LOGIN•• ༻❁༺ ••
Di sepanjang perjalanan tawa jenaka dan senda gurau meramaikan suasana. Kegembiraan terpancar jelas di wajah-wajah nan cantik. Mereka begitu antusias. Sesekali salah satu teman Ajeng melantunkan lirik yang sengaja mereka putar dari tape mobil, Lisa namanya. "Ajeng, bukannya kamu bilang suamimu enggak kasih izin? Kok tiba-tiba bisa ikut kita? Kalau suamimu marah, bagaimana?" Jeslyn melanting tanya sebagai pembuka obrolan di antara mereka. "Lis, menyetirnya yang fokus. Nyanyi-nyanyi enggak jelas begitu enggak bikin laju mobilnya bertambah, Lis." "Jangan cerewet, Jes! Aku yang menyetir. Kamu hanya perlu duduk manis di situ dan biarkan maestro beraksi." "Pokoknya aku udah ingatkan ya, Lis. Kamu gede belagunya doang soalnya, padahal sering menabrak pembatas jalan." "Kalem kenapa sih, Jes?! Di mana-mana selalu kamu yang bising." Tahu-tahu yang lain menyeletuk, dia Gisca. "Aku enggak minta pendapat kamu, tuh. Kamu sendiri suka menyela obrolan orang." Lalu, dibalas ketus oleh Jeslyn. "Yang suka menyerobot pembicaraan orang itu kamu, Gis. Diingat-ingat dulu coba, sebelum kamu menuduh aku." Gisca lagi-lagi menyahut, dia tampak makin kesal. "Ya ampun! Please ... kalian bukan anak kecil lagi. Bisa-bisanya memperdebatkan yang gak penting. Bayiku bakalan stres gara-gara ulah kalian." "Ajeng benar. Malu kali sama usia. Jeslyn dan Gisca kalau udah disatukan bakal jadi trouble maker. Tahan ribut berjam-jam." Lisa sengaja memanas-manasi. Dia menyeringai ketika Jeslyn dan Gisca serentak mendelik kepadanya. "Jeng, kamu belum jawab pertanyaan aku. Gimana caranya sampai kamu bisa ikut kita?" Penuturan Jeslyn pun mengubah pertikaian kecil tadi, mereka kembali fokus pada aktivitas masing-masing. Sambil menarik napas perlahan-lahan, Ajeng mengamati Jeslyn yang kini menunggu jawabannya. "Enggak ada yang gimana-gimana. Aku cuma bilang udah janjian sama kalian sejak dua minggu lalu. Terus, doi langsung kasih izin." "Begitu aja?!" Lisa mengoreksi perkataan tadi. "Kami sempat mengira kamu enggak akan ikut, Jeng." "Mas Abim belum pernah menolak permintaan aku. Apa yang aku mau bisa aku dapat dengan mudah." Senyum Ajeng mengembang. Rasa bangga menguasai dirinya kala mendapati semua teman-temannya memandang iri pada dia. "Wah, enak sekali. Aku juga mau punya suami seperti Abimana—andaikan suamiku sekaya dan setampan dia." Jeslyn memandang ke atas, menangkup tangan sambil mendesah ringan, "Semua mimpi-mimpiku pasti terwujud." "Lisa, lihat teman kamu ini. Dia sudah gila. Bisa-bisanya mengidamkan suami orang. Idih!" Terang-terangan Gisca meledek Jeslyn sambil mulutnya ikut komat-kamit. "Oh, kamu mau bermain-main sama aku? Oke, aku bakal ladeni. Mungkin aja kamu lupa biar aku ingatkan lagi. Apa kalian tau Gisca pernah mengatakan padaku kalau dia sangat penasaran dengan suami Ajeng?!" Pengumuman Jeslyn ini membuat Lisa spontan tergelak, berbanding terbalik pada Ajeng yang kini justru merungut. "Gis, apa benar?" Lalu, si empu yang ditanya sekadar mengedikkan kedua bahunya. "Aku jadi heran, sebenarnya apa yang bikin kalian segitu penasaran sama mas Abim? Dia suami aku, dan kalian lupa perutku yang besar ini? Ini anak Mas Abim, anak kita berdua. Kalian sembrono sekali perilakunya." Ajeng mengernyit, secara bergilir menghunuskan tatapan tajam ke tiga temannya. "Aku enggak ikut-ikutan ya, Jeng. Konfliknya cuma di antara Jeslyn dan Gisca." Lisa menyela demi menyelamatkan diri dari tuduhan