Laura turun dari taksi dengan napas terengah-engah.
Dia bersyukur karena berhasil melarikan diri dari Harry. Meskipun ia merasa lucu juga karena bisa-bisanya pria sedingin Harry bisa dikelabui dengan cara seperti itu. Akan tetapi, bagaimana jika pria itu bisa menemukannya? “Ah, aku tidak peduli. Lagi pula mana mungkin kami bertemu lagi,” lirih Laura lalu berjalan memasuki gedung apartemen. Dia kemudian masuk ke dalam lift dan menekan angka yang ada di sana. Walau bukan penghuni gedung apartemen ini, tetapi Laura memiliki akses karena temannya yang tinggal di sini. “Sialan! Kalau dipikir-pikir aku jadi bertemu dengan pria gila itu karena mengira jika dia Jackson.” Ting! Di saat yang sama, pintu lift terbuka. Laura bergegas menuju salah satu pintu yang sudah dia hapal nomornya. Dalam satu kali pencetan bel, pintu itu langsung terbuka, dan muncul pria berambut hitam dengan wajah bingung saat melihat laura. “Kau? Apa yang kau lakukan di sini saat hampir tengah malam?” tanya Jackson dengan mengerutkan kening. Tak hanya itu, Jackson juga tampak terkejut saat melihat penampilan Laura ... yang tak biasa. “Jack, aku boleh menginap di sini semalam?” tanya Laura tanpa mengindahkah tatapan Jackson kepadanya. “Menginap?” Jackson kembali menatap laura dari atas sampai bawah. Pria itu terdiam sesaat, kemudian menepuk kepalanya saat mengingat sesuatu. “Apa kau benar-benar mengacaukan pernikahan Sam dan Carol?” “Menurutmu?” Tanpa rasa bersalah, Laura mengangguk. Tak ingin berlama-lama di luar, wanita itu segera mendorong Jackson untuk segera masuk lalu disusul oleh dirinya. Kemudian, laura menutup pintu dan kembali menatap temannya itu dengan tatapan memohon. “Jadi, apa aku boleh mengingap di sini? Please, Jack. Aku akan mencari flat besok.” Jackson hanya geleng-geleng kepala dengan kelakukan laura. Dia tidak menyangka jika wanita itu akan benar-benar nekat mengacaukan pernikahan kakaknya. “Kau pasti tau kan jika aku pulang, maka aku tidak akan bisa keluar besok. Besok aku ada wawancara terakhir di Sky Hotel’s, Jack. Kumohon. Hanya untuk malam ini saja, ya.” “Ya, ya, baiklah.” Jackson mempersilakan Laura masuk. Namun, sedetik kemudian pandangannya langsung terfokus pada jas hitam yang menutupi tubuh wanita bermata biru itu. “Laura, kau habis bermalam dengan seorang pria?” “Apa?” Laura berbalik dengan wajah bingung. “Ini jas pria, kan?” tanya Jackson lagi sembari memegang jas yang laura kenakan. Hah? Mata biru Laura langsung melotot begitu melihat jas hitam itu. “Tidak! Bagaimana aku bisa melupakan barang pria gila itu!” Sayangnya, Laura benar-benar tidak bisa tidur malam itu. Dia terus membayangkan wajah Harry yang marah padanya. “Lupakan saja, Laura. Ayo, berikan afirmasi positif untuk dirimu sendiri,” gumam Laura dengan menaruh bantal menutupi wajahnya. “Kau tidak akan bertemu lagi dengan pria itu. "Persetan dengan jasnya! Kau bisa memberikan itu pada Jackson atau orang lain saja.” Pagi-pagi sekali, Laura pun bersiap dengan pakaian formal. Kebetulan, ini adalah wawancara tahap terakhir dalam lamaran kerjanya, dan dia harus bisa mendapatkan pekerjaan itu agar bisa terlepas dari genggaman keluarga Green! “Kau yakin dengan pekerjaan ini? Menjadi seorang sekretaris itu tidak semudah seperti yang kau baca dalam novel, Lau. Apalagi kudengar CEO perusahaan mereka tidak menerima kekurangan apa pun.” Laura menoleh, lalu menatap Jackson dengan salah satu alis terangkat. “Memangnya Laura memiliki kekurangan? Wajahku cantik. Tubuhku juga seksi—” Ucapan laura terhenti. Tiba-tiba saja dia teringat dengan perkataan Harry