Share

Dek Ajeng & Mas Abim
Dek Ajeng & Mas Abim
Author: Ceeri

Ajeng Dwi Ayu

Author: Ceeri
last update Last Updated: 2025-03-21 08:35:22

•• ༻❁༺ ••

Ketika laun-laun mentari pergi ke peraduannya, terpancang pula keindahan langit berhiaskan semburat lukisan jingga. Pesona sore seakan turut membingkai kesunyian Abimana Abrisam. Dia termenung seraya menatap kemegahan cakrawala, diam memikirkan sang istri tercinta yang saat ini berada di rumah.

Ajeng, Ajeng Dwi Ayu; ialah wanita istimewa dengan segala kecantikan yang dia miliki. Mata bulat, kulit putih nan mulus, juga rambut hitam yang panjang dan halus, sungguh menawan untuk dipandang.

Ajeng telah seutuhnya memengaruhi pikiran Abimana. Pria itu tengah mengulang kembali peristiwa bahagia tahun lalu kala dia dan Ajeng melangsungkan ijab kabul di depan orang tua mereka dan juga sanak saudara yang hadir.

Menjelang setahun pernikahan mereka, kebahagiaan sejoli tersebut akhirnya terlengkapi. Kehamilan Ajeng merupakan hadiah terbaik di sepanjang usia Abimana. Dia bahkan telah menyusun dan mempersiapkan hari khusus demi menanti kelahiran si buah hati.

Enggan terlambat pulang menyebabkan Abimana bergegas mengemasi barang-barangnya. Langkah diayun cepat menyusuri koridor yang mulai sepi. Beberapa karyawan tentu sudah lebih dahulu meninggalkan ruangan mereka, ada juga yang kedapatan baru akan pergi.

"Sore, Pak!"

"Dim, Mau pulang juga?"

"Iya nih, Pak. Yang lain udah ninggalin saya."

"Kamu lelet, sih! Makanya sering ditinggal."

"Aduh, Pak. Merekanya aja yang kesetanan. Enggak pernah santai setiap jam pulang—nuwun sewu, Pak! Saya duluan, ya."

"Silakan, Dimas!" Abimana tertawa maklum, menggeleng-geleng menyaksikan stafnya yang saat ini berlari di depan dia.

-----

Ketika bertemu seseorang yang cocok, sebuah ikatan pun dapat terjalin. Entah itu pertemanan, asmara, maupun pertemanan berujung asmara. Dan di perjumpaan pertama, Abimana langsung memutuskan untuk mempersunting Ajeng Dwi Ayu tanpa perlu menjajaki masa pendekatan.

"Ngapain, Dek? Kok salam Mas enggak dijawab?" Abimana menghampiri istrinya yang tengah duduk berleha-leha di ruang bersantai. Dia tak lupa mendaratkan kecupan singkat di kepala.

Sepasang kakinya naik ke atas sofa, Ajeng bersandar menyamping pada bantal-bantal persegi yang saling berimpit. Sekilas dia melirik Abimana dan berkata, "Iseng aja. Ini Adek lagi menonton live Xhopee. Tokonya ngadain diskon gede-gedean, mana tau ada yang bagus."

"Udah makan?"

"Eh, itu Mas. Maafin Adek, ya. Tadi Adek keburu lapar, jadi makan duluan. Tapi, Mumu udah masak, udah siapin makan malam buat Mas." Ajeng menurunkan kedua kakinya, disusul Abimana duduk di sebelah dia.

"Adek cape, ya?" tanya Abimana sambil meneliti wajah istrinya.

"Enggak kok, Mas."

"Terus, kenapa bukan istri Mas ini yang nyiapin makan malam buat Mas? Padahal Mas kepingin ..."

"Mas, masakan Adek atau bukan enggak ada bedanya. Mas sendiri bilang masakan Mumu enak. Masih ingat 'kan?"

"Iya, sayang. Mas tahu. Tapi, tetap aja buat Mas masakan Adek itu spesial. Efeknya luar biasa setiap kali Mas dimasakin makanan sama Adek. Enaknya jadi berlipat ganda, Mas merasa disayang banget."

"Ya mau gimana. Kapan-kapan deh adek masakin. Hamilnya ini bikin Adek bosan di dapur, apalagi masak." Nada suara Ajeng terdengar manja, ditambah muka cemberut yang kerap menunjukkan betapa menggemaskannya dia.