itu. "Jeslyn pernah ngomong juga dia enggak sengaja lihat foto Abim di layar HP kamu. Setelah itu dia suka muji-muji Abimana semisal kita enggak sengaja menyeret dia ke dalam obrolan kita." "Gila, ya! Ember banget mulutmu, Lisa. Sialan! Teman macam kamu?!" Jeslyn mengumpat kasar, menatap sengit pada gadis berambut pirang kecokelatan di balik kemudi. "Ayolah, Jes. Untuk apa ada rahasia di antara kita? Biasanya kamu yang paling bersemangat saat kita membahas suami si Ajeng." Gisca justru menambah bara di permukaan percikan api, hingga situasi di dalam mobil kian memanas akibat kalimat provokasi olehnya tadi. "Enggak usah saling menuduh. Aku tahu kalian berdua sama aja." Bagaikan pemenang dan yang paling bersih, Lisa makin ketagihan mengolok-olok dua temannya. Dia berganti peran selayaknya pakar dunia gosip. "Udah, udah, cukup! Lama-lama aku makin kesal sama kalian. Enggak ada yang benar kelakuannya, enggak tahu diri banget." Berujung luapan amarah Ajeng meledak juga. "Hello, Ajeng Dwi Ayu ... kalem, Sis. Ini buat seru-seruan aja. Kami enggak bakal melakukan apa-apa ke suami, kamu. Kita semua udah punya pasangan kali. Santuy, Beb." Ini penuturan Lisa. Di saat situasinya hampir di luar kendali, dia pun bergegas meluruskan kasus yang sengaja dia perpanjang. "Kalian enggak bisa menormalisasikan candaan jelek kayak begini. Lisa! Kamu dan Jeslyn udah menikah, kenapa akhlak kalian berdua enggak mencerminkan wanita bersuami? Kamu juga, Gisca! Sebentar lagi kamu menikah. Dikurang-kurangi genitnya. Belajar menghargai pasangan sendiri." Ajeng mendengkus gemas sebelum membuang muka ke jendela. "Kamu 'kan bukan orang lain, Jeng. Jangan marah beneran, dong! Janji deh, enggak lagi bercandanya." Sejemang Lisa hendak mendinginkan ketegangan. Ajeng sungguh berang dan bosan melihat tingkah teman-temannya. Suasana hatinya mendadak gerah dan panas. Detak jantung meningkat, tetapi dengan pertimbangan matang dia mesti bisa memaklumi gurauan itu. "Hentikan percakapan enggak penting ini, kita udah sampai." Jeslyn menginterupsi. "Nyebelin banget sih, Jes! Kamu duluan yang buka topik sensitif begini. Kamu dan Lisa sama aja, selalu cuci tangan dari kesalahan yang dilakukan. Dosa apa aku dulu sampai bisa punya teman kayak kalian berdua?!" Gisca mendengkus jemu. Perasaan tersebut tidak dapat dicegah saat dia menyadari tidak satupun obrolan mereka yang berguna, segalanya hanya omong kosong menggelikan. "Ajeng, kamu kok diam aja? Kamu enggak suka ya sama lelucon kita? Kita beneran minta maaf. Aku, Lisa ataupun Jeslyn enggak akan menyeret suami kamu lagi ke dalam keributan kita." Kompak Lisa dan Jeslyn mengangguk-angguk. Namun, Ajeng enggan mengangkat wajahnya. Sekian menit lalu dia memberi usapan lembut ke permukaan perutnya. "Aku tau kalian cuma main-main, Gisca. Tapi, aku juga minta maaf ke kalian. Aku enggak bisa menahan diri. Emosiku langsung naik." "Keteledoran kita. Kamu enggak seharusnya mengalami hal ini. Aku menyesal banget." Giska seolah berperan sebagai penengah yang baik. Selalu yang namanya penyesalan muncul di belakang, di saat semuanya telanjur membekas. "Ajeng, kita udah di basemen." Lisa menginterupsi. Ucapannya sontak memancing perhatian Ajeng, dia lekas-lekas tengadah. "Loh, udah nyampe ternyata. Kok enggak ada yang ngomong?" Mereka bersiap turun sambil memastikan barang-barang tidak ada yang tertinggal. "Jeslyn udah kasih kode, tapi karena melamun kamu enggak sadar." "Kayaknya