malam tadi jika tubuhnya tak menarik. “Ah, sudah. Pokoknya aku ini tidak memiliki kekurangan fisik.” “Bukan itu maksudnya. Pria itu selalu menginginkan pekerjaan bawahannya sempurna, tanpa cela sama sekali.” “Lagi pula kau tau dari mana, sih, Jack?” Jackson tersenyum dengan mengendikkan bahu. “Aku hanya dengar gosip saja.” “Jangan suka percaya gosip.” Laura mengibaskan tangannya ke arah Jackson. Dia sangat beruntung karena memiliki teman seperti Jackson. Kalau tidak, dia tidak tahu akan tidur di mana malam tadi. “Kalau begitu aku pergi dulu. Thanks untuk tumpangan tidurnya tadi malam.” “Lalu hari ini apa kau akan kembali ke rumah?” Laura menggeleng cepat. Kalau dia kembali sekarang, itu sama saja dia mengantarkan nyawa kepada ayahnya. Tidak mungkin, kan? “Jadi, kau benar-benar akan menyewa flat?” Laura mengangguk lagi. Wanita itu mengambil roti lapis di atas meja makan, lalu pamit untuk segera pergi. “Aku pergi dulu. Nanti akan kuberitahu di mana aku akan tinggal. Bye, Jack!” Melihat kepergian Laura, Jackson hanya bisa tersenyum tipis. Dia tidak akan mencoba menghentikan niat wanita itu karena tahu Laura bukan orang yang mudah menyerah. “Ah, semoga saja, setelah ini hidupmu lebih baik.” Sementara itu, di tempat lain Harry tampak masih kesal karena merasa dikerjai oleh Laura. Bisa-bisanya wanita itu berpikir untuk melarikan diri dari dirinya dengan cara seperti itu. “Dasar wanita licik! Lihat saja akan kutemukan dirimu, bagaimanapun caranya!” Pria itu bahkan menghubungi bawahannya yang jago meretas sistemHarry merasa tidak tenang sejak kepergian Laura tadi, apalagi sampai saat ini wanita itu belum membalas pesannya sama sekali.“Mungkin urusannya belum selesai,” lirih Harry mencoba menenangkan diri sendiri.Namun, sepertinya semua itu tidak benar-benar bisa menenangkan dirinya. Sudah beberapa kali dia mencoba menghubungi Laura, tetapi wanita itu tidak juga menjawabanya.“Apa dia lupa caranya mengangkat telepon?” Harry begitu kesal, tetapi jauh di dalam hatinya dia merasa kalut.Entah mengapa pikirannya tidak tenang. Apalagi dia tahu Laura pergi menemui kakaknya untuk mencari tahu tentang masa lalunya.Apa wanita itu baik-baik saja?Menunggu, adalah kegiatan yang membosankan, tetapi Harry tak punya pilihan lain karena Laura yang memintanya untuk tidakmenghampirinya.Namun, ini sudah lebih dari lima jam. Matahari juga hampir condong di ufuk barat. Jadi, harus berapa lama lagi Harry menunggu?Laura tidak membalas pesannya, tidak juga menjawab teleponnya.“Aku harus mencarinya!” Harry se
“Kau pasti berbohong, kan, Carol?” tanya Laura dengan wajah tak percaya. Detik berikutnya, wanita itu tertawa keras.Dia memang tahu jika ayahnya sangat membencinya, tetapi Laura sama sekali tidak menyangka jika Caroline akan mengatakan hal seperti ini.“Memangnya wajahku terlihat seperti pembohong?”Laura menggeleng—dia masih tidak percaya. “Kau bicara omong kosong, Carol. Aku tidak mau mendengar kekonyolanmu lagi!”Akhirnya, Laura berdiri. Dia segera mengambil tas yang ada di atas meja untuk segera pergi meninggalkan Carol. Dia tidak mau mendengar apa pun yang kakaknya katakan lagi.“Kau mau ke mana, Laura?”“Aku akan pulang. Aku sudah membuang waktu hanya untuk omong kosongmu saja.”Laura melangkahkan kakinya, tetapi baru satu langkah Caroline kembali menghentikannya.“Kalau kau anggap aku pembohong, tanyakan saja pada Antonio.”Laura menoleh, dia menatap Caroline yang tampak sangat serius. Wanita it