"Oh, karena jagoan kecil kita ini? Jadi, Mas memang harus mengalah dong, ya?!" Ajeng mengangguk lucu dengan bibir maju seperti paruh bebek. "Sehat-sehat di dalam ya, Nak," kata Abimana seraya mengelus-elus perut istrinya. "Apa hanya penglihatan Mas aja atau memang perut Adek mulai membesar. Coba Adek perhatikan! Lebih menonjol 'kan daripada yang kemarin-kemarin?"

"Iya, Adek kira juga begitu. Mirip perut badut kalau dari cermin." Ajeng tersenyum tipis, turut senang saat telempap suaminya yang lebar menangkup dan memberi sapuan penuh kasih sayang pada permukaan perutnya.

"Mas mandi dulu, nanti ke sini lagi."

"Habis mandi Mas makan dulu. Entar makanannya makin dingin, loh. Adek enggak suka Mas melalaikan jam makan. Kebiasaan Mas di kantor enggak boleh dibawa pulang. Lama-lama Mas bisa sakit."

"Iya, sayang. Mas janji bakal langsung makan." Abimana beranjak ke lantai dua, menuju kamar mereka. Istrinya betah di sofa, masih dengan ponsel dan live streaming yang dia saksikan.

-----

"Aku ragu bisa ikut atau enggak," sahut Ajeng sambil memutar-mutar helai rambutnya. Dia sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. "Udah aku bilang 'kan, aku harus minta izin dulu, Jes."

"Kamu ini gimana sih, Jeng? Memangnya kita mau ngapain? Masa iya minta persetujuan dulu cuma buat senang-senang? Yang benar aja?! Zaman udah berubah kali."

"Mas Abim beda, Jes. Dia bukan tipe yang oke-oke aja. Aku enggak bisa ikuti saran kamu. Apapun alasannya, aku wajib jujur dan izin dulu."

"Terserahlah! Kalau malam ini kamu belum juga ada kabar, kami bakalan pergi tanpa kamu, Jeng."

"Enggak bisa begitu—loh, kok dimatiin?! Ajeng berdecak kesal sambil menatap layar ponselnya.

"Siapa yang telepon, Dek?"

"Teman Adek Mas. Mas udah jadi makannya?"

"Baru selesai."

"Sendirian aja?" Abimana spontan mengangguk. "Tumben enggak minta ditemenin Adek."

"Enggak apa-apa, sayang. Barusan Adek ngomong sama siapa?" Kali ini Abimana duduk di seberang istrinya.

"Udah Adek jawab, Mas. Itu dari teman Adek." Tiba-tiba Ajeng teringat rencana perginya. "Mas, ada yang mau Adek bilang."

"Bilang apa, hem? Apa yang menyebabkan istri Mas ini cemberut."

"Adek bingung. Teman Adek rencananya mau mengajak hangout, yang di telepon tadi. Adek boleh ikut enggak?"

"Ke mana?" Abimana berusaha menjawab tenang, meski kernyit di dahinya muncul lebih dini. Dia tidak pernah suka terhadap ide bepergian Ajeng jika tanpa dirinya.

"Paling ke mal, Mas. Shopping, ke bioskop. Atau juga hunting jajanan baru." Ajeng melipat bibir selagi menunggu tanggapan suaminya. Ragu pun memenuhi pikirannya kala menyadari bahwa suaminya tidak akan memudahkan ide bepergian itu.

"Kapan, Dek?"

"Besok, Mas. Jam sepuluh. Boleh ya, Mas?" Muka memelas dipampangkan. Ajeng hafal betul satu dari banyak kelemahan suaminya jika menyangkut dia.

"Tapi, Adek sedang hamil. Dokter bilang usia kandungan Adek belum dibebaskan buat melakukan banyak kegiatan. Kalau terjadi apa-apa dengan Adek atau bayinya, bagaimana? Adek juga harus pikirkan itu."

"Mas, Adek perginya enggak sendirian. Jangan melebih-lebihkan, dong! Lagian, Adek sering kok menjumpai wanita hamil di mal. Aman-aman aja sepanjang mereka ada di mal itu."

Nada bicara Ajeng merendah, sarat rengekan di dalamnya. Dia tidak pernah berkata lantang, sangat bukan dirinya ataupun Abimana. Mereka terbiasa saling berbicara dalam intonasi halus.

"Mas enggak bermaksud begitu, sayang. Cuma mengingatkan perkataan dokter tempo hari. Apa Mas salah mengkhawatirkan kondisi istri dan calon anak sendiri?"