kehadiran aku cuma jadi pengganggu buat kalian, bikin kalian enggak leluasa." "Itu perasaan kamu doang, Ajeng. Memang kita yang keterlaluan bercandanya. Eh, mumpung aku ingat. Kita bertiga rencananya mau liburan ke puncak. Sewa villa gitu, mana tau kamu pengen ikut." Gisca menawarkan planning itu dini keempatnya keluar dari pintu di sisi terdekat mereka. "Kita-kita aja?" "Ehm, rencananya gitu. Cuma, belum fix sih. Boleh aja bawa suami kalau memang situasinya memungkinkan." "Eh, enggak-enggak! Niatnya 'kan mau bebas. Aku enggak setuju. Siapapun yang mau ikut enggak boleh bawa partner apalagi pasangan, entar malah enggak seru lagi. Aku udah prepare dari lama, loh! Pengen rileks yang beneran santai. No gangguan, no drama dan segala tetek-bengeknya." Serta merta Jeslyn menyangkal sebelum rencana yang dia bayangkan berjalan indah dan mulus, justru akan carut-marut.Lobi hotel itu tampak sepi dengan hawa sejuk yang menggigit, bahkan di siang hari begini. Arjuna mengenali setiap sudutnya. Termasuk arah pantulan cahaya di lantai marmer. Tempat itu telah menjadi persinggahan sementara dalam hidupnya. Sejak Alyssa memilih menepi, langkah kakinya kerap berakhir di sana. Kadang dengan maksud jelas, ada pula cuma untuk memastikan istrinya baik-baik saja.Pintu kamar terbuka setelah ketukan singkat.Alyssa berdiri di ambang, wajahnya tampak lelah namun tetap bersahaja. Rambutnya diikat longgar, gaun sederhana menutupi tubuh yang kian menampakkan usia kandungan. Tatapannya menyiratkan kejenuhan yang lunak."Kamu datang cepat." Sapaannya terdengar datar saat dia memberi jalan masuk.Arjuna melangkah ke dalam, sembari menutup pintu di belakangnya. Ruangan sunyi menyambut kehadiran dia, beriringan dengung AC berputar pelan. Pandangannya secara refleks menyapu seisi kamar itu—masih terlalu rapi untuk persinggahan."Aku cuma mau tahu kamu gimana. Wajar 'kan kh
Kamar samar-samar masih dilingkupi wangi sabun pel. Seprai telah dirapikan, bantal disusun kembali, sebagai rutinitas mingguan demi menjaga kenyamanan dia dan suaminya. Tangannya bergerak otomatis—menarik sudut seprai dan meratakan lipatannya. Lalu, derap langkah pelan di ambang pintu membuatnya tersentak.Gerakannya terhenti. Sepasang telempap nya tengah menekan permukaan kasur, seiring jari-jarinya kaku. Ajeng mematung, tubuhnya membutuhkan jeda untuk mengenali kehadiran siapa yang baru saja datang."Boleh ibu masuk, Nak?"Suara tersebut lembut, sekaligus menyimpan beban. Di sana, ibunya berdiri di bingkai pintu, enggan langsung melangkah masuk. Pandangnya menyiratkan permohonan—dan perkara yang lebih dalam berupa kesedihan serta kegelisahan.Ajeng menelan ludah. Dadanya sesak akan perkara yang tidak bisa dia namai. Dia menengok lamban, memaksakan senyum tipis yang sesungguhnya juga mengandung sungkan. "Bu—" Kata itu menggantung, kehilangan kelanjutannya. Sejemang dia mengangguk, s
Abimana menatap layar komputernya, meski dia tak benar-benar membaca baris demi baris yang terpampang. Padahal kursor berkedip, seperti menyamai denyut pikiran yang berdentum ke banyak titik.Belakangan hari ada sesuatu yang mengganggu ritme kerjanya, berupa intuisi serta jenis kegelisahan yang sesungguhnya.Perubahan Diana terlalu halus jika disebut mencurigakan. Tetapi, dia kelewat konsisten untuk diabaikan. Abimana tidak menyukai hal-hal yang mengaburkan batas. Dan ketika batas itu mengabur, dia tahu dirinya perlu mengambil sikap.Panggilan internal dikirimnya ke meja personalia. Nama Dimas terlintas pertama kali. Pria muda itu pernah menggantikan posisi Diana saat cutinya beberapa waktu lalu—cepat, rapi, serta tidak pula mencampurkan urusan personal ke dalam pekerjaan.Tak lama berselang, pintu ruangannya diketuk."Masuk!" Dimas berdiri di ambang pintu dengan postur yang tegak. "Bapak manggil saya?""Duduk, Dimas," lanting Abimana sambil menutup dokumen di layarnya.Dimas duduk s