Laura duduk dengan gelisah—menanti kedatangan Caroline yang sudah terlambat tiga puluh menit.Mereka berdua sudah sepakat untuk bertemu di salah satu kafe yang dekat dari kediaman Keluarga Green.Selain untuk menjaga rahasia ini, Laura juga belum ingin bertemu dengan ayah dan ibunya. Apalagi jika harus mendengar mereka memohon untuk membuat Harry membantunya.Lagi-lagi Laura melihat jam yang ada di ponselnya. Dia sudah menyiapkan ponsel di atas meja—membuat rekaman sebagai bukti, jaga-jaga jika suatu saat nanti Caroline menyangkal kembali ucapannya hari ini.Satu jam berlalu. Wanita bermata biru itu masih setia menunggu kedatangan kakaknya. Dia harus tahu semuanya hari ini juga.Dua jus jeruk sudah hampir kandas, Laura tampak begitu frustrasi. Menghubungi Caroline juga tidak ada jawaban atau balasan sama sekali.Sampai akhirnya, ketika Laura hendak berdiri—meninggalkan kafe barulah dia melihat sosok yang perutnya sudah sedikit me
Malam terakhir di Hawaii menyambut mereka dengan langit yang cerah. Bulan purnama tampak begitu jelas di lihat dari balkon kamar pasangan suami istri itu.Laura duduk di kursi rotan—di balkon kamar mereka dengan cardigan tipis, dan membiarkan rambutnya yang tergerai berterbangan karena angin laut.Kini hatinya mulai membaik, ketika dia mulai mencoba menerima kehadiran Harry. Bukan dalam kata biasa tentang kehadiran pria itu, tetapi hadirnya pria itu dalam hatinya.Harry muncul dengan membawa dua kaleng bir yang dingin.“Mau bir?” tawar Harry, sembari menyodorkan satu kaleng bir pada Laura.“Apa kita akan mabuk untuk merayakan malam terakhir di Hawaii?” tanya Laura dengan senyum tipis, yang langsung diangguki oleh Harry.“Hanya satu kaleng, tidak akan membuatmu mabuk.”Laura mengangguk. Dia segera membuka kaleng bir itu dan langsung meminumnya. Kini keduanya menatap laut yang sama.“Laura, apa kau tau? Sebelum da
Meski Laura tak memberikan jawaban pasti, Harry tahu wanita itu akan memberikannya kesempatan dari caranya membalas pelukan.Setelah cukup lama, Harry melepaskan pelukannya. Dia mengusap air mata Laura dengan perlahan, seraya menyunggingkan senyum tipis.“Mau aku buatkan sarapan?” tawar Harry.Meski malu, Laura pun mengangguk. Jujur saja, urusan perut adalah sesuatu yang tidak bisa ditunda.“Mau makan sesuatu?”“Tidak. Aku akan makan apa pun seperti biasanya.”Harry tersenyum lebar. Dia mengusap kepala Laura dengan lembut, sebelum akhirnya pergi menuju dapur. Sementara itu, Laura lagi-lagi tertegun di tempatnya berdiri. Mengapa? Mengapa ini semua bisa terjadi? ***Harry sibuk memecahkan telur ke dalam mangkuk. Sebelumnya, dia sudah memanggang roti, dan sekarang akan membuat telur goreng sebagai menu sarapan mereka.Setelah beberapa menit kemudian, Laura muncul. Wajah wanita itu suda
Suasana seketika menjadi sunyi. Suara badai seolah tak terdengar lagi, saat Laura mendengar pengakuan Harry yang mengejutkan.Laura langsung menggeleng dengan pelan. “Jangan. Jangan katakan … hal seperti itu, Harry.”“Kenapa, Laura?” tanya Harry dengan nyaris berbisik. “Apa karena pernikahan kita ini hanya pernikahan kontrak? Atau karena kita sudah sepakat untuk tidak saling melibatkan perasaan masing-masing? Tapi, kenyataannya, aku menyukaimu. Sejak kita tiba di sini , aku merasa … nyaman di dekatmu. Aku tidak ingin memendamnya lagi.”Laura segera berdiri, dan membelakangi Harry. “Kita tidak bisa seperti ini. Bukan seperti itu perjanjiannya, Harry.”“Tapi, aku tau kau juga punya perasaan yang sama denganku, kan?”Laura menggigit bibir bawahnya. Diam adalah jawabannya.Harry mendekat, tetapi kali ini dia tidak menyentuh Laura seperti biasanya—memberikan wanita itu ruang untuk rasa aman. “Katakan padaku jika aku salah. Katakan pad