Tatapan Abimana berubah mengintimidasi, meski tidak ada kekerasan pada setiap penggalan kata yang diucapkan. Ya Tuhan, bahkan seluruh keluarga dari kedua belah pihak pun tahu betapa besar rasa cinta lelaki ini kepada istrinya. Ajeng kerap dimanjakan. Tiada sekalipun Abimana bertindak kasar, meski sebuah ketidaksengajaan.

"Pokoknya Adek mau pergi, udah janjian dari minggu lalu ke mereka." Ajeng menunduk, muka cemberut dan bibir yang maju tadi tidak juga berubah. Gemas sekali, pikir Abimana.

Jangka mendengar rengekan istrinya itu, Abimana lantas mendesah pasrah dengan kepala tetap dingin. Sepertinya dia perlu mengenyahkan pikiran-pikiran buruk yang melintas di benaknya. Sembari Abimana bangkit; berniat untuk kembali ke kamar mereka, dia lalu berkata lagi, "Mas bisa apa kalau Adek udah ngotot begini? Tapi, Mas benar-benar memohon sama Adek, jangan melalui batas! Pertimbangkan kondisi Adek buat kebaikan Adek dan bayinya juga. Sampai di sini paham 'kan, iya?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Keinginan Arjuna

    Lobi hotel itu tampak sepi dengan hawa sejuk yang menggigit, bahkan di siang hari begini. Arjuna mengenali setiap sudutnya. Termasuk arah pantulan cahaya di lantai marmer. Tempat itu telah menjadi persinggahan sementara dalam hidupnya. Sejak Alyssa memilih menepi, langkah kakinya kerap berakhir di sana. Kadang dengan maksud jelas, ada pula cuma untuk memastikan istrinya baik-baik saja.Pintu kamar terbuka setelah ketukan singkat.Alyssa berdiri di ambang, wajahnya tampak lelah namun tetap bersahaja. Rambutnya diikat longgar, gaun sederhana menutupi tubuh yang kian menampakkan usia kandungan. Tatapannya menyiratkan kejenuhan yang lunak."Kamu datang cepat." Sapaannya terdengar datar saat dia memberi jalan masuk.Arjuna melangkah ke dalam, sembari menutup pintu di belakangnya. Ruangan sunyi menyambut kehadiran dia, beriringan dengung AC berputar pelan. Pandangannya secara refleks menyapu seisi kamar itu—masih terlalu rapi untuk persinggahan."Aku cuma mau tahu kamu gimana. Wajar 'kan kh

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Rahasia yang mulai retak

    Kamar samar-samar masih dilingkupi wangi sabun pel. Seprai telah dirapikan, bantal disusun kembali, sebagai rutinitas mingguan demi menjaga kenyamanan dia dan suaminya. Tangannya bergerak otomatis—menarik sudut seprai dan meratakan lipatannya. Lalu, derap langkah pelan di ambang pintu membuatnya tersentak.Gerakannya terhenti. Sepasang telempap nya tengah menekan permukaan kasur, seiring jari-jarinya kaku. Ajeng mematung, tubuhnya membutuhkan jeda untuk mengenali kehadiran siapa yang baru saja datang."Boleh ibu masuk, Nak?"Suara tersebut lembut, sekaligus menyimpan beban. Di sana, ibunya berdiri di bingkai pintu, enggan langsung melangkah masuk. Pandangnya menyiratkan permohonan—dan perkara yang lebih dalam berupa kesedihan serta kegelisahan.Ajeng menelan ludah. Dadanya sesak akan perkara yang tidak bisa dia namai. Dia menengok lamban, memaksakan senyum tipis yang sesungguhnya juga mengandung sungkan. "Bu—" Kata itu menggantung, kehilangan kelanjutannya. Sejemang dia mengangguk, s

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Perang di antara penolakan dan konsistensi