Kafetaria lantai bawah tampak lapang ketika Diana Sophia mengambil tempat di sudut yang agak tertutup. Dinding kaca memantulkan sinar mentari yang sedikit lembut di pagi ini, turun ke permukaan meja kayu berlapis pernis. Dia menyiasati segalanya. Salah satunya dengan membaca saat-saat situasi tidak ramai, supaya ranah yang dia punya cukup privat untuk percakapan yang ingin dia jaga agar tak didengar telinga lain. Dua cangkir latte mengepul halus di atas meja, ditemani sepiring ragam kue tradisional yang belum disentuh. Diana sibuk mengaduk minuman, lalu menyesapnya tipis-tipis. Rexa datang di beberapa menit kemudian. Perempuan itu menjatuhkan tubuhnya ke kursi di seberang Diana, seiring pula napasnya berembus panjang. "Pagi-pagi banget lo ngajak ketemu, penting banget, ya?" Diana mengangkat pandangnya, sembari menyematkan seringai wajar. "Gue butuh suasana yang bersih, Rex. Makanya gue pilih jam segini.""Bersih?" Rexa menyipitkan mata usai dia mengamati sekitar mereka. "Lo gampan
Meja makan malam terisi seperti biasa, diterangi cahaya remang jingga yang memantul ke permukaan set kayu sebagai pusat kebersamaan keluarga. Uap masakan mengepul dengan bau lezat yang seharusnya menggugah selera. Cahyani duduk di ujung meja, sedang merapikan serbet di pangkuannya. Mumu mondar-mandir sebentar sebelum akhirnya ikut duduk. Arjuna datang belakangan, wajahnya tenang tanpa cela. Sangat khas perawakan dia. Ajeng duduk di sisi Abimana. Tangannya bertaut di atas meja, jemarinya saling mengunci lebih erat. "Masakan hari ini luar biasa," ujar Abimana membuka percakapan, sekadar mengisi ruang yang tampaknya terlalu hening."Iya, Nak." Cahyani menyahut cepat. "Ini permintaan beberapa orang. Ibu dan Mumu memang dari siang sudah di dapur." Di seberang, Ajeng mengangguk lamban. "Makasih untuk makanan hari ini, Bu--tadi Ajeng enggak ikut bantu." Nada suaranya datar, tapi cukup sopan untuk tidak menimbulkan kecurigaan.Di samping, Abimana melirik istrinya itu sekilas. Singkat saj
Suhu ruangan lebih bersahabat ketika obrolan mereka berpindah dari nada panik ke arah yang lebih tenang. Olivia menambahkan air putih ke gelas kosong, yang segera di minum oleh Ajeng. Tak lama berselang, dia mengangguk dan meneguk sedikit isinya. Sensasi hangat itu mereda di tenggorokan.Meskipun wajahnya masih menunjukkan bekas guncangan, tatapan Ajeng kini fokus. Napasnya teratur. Sesekali dia mengusap sisa basah di sudut matanya, tetapi nada suaranya tidak lagi bergetar semula."Sekarang gimana perasaanmu?" tanya Olivia, sedikit hati-hati agar ucapannya tidak memantik emosi Ajeng lagi."Aku masih pusing, tapi sekarang bisa mikir. Tadi itu ... terlalu tiba-tiba dan datangnya barengan. Aku enggak bisa bereaksi apa-apa, dan milih kabur. Untung aku langsung ingat kamu, Liv. Enggak kebayang kalau yang ku telepon Mas Abim." Olivia mengangguk, "Aku ngerti. Jadi, langkahmu sekarang apa? Kamu mau cerita ke Mas Abim?"Pertanyaan sekian membuat Ajeng terdiam beberapa detik. Dia tidak berkedi







