah ditandai jelas di kalender bersama. Abimana risih. Sangat risih. Dia bukan tipe pria yang menikmati perhatian orang lain. Lagi pula ada yang membuat hatinya makin tak tenang; dia begitu mencintai istrinya. Cinta yang utuh dan tidak tergoyahkan. Maka, sikap Diana yang me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status