    Abimana menatap layar komputernya, meski dia tak benar-benar membaca baris demi baris yang terpampang. Padahal kursor berkedip, seperti menyamai denyut pikiran yang berdentum ke banyak titik.Belakangan hari ada sesuatu yang mengganggu ritme kerjanya, berupa intuisi serta jenis kegelisahan yang sesungguhnya.Perubahan Diana terlalu halus jika disebut mencurigakan. Tetapi, dia kelewat konsisten untuk diabaikan. Abimana tidak menyukai hal-hal yang mengaburkan batas. Dan ketika batas itu mengabur, dia tahu dirinya perlu mengambil sikap.Panggilan internal dikirimnya ke meja personalia. Nama Dimas terlintas pertama kali. Pria muda itu pernah menggantikan posisi Diana saat cutinya beberapa waktu lalu—cepat, rapi, serta tidak pula mencampurkan urusan personal ke dalam pekerjaan.Tak lama berselang, pintu ruangannya diketuk."Masuk!" Dimas berdiri di ambang pintu dengan postur yang tegak. "Bapak manggil saya?""Duduk, Dimas," lanting Abimana sambil menutup dokumen di layarnya.Dimas duduk s

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Kegigihan Diana

    Kafetaria lantai bawah tampak lapang ketika Diana Sophia mengambil tempat di sudut yang agak tertutup. Dinding kaca memantulkan sinar mentari yang sedikit lembut di pagi ini, turun ke permukaan meja kayu berlapis pernis. Dia menyiasati segalanya. Salah satunya dengan membaca saat-saat situasi tidak ramai, supaya ranah yang dia punya cukup privat untuk percakapan yang ingin dia jaga agar tak didengar telinga lain. Dua cangkir latte mengepul halus di atas meja, ditemani sepiring ragam kue tradisional yang belum disentuh. Diana sibuk mengaduk minuman, lalu menyesapnya tipis-tipis. Rexa datang di beberapa menit kemudian. Perempuan itu menjatuhkan tubuhnya ke kursi di seberang Diana, seiring pula napasnya berembus panjang. "Pagi-pagi banget lo ngajak ketemu, penting banget, ya?" Diana mengangkat pandangnya, sembari menyematkan seringai wajar. "Gue butuh suasana yang bersih, Rex. Makanya gue pilih jam segini.""Bersih?" Rexa menyipitkan mata usai dia mengamati sekitar mereka. "Lo gampan

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Canggung

    Meja makan malam terisi seperti biasa, diterangi cahaya remang jingga yang memantul ke permukaan set kayu sebagai pusat kebersamaan keluarga. Uap masakan mengepul dengan bau lezat yang seharusnya menggugah selera. Cahyani duduk di ujung meja, sedang merapikan serbet di pangkuannya. Mumu mondar-mandir sebentar sebelum akhirnya ikut duduk. Arjuna datang belakangan, wajahnya tenang tanpa cela. Sangat khas perawakan dia. Ajeng duduk di sisi Abimana. Tangannya bertaut di atas meja, jemarinya saling mengunci lebih erat. "Masakan hari ini luar biasa," ujar Abimana membuka percakapan, sekadar mengisi ruang yang tampaknya terlalu hening."Iya, Nak." Cahyani menyahut cepat. "Ini permintaan beberapa orang. Ibu dan Mumu memang dari siang sudah di dapur." Di seberang, Ajeng mengangguk lamban. "Makasih untuk makanan hari ini, Bu--tadi Ajeng enggak ikut bantu." Nada suaranya datar, tapi cukup sopan untuk tidak menimbulkan kecurigaan.Di samping, Abimana melirik istrinya itu sekilas. Singkat saj

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Sesuatu yang tertunda untuk diucapkan

    Suhu ruangan lebih bersahabat ketika obrolan mereka berpindah dari nada panik ke arah yang lebih tenang. Olivia menambahkan air putih ke gelas kosong, yang segera di minum oleh Ajeng. Tak lama berselang, dia mengangguk dan meneguk sedikit isinya. Sensasi hangat itu mereda di tenggorokan.Meskipun wajahnya masih menunjukkan bekas guncangan, tatapan Ajeng kini fokus. Napasnya teratur. Sesekali dia mengusap sisa basah di sudut matanya, tetapi nada suaranya tidak lagi bergetar semula."Sekarang gimana perasaanmu?" tanya Olivia, sedikit hati-hati agar ucapannya tidak memantik emosi Ajeng lagi."Aku masih pusing, tapi sekarang bisa mikir. Tadi itu ... terlalu tiba-tiba dan datangnya barengan. Aku enggak bisa bereaksi apa-apa, dan milih kabur. Untung aku langsung ingat kamu, Liv. Enggak kebayang kalau yang ku telepon Mas Abim." Olivia mengangguk, "Aku ngerti. Jadi, langkahmu sekarang apa? Kamu mau cerita ke Mas Abim?"Pertanyaan sekian membuat Ajeng terdiam beberapa detik. Dia tidak berkedi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status