Share

Maafin Adek, Mas

Author: Ceeri
last update Last Updated: 2025-03-24 11:17:01

Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Ulahnya menyebabkan sang suami kelimpungan menunggu dia pulang. Ajeng pun merasa waswas begitu tiba di kediaman mereka. Hanya waswas, bukan perasaan takut. Terkadang dia memang keras kepala. Beruntungnya saat dia sudah di rumah, Abimana masih berada di luar. Dengan langkah terburu-buru dia melepaskan sandal dan masuk ke rumah.

"Bu ..." Mumu menyapa saat keduanya berpapasan di ruang tengah. "Tadi Bapak cari Ibu. Dia pergi ke jamuan makan malam dari salah seorang rekan bisnisnya. Saya diminta menyampaikan ini ke Ibu. Bapak juga sudah menghubungi ponsel Ibu berulang-ulang, enggak aktif katanya."

"Mas Abim udah pulang?"

"Belum, Bu." Mumu menjawab seadanya.

"Ya udah, aku mau langsung ke kamar aja." Perasaan Ajeng berubah tenang usai tahu dia pulang lebih awal daripada suaminya. Langkahnya pun diayun lambat menaiki anak tangga, "Tolong kunci pintunya ya, Mumu."

"Baik, Bu," sahut Mumu.

Di dalam kamar Ajeng mengemasi barang-barang belanjaannya. Dia mengamati singkat satu-persatu barang itu sebelum menyimpannya ke dalam lemari. Pasalnya, dia tidak ingin memancing kemarahan Abimana bila suaminya tersebut mendapati paper bag berserakan di kamar mereka. Betapa tidak, baru dua minggu yang lalu Ajeng membeli barang bermerek secara online, juga dalam jumlah banyak. Bukan cuma satu atau dua macam barang.

Dini rampung Ajeng menyegerakan dirinya untuk mandi dan berganti pakaian. Tidur adalah solusi tepat agar dia tak harus mendengar rentetan tanya dari suaminya. Tangannya mengambil kimono handuk lebih dahulu, beeringsut ke kamar mandi; benar-benar hanya mandi di bawah guyuran shower demi menghemat waktu. Sekalian berniat berjaga-jaga, menghindari interaksi dengan suaminya di malam ini. Abimana bisa tiba kapan saja dan dia tidak mau ada keributan di antara mereka.

Hampir sepuluh menit berlalu, Ajeng keluar dari kamar mandi. Sedari tadi rambutnya sengaja ia gelung ke atas agar tidak basah. Perempuan berparas menawan ini memandang pantulan dirinya di cermin yang digantung tak jauh dari pintu kamar mandi.

"Baru pulang juga?!" Mendadak bariton suaminya menukas tanya, sehingga dia yang tak siap menghadapi situasi semacam spontan pula terperanjat. Faktanya, nyali Ajeng justru menciut saat dia bertemu muka dengan suaminya.

"Iya, Mas." Seolah berbisik, suara Ajeng hampir tidak bisa didengar.

"Segitu pentingnya ya teman-teman Adek, bahkan Mas enggak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Mas telepon berkali-kali karena khawatir, tapi sepertinya adek enggak suka diganggu." Abimana duduk di pinggir ranjang. Seraya merenggangkan dasi, dia memandang istrinya pada gurat kecewa yang teramat dalam. Raut sendu tak dapat menutupi fakta tersebut.

"Maaf, Mas. Adek lagi mengobrol sama mereka, pada protes pas Adek sempat jawab telepon Mas. Hp Adek lowbat juga, keburu mati sebelum mengabari Mas." Ajeng berusaha cukup keras dalam memberanikan dirinya. Alibi tetaplah alibi. Walau gugup, dia memaksakan wajahnya mendongak untuk memandang suaminya.

"Mas baru tahu kalau di circle Adek enggak ada yang punya ponsel. Ini bukan soal ketidaksengajaan. Tetapi, Adek memang enggak peduli sama perasaan Mas di sini. Paniknya gimana, gelisah kayak apa, Adek enggak mau tau. Terkadang Mas heran, kenapa hanya Mas yang enggak bisa berhenti memikirkan kamu. Setiap hari, dua puluh empat jam bayangan Adek terus melintas di kepala Mas. Adek sedang apa, makan yang benar atau enggak, apa udah beristirahat dengan cukup. Mas benar-benar menikmati dampak kehadiran Adek setelah kita menikah. Besar sekali arti keberadaan Adek buat Mas. Kalau Mas tanya sebaliknya, Adek bisa jawab apa? Nihil 'kan?"

Sekejap Abimana hela napasnya pelan-pelan dan kembali berkata, "Misalkan Adek menganggap perasaan Mas ini berharga buat Adek, mustahil Adek segini entengnya membelakangi posisi Mas sebagai suami. Mas berhak tau semua yang Adek lakukan, paham?!"

"Adek enggak sejahat itu, Mas. Kenapa omongan Mas barusan membuat perasaan Adek enggak enak?"

"Iya, seharusnya. Tapi, Adek enggak sadar malah melakukannya. Mas juga bingung jika ditanya apa alasan yang menyebabkan Adek tega. Dan jika memang Adek menyesal, Mas harap itu bukan hanya sesaat."

"Mas, Adek minta maaf. Adek enggak bermaksud bikin Mas segini kecewa." Ajeng menyadari sebuah pukulan kecil menghantam nuraninya. Dia mulai panik, berupaya membujuk Abimana yang sekarang justru beranjak ke kamar mandi. Tidak butuh berlama-lama bagi pria itu untuk membersihkan diri. Dia kembali dengan cuma mengenakan kaus putih dan selembar handuk menggantung di lehernya. "Mas dengar Adek, enggak?"

Namun, Abimana betah bergeming. Dia berpura-pura tak menangkap ucapan apapun dari bibir istrinya. Untuk malam ini dia tidak ingin mengalah. Dia putuskan mengambil sendiri setelan piyama yang akan dikenakan, bergegas naik ke ranjang dan memunggungi Ajeng tanpa sepatah kata selamat tidur. Ini merupakan pertama kalinya bagi Ajeng Dwi Ayu menemukan sisi lain suaminya. Dia tak bisa menepis kesedihan yang muncul. Sebab kesalahannya, dia terpaksa tidur dalam suasana dingin nan hampa.

-----

"Mu, Mas Abim mana?" Pagi-pagi Ajeng sudah dibuat bingung. Dia tidak melihat suaminya di kamar.

"Baru aja pergi, Bu. Bapak bilang lagi buru-buru, enggak sarapan karena takut terlambat."

"Kok Mas Abim enggak pamit?" Ajeng mendesah kecewa, dalam hati sudah menebak apa yang menyebabkan suaminya seperti menghindari dia.

"Saya enggak tau, Bu."

"Ya udah enggak apa-apa. Nanti biar aku yang tanya langsung ke Mas Abim." Nafsu makannya dalam sekejap menghilang. Ajeng memilih untuk kembali ke kamarnya setelah meminta Mumu menyiapkan sesuatu, "Mu, tolong buatkan susu, ya. Antarkan aja ke atas. Sekalian rotinya, kasih mentega sama keju aja." Si gadis berbadan mungil tersebut mengangguk diam.

"Ibu enggak mau telur rebus?"

"Ehm, boleh deh. Setengah mateng aja, Mu."

"Baik, Bu."

"Aku naik ke atas, ya."

"Iya, Bu."

Tiada terasa waktu begitu cepat berlalu. Pukul dua siang saat ini di mana Ajeng menghabiskan hari-harinya sebagaimana biasa. Dia berbincang dengan teman-temannya melalui telepon atau sosial media. Dia juga menonton acara langsung dari beberapa akun online shop penjual barang-barang mewah.

Di atas meja tersedia stoples biskuit dan stoples keripik kentang untuk temannya bersantai. Ada pula teko kaca berisi jus jeruk dingin sebagai penawar dahaga. Semua keasyikan itu pada akhirnya membuai Ajeng, melemahkan perhatiannya terhadap presensi Abimana. Sejak pagi dia berencana menelepon suaminya, namun urung dia penuhi setelah fokusnya teralihkan.

Abimana sangat mencintai Ajeng, sedari dulu hingga sekarang dan juga selamanya. Perasaan itu tidak pernah berubah walau Ajeng sering melakukan kesalahan.

Abimana menyadari sikap lembutnya mulai memicu perlawanan dari istrinya sendiri. Ajeng menjadi keras kepala, suka semaunya sahaja. Tapi, apakah salah jika cinta Abimana terhadap sang istri terlampau besar?Cinta adalah bentuk alami, emosional yang tak dapat dicegah. Meski bersusah payah menghindar, seseorang bisa kembali ke tempat di mana perasaan itu bermula.

Abimana mengakui rasa sayangnya kepada Ajeng cukup berlebihan. Dia nyaris menuruti apapun permintaan istrinya itu. Cinta telah menguasai akal dan pikiran. Sepatutnya dia memberi batas kuasa yang didukung oleh sedikit ketegasan halus. Barangkali laun-laun istrinya akan mengerti. Malang, Abimana dibuat tak berdaya oleh sisi sensitif yang ada padanya. Kesedihan Ajeng adalah yang paling dia benci.

Langit tak lagi terang begitu matahari turun ke singgasananya. Abimana kentara masih enggan untuk pulang. Di saat yang sama, Ajeng di rumah dilanda kekhawatiran. Dia segera meraih ponselnya untuk menghubungi sang suami.

Sudah yang ketiga kalinya Ajeng mencoba menghubungi nomor Abimana, tetapi tetap tidak ada jawaban. Perempuan itu mendengkus, melirik singkat pada jam dinding sebelum menelepon sekali lagi. Lipatan menit berikutnya dia mengirim pesan teks, berharap Abimana membaca dan membalasnya.

Tahu-tahu Ajeng mengerang keras. Dia menangkap hal aneh terhadap suaminya. Abimana bukanlah orang yang bisa membiarkan dia, apalagi seharian penuh tanpa kabar seperti ini. Batinnya bertanya-tanya, 'Mas Abim masih marah, ya?!'

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Ruang untuk bernapas dengan tenang

    Hujan sudah lama reda, tapi daun-daun di pekarangan masih menggantungkan sisa air. Arjuna duduk sendiri di bangku kayu belakang rumah, jaket masih melekat di tubuhnya. Cahaya lampu taman redup menyorot garis wajahnya yang letih.Dia tidak menangis. Tapi, bias di matanya kosong. Seperti seseorang yang terlalu lama menyimpan sesuatu tanpa pernah benar-benar punya ruang untuk bicara.Tangannya saling bertautan sambil sekali ibu jarinya saling mengusap satu sama lain. Dia kentara sedang berpikir keras, meski semua itu tetap percuma. Dari jendela lantai dua Alyssa berdiri mengintip dari balik tirai. Tidak ada kemarahan di wajahnya. Tidak juga kecemburuan. Hanya ... kekosongan yang perlahan-lahan membeku jadi jarak.Dia memandang suaminya di sana; Arjuna tampak bagaikan remaja muda yang tengah kehilangan arah. Lalu, tirai ditarik. Alyssa menutupnya sebab dia ingin sedikit ruang lapang untuk kesehatan perasaannya sendiri. -----Pagi berikutnya cahaya matahari menerobos lembut ke dapur ya

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Rahasia yang ingin berteriak dengan lantang

    Sudah lebih dari satu jam sejak Arjuna dan Ajeng kembali dari reuni. Tapi, Arjuna belum juga masuk ke kamar. Alyssa menunggu di balik dinding koridor rumah keluarga itu, mendengar langkah suaminya mondar-mandir di ruang belakang. Tanpa suara, tanpa panggilan.Alyssa duduk di tepi ranjang tamu yang sementara mereka tempati, sambil menekuk ujung jarinya di atas pahanya sendiri. Usia kandungannya hampir menginjak sembilan bulan, sebulan lebih tua dari Ajeng. Sayang, yang terasa sekarang bukan keintiman sebagai pasangan yang sedang menanti ... melainkan sesuatu yang menggantung dan menjauh.Pintu kamar terbuka pelan.Arjuna masuk tanpa menatap istrinya."Habis hujan," katanya pendek, menurunkan jaket yang sudah agak lembab.Alyssa hanya mengangguk, "Kamu kehujanan?""Sedikit."Arjuna melewati Alyssa begitu saja, menuju lemari dan mengganti bajunya tanpa menoleh. Alyssa menunggu, menunggu sesuatu yang tidak datang; pertanyaan, sentuhan, atau sekadar perhatian kecil.Tapi, tidak ada.Dan it

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Reuni SMA dan juga perubahan sikap Arjuna

    Hari ini akhirnya tiba...Ajeng berdiri di depan cermin panjang di lorong rumah. Tangannya perlahan membenarkan kerudung; disematkan dengan pin sederhana. Gaun pastel selutut yang dia kenakan memeluk perut buncitnya dengan lembut. Wajahnya terlihat tenang, tapi ada rasa berdebar yang samar.Dari balik pintu terdengar suara langkah kaki, Arjuna."Kita berangkat sekarang? tanyanya, berdiri dengan satu tangan menyelipkan kunci mobil di antara jari.Ajeng menoleh. "Iya. Kakak yakin enggak keberatan ada aku? Entar Kakak enggak leluasa sama yang lain.""Kenapa harus keberatan?" jawab Arjuna pelan, "Bukannya kita udah biasa, ya? Dari dulu juga kita selalu bareng di acara-acara kayak begini."Ajeng tersenyum kecil, tidak menjawab. Dia tahu Abimana seharusnya ikut menemani dia, setidaknya mengantar. Tapi urusan kantor membuat suaminya harus pergi pagi-pagi ke Bandung. Ajeng tidak menuntut. Dia pun tahu Abimana sudah berusaha. Lagi pula, suaminya percaya.Di dalam mobil, keduanya lebih banyak d

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Perasaan seorang istri sangat peka

    Langkah Ajeng terdengar pelan di koridor marmer PT. Sabina. Dia membawa tas makan siang berwarna biru yang merupakan favorit Abimana. Ajeng mengenakan blouse sederhana dan celana kulot longgar nuansa pastel. Penampilannya tetap elegan meski tanpa riasan berlebihan. Dia hanya ingin mengantarkan bekal suaminya yang tertinggal, tiada niat lebih.Resepsionis menyambutnya ramah. "Selamat siang, Bu Ajeng. Ke ruang Pak Abimana, ya?"Ajeng tersenyum sambil mengangguk. "Iya. Saya cuma mau antar makan siang si Mas aja. Ketinggalan." Ajeng terbiasa datang sesekali ke kantor suaminya. Penghuni perusahaan juga tentu mengenal dia. Tidak ada hal aneh, tak ada yang perlu dijaga-jaga pula. Namun, langkah Ajeng kontan melambat ketika pintu ruang direktur terbuka sedikit; cukup lebar untuk dia dapat melihat dua sosok di dalam.Diana Sophia berdiri di sisi meja kerja, senyumnya diam-diam. Di mata Ajeng kentara lembut dan terlalu lama tertuju pada Abimana. Pria tersebut sedang duduk di belakang meja deng

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Pagi yang cukup menguras emosional

    Pagi itu dapur masih berantakan setelah semua orang menyelesaikan rutinitas sarapan pagi mereka. Piring-piring belum dibereskan. Sementara, Mumu Sedang berada di ruang laundry untuk menjemur kain. Dia akan mengerjakan bagian dapur begitu rampung dengan urusan pakaian. Ajeng berdiri di dekat meja makan, satu tangan menopang pinggangnya yang membesar, satu tangan lain menggenggam ponsel yang menempel di telinga."Mas, kamu serius ninggalin bekal di meja begitu aja?" Suaranya tenang, tapi nadanya menyimpan jengkel yang ditahan-tahan.Di ujung sana, Abimana menghela napas."Maaf, Dek. Mas tadi buru-buru banget, Alvian bakal datang jam delapan ... enggak usah diantar, nanti Mas beli makan di kantor aja."Ajeng berdecak pelan, menoleh ke meja makan di mana bekal dalam kotak stainless itu masih tergeletak rapi, lengkap dengan sendok dan tisu."Mas tau kan adek nggak suka Mas makan sembarangan di luar. Itu lauk kesukaan, Mas. Adek masak dibantu sama ibu ..." Intonasi suara Ajeng melemah di a

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Perubahan sikap Diana merupakan awal keresahan

    Sejak Diana kembali dari cutinya, Abimana mulai merasa ada yang tidak beres. Perempuan itu berubah. Bukan dalam kinerja—pekerjaannya masih rapi dan tepat waktu—tetapi dalam sikap. Diana menjadi lebih sering tersenyum, terlalu ramah, dan suka mampir ke ruangannya untuk urusan-urusan yang sebenarnya tidak perlu dibicarakan langsung. Awalnya Abimana sekadar mengerutkan kening, bertanya-tanya dalam hati. Lalu, dia mulai mendengkus setiap kali mendengar suara ketukan khas di pintu ruangannya. "Pak, saya cuma mau memastikan file presentasi yang tadi itu sudah betul belum? Atau, "Maaf ganggu, saya mau konfirmasi jam makan siang Bapak dengan klien." Berulang Diana datang demi hal-hal sepele demikian, padahal semuanya sudah ditandai jelas di kalender bersama. Abimana risih. Sangat risih. Dia bukan tipe pria yang menikmati perhatian orang lain. Lagi pula ada yang membuat hatinya makin tak tenang; dia begitu mencintai istrinya. Cinta yang utuh dan tidak tergoyahkan. Maka, sikap Diana yang me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status